Kiprah para pembaru dan runtuhnya Khilafah Islamiyah
DR. Muhammad Harb dalam
bukunya yang berjudul مُذَكِّرَاتُ السُّلْطَانِ عَبْدِ الْحَمِيْدِ halaman 25-26
mengkisahkan : dalam persoalan اَلْجَامِعَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ, Abdul Hamid meminta bantuan kepada Jamaluddin Al-Afghaniy dan
Abdul Hamid mensifati Jamaluddin sebagai orang alim yang terkenal di Istana
Yal-diz. Istana Yaldiz adalah tempat tinggal Abdul Hamid. Sultan sangat serius
dalam melakukan pemba-hasan tentang bentuk penyatuan seluruh kaum muslim secara
politis untuk menghadapi ancaman dari Rusia maupun Inggris. Hal yang membuat
dia sangat kecewa dalam persoalan tersebut adalah tidak adanya saling
kesepahaman dengan Iran. Saat itulah Jamaluddin Al-Afghaniy menemuinya dan
mem-berikan harapan untuk mewujudkan kesepahaman yang sangat diidamkan tersebut
dan Sultan sangat puas dengan adanya kemungkinan kerjasama antara Syiah dengan
Ahlu Sunnah untuk menghadapi ke-kuatan di luar Islam (Rusia dan Barat), karena
Syiah menunjukkan niat yang baik dalam permasala-han itu. Sultan memandang
adanya faedah yang sangat besar dalam perkara tersebut, jika ucapan Ja-maluddin
memang benar. Jamaluddin Al-Afghaniy sendiri berhasil memuaskan sebagian
pejabat seni-or di Iran dan sebagian Ulamanya dengan pemikirannya tersebut dan
dia pun berhasil memperoleh janji Konsul Iran di Istambul untuk mencurahkan
seluruh upaya dalam mensukseskan proyek besar tersebut. Saat itu Abdul Hamid
benar-benar ridla kepada Jamaluddin Al-Afghaniy. Namun seiring de-ngan
berjalannya waktu, tiba-tiba saja interaksi keduanya berbalik arah dan itu kami
pahami dari ca-tatan harian Sultan Abdul Hamid tertanggal 18 Maret 1333
Rumiyah, beliau menyatakan : ‘aku dapati dalam rencana strategis yang dibuat di
Kementerian Luar Negeri Inggris seorang agen bernama Ja-maluddin Al-Afghaniy
dan Inggris pun menyebut nama lain yakni Blend, keduanya mengatakan dalam
rencana itu untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki dan keduanya memberi
saran kepada Ing-gris untuk menetapkan Syarif Husain (Amir Makkah) sebagai
Khalifah bagi kaum muslim. Aku sangat mengenal Jamaluddin Al-Afghaniy, dia saat
itu ada di Mesir dan dia adalah orang yang sangat berba-haya. Suatu saat dia
(sembari menyebut diri sebagai Al-Mahdiyah) memberi saran kepadaku untuk
memindahkan seluruh kaum muslim Asia Tengah. Aku tahu bahwa dia tidak akan
mampu melakukan hal itu dan dia adalah agen Inggris’.
Agus Widiarto (Direktur Center
for Indonesian Reform) dalam tulisannya berjudul ‘Gerakan Pembaruan Islam”
(Republika, 15 Maret 2009, OPINI) menyatakan : dalam konteks gerakan
pemurni-an Islam inilah, Wahabisme menempati posisi tersendiri dalam membangun
kesadaran ketauhidan umat abad ke-18. Gerakan inilah yang pertama kali
menghidupkan imbauan Ibnu Taimiyah untuk kem-bali kepada Alquran dan sunah
Nabi. Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd Wahhab ini menemukan ruang
hidupnya secara lebih riil ketika Ibnu Saud , salah seorang penguasa lokal di
Najd, menjalin kerja sama dengan kelompoknya. Ketika tahun 1925, seluruh
semenanjung Arabia jatuh ke tangan dinasti Saudiyah, ketika itu pula paham
Wahabi dijadikan doktrin resmi negara. Dalam konteks pemurnian ketauhidan,
Wahabi memang diposisikan sebagai gerakan yang pertama kali menghidup-kan
pemikiran Ibnu Taimiyah. Tetapi, gerakan Wahabi tidak melanjutkan dan
mewujudkan pemikiran Taimiyah lainnya, yaitu sisi ijtihadiyah. Padahal, tema
pokok pemikiran Ibnu Taimiyah tak hanya ber-henti pada puritanisme kembali
kepada ajaran tauhid, tetapi bergerak lebih maju kepada gerakan ijti-had, suatu
upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Inilah yang membedakan Wahabisme dengan
gerakan pembaruan Islam lain yang berbasis pada intelektualitas dan
rasionalitas akal plus wahyu ilahiyah, sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh
pembaru Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan
Farid Wajdi. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, diketahui berinteraksi
dengan ragam pemikiran pembaruan, seperti Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Wahabisme,
Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gagasan pembaruan pendidikan
Islam Dahlan adalah proses pencerahan dirinya terhadap gagasan-gagasan
Al-Afghani dan Abduh.
