Realitas pelaksanaan Haji di zaman jahiliyah
Para penganut paganisme dari kalangan Bangsa
Arab Jazirah tidak pernah meninggalkan kebia-saan yang mereka warisi dari
leluhurnya yakni melakukan ritual “haji” di sekitar areal Masjid Al-Haram atau
Ka’bah. Bahkan mereka melaksanakan tradisi tersebut (thawaf di Ka’bah) persis
seperti bi-natang yakni tanpa mengenakan pakaian alias telanjang. Kebiasaan
mereka masih tetap berlangsung hingga Muhammad muda telah menyadari realitas
lingkungan kehidupannya di Negeri Makkah yang tengah dikendalikan penuh oleh
Qabilah Quraisy. Walaupun Muhammad muda tidak pernah terlibat dalam ritualisme
hewani yang dilakukan oleh kaumnya itu, namun tetap saja dia pun berada dalam
sta-tus yang sama dengan mereka yakni dalam kehidupan yang sesat. Allah SWT
menggambarkan hal itu dalam Al-Quran :
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (الضحى
: 7)
dan Dia (Allah) menemukan kamu dalam keadaan sesat lalu Dia
memberi kamu hidayah
Praktik ritual paganisme Arab Quraisy tersebut masih
dibiarkan oleh Allah SWT (walau Nabi Muham-mad saw telah hijrah ke Madinah dan
menjadi Kepala Negara Islam pertama) hingga turunnya ayat da-lam Al-Quran
berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ
عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة : 28)
Wahai orang-orang yang beriman, hanya sesungguhnya kaum
musyrik itu adalah najis maka jangan-lah mereka mendekati Masjid Al-Haram
setelah tahun mereka ini dan jika kalian (kaum mukmin) kha-watir sengsara maka
pasti nanti Allah akan menjadikan kalian kaya raya dengan fadilah dari Nya
se-suai dengan kehendak Nya. Hal itu karena Allah عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Tafsir Jalalain memberikan penjelasan bagian ayat بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا dengan عَامُ
تِسْعٍ مِنَ الْهِجْرَةِ (tahun sembil-an dari Hijrah), sedangkan Imam Ibnu
Katsir memberikan penjelasannya sebagai berikut :
أَمَرَ تَعَالَى عِبَادَهُ
الْمُؤْمِنِيْنَ الظَّاهِرِيْنَ دِيْنًا وَذَاتًا بِنَفْيِ الْمُشْرِكِيْنَ
الَّذِيْنَ هُمْ نَجَسٌ دِيْنًا عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَأَنْ لاَّ
يَقْرَبُوْهُ بَعْدَ نُزُوْلِ هَذِهِ اْلآيَةِ وَكَانَ نُزُوْلُهَا فِيْ سَنَةِ
تِسْعٍ وَلِهَذَا بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا
صُحْبَةَ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَامَئِذٍ وَأَمَرَهُ أَنْ
يُنَادِيَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ : أَنْ لاَّ يَحُجَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ
مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوْفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ فَأَتَمَّ اللهَ ذَلِكَ وَحَكَمَ
بِهِ شَرْعًا وَقَدْرًا.وَقَالَ عَبْدُ الرَّازَّقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ
يَقُوْلُ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى " إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلاَ
يَقْرَبُوْا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا " إِلاَّ أَنْ
يَّكُوْنَ عَبْدًا أَوْ أَحَدًا
مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ.
Allah SWT memerintahkan hamba-hamba Nya yang mukmin yang
telah meraih kemenangan agama dan kedudukan untuk melarang kaum musyrik (yakni
orang-orang yang najis) dari Masjid Al-Haram dan supaya mereka tidak
mendekatinya lagi setelah turunnya ayat ini dan turunnya ayat ini adalah pa-da
tahun sembilan dan oleh karena itu Rasulullah saw mengutus Ali untuk menemani
Abu Bakar ra pada tahun tersebut dan memerintahkannya untuk menyerukan kepada
kaum musyrik : supaya tidak ada satu orang musyrik pun yang melakukan haji
setelah tahun ini dan tidak ada lagi yang melakukan thawaf di Ka’bah
bertelanjang. Lalu Allah menyempurnakan hal itu dan menetapkannya secara
syar-’iy dan pasti. Abdur Razzaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu
Juraij, telah mengabarkan kepada saya Abu Zubair bahwa dia telah mendengar
Jabir bin Abdillah berkata berkenaan dengan pernyataan Allah SWT إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُوْا الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا, kecuali orang itu adalah ‘abid
(hamba sahaya) atau salah seorang dari أَهْلِ
الذِّمَّةِ.
