Saturday, November 9, 2013

PARA PEMBARU DAN KEHANCURAN KHILAFAH


Kiprah para pembaru dan runtuhnya Khilafah Islamiyah
DR. Muhammad Harb dalam bukunya yang berjudul  مُذَكِّرَاتُ السُّلْطَانِ عَبْدِ الْحَمِيْدِ halaman 25-26 mengkisahkan : dalam persoalan اَلْجَامِعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ, Abdul Hamid meminta bantuan kepada Jamaluddin Al-Afghaniy dan Abdul Hamid mensifati Jamaluddin sebagai orang alim yang terkenal di Istana Yal-diz. Istana Yaldiz adalah tempat tinggal Abdul Hamid. Sultan sangat serius dalam melakukan pemba-hasan tentang bentuk penyatuan seluruh kaum muslim secara politis untuk menghadapi ancaman dari Rusia maupun Inggris. Hal yang membuat dia sangat kecewa dalam persoalan tersebut adalah tidak adanya saling kesepahaman dengan Iran. Saat itulah Jamaluddin Al-Afghaniy menemuinya dan mem-berikan harapan untuk mewujudkan kesepahaman yang sangat diidamkan tersebut dan Sultan sangat puas dengan adanya kemungkinan kerjasama antara Syiah dengan Ahlu Sunnah untuk menghadapi ke-kuatan di luar Islam (Rusia dan Barat), karena Syiah menunjukkan niat yang baik dalam permasala-han itu. Sultan memandang adanya faedah yang sangat besar dalam perkara tersebut, jika ucapan Ja-maluddin memang benar. Jamaluddin Al-Afghaniy sendiri berhasil memuaskan sebagian pejabat seni-or di Iran dan sebagian Ulamanya dengan pemikirannya tersebut dan dia pun berhasil memperoleh janji Konsul Iran di Istambul untuk mencurahkan seluruh upaya dalam mensukseskan proyek besar tersebut. Saat itu Abdul Hamid benar-benar ridla kepada Jamaluddin Al-Afghaniy. Namun seiring de-ngan berjalannya waktu, tiba-tiba saja interaksi keduanya berbalik arah dan itu kami pahami dari ca-tatan harian Sultan Abdul Hamid tertanggal 18 Maret 1333 Rumiyah, beliau menyatakan : ‘aku dapati dalam rencana strategis yang dibuat di Kementerian Luar Negeri Inggris seorang agen bernama Ja-maluddin Al-Afghaniy dan Inggris pun menyebut nama lain yakni Blend, keduanya mengatakan dalam rencana itu untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki dan keduanya memberi saran kepada Ing-gris untuk menetapkan Syarif Husain (Amir Makkah) sebagai Khalifah bagi kaum muslim. Aku sangat mengenal Jamaluddin Al-Afghaniy, dia saat itu ada di Mesir dan dia adalah orang yang sangat berba-haya. Suatu saat dia (sembari menyebut diri sebagai Al-Mahdiyah) memberi saran kepadaku untuk memindahkan seluruh kaum muslim Asia Tengah. Aku tahu bahwa dia tidak akan mampu melakukan hal itu dan dia adalah agen Inggris’.
Agus Widiarto (Direktur Center for Indonesian Reform) dalam tulisannya berjudul ‘Gerakan Pembaruan Islam” (Republika, 15 Maret 2009, OPINI) menyatakan : dalam konteks gerakan pemurni-an Islam inilah, Wahabisme menempati posisi tersendiri dalam membangun kesadaran ketauhidan umat abad ke-18. Gerakan inilah yang pertama kali menghidupkan imbauan Ibnu Taimiyah untuk kem-bali kepada Alquran dan sunah Nabi. Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd Wahhab ini menemukan ruang hidupnya secara lebih riil ketika Ibnu Saud , salah seorang penguasa lokal di Najd, menjalin kerja sama dengan kelompoknya. Ketika tahun 1925, seluruh semenanjung Arabia jatuh ke tangan dinasti Saudiyah, ketika itu pula paham Wahabi dijadikan doktrin resmi negara. Dalam konteks pemurnian ketauhidan, Wahabi memang diposisikan sebagai gerakan yang pertama kali menghidup-kan pemikiran Ibnu Taimiyah. Tetapi, gerakan Wahabi tidak melanjutkan dan mewujudkan pemikiran Taimiyah lainnya, yaitu sisi ijtihadiyah. Padahal, tema pokok pemikiran Ibnu Taimiyah tak hanya ber-henti pada puritanisme kembali kepada ajaran tauhid, tetapi bergerak lebih maju kepada gerakan ijti-had, suatu upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Inilah yang membedakan Wahabisme dengan gerakan pembaruan Islam lain yang berbasis pada intelektualitas dan rasionalitas akal plus wahyu ilahiyah, sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh pembaru Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Farid Wajdi. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, diketahui berinteraksi dengan ragam pemikiran pembaruan, seperti Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Wahabisme, Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gagasan pembaruan pendidikan Islam Dahlan adalah proses pencerahan dirinya terhadap gagasan-gagasan Al-Afghani dan Abduh.