DR. Mouaffaq Bany
Al-Marjeh dalam bukunya yang berjudul صَحْوَةُ
الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ (The Awakening of the Sick Man) pada :
1.
halaman 102
mencantumkan foto asli dua pucuk surat permintaan dari Anna Blend (Anna
Balounet istri Komandan Intelejen Inggris Blend) Putri Inggris kepada teman
dekatnya Jamaluddin Al-Husa-iniy (Al-Afghaniy). Permintaan pertama (22 April
1885) berkenaan dengan penugasan Jamaluddin sebagai mediator untuk memadamkan
pemberontakan “Al-Mahdiyah” di Sudan dan permintaan ke-dua (15 Agustus 1885)
berkenaan dengan gerakan “Al-Mahdiyah” itu sendiri.
2.
halaman 342
mencantumkan foto asli dari piagam permohonan Al-Afghaniy untuk menjadi
anggo-ta Freemasonry (اَلْمَاسُوْنِيَّةُ) di Mesir dengan
tulisan tangannya sendiri dan ditandatanginya sendiri ju-ga. Dia menyebut
dirinya sebagai Jamaluddin Al-Kabliy. DR. Mahmud Qasim dalam kitabnya
“Jamaluddin Al-Afghaniy Kehidupannya dan Falsafahnya” (جَمَالُ الدِّيْنِ الأَفْغَانِيُّ حَيَاتُهُ وَفَلْسَفَتُهُ) menyata-kan :
اِنَّ الأَفْغَانِيَّ قَدْ
اَنْضَمَ اِلَى الْمَاسُوْنِيَّةِ عَامَ 1878 م, وَتَقَدَّمَ فِيْ مَرَاتِبِهَا
تَقَدُّمًا سَرِيْعًا وَجَعَلَ يَقْفَزُ هَذِهِ الْمَرَاتِبُ قَفْزًا لِجَوْدَةِ
اسْتِعْدَادِهِ حَتَّى اَصْبَحَ مِنَ الرُّؤُسَاءِ بَعْدَ وَقْتٍ قَصِيْرٍ
Bahwa Al-Afghaniy telah bergabung dengan Freemasonry pada
tahun 1878 M dan dia mengalami kemajuan yang sangat cepat dalam kedudukannya
lalu dia pun menjadikan kemajuan kedudukan tersebut sedemikian rupa untuk
secara serius mempersiapkan dirinya sehingga menjadi pimpinan dalam waktu yang
sangat singkat
3.
halaman 342 dinyatakan
bahwa Al-Afghaniy adalah yang pertama kalinya menyebarluaskan kon-sep Sosialisme
Islam (اِشْتِرَاكِيَّةُ الإِسْلاَمِ) dan dia
membandingkan antara konsepnya tersebut dengan konsep Sosialisme Barat (اِشْتِرَاكِيَّةُ الْغَرْبِ). Dia berkata : menurut saya tidak
ada larangan melakukan اَلسُّفُوْرُ (pariwisata) jika
tidak mengantarkan kepada اَلْفُجُوْرُ. Dia pun
menyerukan melakukan ta’wil jika nash-nash agama (الَنُّصُوْصُ الدِّيْنِيَّةُ) ternyata menyalahi sebagian
kebenaran ilmiah (اَلْحَقَائِقُ الْعِلْمِيَّةُ). Pada koran اَلْعُرْوَةُ
الْوُثْقَى dalam makalah yang dimuat di surat kabar tersebut (edisi ke-9)
dengan judul اَلْوِحْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ dia menjelaskan
bahwa yang dia maksudkan adalah bukan berarti harus ada satu ne-gara (دَوْلَةٌ وَاحِدَةٌ) dan satu sultan (سُلْطَانٌ وَاحِدٌ) bagi seluruh kaum muslim yang akan
mempersatukan mereka, melainkan biarkanlah setiap raja berkuasa dalam
kerajaannya masing-masing. Lalu dalam ungkapan dia lainnya menyatakan : bahwa
اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى bekerja untuk
seluruh orang timur dan bu-kan hanya bagi kaum muslim.
4.
halaman 343
mencantumkan foto asli dari piagam pengangkatan Jamaluddin sebagai pimpinan
Freemasonry Kairo Mesir dengan gelar “Bintang Timur” (كَوْكَبُ الشَّرْقِ).
5.
halaman 343 catatan
kaki nomor 1, dinyatakan bahwa Al-Afghaniy sering sekali menyuarakan
pro-paganda Freemasonry tentang bersatunya tiga agama langit di bawah naungan
slogan “kesamaan, persaudaraan dan keadilan” (اَلْمُسَاوَاةُ
وَالأَخَاءُ وَالْعَدَالَةُ).
6.
halaman 343
menyampaikan tanggapan dari DR. Muhammad Muhammad Husain terhadap berba-gai
piagam dan surat yang berhubungan dengan Jamaluddin Al-Afghaniy yaitu :
a.
surat-surat tersebut
memastikan bahwa Jamaluddin Al-Afghaniy sama sekali tidak ada hubu-ngannya
dengan negeri Afghanistan dan dia pun tidak dibesarkan di sana serta tidak ada
kaitan-nya dengan gelar Yang Mulia (اَلشَّرِيْفُ) yang dia
lekatkan pada dirinya.
b.
surat-surat tersebut
menjelaskan hubungan dirinya yang sangat misterius dengan negara-negara besar
asing saat itu yakni Kekaisaran Rusia, Inggris dan Perancis.
c.
surat-surat tersebut
mengungkapkan hubungan dirinya dengan pemberontakan bangsa Arab dan
pemberontakan Al-Mahdiyah serta kedudukannya di mata Inggris.
d.
surat-surat tersebut
menegaskan keanggotaan dirinya dalam Freemasonry berikut pengangka-tannya
sebagai pimpinan perwakilan Freemasonry yang baru, seperti halnya dia pun telah
men-dirikan organisasi اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى di Paris atas
persetujuan sejumlah Perwakilan Freemasonry terse-but sekaligus menerbitkan
koran dengan nama yang sama : اَلْعُرْوَةُ
الْوُثْقَى.