Walaupun seperti itu realitas pelaksanaan haji selama 13
tahun Rasulullah saw dakwah di Negeri Mak-kah, ternyata beliau tidak diminta
oleh Allah SWT untuk menjauhinya bahkan sebaliknya justru beliau diperintahkan
untuk tetap menjadikan arena paganisme tersebut sebagai uslub dan wasilah bagi
dakwah Islamiyah yang tengah dipikulnya. Setiap musim haji tiba dan itu
dihadiri oleh hampir seluruh qabilah yang ada di Jazirah Arab termasuk dari
Madinah, maka Nabi Muhammad saw selalu menemui mereka dan menyampaikan
informasi tentang Islam kepada mereka sekaligus menyeru mereka semua untuk
beriman kepada beliau saw berikut Al-Quran yang diturunkan kepadanya. Hal itu
terus dilakukan oleh Rasulullah saw dan puncak dari aktivitas perjuangan
politis (كِفَاحٌ سِيَاسِيٌّ) tersebut adalah terjadinya
pe-ristiwa kesepakatan delegasi Madinah (perwakilan اَلأَوْسُ
وَالْخَزْرَجُ) untuk memenuhi seruan dan permin-taan beliau saw selama ini :
اِنَّا
قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلاَ قَوْمٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ
مَابَيْنَهُمْ فَعَسَى اللهُ اَنْ يَّجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ
فَنَدْعُوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ وَتَعْرُضُ عَلَيْهِمُ الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ
اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ (سِيْرَةُ اِبْنِ هِشَامٍ ص. 328-329)
Sungguh kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak satu
kaum pun yang memiliki permusuhan dan keburukan yang lebih besar dari mereka.
Oleh karena itu semoga Allah akan menyatukan mereka me-lalui dirimu lalu kita
akan mendatangi mereka lalu menyeru mereka kepada urusanmu dan kamu akan
menyampaikan kepada mereka perkara yang telah kami penuhi kepada mu dari agama
ini
Lalu, apakah yang dimaksudkan oleh mereka dengan pernyataan
الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ? Realitas yang
mereka maksudkan dapat dipahami dari ucapan As’ad bin Zararah yang saat itu
berkedudukan sebagai pimpinan suku Khazraj kepada Nabi Muhammad saw :
وَدَعَوْتَنَا
وَنَحْنُ جَمَاعَةٌ فِيْ دَارٍ عِزٌّ وَمَنْعَةٌ لاَيَطْمَعُ فِيْهَا اَحَدٌ اَنْ
يَّرَأَسَ عَلَيْنَا رَجُلٌ مِنْ غَيْرِنَا قَدْ اَفْرَدَهُ قَوْمُهُ وَاَسْلَمَهُ
اَعْمَامُهُ وَتِلْكَ رَتْبَةٌ صُعْبَةٌ فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ (دَلاَئِلُ
مِنَ النُّبُوَّةِ لأَبِيْ النُّعَيْمِ اَلأَصْبَهَانِيْ ص. 106)
Dan kamu telah menyeru kami sedangkan kami adalah komunitas
yang tengah hidup di suatu negara dalam keadaan mulia dan kuat. Tidak ada
seorang pun dalam komunitas itu yang akan suka orang da-ri selain kami memimpin
kami, hal itu karena kepemimpinan telah berlangsung hanya di tangan kaum-nya
dan itu telah diserahkan oleh leluhurnya (paman-pamannya). Tentu saja itu
adalah permintaan yang sangat sulit, namun kami telah memenuhi permintaanmu
tersebut.
Ucapan
فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ merupakan jawaban As’ad bin Zararah
seketika mendengar seruan Nabi Muham-mad saw, lalu karena dia mengaitkan
jawaban itu dengan realitas kesulitan yang harus mereka hadapi jika mereka
memenuhi permintaan Rasulullah saw tersebut dengan alasan selama ini kekuasaan
di suku Khazraj selalu dipegang oleh salah seorang dari kalangan mereka
sendiri, maka sangat jelas maksud dari الَّذِيْ
اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ atau فَأَجَبْنَاكَ
اِلَى ذَلِكَ, yakni kesediaan mereka (penduduk Madinah) untuk menyerahkan
kekuasaan kepada Rasulullah saw atau menjadikan beliau sebagai
pemimpin mereka sesuai dengan seruan beliau selama ini kepada mereka.
Peristiwa inilah yang menjadi pintu gerbang ba-gi terjadinya Bai’at Aqabah I
dan II yang keduanya merupakan bai’at pengangkatan (بَيْعَةُ
الإِنْعِقَادِ) yang diberikan oleh penduduk Madinah kepada Rasulullah saw
untuk menjadi penguasa mereka nanti sete-lah beliau diperintahkan hijrah oleh
Allah SWT.