DR. Mouaffaq Bany Al-Marjeh dalam bukunya yang berjudul صَحْوَةُ الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ (The Awakening of the Sick Man) pada :
1.       halaman 102 mencantumkan foto asli dua pucuk surat permintaan dari Anna Blend (Anna Balounet istri Komandan Intelejen Inggris Blend) Putri Inggris kepada teman dekatnya Jamaluddin Al-Husa-iniy (Al-Afghaniy). Permintaan pertama (22 April 1885) berkenaan dengan penugasan Jamaluddin sebagai mediator untuk memadamkan pemberontakan “Al-Mahdiyah” di Sudan dan permintaan ke-dua (15 Agustus 1885) berkenaan dengan gerakan “Al-Mahdiyah” itu sendiri.
2.       halaman 342 mencantumkan foto asli dari piagam permohonan Al-Afghaniy untuk menjadi anggo-ta Freemasonry (اَلْمَاسُوْنِيَّةُ) di Mesir dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanginya sendiri ju-ga. Dia menyebut dirinya sebagai Jamaluddin Al-Kabliy. DR. Mahmud Qasim dalam kitabnya “Jamaluddin Al-Afghaniy Kehidupannya dan Falsafahnya” (جَمَالُ الدِّيْنِ الأَفْغَانِيُّ حَيَاتُهُ وَفَلْسَفَتُهُ) menyata-kan :
اِنَّ الأَفْغَانِيَّ قَدْ اَنْضَمَ اِلَى الْمَاسُوْنِيَّةِ عَامَ 1878 م, وَتَقَدَّمَ فِيْ مَرَاتِبِهَا تَقَدُّمًا سَرِيْعًا وَجَعَلَ يَقْفَزُ هَذِهِ الْمَرَاتِبُ قَفْزًا لِجَوْدَةِ اسْتِعْدَادِهِ حَتَّى اَصْبَحَ مِنَ الرُّؤُسَاءِ بَعْدَ وَقْتٍ قَصِيْرٍ
Bahwa Al-Afghaniy telah bergabung dengan Freemasonry pada tahun 1878 M dan dia mengalami kemajuan yang sangat cepat dalam kedudukannya lalu dia pun menjadikan kemajuan kedudukan tersebut sedemikian rupa untuk secara serius mempersiapkan dirinya sehingga menjadi pimpinan dalam waktu yang sangat singkat
3.       halaman 342 dinyatakan bahwa Al-Afghaniy adalah yang pertama kalinya menyebarluaskan kon-sep Sosialisme Islam (اِشْتِرَاكِيَّةُ الإِسْلاَمِ) dan dia membandingkan antara konsepnya tersebut dengan konsep Sosialisme Barat (اِشْتِرَاكِيَّةُ الْغَرْبِ). Dia berkata : menurut saya tidak ada larangan melakukan اَلسُّفُوْرُ (pariwisata) jika tidak mengantarkan kepada اَلْفُجُوْرُ. Dia pun menyerukan melakukan ta’wil jika nash-nash agama (الَنُّصُوْصُ الدِّيْنِيَّةُ) ternyata menyalahi sebagian kebenaran ilmiah (اَلْحَقَائِقُ الْعِلْمِيَّةُ). Pada koran اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى dalam makalah yang dimuat di surat kabar tersebut (edisi ke-9) dengan judul اَلْوِحْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ dia menjelaskan bahwa yang dia maksudkan adalah bukan berarti harus ada satu ne-gara (دَوْلَةٌ وَاحِدَةٌ) dan satu sultan (سُلْطَانٌ وَاحِدٌ) bagi seluruh kaum muslim yang akan mempersatukan mereka, melainkan biarkanlah setiap raja berkuasa dalam kerajaannya masing-masing. Lalu dalam ungkapan dia lainnya menyatakan : bahwa اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى bekerja untuk seluruh orang timur dan bu-kan hanya bagi kaum muslim.