Koran
اَلْقَبْسُ الْكُوَيْتِيَّةُ edisi Muharram 1401 H/November 1980 M
memuat pengakuan Kerajaan Ing-gris bahwa mereka telah berhasil meruntuhkan
Khilafah Islamiyah Utsmaniyah seperti yang dinyatakan oleh Alex Douglas Hyome
(Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Inggris era akhir 70-an) :
اِنَّ بَرِيْطَانِيَا كَانَ لَهَا
الدَّوْرُ الْفَعَّالُ فِيْ اِسْقَاطِ الْخِلاَفَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
الْعُثْمَانِيَّةِ بِمُسَاعِدَةِ الشَّرِيْفِ حُسَيْنٍ وَقَالَ لَوْ لاَ
مُسَاعِدَةُ بَرِيْطَانِيَا لَمَا سَقَطَتِ الْخِلاَفَةُ
Bahwa Inggris memiliki peran menentukan dalam peruntuhan
Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dengan bantuan Syarif Husain. Lalu dia (Alex)
menyatakan : seandainya tidak ada campur tangan Inggris pastilah Khilafah tidak
akan runtuh.
Demikianlah sekelumit
kecil realitas kiprah besar manusia-manusia yang diposisikan sebagai pa-ra
pembaru (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) oleh umat Islam
saat ini : Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin
Al-Afghaniy, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Walau memang Ibnu Taimi-yah
(1263-1328 M, hidup pada masa Khilafah Mamalik yang berpusat di Kairo) dan
Al-Ghazaly tidak terbukti berperan langsung dalam proses panjang menuju
runtuhnya Khilafah Islamiyah, namun kedua tokoh ini secara tidak langsung telah
ikut serta dalam proses tersebut dengan memalingkan perhatian maupun pemikiran
umat Islam kepada perkara-perkara yang merupakan akibat dari suatu sebab. Aksi
bid’ah, khurafat, takhayyul dan sejenisnya yang tumbuh subur serta merajalela
pada masa keduanya adalah realitas yang muncul di tengah kehidupan umat Islam
akibat rendahnya atau bahkan tidak ada-nya keseriusan para Khalifah untuk
mencegah maupun memberantas praktik-praktik tersebut. Oleh ka-rena itu yang
wajib dilakukan oleh Ibnu Taimiyah maupun Al-Ghazaly saat itu tentu saja bukan
“habis-habisan” menggempur sikap bid’ah, khurafat, takhayyul dan sejenisnya
tersebut, melainkan terus me-nerus melakukan muhasabah kepada Khalifah untuk
menyadarkannya supaya segera mengembalikan perjalanan Khilafah Islamiyah
seperti yang telah berlangsung pada masa Khulafa Rasyidun. Apa pun alasannya,
inilah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap keduanya sehingga secara
mendasar telah menanamkan investasi “mematikan” yang pada gilirannya modal
tersebut benar-benar membuat Khila-fah Islamiyah sangat mudah untuk dihancurkan
oleh musuh-musuh Islam terutama Inggris.
Pan
Islamisme (اَلْوِحْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang menjadi
gagasan pokok dari Jamaluddin Al-Afghaniy ternya-ta bertentangan dengan konsep
Khilafah Islamiyah dalam Islam yang saat itu tengah dikendalikan dan dikelola
oleh Sultan Abdul Hamid II dari Utsmaniyah. Khilafah Islamiyah adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ
لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ
الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ
عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
Kepemimpinan
bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami
ser-ta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu
tiada lain adalah Imamah
Realitas
Khilafah itulah yang tengah diberlakukan oleh Sultan Abdul Hamid, walaupun
harus diakui tidak 100 persen utuh sebab ada bagian yang sangat salah dalam
pemberlakuannya yakni hingga masa tersebut masih diterapkan tradisi pewarisan
kekuasaan alias ada kedudukan Putera Mahkota (وِلاَيَةُ الْعَهْدِ). Sultan pun harus memikul beban utang
luar negeri Khilafah (kepada Inggris dan Perancis) sebesar 252 juta lirah emas
(tahun 1881 M) yang merupakan warisan dari dua orang penguasa sebelumnya yakni
Abdul Majid (ayah dari Abdul Hamid sendiri) dan Abdul Aziz (paman dari Abdul
Hamid). Memang selama pemerintahan Abdul Hamid II jumlah utang luar negeri yang
sangat besar itu (bahkan hampir 300 juta lirah) dapat diturunkan hingga tinggal
30 juta lirah saja (90 persen telah dapat dibayar). Na-mun demikian tetap saja
tindakan Khalifah berutang kepada negara kufur apalagi yang berstatus adida-ya
(Inggris dan Perancis) adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam sebab
dipastikan akan menjadi jalan dan kesempatan bagi mereka untuk menguasai dan
mengendalikan umat Islam berikut negara me-reka (Khilafah Islamiyah). Inilah
yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ
لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا (النساء : 141)
Dan Allah tidak akan pernah menjadikan kesempatan sekecil
apa pun kepada kaum kufar untuk me-nguasai kaum mukmin
Hanya saja walau dengan adanya berbagai pelanggaran
terhadap ketentuan Islam tersebut, Sultan Ab-dul Hamid masih istiqamah dalam
menyelenggarakan pemerintahan maupun kekuasaan dalam Khila-fah yang dipimpinnya
menurut ketentuan Islam. Sementara itu, konsep Pan Islamisme yang digagas oleh
Jamaluddin Al-Afghaniy bukan hanya salah secara mendasar melainkan juga sama
sekali bukan digali dari pemikiran Islami. Dia menjelaskan maksudnya sehubungan
dengan gagasan tersebut :
اَنَّهُ لَمْ يَرِدْ اَنْ
يَّكُوْنَ لِلْمُسلِمِيْنَ دَوْلَةٌ وَاحِدَةٌ اَوْ سُلْطَانٌ وَاحِدٌ
يَجْمَعُهُمْ وَكُلُّ ذِيْ مَلِكٍ عَلَى مُلْكِهِ
Bahwa yang dimaksudkan bukanlah berarti harus ada satu
negara atau satu sultan bagi kaum muslim yang akan mempersatukan mereka,
melainkan setiap raja tetap berkuasa di kerajaannya masing-masing.