Oleh karena itu, walaupun pelaksanaan haji selama 13 tahun
Rasulullah saw di Makkah alias se-lama zaman jahiliyah (pola kehidupan kufur)
adalah paganistik (akhirnya dilarang pada tahun ke-9 dari hijrah), namun karena
pada arena tersebut berhimpun banyak orang dari hampir seluruh qabilah yang ada
di Jazirah Arab, maka Allah SWT memerintahkan beliau saw untuk menjadikannya
sebagai objek dakwah Islamiyah terutama berkenaan dengan pengambilalihan
kekuasaan dari tangan kaum kufar be-rikut antek-antek mereka.
Realitas pelaksanaan Haji di zaman Islam
Kewajiban haji ditetapkan oleh Allah SWT pada tahun ke-6 dari
hijrah (عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ)
dengan tu-runnya pernyataan Allah SWT pada tahun tersebut :
وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (البقرة : 196)
Inilah yang
disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Kitab فَتْحُ
الْبَارِيِّ بِشَرْحِ صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ
:
وَفِيْ وَقْتِ اِبْتِدَاءِ
فَرْضِهِ فَقِيْلَ : قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَهُوَ شَاذٌّ , وَقِيْلَ بَعْدَهَا .
ثُمَّ اخْتَلَفَ فِيْ سَنَتِهِ فَالْجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّهَا سَنَةُ سِتٍّ
ِلأَنَّهَا نَزَلَ فِيْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى ( وَأَتِمُّوْا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ ِللهِ ) وَهَذَا يَنْبَنِيْ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِاْلإِتْمَامِ
اِبْتِدَاءُ الْفَرْضِ وَيُؤَيِّدُهُ قِرَاءَةَ عَلْقَمَةَ وَمَسْرُوْقٍ
وَإِبْرَاهِيْمَ النُّخَعِيِّ بِلَفْظٍ " وَأَقِيْمُوْا " أَخْرَجَهَ
الطَّبَرِيُّ بِأَسَانِيْدَ صَحِيْحَةٍ عَنْهُمْ
Dan tentang waktu permulaan ditetapkannya fardlu haji maka
dikatakan “sebelum hijrah dan itu ada-lah pendapat yang tidak
bertanggungjawab”, dan dikatakan “setelah hijrah”. Kemudian terjadi per-bedaan
pendapat tentang tahunnya, maka Jumhur berpendapat bahwa tahunnya adalah tahun
ke-6 (dari hijrah) karena di tahun tersebut turun pernyataan Allah SWT (وَأَتِمُّوْا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ ِللهِ) dan pendapat ini dibangun berdasarkan argumen bahwa yang
dimaksudkan dengan بِاْلإِتْمَامِ adalah awal penetapan fardlu haji dan Jumhur menguatkan
pendapat itu dengan qiraah ‘Alqamah, Masruq serta Ibrahim An-Nukha’iy dengan
lafadz " وَأَقِيْمُوْا ", Ath-Thabariy
mengeluarkan riwayat ini dengan sanad yang shahih dari mereka tersebut.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa kewajiban haji dalam Islam
sama sekali bukan “warisan atau sekedar melanjutkan syariah haji dari Nabi
Ibrahim dan Ismail”, melainkan ditetapkan berdasar-kan dalil-dalil yang ada
dalam Al-Quran dan As-Sunnah baik itu tentang ketetapan fardlunya maupun
tentang rincian prosesi manasiknya, antara lain :
وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (البقرة : 196)
وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا (آل عمران :
97)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ
فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى
قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا
تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ
وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah
berkata, Rasulullah saw menyampaikan khutbah kepada kami lalu beliau berkata :
wahai manusia, Allah telah memfardlukan haji kepada kalian maka laksanakanlah
haji itu. Kemudian seseorang bertanya : apakah setiap tahun wahai Rasulullah?
Maka beliau terdiam hingga orang terse-but mengatakannya sebanyak tiga kali.