4.       halaman 343 mencantumkan foto asli dari piagam pengangkatan Jamaluddin sebagai pimpinan Freemasonry Kairo Mesir dengan gelar “Bintang Timur” (كَوْكَبُ الشَّرْقِ).
5.       halaman 343 catatan kaki nomor 1, dinyatakan bahwa Al-Afghaniy sering sekali menyuarakan pro-paganda Freemasonry tentang bersatunya tiga agama langit di bawah naungan slogan “kesamaan, persaudaraan dan keadilan” (اَلْمُسَاوَاةُ وَالأَخَاءُ وَالْعَدَالَةُ).
6.       halaman 343 menyampaikan tanggapan dari DR. Muhammad Muhammad Husain terhadap berba-gai piagam dan surat yang berhubungan dengan Jamaluddin Al-Afghaniy yaitu :
a.       surat-surat tersebut memastikan bahwa Jamaluddin Al-Afghaniy sama sekali tidak ada hubu-ngannya dengan negeri Afghanistan dan dia pun tidak dibesarkan di sana serta tidak ada kaitan-nya dengan gelar Yang Mulia (اَلشَّرِيْفُ) yang dia lekatkan pada dirinya.
b.       surat-surat tersebut menjelaskan hubungan dirinya yang sangat misterius dengan negara-negara besar asing saat itu yakni Kekaisaran Rusia, Inggris dan Perancis.
c.       surat-surat tersebut mengungkapkan hubungan dirinya dengan pemberontakan bangsa Arab dan pemberontakan Al-Mahdiyah serta kedudukannya di mata Inggris.
d.      surat-surat tersebut menegaskan keanggotaan dirinya dalam Freemasonry berikut pengangka-tannya sebagai pimpinan perwakilan Freemasonry yang baru, seperti halnya dia pun telah men-dirikan organisasi اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى di Paris atas persetujuan sejumlah Perwakilan Freemasonry terse-but sekaligus menerbitkan koran dengan nama yang sama : اَلْعُرْوَةُ الْوُثْقَى.
Koran اَلْقَبْسُ الْكُوَيْتِيَّةُ edisi Muharram 1401 H/November 1980 M memuat pengakuan Kerajaan Ing-gris bahwa mereka telah berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah seperti yang dinyatakan oleh Alex Douglas Hyome (Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Inggris era akhir 70-an) :
اِنَّ بَرِيْطَانِيَا كَانَ لَهَا الدَّوْرُ الْفَعَّالُ فِيْ اِسْقَاطِ الْخِلاَفَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الْعُثْمَانِيَّةِ بِمُسَاعِدَةِ الشَّرِيْفِ حُسَيْنٍ وَقَالَ لَوْ لاَ مُسَاعِدَةُ بَرِيْطَانِيَا لَمَا سَقَطَتِ الْخِلاَفَةُ
Bahwa Inggris memiliki peran menentukan dalam peruntuhan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dengan bantuan Syarif Husain. Lalu dia (Alex) menyatakan : seandainya tidak ada campur tangan Inggris pastilah Khilafah tidak akan runtuh.
Demikianlah sekelumit kecil realitas kiprah besar manusia-manusia yang diposisikan sebagai pa-ra pembaru (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) oleh umat Islam saat ini : Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghaniy, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Walau memang Ibnu Taimi-yah (1263-1328 M, hidup pada masa Khilafah Mamalik yang berpusat di Kairo) dan Al-Ghazaly tidak terbukti berperan langsung dalam proses panjang menuju runtuhnya Khilafah Islamiyah, namun kedua tokoh ini secara tidak langsung telah ikut serta dalam proses tersebut dengan memalingkan perhatian maupun pemikiran umat Islam kepada perkara-perkara yang merupakan akibat dari suatu sebab. Aksi bid’ah, khurafat, takhayyul dan sejenisnya yang tumbuh subur serta merajalela pada masa keduanya adalah realitas yang muncul di tengah kehidupan umat Islam akibat rendahnya atau bahkan tidak ada-nya keseriusan para Khalifah untuk mencegah maupun memberantas praktik-praktik tersebut. Oleh ka-rena itu yang wajib dilakukan oleh Ibnu Taimiyah maupun Al-Ghazaly saat itu tentu saja bukan “habis-habisan” menggempur sikap bid’ah, khurafat, takhayyul dan sejenisnya tersebut, melainkan terus me-nerus melakukan muhasabah kepada Khalifah untuk menyadarkannya supaya segera mengembalikan perjalanan Khilafah Islamiyah seperti yang telah berlangsung pada masa Khulafa Rasyidun. Apa pun alasannya, inilah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap keduanya sehingga secara mendasar telah menanamkan investasi “mematikan” yang pada gilirannya modal tersebut benar-benar membuat Khila-fah Islamiyah sangat mudah untuk dihancurkan oleh musuh-musuh Islam terutama Inggris.