Konsep
tersebut tidak dia biarkan hanya sebagai gagasan tetapi dia sendiri benar-benar
mengelaborasi-kannya secara langsung dan itu terbukti dengan kesediaan dirinya
diangkat menjadi Raja di Sudan oleh Kerajaan Inggris melalui surat pengangkatan
yang dikirimkan oleh Anna Balounet.
Langkah berikut yang
ditempuh oleh Al-Afghaniy adalah pemantapan wilayah Jazirah Arab se-bagai
terpisah (اَلإِسْتِقْلاَلُ) dari Khilafah
Utsmaniyah dengan mengusulkan kepada Inggris supaya Amir Makkah saat itu yakni
Syarif Husain segera dikukuhkan menjadi Khalifah bagi kaum muslim. Langkah ini
erat kaitannya dengan semakin kuatnya keinginan untuk mendirikan Khilafah
Arabiyah sebagai pengganti Khilafah Islamiyah (Utsmaniyah) di Turki. Langkah
Al-Afghaniy ini akhirnya diketahui oleh Sultan Abdul Hamid II seperti yang
beliau tulis dalam catatan hariannya : ‘aku dapati dalam rencana strategis
yang dibuat di Kementerian Luar Negeri Inggris seorang agen bernama Jamaluddin
Al-Afghaniy dan Inggris pun menyebut nama lain yakni Blend, keduanya mengatakan
dalam rencana itu untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki dan keduanya
memberi saran kepada Inggris untuk me-netapkan Syarif Husain (Amir Makkah)
sebagai Khalifah bagi kaum muslim.
Rencana strategis tersebut
adalah Piagam Britania (اَلْوَثِيْقَةُ
الْبَرِيْطَانِيَّةُ) yang di dalamnya memuat ribu-an klausul (رَقْمٌ) dan nomor klausul yang berhubungan dengan pendirian Khilafah
Arabiyah adalah no-mor 2479 hingga nomor 2486 tertanggal mulai 14 April 1915
hingga 24 Juni 1915. Keseluruhannya merupakan tanggapan Inggris terhadap usulan
Jamaluddin Al-Afghaniy dan Komandan Blend untuk mengangkat Syarif Husein (Amir
Makkah menurut Khilafah Utsmaniyah) sebagai Khalifah untuk Khi-lafah yang baru
: Khilafah Arabiyah. Langkah ini dapat dikatakan sebagai tahapan puncak
dari jalan menuju ke arah (road to) diruntuhkannya Khilafah Islamiyah
secara total dan permanen (sembilan ta-hun sebelum Khilafah Islamiyah
Utsmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924).
Muhammad Abduh (lahir
tahun 1849 M) mengalami dua fase pemikiran dan sikap dalam hidup-nya, yakni :
1.
fase benar yang dibuktikan dengan ucapannya berkenaan dengan Khilafah
Islamiyah :
اِنَّ مَنْ
لَهُ قَلْبٌ مِنْ اَهْلِ الدِّيْنِ الإِسْلاَمِيِّ يَرَى اَنَّ الْمُحَافَظَةَ
عَلَى الدَّوْلَةِ الْعُثْمَانِيَّةِ ثَالِثَةُ الْعَقَائِدِ بَعْدَ الإِيْمَانِ
بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ فَإِنَّهَا وَحْدَهَا الْحَافِظَةُ لِسُلْطَانِ الدِّيْنِ
الْكَافِلَةِ لِبَقَاءِ حَوْزَتِهِ وَلَيْسَ لِلدِّيْنِ سُلْطَانٌ فِيْ سِوَاهَا
وَاِنَّا وَالْحَمْدُ ِللهِ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيْدَةِ عَلَيْهَا نَحْيَا
وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ
Bahwa siapa pun yang memiliki aqal dari pemeluk agama Islam
pasti akan berpendapat bahwa penjagaan terhadap Daulah Utsmaniyah adalah aqidah
yang ketiga setelah iman kepada Allah dan Rasul Nya. Hal itu karena Daulah itu
adalah satu-satunya penjaga bagi kekuasaan agama yang sangat handal untuk
mempertahankan kepentingan-kepentingan agama dan tidak ada kekuasaan bagi agama
pada selain Daulah. Dan kami وَالْحَمْدُ
ِللهِ benar-benar berada di atas asas aqidah tersebut, kami hidup
berasas kepadanya dan dengan asas itu juga kami akan mati.