Lalu Rasulullah saw berkata : andai aku menyatakan iya, maka pastilah itu
menjadi wajib dan pastilah kalian tidak akan mampu. Kemudian beliau berkata :
serah-kanlah kepadaku apa-apa yang aku biarkan bagimu, karena sesungguhnya
binasanya orang-orang se-belum kalian adalah akibat banyaknya pertanyaan mereka
dan sikap mereka yang menyalahi para Na-bi mereka. Oleh karena itu, jika aku
memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah perintah itu sekuat
kemampuan kalian dan jika aku melarang sesuatu atas kalian maka tinggalkanlah
larangan itu
عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمِي عَلَى رَاحِلَتِهِ
يَوْمَ النَّحْرِ يَقُولُ لَنَا خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي
لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ (رواه احمد)
Dari Ibnu Juraij
: telah mengabarkan kepada saya Abu Zubair bahwa dia telah mendengar Jabir
ber-kata : saya melihat Nabi saw tengah memanah di atas tunggangannya pada hari
Idul Adha lalu beliau berkata kepada kami : ambilah oleh kalian manasik kalian
ini karena sungguh aku tidak tahu apakah aku akan dapat melakukan haji lagi
setelah haji ku yang ini
Kepastian di masa kehidupan Islami yakni pada
saat kepemimpinan Rasulullah saw sebagai Ke-pala Negara Pertama Daulah Islamiyah
adalah pelaksanaan haji itu dikelola dan dikendalikan langsung oleh negara (اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
bahkan Rasulullah saw sendiri selalu bertindak selaku اَمِيْرُ الْحَجَّةِ
(Amir pe-laksanaan haji). Hal itu ditunjukkan oleh pelaksanaan haji untuk
pertama kalinya pasca hijrah ke Madi-nah, seperti dalam riwayat hadits berikut
:
عَنِ
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ قَالَا خَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ يُرِيدُ
زِيَارَةَ الْبَيْتِ لَا يُرِيدُ قِتَالًا وَسَاقَ مَعَهُ الْهَدْيَ سَبْعِينَ
بَدَنَةً وَكَانَ النَّاسُ سَبْعَ مِائَةِ رَجُلٍ فَكَانَتْ كُلُّ بَدَنَةٍ عَنْ
عَشَرَةٍ (رواه احمد مِنْ حَدِيْثِ عَهْدِ الْحُدَيْبِيَةِ)
Dari Miswar bin
Makhramah dan Marwan bin Hakam keduanya berkata : Rasulullah saw telah keluar
dari Madinah pada tahun Hudaibiyah untuk mengunjungi Ka’bah dan bukan untuk
perang, beliau juga membawa al-hadya sebanyak 70 badanah dan jumlah orang saat
itu adalah 700 orang pria sehingga setiap badanah mewakili 10 orang
اَلْبَدَنَةُ
= اَلْبَعِيْرُ
اَلْهَدْيُ
= مَا يُذَبِّحُهُ الْحَاجِ فِيْ حَجِّهِ نُسُكًا
Walaupun
saat itu Nabi Muhammad saw dan rombongan yang berjumlah 700 orang tersebut
batal me-laksanakan haji karena terjadi Perjanjian Hudaibiyah (عَهْدُ الْحُدَيْبِيَةِ) dengan Quraisy, namun justru
peris-tiwa tersebut memastikan bahwa pelaksanaan haji di masa kehidupan Islami
sepenuhnya dikelola dan dikendalikan langsung oleh Kepala Negara Islam yakni
oleh Rasulullah saw dan lalu Khulafa Rasyidun pasca beliau saw wafat. Hal itu
semakin dipastikan dengan dibawanya 70 ekor unta sebagai اَلْهَدْيُ ber-sama dengan
rombongan Rasulullah saw tersebut. Artinya, Kepala Negara tidak hanya bertindak
seba-gai اَمِيْرُ الْحَجَّةِ tapi juga bertanggungjawab penuh
dalam menyediakan seluruh akomodasi, logistik dan sebagainya yang memang
diwajibkan tersedia oleh pelaksanaan haji itu sendiri.
Hal lain yang ditunjukkan oleh rencana pelaksanaan haji pada tahun
Perjanjian Hudaibiyah ada-lah :
1.
rombongan harus diatur sedemikian rupa dari segi kualitas dan
kuantitasnya sehingga menunjukkan kekuatan sumber daya manusia (SDM) umat Islam
yang sangat dahsyat walau tidak bersenjata dan itu secara otomatis pasti akan
memunculkan ketakutan (اَلرُّعْبُ) pada pihak kaum kufar. Inilah yang melanda
pihak Quraisy ketika mereka mendengar dan menyaksikan pergerakan rombongan haji
Rasulullah saw yang berjumlah 700 orang dan ketakutan mereka itu akhirnya
mendorong mereka untuk melarang rombongan haji memasuki Makkah :
وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِعُسْفَانَ لَقِيَهُ بِشْرُ بْنُ
سُفْيَانَ الْكَعْبِيُّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ قُرَيْشٌ قَدْ
سَمِعَتْ بِمَسِيرِكَ فَخَرَجَتْ مَعَهَا الْعُوذُ الْمَطَافِيلُ قَدْ لَبِسُوا
جُلُودَ النُّمُورِ يُعَاهِدُونَ اللَّهَ أَنْ لَا تَدْخُلَهَا عَلَيْهِمْ
عَنْوَةً أَبَدًا وَهَذَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فِي خَيْلِهِمْ قَدِمُوا إِلَى
كُرَاعِ الْغَمِيمِ (رواه احمد مِنْ حَدِيْثِ عَهْدِ الْحُدَيْبِيَةِ)
Dan Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya hingga tiba di
‘Usfaan dan saat itu Bisyru bin Suf-yan Al-Ka’biyyu menemui beliau dan berkata
: wahai Rasulullah, Quraisy telah mendengar perja-lanan anda maka mereka pun
telah keluar dari Makkah dengan membawa serta para wanita dan anak-anak, mereka
pun telah mengenakan pakaian dari kulit harimau, mereka berjanji kepada Allah
bahwa anda tidak boleh memasuki Makkah dengan kekerasan selamanya dan ada juga
Kha-lid bin Walid dalam pasukan berkuda mereka yang telah sampai di peternakan
Al-Ghamim
2.