Pan Islamisme (اَلْوِحْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang menjadi gagasan pokok dari Jamaluddin Al-Afghaniy ternya-ta bertentangan dengan konsep Khilafah Islamiyah dalam Islam yang saat itu tengah dikendalikan dan dikelola oleh Sultan Abdul Hamid II dari Utsmaniyah. Khilafah Islamiyah adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
Kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami ser-ta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu tiada lain adalah Imamah
Realitas Khilafah itulah yang tengah diberlakukan oleh Sultan Abdul Hamid, walaupun harus diakui tidak 100 persen utuh sebab ada bagian yang sangat salah dalam pemberlakuannya yakni hingga masa tersebut masih diterapkan tradisi pewarisan kekuasaan alias ada kedudukan Putera Mahkota (وِلاَيَةُ الْعَهْدِ). Sultan pun harus memikul beban utang luar negeri Khilafah (kepada Inggris dan Perancis) sebesar 252 juta lirah emas (tahun 1881 M) yang merupakan warisan dari dua orang penguasa sebelumnya yakni Abdul Majid (ayah dari Abdul Hamid sendiri) dan Abdul Aziz (paman dari Abdul Hamid). Memang selama pemerintahan Abdul Hamid II jumlah utang luar negeri yang sangat besar itu (bahkan hampir 300 juta lirah) dapat diturunkan hingga tinggal 30 juta lirah saja (90 persen telah dapat dibayar). Na-mun demikian tetap saja tindakan Khalifah berutang kepada negara kufur apalagi yang berstatus adida-ya (Inggris dan Perancis) adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam sebab dipastikan akan menjadi jalan dan kesempatan bagi mereka untuk menguasai dan mengendalikan umat Islam berikut negara me-reka (Khilafah Islamiyah). Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا (النساء : 141)
Dan Allah tidak akan pernah menjadikan kesempatan sekecil apa pun kepada kaum kufar untuk me-nguasai kaum mukmin
Hanya saja walau dengan adanya berbagai pelanggaran terhadap ketentuan Islam tersebut, Sultan Ab-dul Hamid masih istiqamah dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun kekuasaan dalam Khila-fah yang dipimpinnya menurut ketentuan Islam. Sementara itu, konsep Pan Islamisme yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghaniy bukan hanya salah secara mendasar melainkan juga sama sekali bukan digali dari pemikiran Islami. Dia menjelaskan maksudnya sehubungan dengan gagasan tersebut :
اَنَّهُ لَمْ يَرِدْ اَنْ يَّكُوْنَ لِلْمُسلِمِيْنَ دَوْلَةٌ وَاحِدَةٌ اَوْ سُلْطَانٌ وَاحِدٌ يَجْمَعُهُمْ وَكُلُّ ذِيْ مَلِكٍ عَلَى مُلْكِهِ
Bahwa yang dimaksudkan bukanlah berarti harus ada satu negara atau satu sultan bagi kaum muslim yang akan mempersatukan mereka, melainkan setiap raja tetap berkuasa di kerajaannya masing-masing.
Konsep tersebut tidak dia biarkan hanya sebagai gagasan tetapi dia sendiri benar-benar mengelaborasi-kannya secara langsung dan itu terbukti dengan kesediaan dirinya diangkat menjadi Raja di Sudan oleh Kerajaan Inggris melalui surat pengangkatan yang dikirimkan oleh Anna Balounet.