Bahkan pada tahun ke-6 keberadaan Majalah Al-Manar, ketika
sang murid (Rasyid Ridla) mulai menyebarluaskan artikel tentang kekayaan Daulah
Utsmaniyah (keuangan dan kebutuhan) dalam majalah tersebut, maka Muhammad Abduh
menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu yakni me-larang sang murid memuat
penjelasan tentang politik pemerintahan maupun penguasa Utsmaniyah dengan pertimbangan
supaya tidak menghalangi umat Islam dalam berkhidmat kepada agama dan ilmu.
2.
fase salah, diketahui secara meluas bahwa sikap Muhammad Abduh maupun
Rasyid Ridla terha-dap Daulah Utsmaniyah mengalami perubahan mendasar ketika
fanatisme bangsa Turki mulai nampak jelas dalam berbagai propaganda Thuraniyah.
Muhammad Abdul menyatakan :
اِنَّ الدِّيْنَ لَمْ يُعَلِّمِ
الْمُسْلِمِيْنَ التِّجَارَةَ وَلاَ الصِّنَاعَةَ وَلاَ تَفْصِيْلَ سِيَاسَةِ
الْمُلْكِ وَلاَ طُرُقَ الْمَعِيْشَةِ فِيْ الْبَيْتِ وَلَكِنَّهُ اَوْجَبَ
عَلَيْهِمُ السَّعْيَ اِلَى مَا يُقِيْمُوْنَ بِهِ حَيَاتَهُمُ الشَّخْصِيَّةَ
وَالإِجْتِمَاعِيَّةَ وَاَوْجَبَ عَلَيْهِمْ اَنْ يُّحْسِنُوْا فِيْهِ وَاَبَاحَ
الْمُلْكَ وَفَرَضَ عَلَيْهِمْ اَنْ يُّحْسِنُوْا الْمَمْلَكَةَ وَكُلَّ مَا
يُمْكِنُ لِلإِنْسَانِ اَنْ يَّصِلَ اِلَيْهِ بِنَفْسِهِ لاَ يُطَالِبُ
الأَنْبِيَاءَ بِبَيَانِهِ
Bahwa agama tidak mengajarkan kepada kaum muslim tentang
perdagangan, industri maupun ten-tang rincian politik kerajaan dan juga tidak
tentang metode kehidupan di rumah, melainkan mewa-jibkan mereka untuk
bersungguh-sungguh kepada perkara yang akan mereka pergunakan dalam kehidupan
mereka baik secara pribadi maupun sosial dan mewajibkan mereka untuk selalu
mem-baguskan keseriusan mereka itu. Agama membolehkan adanya kerajaan dan mewajibkan
kepada mereka untuk membaguskan kerajaan berikut segala hal yang memungkinkan
manusia untuk men-capainya sendiri. Agama pun tidak menuntut para Nabi untuk
menjelaskannya.
Kemudian berkenaan dengan realitas pemerintahan pada masa
Nabi Muhammad saw, dia menyata-kan :
اِنَّ
الْحُكُوْمَةَ النَّبَوِيَّةَ كَانَ فِيْهَا بَعْضَ مَا يُشَبِّهُ اَنْ يَّكُوْنَ
مِنْ مَظَاهِرِ الْحُكُوْمَةِ السِّيَاسِيَّةِ وَاَثَارِ السُّلْطَانِ وَالْمُلْكِ
... وَاَنَّ اَوَّلَ مَا يُخْطِرُ مِنْ اَمْثِلَةِ الشُّؤُوْنِ الْمُلْكِيَّةِ
الَّتِيْ ظَهَرَتْ اَيَّامَ النَّبِيِّ مَسْأَلَةُ الْجِهَادِ ... وَظَاهِرٌ اَوَّلُ وَهْلَةٍ اَنَّ
الْجِهَادَ لاَ يَكُوْنُ لِمُجَرَّدِ الدَّعْوَةِ اِلَى الدِّيْنِ وَلاَ لِحَمْلِ
النَّاسِ عَلَى الإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاِنَّمَا يَكُوْنُ الْجِهَادُ
لِتَثْبِيْتِ السُّلْطَانِ وَتَوْسِيْعِ الْمُلْكِ
Bahwa pemerintahan pada masa Nabi ada di dalamnya sebagian
yang menyerupai penampakkan pemerintahan politis dan pola kekuasaan maupun
kerajaan … dan bahwa yang pertama kali mem-bahayakan dari persoalan kerajaan
tersebut yang telah nampak sejak masa Nabi adalah masalah jihad … nampak sekali
sejak awal bahwa jihad bukan sekedar untuk dakwah kepada agama dan bukan pula
untuk menggiring manusia kepada iman kepada Allah dan Rasul Nya melainkan jihad
itu semata hanyalah untuk mengokohkan kekuasaan dan menyebarluaskan kerajaan
Adalah sangat mungkin perubahan pemikiran dan sikap
Muhammad Abduh (maupun Rasyid Ridla) terhadap posisi dan eksistensi Khilafah
Islamiyah itu terjadi sejak dia bertemu dan kemudian berin-teraksi secara
intensif dengan Jamaluddin Al-Afghaniy. Fakta itulah yang diungkap oleh Maryam
Jameelah (Margaret Marcus, ketika masih seorang Yahudi) dalam bukunya yang
berjudul “Islam and Modernism” : hampir saja ia (Muhammad Abduh) kehilangan
semangat hidup, tetapi tiba-tiba kemudian bertemu dengan Jamaluddin
Al-Afghaniy, seorang berpribadi dinamis dan semangat, menggairahkan kembali
inspirasi Abduh untuk bangkit dan segera keluar dari apatisme untuk membangun
kembali kejayaan Islam. Tetapi berbeda dengan Jamaluddin Al-Afghaniy, Abduh