lebih utama (bukan dilarang) jika rombongan haji itu tidak
menyertakan para wanita, sehingga akan mempermudah dan meleluasakan pergerakan
selama perjalanan. Inilah yang ditunjukkan oleh reali-tas rombongan haji
Rasulullah saw : وَكَانَ النَّاسُ سَبْعَ مِائَةِ
رَجُلٍ (رواه احمد مِنْ حَدِيْثِ عَهْدِ الْحُدَيْبِيَةِ) (dan jum-lah orang saat itu adalah 700 orang pria).
Bentuk pelaksanaan haji lainnya di masa kehidupan Islami adalah
ditunjukkan saat Rasulullah saw dan kaum muslim melaksanakan haji wada’. Banyak
dalil yang menunjukkan realitas pelaksanaan haji wada’ (حَجَّةُ الْوَدَاعِ),
antara lain :
1.
Khalifah menyampaikan khutbah di tengah-tengah jamaah haji (بِمِنًى أَوْ بِعَرَفَاتٍ (رواه مسلم))
untuk memberikan panduan dan peringatan (اَلْوَعْظُ
وَالإِرْشَادُ) kepada mereka supaya
mereka tetap menyada-ri jatidirinya selaku umat Islam juga tentang hari-hari
yang dimuliakan oleh Islam sekaligus negeri-negeri Islam yang berada dalam
cakupan wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah dan seluruh negeri tersebut wajib
dipertahankan tetap berada dalam kekuasaan Khilafah. Inilah yang ditunjukkan
oleh pernyataan Rasulullah saw :
أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ
هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَقَالَ فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ
أَفَتَدْرُونَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ
بَلَدٌ حَرَامٌ أَفَتَدْرُونَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ قَالَ شَهْرٌ حَرَامٌ قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا (رواه البخاري)
2.
Khalifah mengingatkan umat Islam yang hadir dalam pelaksanaan haji
untuk tetap istiqamah dalam Islam serta tidak membiarkan diri mereka kembali
kepada kekufuran atau berada dalam sistema kufur. Rasulullah saw menyatakan :
أَلَا إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ
عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ
اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثًا وَيْلَكُمْ أَوْ وَيْحَكُمْ انْظُرُوا لَا تَرْجِعُوا
بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ (رواه البخاري)
3.
Khalifah mengingatkan umat Islam yang hadir dalam pelaksanaan haji
tentang kewajiban mereka untuk selalu taat kepada Khalifah selama dia
memberlakukan Islam dalam kehidupan dunia :
وَلَوْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا (رواه مسلم)
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ
فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا (رواه مسلم)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ (رواه الترمذي)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
مُجَدَّعٌ مَا أَقَامَ فِيكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
4.
Khalifah mengingatkan setiap muslim orang per orang tentang
kewajiban ‘aini masing-masing da-lam Islam dan itu harus dilakukan selama
mereka hidup di dunia. Rasulullah saw menyatakan :
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ
وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ (رواه الترمذي)
اعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَصَلُّوا
خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا
أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ (رواه احمد)
5.