Langkah berikut yang ditempuh oleh Al-Afghaniy adalah pemantapan wilayah Jazirah Arab se-bagai terpisah (اَلإِسْتِقْلاَلُ) dari Khilafah Utsmaniyah dengan mengusulkan kepada Inggris supaya Amir Makkah saat itu yakni Syarif Husain segera dikukuhkan menjadi Khalifah bagi kaum muslim. Langkah ini erat kaitannya dengan semakin kuatnya keinginan untuk mendirikan Khilafah Arabiyah sebagai pengganti Khilafah Islamiyah (Utsmaniyah) di Turki. Langkah Al-Afghaniy ini akhirnya diketahui oleh Sultan Abdul Hamid II seperti yang beliau tulis dalam catatan hariannya : ‘aku dapati dalam rencana strategis yang dibuat di Kementerian Luar Negeri Inggris seorang agen bernama Jamaluddin Al-Afghaniy dan Inggris pun menyebut nama lain yakni Blend, keduanya mengatakan dalam rencana itu untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki dan keduanya memberi saran kepada Inggris untuk me-netapkan Syarif Husain (Amir Makkah) sebagai Khalifah bagi kaum muslim.
Rencana strategis tersebut adalah Piagam Britania (اَلْوَثِيْقَةُ الْبَرِيْطَانِيَّةُ) yang di dalamnya memuat ribu-an klausul (رَقْمٌ) dan nomor klausul yang berhubungan dengan pendirian Khilafah Arabiyah adalah no-mor 2479 hingga nomor 2486 tertanggal mulai 14 April 1915 hingga 24 Juni 1915. Keseluruhannya merupakan tanggapan Inggris terhadap usulan Jamaluddin Al-Afghaniy dan Komandan Blend untuk mengangkat Syarif Husein (Amir Makkah menurut Khilafah Utsmaniyah) sebagai Khalifah untuk Khi-lafah yang baru : Khilafah Arabiyah. Langkah ini dapat dikatakan sebagai tahapan puncak dari jalan menuju ke arah (road to) diruntuhkannya Khilafah Islamiyah secara total dan permanen (sembilan ta-hun sebelum Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924).
Muhammad Abduh (lahir tahun 1849 M) mengalami dua fase pemikiran dan sikap dalam hidup-nya, yakni :
1.       fase benar yang dibuktikan dengan ucapannya berkenaan dengan Khilafah Islamiyah :
اِنَّ مَنْ لَهُ قَلْبٌ مِنْ اَهْلِ الدِّيْنِ الإِسْلاَمِيِّ يَرَى اَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الدَّوْلَةِ الْعُثْمَانِيَّةِ ثَالِثَةُ الْعَقَائِدِ بَعْدَ الإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ فَإِنَّهَا وَحْدَهَا الْحَافِظَةُ لِسُلْطَانِ الدِّيْنِ الْكَافِلَةِ لِبَقَاءِ حَوْزَتِهِ وَلَيْسَ لِلدِّيْنِ سُلْطَانٌ فِيْ سِوَاهَا وَاِنَّا وَالْحَمْدُ ِللهِ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيْدَةِ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ
Bahwa siapa pun yang memiliki aqal dari pemeluk agama Islam pasti akan berpendapat bahwa penjagaan terhadap Daulah Utsmaniyah adalah aqidah yang ketiga setelah iman kepada Allah dan Rasul Nya. Hal itu karena Daulah itu adalah satu-satunya penjaga bagi kekuasaan agama yang sangat handal untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan agama dan tidak ada kekuasaan bagi agama pada selain Daulah. Dan kami وَالْحَمْدُ ِللهِ benar-benar berada di atas asas aqidah tersebut, kami hidup berasas kepadanya dan dengan asas itu juga kami akan mati.
Bahkan pada tahun ke-6 keberadaan Majalah Al-Manar, ketika sang murid (Rasyid Ridla) mulai menyebarluaskan artikel tentang kekayaan Daulah Utsmaniyah (keuangan dan kebutuhan) dalam majalah tersebut, maka Muhammad Abduh menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu yakni me-larang sang murid memuat penjelasan tentang politik pemerintahan maupun penguasa Utsmaniyah dengan pertimbangan supaya tidak menghalangi umat Islam dalam berkhidmat kepada agama dan ilmu.