nampaknya yakin bahwa usaha itu lebih tepat melalui pendidikan daripada
revolusi politik. Pada tanggal 3 Juni 1899 dengan dukungan Inggris, Muhammad
Abduh diangkat sebagai Mufti Mesir. Karena kedudukan itu, fatwa-fatwanya tentang
berbagai masalah dianggap punya otoritas. Ia te-rus memegang jabatan itu hingga
wafat. Akibat kerjasama Abduh dengan tujuan-tujuan imperialis-me Inggris dan
usaha memadukan Islam dengan kehidupan moderen, ternyata mendatangkan
ma-lapetaka yang tidak kecil. Ia membuka lebar-lebar pintu pembaratan
(westernisasi) bagi generasi sesudahnya : Qasim Amin, Ali Abdurraziq, Muhammad
Kurdi Ali dan DR. Thaha Husain, yang telah membawa aliran-aliran liberal untuk
mendukung logika-logika mereka.
Lebih dari itu, semua kalangan juga sangat mengetahui bahwa
hubungan “guru-murid” antara Ja-maluddin Al-Afghaniy dengan Muhammad Abduh
adalah sangat masif dan intensif, sehingga hu-bungan tersebut diibaratkan
dengan ungkapan اَلشَّيْخُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ
خَلِيْفَةُ الأَفْغَانِيِّ فِيْ مِصْرَ (Syaikh Muham-mad Abduh adalah
Khalifah Al-Afghaniy di Mesir : DR. Mouaffaq Bany Al-Marjeh dalam bukunya
yang berjudul صَحْوَةُ الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ halaman 353).
Muhammad
bin Abdil Wahhab Al-Hambaliy (berikut Wahabismenya) tidak dapat dipisahkan
de-ngan Kerajaan Saudi Arabia (اَلْمَمْلَكَةُ
الْعَرَبِيَّةُ السَّعُوْدِيَّةُ), sejak negara “para bandit padang
pasir Jazirah Arab” itu didirikan oleh Abdul Aziz Alu Sa’ud (عَبْدُ الْعَزِيْزِ آلُ سَعُوْدٍ) hingga sekarang. Paham Wahabisme
tersebut oleh para raja negara tersebut selalu dijadikan sebagai “agama resmi”
negara dan itu terjadi sejak tahun 1925 yakni setahun setelah Khilafah
Islamiyah Utsmaniyah diruntuhkan. Hal itu dipastikan dengan selalu diangkatnya
“hanya” dari kalangan mereka sebagai Mufti Besar Kerajaan hingga seka-rang
(awal abad ke-21). Artinya kerjasama antara para penguasa Keluarga As-Sa’ud
dengan Keluarga Besar Wahhabiy telah berlangsung hampir dua abad dalam : (a)
ikut berperan aktif untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dari arah Jazirah Arab
atas nama Kerajaan Inggris dan (b) ikut mengokohkan keku-furan (demokrasi dan
kapitalisme) sekaligus menghalangi setiap kesadaran umat Islam untuk kembali
kepada kehidupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah. DR. Mouaffaq Bany
Al-Marjeh (halaman 354 dari صَحْوَةُ
الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ) menyatakan :
كَمَا حَاوَلَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ
آلُ سَعُوْدٍ اَنْ يُّوَفِّقَ بِقَدَرِ مَا يَسْتَطِيْعُ بَيْنَ عَلاَقَاتِهِ مَعَ
بَرِيْطَانِيَا وَبَيْنَ فِكْرَةِ الْجَامِعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الَّتِيْ كَانَتْ
تَقْتَضِيْ مِنْهُ الْوُقُوْفَ ضِدَّ الإِسْتِعْمَارِ الْبَرِيْطَانِيِّ فِيْ
بَعْضِ الْجِهَاتِ الْخَاصَّةِ وَلاَ سِيَمَا فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِفَلِسْطِيْنَ
Seperti halnya Abdul Aziz Alu Sa’ud telah berusaha untuk
melakukan kompromi sekuat kemampuan dia antara hubungan dirinya dengan Britania
dengan pemikiran Al-Jami’ah Al-Islamiyah yang meng-haruskan dia berdiri
menentang penjajahan Birtania di sebagian wilayah tertentu terutama yang
ber-kaitan dengan Palestina.
Jadi sangat nampak simbiosa mutualistis antara اَلْمَمْلَكَةُ الْعَرَبِيَّةُ السَّعُوْدِيَّةُ dengan اَلْوَهَّابِيَّةُ, seperti yang diakui oleh Agus
Widiarto : Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd Wahhab ini
menemukan ru-ang hidupnya secara lebih riil ketika Ibnu Saud , salah seorang
penguasa lokal di Najd, menjalin kerja sama dengan kelompoknya. Ketika tahun
1925, seluruh semenanjung Arabia jatuh ke tangan dinasti Saudiyah, ketika itu
pula paham Wahabi dijadikan doktrin resmi negara.