Khalifah mengingatkan umat Islam untuk berusaha menjadi اَلْفَاقِهُ فِيْ الدِّيْنِ
dan bersikap ikhlas, mena-sihati penguasa (Khalifah) serta selalu menyatukan
diri dalam جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ. Rasulullah saw me-nyatakan فِي يَوْمِ عَرَفَةَ :
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
وَاللَّهِ لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا بِمَكَانِي
هَذَا فَرَحِمَ اللَّهُ مَنْ سَمِعَ مَقَالَتِي الْيَوْمَ فَوَعَاهَا فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ وَلَا فِقْهَ لَهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ
أَفْقَهُ مِنْهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ أَمْوَالَكُمْ وَدِمَاءَكُمْ حَرَامٌ
عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ هَذَا الْيَوْمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ فِي هَذَا الْبَلَدِ وَاعْلَمُوا
أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُغِلُّ عَلَى ثَلَاثٍ إِخْلَاصِ الْعَمَلِ لِلَّهِ
وَمُنَاصَحَةِ أُولِي الْأَمْرِ وَعَلَى لُزُومِ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ
دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الدارمي)
Demikianlah realitas (وَصْفُ الْوَاقِعِ)
pelaksanaan haji dalam kehidupan Islami baik saat masih di-pimpin oleh Nabi
Muhammad saw maupun tatkala telah beralih kepada barisan Khalifah terbaik yang
pernah ada yakni Khulafa Rasyidun. Pelaksanaan haji tersebut menunjukkan bahwa
seperti halnya khutbah pada saat shalat Jumat adalah وَصِيَّةُ التَّقْوَى اُسْبُوْعِيَّةً
(wasiat taqwa mingguan), maka khutbah di Mina atau Arafah saat
pelaksanaan haji adalah وَصِيَّةُ التَّقْوَى
سَنَوِيَّةً (wasiat taqwa
tahunan). Keseluruhan wasiat taqwa tersebut (harian, mingguan maupun
tahunan) ditujukan untuk menjaga dan memelihara kesadaran aqliy seluruh umat
Islam warga negara Khilafah Islamiyah sehingga mereka mampu mem-pertahankan
konsistensi sikap mereka dalam memenuhi tuntutan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa pelaksanaan haji saat ini
yang sudah berlangsung lebih dari satu abad (sejak Inggris berhasil memisahkan
Makkah dari Khilafah Islamiyah Utsmaniyah) ada-lah benar-benar menyimpang dari
realitas pelaksanaannya selama masa kehidupan Islami terutama pe-riode
kepemimpinan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Apalagi saat ini (terutama
yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia), pelaksanaan haji ditujukan untuk
melebur dosa, atau wisata spiritual, atau melepas kerinduan kepada Ka’bah, atau
dibarengi dengan tujuan untuk mencari jodoh, mencari kekua-saan/kedudukan
politik atau dalam rangka kepentingan naluriah manusiawi lainnya.
Pelaksanaan haji pun tidak perlu diperumit atau dipersulit
dengan mengimbuhkan berbagai kon-sepsi filosofis yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan realitas haji itu sendiri, seperti yang di-angan-angankan
oleh Mashudi Umar (Redaktur Majalah Risalah NU Jakarta) dalam tulisannya
(Repu-blika, Jumat 23 Oktober 2009, OPINI halaman 4) berjudul “Transformasi
Spiritual Ibadah Haji” : Seki-ranya kita masuk ke ruang interior ibadah
haji, sesungguhnyalah di balik ritual haji yang sarat per-lambang itu terdapat
pesan-pesan spiritual yang seyogianya direnungkan oleh seluruh jamaah haji.
Haji, menurut Ali Syariati, adalah drama kematian, sebuah teater perjalanan
kembali kepada Allah. Ibadah haji merupakan kumpulan simbol yang apabila
dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan
setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar. Begitu juga, ibadah
haji mestinya menjadi ‘seremoni kematian’ sejumlah sifat-sifat destruktif yang
menggum-pal padat pada diri seseorang prapenunaian ibadah haji. Tak pelak lagi,
dengan dasaran seperti itu, haji akan menjadi momentum paling tepat sebagai
palung transformasi spiritual menuju tercapainya kesadaran tertinggi.
Transformasi ini bisa terjadi hanya jika kita melakukan spiritualisasi manasik
haji secara totalistik dan mendalam. Harapannya, dengan mereguk
sebanyak-banyaknya air spirituali-tas ke dalam diri sendiri, kiranya ibadah
haji akan memberikan efek secara sosial di tengah masyara-kat.
Kapitalisme dan pelaksanaan Haji di masa kini
Umat Islam di dunia yang jumlahnya 1,57 miliar orang (23 persen
dari seluruh penduduk dunia yang 6,8 miliar orang), seluruhnya hidup dalam
wadah negara kebangsaan yang jumlahnya lebih dari 50 negara. Pola kehidupan
mereka di negara-negara kebangsaan tersebut adalah berbasis kekufuran
se-kularisme dengan sistem pemerintahan demokrasi dan sistem perekonomian
kapitalisme. Seluruh aspek dan sendi kehidupan termasuk posisi dan eksistensi
agama berikut pemberlakuannya dalam arena kehi-dupan di dunia, harus tunduk
kepada semua ketentuan yang ada dan telah digariskan oleh kedua siste-ma kufur
racikan tangan manusia tersebut.
Pelaksanaan haji setiap tahun yang selalu diikuti oleh minimal dua
juta orang umat Islam dari se-luruh pelosok dunia dan 207 ribu orang di
antaranya (kasus tahun 2009/1430 H) adalah berasal dari In-donesia, tentu saja
berlangsung dalam seluruh konsepsi dan instrumen perekonomian kapitalisme yang
berprinsip : the least the cost the highest the profit. Oleh karena itu,
sama sekali tidak mengejutkan jika efek (utama maupun sampingan) dari
pelaksanaan haji tersebut adalah :
1.
pemasukan devisa bagi Kerajaan Saudi Arabia (KSA) yang konon
kabarnya minimal 100 dolar Amerika Serikat (AS) untuk setiap orang umat Islam,
sehingga dengan dua juta orang umat Islam yang memasuki negara tersebut maka cash
money yang mengalir ke pundi-pundi kekayaan negara itu adalah 200 juta
dolar AS dan dengan kurs dolar Rp 9500 per dolar berarti Rp 1.900.000.000.000
alias 1,9 triliun rupiah.