2.       fase salah, diketahui secara meluas bahwa sikap Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridla terha-dap Daulah Utsmaniyah mengalami perubahan mendasar ketika fanatisme bangsa Turki mulai nampak jelas dalam berbagai propaganda Thuraniyah. Muhammad Abdul menyatakan :
اِنَّ الدِّيْنَ لَمْ يُعَلِّمِ الْمُسْلِمِيْنَ التِّجَارَةَ وَلاَ الصِّنَاعَةَ وَلاَ تَفْصِيْلَ سِيَاسَةِ الْمُلْكِ وَلاَ طُرُقَ الْمَعِيْشَةِ فِيْ الْبَيْتِ وَلَكِنَّهُ اَوْجَبَ عَلَيْهِمُ السَّعْيَ اِلَى مَا يُقِيْمُوْنَ بِهِ حَيَاتَهُمُ الشَّخْصِيَّةَ وَالإِجْتِمَاعِيَّةَ وَاَوْجَبَ عَلَيْهِمْ اَنْ يُّحْسِنُوْا فِيْهِ وَاَبَاحَ الْمُلْكَ وَفَرَضَ عَلَيْهِمْ اَنْ يُّحْسِنُوْا الْمَمْلَكَةَ وَكُلَّ مَا يُمْكِنُ لِلإِنْسَانِ اَنْ يَّصِلَ اِلَيْهِ بِنَفْسِهِ لاَ يُطَالِبُ الأَنْبِيَاءَ بِبَيَانِهِ
Bahwa agama tidak mengajarkan kepada kaum muslim tentang perdagangan, industri maupun ten-tang rincian politik kerajaan dan juga tidak tentang metode kehidupan di rumah, melainkan mewa-jibkan mereka untuk bersungguh-sungguh kepada perkara yang akan mereka pergunakan dalam kehidupan mereka baik secara pribadi maupun sosial dan mewajibkan mereka untuk selalu mem-baguskan keseriusan mereka itu. Agama membolehkan adanya kerajaan dan mewajibkan kepada mereka untuk membaguskan kerajaan berikut segala hal yang memungkinkan manusia untuk men-capainya sendiri. Agama pun tidak menuntut para Nabi untuk menjelaskannya.
Kemudian berkenaan dengan realitas pemerintahan pada masa Nabi Muhammad saw, dia menyata-kan :
اِنَّ الْحُكُوْمَةَ النَّبَوِيَّةَ كَانَ فِيْهَا بَعْضَ مَا يُشَبِّهُ اَنْ يَّكُوْنَ مِنْ مَظَاهِرِ الْحُكُوْمَةِ السِّيَاسِيَّةِ وَاَثَارِ السُّلْطَانِ وَالْمُلْكِ ... وَاَنَّ اَوَّلَ مَا يُخْطِرُ مِنْ اَمْثِلَةِ الشُّؤُوْنِ الْمُلْكِيَّةِ الَّتِيْ ظَهَرَتْ اَيَّامَ النَّبِيِّ مَسْأَلَةُ الْجِهَادِ  ... وَظَاهِرٌ اَوَّلُ وَهْلَةٍ اَنَّ الْجِهَادَ لاَ يَكُوْنُ لِمُجَرَّدِ الدَّعْوَةِ اِلَى الدِّيْنِ وَلاَ لِحَمْلِ النَّاسِ عَلَى الإِيْمَانِ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاِنَّمَا يَكُوْنُ الْجِهَادُ لِتَثْبِيْتِ السُّلْطَانِ وَتَوْسِيْعِ الْمُلْكِ
Bahwa pemerintahan pada masa Nabi ada di dalamnya sebagian yang menyerupai penampakkan pemerintahan politis dan pola kekuasaan maupun kerajaan … dan bahwa yang pertama kali mem-bahayakan dari persoalan kerajaan tersebut yang telah nampak sejak masa Nabi adalah masalah jihad … nampak sekali sejak awal bahwa jihad bukan sekedar untuk dakwah kepada agama dan bukan pula untuk menggiring manusia kepada iman kepada Allah dan Rasul Nya melainkan jihad itu semata hanyalah untuk mengokohkan kekuasaan dan menyebarluaskan kerajaan
Adalah sangat mungkin perubahan pemikiran dan sikap Muhammad Abduh (maupun Rasyid Ridla) terhadap posisi dan eksistensi Khilafah Islamiyah itu terjadi sejak dia bertemu dan kemudian berin-teraksi secara intensif dengan Jamaluddin Al-Afghaniy. Fakta itulah yang diungkap oleh Maryam Jameelah (Margaret Marcus, ketika masih seorang Yahudi) dalam bukunya yang berjudul “Islam and Modernism” : hampir saja ia (Muhammad Abduh) kehilangan semangat hidup, tetapi tiba-tiba kemudian bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghaniy, seorang berpribadi dinamis dan semangat, menggairahkan kembali inspirasi Abduh untuk bangkit dan segera keluar dari apatisme untuk membangun kembali kejayaan Islam. Tetapi berbeda dengan Jamaluddin Al-Afghaniy, Abduh nampaknya yakin bahwa usaha itu lebih tepat melalui pendidikan daripada revolusi politik. Pada tanggal 3 Juni 1899 dengan dukungan Inggris, Muhammad Abduh diangkat sebagai Mufti Mesir. Karena kedudukan itu, fatwa-fatwanya tentang berbagai masalah dianggap punya otoritas. Ia te-rus memegang jabatan itu hingga wafat. Akibat kerjasama Abduh dengan tujuan-tujuan imperialis-me Inggris dan usaha memadukan Islam dengan kehidupan moderen, ternyata mendatangkan ma-lapetaka yang tidak kecil. Ia membuka lebar-lebar pintu pembaratan (westernisasi) bagi generasi sesudahnya : Qasim Amin, Ali Abdurraziq, Muhammad Kurdi Ali dan DR. Thaha Husain, yang telah membawa aliran-aliran liberal untuk mendukung logika-logika mereka.