Satu
orang tokoh lagi yang sangat keras serangannya terhadap Khilafah Islamiyah
Utsmaniyah dan dia dijadikan sosok idola sekaligus rujukan oleh sebagian umat
Islam di Indonesia, terutama Mu-hammadiyah yakni اَلشَّيْخُ
مُحَمَّدٌ مُصْطَفَى اَلْمَرَاغِيِّ (Syaikh Muhammad Mushthafa
Al-Maraghiy). Dia adalah seorang pimpinan para Qadli di Negara Sudan (قَاضِيْ قُضَاةِ السُّوْدَانِ) dan juga pernah menjadi Syaikh
Al-Azhar (شَيْخُ الأَزْهَرِ). Dia menyatakan
pemikirannya seputar Khilafah Islamiyah secara umum dan Khila-fah Utsmaniyah
secara khusus yang tercantum dalam Piagam Britania (اَلْوَثِيْقَةُ
الْبَرِيْطَانِيَّةُ) nomor 2486 :
نَسْتَطِيْعُ الآنَ اَنْ نَّقُوْلَ
بِاَنَّ مَوْقِفَ الْخِلاَفَةِ الْفِعْلِيِّ يَبْدُوْ غَرِيْبًا. فَالْمَعْرُوْفُ
اَنَّ الْخِلاَفَةَ مِنْ حَقِّ قَبِيْلَةِ النَّبِيِّ وَهِيَ قُرَيْشٌ وَوَاضِحٌ
اَنَّ سَلاَطِيْنَ تُرْكِيَا لاَ يَدْعُوْنَ هَذَا الشَّرْفَ وَلَكِنَّهُمْ مَعَ
ذَلِكَ يَسُوْقُوْنَ ثَلاَثَةَ اَسْبَابٍ لِتَمَسُّكِهِمْ بِهَذَا الْمَنْصِبِ :
اَوَّلاً
: ِلأَنَّهُمْ حَصَلُوْا عَلَى هَذَا اللَّقَبِ مِنْ آخِرِ خَلِيْفَةِ عَبَّاسِيٍّ
كَانَ فِيْ الْقَاهِرَةِ سَنَةَ 1517.
ثَانِيًا
: ِلأَنَّهُمْ حَمَّاةٌ لِمَخْلَفَاتِ النَّبِيِّ مِثْلَ عَبَاءَتِهِ وَبَعْضِ
شَعَرَاتِ لِحْيَتِهِ.
ثَالِثًا
: ِلأَنَّ سُلْطَانَ تُرْكِيَا هُوَ حَاكِمٌ وَحَامِيُّ الأَمَاكِنِ
الْمُقَدَّسَةِ الْمُعْتَرَفِ بِهِ مِنَ الْجَمِيْعِ. وَيُمْكِنُ اِضَافَةُ سَبَبٍ
رَابِعٍ وَهُوَ اَنَّ سُلْطَانَ تُرْكِيَا يُعْتَبَرُ اَكْبَرَ شَخْصِيَّةٍ مِنْ
بَيْنِ الأَحْيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Sekarang, kami
dapat katakan bahwa posisi Khilafah secara praktis masih tetap sangat asing.
Diketa-hui dengan pasti bahwa Khilafah adalah haq qabilahnya Nabi yaitu Quraisy
dan sangat jelas bahwa para sultan Turki tidak pantas menyandang kemuliaan
tersebut. Namun demikian, mereka mengang-gap pantas untuk melekatkan kedudukan
tersebut pada diri mereka berdasarkan tiga alasan :
pertama :karena mereka berhasil meraih gelar tersebut dari
Khalifah Abbasiy terakhir yang ada di Kairo tahun 1517
kedua : karena mereka adalah
para pemelihara peninggalan-peninggalan Nabi seperti kantong bertali panjang
beliau dan sebagian rambut dari janggut beliau
ketiga : karena sultan Turki adalah penguasa dan penjaga
tempat-tempat suci yang telah dikenal oleh orang banyak. Mungkin juga menambahkan
sebab yang keempat yaitu bahwa sultan Turki di-anggap sebagai pribadi yang
paling agung di antara kaum muslim yang masih hidup
Demikianlah
sejumlah sosok muslim yang dianggap atau diposisikan oleh sebagian besar umat
Islam sebagai figur-figur pelaku pembaruan (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) pada masanya
masing-masing. Seharusnya rea-litas yang melekat pada istilah اَلْمُجَدِّدُوْنَ adalah seperti yang ditunjukkan oleh
pernyataan Rasulullah saw :
جَدِّدُوا
إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ
أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه احمد)
Barukanlah selalu iman kalian! Dikatakan : wahai
Rasulullah, bagaimana kami membarukan iman ka-mi? Beliau menjawab :
perbanyaklah oleh kalian ucapan لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
Iman kepada Allah SWT bermakna iman kepada realitas posisi
Allah SWT yang terkandung dalam lafadz لَا
إِلَهَ
yakni : (a) لاَ خَالِقَ, (b) لاَ مَعْبُوْدَ dan (c) لاَ
مُشَرِّعَ. Oleh karena itu, ketika seseorang telah sampai kepada iman
melalui pembuktian aqalnya, maka ketiga realitas tersebut harus dibuktikan oleh
dirinya melalui sikap yakni taat sepenuhnya kepada Allah SWT. Lalu karena
manusia itu ditaqdirkan memiliki kecenderungan naluriah yang memastikan
kepentingan dirinya dan tidak jarang kepentingan naluriah tersebut hampir saja
atau bahkan memang mengeliminir iman kepada Allah SWT, maka metode Islami untuk
mengembalikan posisi kepentingan naluriah tersebut pada posisi seharusnya
(yakni tunduk patuh kepada ketentuan Allah SWT) adalah dengan menyadari kembali
realitas posisi Allah SWT dengan mengucapkan لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ sebanyak-banyaknya. Seiring dengan semakin seringnya mulut
mengucapkan lafadz tersebut, maka otomatis akan menjelmakan kesadaran dalam