2.
bermunculannya berbagai jenis industri jasa di KSA, seperti
catering, hotel, pemondokan, transpor-tasi dan lainnya yang berhubungan
langsung maupun tidak dengan kehadiran umat Islam di negara tersebut untuk
melaksanakan haji. Tentu saja maraknya industri jasa itu tidak hanya memberikan
keuntungan langsung bagi para pelakunya tapi juga semakin menderaskan aliran
devisa bagi negara kerajaan itu sendiri.
3.
pada kasus Indonesia, Departemen Agama (Depag) sendiri setiap
tahunnya “berwewenang” me-ngelola dana yang terkumpul dari 200-an ribu orang
umat Islam dalam bentuk BPIH plus biaya ad-ministrasi lainnya. Sebagai contoh
untuk tahun 2009 dengan jumlah umat Islam yang akan melak-sanakan haji sebanyak
207 ribu orang dan yang dikelola oleh Depag adalah 191 ribu orang (setelah
dikurangi oleh peserta BPIH khusus sebanyak 16 ribu orang) maka total aset yang
berada dalam genggaman Depag adalah Rp 6.252.330.000.000 + Rp 19.100.000.000 =
Rp 6.271.430.000.000. Ji-ka saja minimal satu persen adalah “hak” kas Depag
maka itu berarti dana umat Islam tahun 2009 yang masuk ke kas Depag adalah Rp
62.714.300.000.
4.
pada kasus Indonesia, bermunculannya biro penyelenggara perjalanan
haji BPIH khusus (misal Maktour, Vayatour dan sebagainya) maupun Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) memasti-kan betapa pelaksanaan haji telah
sepenuhnya menjadi lahan eksploitasi para kapitalis atau yang se-lama ini
mengusung kapitalisme. Artinya, para pelaku kedua industri jasa tersebut dibuat
menjadi kaya raya oleh umat Islam yang melaksanakan haji. Bahkan PT Garuda
Indonesia Airlines, satu-satunya BUMN penyedia moda angkutan udara yang diberi
hak monopolistik oleh Depag untuk mengangkut 59,7 persen dari total peserta
BPIH reguler (kasus tahun 2009 berhak mengangkut 114.094 orang dari 191 ribu
orang), tentu saja memperoleh bagian keuntungan dari “hajatan besar” pelaksanaan
haji tersebut, sesedikit apa pun bagian itu.
Itulah sekelumit efek langsung maupun tidak
langsung dari pelaksanaan haji setiap tahun di Dunia Is-lam termasuk Indonesia
yang sepenuhnya dikendalikan oleh sistem perekonomian kapitalistik. Realitas tersebut
menunjukkan bahwa pelaksanaan haji di masa kini (masa kapitalisme sekularistik)
jauh lebih mengerikan daripada di masa pra Islam. Lebih dari itu, pada
pelaksanaan haji masa kini sama sekali tidak ada kontribusinya bagi dakwah
Islamiyah karena :
a.
seluruh tempat penyelenggaraan manasik haji termasuk Mina dan
Arafah telah sepenuhnya dikua-sai oleh negara kebangsaan KSA yang tentu saja
selalu akan melarang keras bentuk penyelenggara-an haji seperti yang biasa
terjadi pada masa Rasulullah saw maupun Khulafa Rasyidun.
b.
seluruh umat Islam (minimal dua juta orang) yang hadir dalam
pelaksanaan haji saat ini sebagian sangat besarnya (mungkin 99 persen) adalah
sosok-sosok manusia yang pemikiran dan perasaannya telah 100 persen berbasis
sekularisme, sehingga mereka menempatkan Islam hanya sebagai agama
spiritualisme ritualisme dan sama sekali tidak mengenal Islam sebagai ideologi
kehidupan manusia di dunia.
Tentu saja kedua fakta tersebut (a dan
b) adalah sangat cocok satu sama lainnya untuk tidak memberi-kan kontribusi
apa pun bagi Islam ideologis. Tegasnya, andaikan pemerintah KSA tidak melarang
pe-nyelenggaraan haji seperti di masa Rasulullah saw maupun Khulafa Rasyidun,
namun tetap saja bentuk pelaksanaan seperti itu tidak akan pernah
terelaborasikan sebab justru akan ditentang oleh umat Islam sendiri yang hadir
dalam pelaksanaan haji tersebut. Oleh karena itu, pemerintah KSA nampak begitu
nyaman walaupun setiap tahun harus “dikerubuti” oleh dua juta umat Islam dari
seluruh dunia.