Lebih dari itu, semua kalangan juga sangat mengetahui bahwa hubungan “guru-murid” antara Ja-maluddin Al-Afghaniy dengan Muhammad Abduh adalah sangat masif dan intensif, sehingga hu-bungan tersebut diibaratkan dengan ungkapan اَلشَّيْخُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ خَلِيْفَةُ الأَفْغَانِيِّ فِيْ مِصْرَ (Syaikh Muham-mad Abduh adalah Khalifah Al-Afghaniy di Mesir : DR. Mouaffaq Bany Al-Marjeh dalam bukunya yang berjudul صَحْوَةُ الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ halaman 353).
Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Hambaliy (berikut Wahabismenya) tidak dapat dipisahkan de-ngan Kerajaan Saudi Arabia (اَلْمَمْلَكَةُ الْعَرَبِيَّةُ السَّعُوْدِيَّةُ), sejak negara “para bandit padang pasir Jazirah Arab” itu didirikan oleh Abdul Aziz Alu Sa’ud (عَبْدُ الْعَزِيْزِ آلُ سَعُوْدٍ) hingga sekarang. Paham Wahabisme tersebut oleh para raja negara tersebut selalu dijadikan sebagai “agama resmi” negara dan itu terjadi sejak tahun 1925 yakni setahun setelah Khilafah Islamiyah Utsmaniyah diruntuhkan. Hal itu dipastikan dengan selalu diangkatnya “hanya” dari kalangan mereka sebagai Mufti Besar Kerajaan hingga seka-rang (awal abad ke-21). Artinya kerjasama antara para penguasa Keluarga As-Sa’ud dengan Keluarga Besar Wahhabiy telah berlangsung hampir dua abad dalam : (a) ikut berperan aktif untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dari arah Jazirah Arab atas nama Kerajaan Inggris dan (b) ikut mengokohkan keku-furan (demokrasi dan kapitalisme) sekaligus menghalangi setiap kesadaran umat Islam untuk kembali kepada kehidupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah. DR. Mouaffaq Bany Al-Marjeh (halaman 354 dari صَحْوَةُ الرَّجُلِ الْمَرِيْضِ) menyatakan :
كَمَا حَاوَلَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ آلُ سَعُوْدٍ اَنْ يُّوَفِّقَ بِقَدَرِ مَا يَسْتَطِيْعُ بَيْنَ عَلاَقَاتِهِ مَعَ بَرِيْطَانِيَا وَبَيْنَ فِكْرَةِ الْجَامِعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الَّتِيْ كَانَتْ تَقْتَضِيْ مِنْهُ الْوُقُوْفَ ضِدَّ الإِسْتِعْمَارِ الْبَرِيْطَانِيِّ فِيْ بَعْضِ الْجِهَاتِ الْخَاصَّةِ وَلاَ سِيَمَا فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِفَلِسْطِيْنَ
Seperti halnya Abdul Aziz Alu Sa’ud telah berusaha untuk melakukan kompromi sekuat kemampuan dia antara hubungan dirinya dengan Britania dengan pemikiran Al-Jami’ah Al-Islamiyah yang meng-haruskan dia berdiri menentang penjajahan Birtania di sebagian wilayah tertentu terutama yang ber-kaitan dengan Palestina.