dirinya tentang hubungannya de-ngan Allah SWT (اِدْرَاكُهُ
صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى ). Inilah realitas اَلْمُجَدِّدُوْنَ yang ditetapkan dalam Islam. Dengan
demikian, siapa pun dari kaum muslim yang selalu membarukan kontribusi dirinya
(pemikiran dan si-kap) kepada posisi dan eksistensi Islam sebagai Ideologi
Dunia maka dia atau mereka itulah اَلْمُجَدِّدُوْنَ. Ketika Islam
diberlakukan secara praktis dalam kehidupan manusia, seperti yang pernah
terjadi sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 M, maka para pembaru sejati akan
mencurahkan seluruh daya (piki-ran dan sikap) yang mereka miliki demi
lestarinya keberlangsungan pemberlakuan Islam tersebut. Lalu ketika di tengah
pemberlakuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah ternyata ada sekelompok orang
yang mencoba untuk mengusik, mengotak-atik bahkan berencana memecah belah dan
menghancurkan Khilafah tersebut, maka para pembaru sejati akan tampil paling
depan untuk menghadapi sekaligus menghancurkan orang-orang tersebut siapa pun
mereka dan bagaimana pun kekuatan yang mereka mi-liki. Sikap para pembaru
sejati demikian itu sama sekali bukan karena kecenderungan naluriahnya
me-lainkan karena kesadaran terhadap ketentuan Allah SWT. Rasulullah saw
menyatakan :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ
جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ
جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Siapa saja yang mendatangi kalian (umat Islam) dan
pemerintahan kalian seluruhnya terhimpunkan di tangan seorang (Khalifah), dia
(pendatang) berencana untuk menghancurkan keutuhan kalian dan me-mecah belah
jamaah kalian, maka bunuhlah oleh kalian orang tersebut.
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ
أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ
كَانَ (رواه مسلم)
Lalu, siapa saja yang berencana untuk memecah belah urusan
umat ini (umat Islam) dan itu dalam keadaan bersatu, maka penggallah dia oleh
kalian dengan pedang siapa pun orangnya.
Lalu
adakah pola pikir dan sikap pembaru sejati itu melekat atau ditemukan
pada atau ditampakkan oleh Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Muhammad
bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghaniy, Muham-mad Abduh, Rasyid Ridla,
Muhammad Mushthafa Al-Maraghiy dan lainnya yang sejenis dengan me-reka? Jawaban
yang pasti adalah mereka sama sekali tidak memiliki realitas pemikiran
maupun sikap pembaru sejati, bahkan pola pikir dan sikap mereka justru bertolak
belakang dengan realitas pem-baru sejati. Jawaban ini adalah terindera
dari hakikat perjalanan hidup mereka di masanya masing-masing dan itu
tercatat serta tersaksikan oleh sejarah panjang kehidupan umat Islam sepanjang
mereka berada dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Khatimah
Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghaniy, Muham-mad Abduh, Rasyid
Ridla, Muhammad Mushthafa Al-Maraghiy dan lainnya yang sejenis dengan me-reka
yang “terlanjur” diposisikan dan dianggap sebagai para pembaru (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) oleh umat Islam, ter-nyata
realitasnya tidak lebih dari agen dan antek (اَلْعُمَلاَءُ
وَالْحُلَفَاءُ) negara kufur Inggris saat itu. Kerajaan Inggris sengaja
menghimpun mereka untuk merealisir tujuan utamanya yakni menghancurkan Khilafah
Islamiyah yang saat itu tengah dikelola dan dikendalikan oleh Keluarga
Utsmaniyah sekaligus memus-nahkannya secara permanen dari kehidupan dunia.
Kontribusi mereka dalam
hancurnya Khilafah Islamiyah Utsmaniyah sangatlah besar dan me-nentukan
dan itu mereka lakukan dengan berbagai cara : menyulut pemberontakan,
memunculkan kei-nginan untuk memisahkan diri, propaganda anti Khalifah dan
Khilafah Islamiyah, memalingkan per-hatian umat Islam dari kewajiban mereka
untuk muhasabah kepada para Khalifah dan sebagainya. Oleh karena itu,
adalah sebuah kewajiban Islami umat Islam saat ini untuk melepaskan diri
(pikiran, perasaan dan sikap) dari realitas sosok mereka maupun para
pelanjutnya yang semakin masif saat ini (Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad,
Wahhabiy, Salafiy dan sebagainya).
No comments:
Post a Comment