Khatimah
Realitas kehidupan umat Islam saat ini adalah 100 persen sama
dengan kehidupan umat Islam ke-tika Rasulullah saw masih berada di Negeri
Makkah, yakni berada dalam kehidupan berbasis kekufuran dan sama sekali bukan
Islam. Oleh karena itu, seharusnya dua jutaan umat Islam yang hadir dalam
pe-laksanaan haji melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Rasulullah
saw beserta para sa-habat beliau saat di Makkah, yakni menjadikan arena haji
tersebut untuk menyatukan kesadaran pemi-kiran dan perasaan mereka bahwa telah
terlalu lama kehidupan mereka di dunia tidak dalam wadah Is-lami : Khilafah
Islamiyah. Selanjutnya, mereka pun harus menyatukan kesepakatan untuk membai’at
seseorang dari kalangan umat Islam menjadi Khalifah yang dengan itu secara
otomatis Khilafah Islami-yah kembali tegak berdiri dalam arena kehidupan
manusia di dunia. Inilah yang wajib dilakukan oleh umat Islam dan harus menjadi
prioritas utama ketika mereka sama-sama hadir dalam pelaksanaan haji yakni saat
mereka berada di Arafah dan atau Mina. Apabila realitas pelaksanaan haji saat
ini seperti de-mikian, maka seluruh umat Islam (terutama pria yang masih kuat) wajib
selalu hadir setiap tahun dalam pelaksanaannya sesuai dengan kaidah :
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Namun
realitas pengandaian tersebut ternyata hingga saat ini belum pernah terjadi dan
yang selalu ter-jadi adalah justru sebaliknya yakni pelaksanaan haji telah
menjadi ajang dan wasilah untuk semakin kokoh dan mantapnya pemberlakuan
sistema kufur kapitalisme maupun demokrasi di Dunia Islam. Oleh karena itu,
pelaksanaan haji saat ini dipastikan telah menjadi wasilah untuk semakin
terjaganya kelestarian hegemoni kekufuran dan kaum kufar atas Islam dan Dunia
Islam, sehingga haram diseleng-garakan berdasarkan kaidah :
اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ
مُحَرَّمَةٌ
Hal itu bukan berarti haji tidak wajib dan menjadi
haram, bukan demikian, melainkan karena pe-laksanaan haji telah
menjadi wasilah bagi kelestarian
hegemoni kekufuran dan kaum kufar atas Is-lam dan Dunia Islam maka tentu saja realitas tersebut diharamkan oleh Islam
untuk terjadi dan Islam pun mengharamkan umat Islam untuk melakukan tindakan
apa pun sekecil dan seremeh apa pun yang diduga kuat (apalagi dipastikan) akan
mengantarkan kepada perkara yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw.
Allah SWT menyatakan :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Lampiran Aset BPIH di NKRI untuk tahun 2009 (1430 H)
Embarkasi
|
Biaya per orang
(dolar AS)
|
Jumlah
Jamaah (orang)
|
Biaya per orang
(rupiah)
|
Total aset
(triliun rupiah)
|
Aceh
|
3.243
|
3.647
|
32.754.300
|
1.12359E+11
|
Medan
|
3.333
|
8.108
|
33.663.300
|
2.56728E+11
|
Batam
|
3.376
|
9.855
|
34.097.600
|
3.16070E+11
|
Padang
|
3.329
|
7.378
|
33.622.900
|
2.33333E+11
|
Palembang
|
3.377
|
7.401
|
34.107.700
|
2.37435E+11
|
Jakarta
|
3.444
|
59.996
|
34.784.400
|
1.96295E+12
|
Solo
|
3.407
|
33.038
|
34.410.700
|
1.06932E+12
|
Surabaya
|
3.512
|
37.651
|
35.471.200
|
1.25619E+12
|
Banjarmasin
|
3.508
|
4.832
|
35.430.800
|
1.61031E+11
|
Balikpapan
|
3.544
|
5.327
|
35.794.400
|
1.79349E+11
|
Makassar
|
3.575
|
13.767
|
36.107.500
|
4.67562E+11
|
|
191.000
|
|
6.25233E+12
|
Jadi total aset yang dikelola oleh Depag
untuk BPIH tahun 2009 adalah Rp 6.252.330.000.000, lalu ditambah komponen
rupiah per orang (Rp 100.000 x 191.000) = Rp 19.100.000.000. Sehingga aset
seluruhnya adalah Rp 6.271.430.000.000. Jika saja minimal satu persen adalah
masuk ke kas Depag maka itu senilai Rp 62.714.300.000.
No comments:
Post a Comment