Jadi sangat nampak simbiosa mutualistis antara اَلْمَمْلَكَةُ الْعَرَبِيَّةُ السَّعُوْدِيَّةُ dengan اَلْوَهَّابِيَّةُ, seperti yang diakui oleh Agus Widiarto : Gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd Wahhab ini menemukan ru-ang hidupnya secara lebih riil ketika Ibnu Saud , salah seorang penguasa lokal di Najd, menjalin kerja sama dengan kelompoknya. Ketika tahun 1925, seluruh semenanjung Arabia jatuh ke tangan dinasti Saudiyah, ketika itu pula paham Wahabi dijadikan doktrin resmi negara.
Satu orang tokoh lagi yang sangat keras serangannya terhadap Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dan dia dijadikan sosok idola sekaligus rujukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia, terutama Mu-hammadiyah yakni اَلشَّيْخُ مُحَمَّدٌ مُصْطَفَى اَلْمَرَاغِيِّ (Syaikh Muhammad Mushthafa Al-Maraghiy). Dia adalah seorang pimpinan para Qadli di Negara Sudan (قَاضِيْ قُضَاةِ السُّوْدَانِ) dan juga pernah menjadi Syaikh Al-Azhar (شَيْخُ الأَزْهَرِ). Dia menyatakan pemikirannya seputar Khilafah Islamiyah secara umum dan Khila-fah Utsmaniyah secara khusus yang tercantum dalam Piagam Britania (اَلْوَثِيْقَةُ الْبَرِيْطَانِيَّةُ) nomor 2486 :
نَسْتَطِيْعُ الآنَ اَنْ نَّقُوْلَ بِاَنَّ مَوْقِفَ الْخِلاَفَةِ الْفِعْلِيِّ يَبْدُوْ غَرِيْبًا. فَالْمَعْرُوْفُ اَنَّ الْخِلاَفَةَ مِنْ حَقِّ قَبِيْلَةِ النَّبِيِّ وَهِيَ قُرَيْشٌ وَوَاضِحٌ اَنَّ سَلاَطِيْنَ تُرْكِيَا لاَ يَدْعُوْنَ هَذَا الشَّرْفَ وَلَكِنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ يَسُوْقُوْنَ ثَلاَثَةَ اَسْبَابٍ لِتَمَسُّكِهِمْ بِهَذَا الْمَنْصِبِ :
اَوَّلاً : ِلأَنَّهُمْ حَصَلُوْا عَلَى هَذَا اللَّقَبِ مِنْ آخِرِ خَلِيْفَةِ عَبَّاسِيٍّ كَانَ فِيْ الْقَاهِرَةِ سَنَةَ 1517.
ثَانِيًا : ِلأَنَّهُمْ حَمَّاةٌ لِمَخْلَفَاتِ النَّبِيِّ مِثْلَ عَبَاءَتِهِ وَبَعْضِ شَعَرَاتِ لِحْيَتِهِ.
ثَالِثًا : ِلأَنَّ سُلْطَانَ تُرْكِيَا هُوَ حَاكِمٌ وَحَامِيُّ الأَمَاكِنِ الْمُقَدَّسَةِ الْمُعْتَرَفِ بِهِ مِنَ الْجَمِيْعِ. وَيُمْكِنُ اِضَافَةُ سَبَبٍ رَابِعٍ وَهُوَ اَنَّ سُلْطَانَ تُرْكِيَا يُعْتَبَرُ اَكْبَرَ شَخْصِيَّةٍ مِنْ بَيْنِ الأَحْيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Sekarang, kami dapat katakan bahwa posisi Khilafah secara praktis masih tetap sangat asing. Diketa-hui dengan pasti bahwa Khilafah adalah haq qabilahnya Nabi yaitu Quraisy dan sangat jelas bahwa para sultan Turki tidak pantas menyandang kemuliaan tersebut. Namun demikian, mereka mengang-gap pantas untuk melekatkan kedudukan tersebut pada diri mereka berdasarkan tiga alasan :
pertama :karena mereka berhasil meraih gelar tersebut dari Khalifah Abbasiy terakhir yang ada di Kairo tahun 1517
kedua : karena mereka adalah para pemelihara peninggalan-peninggalan Nabi seperti kantong bertali panjang beliau dan sebagian rambut dari janggut beliau
ketiga : karena sultan Turki adalah penguasa dan penjaga tempat-tempat suci yang telah dikenal oleh orang banyak. Mungkin juga menambahkan sebab yang keempat yaitu bahwa sultan Turki di-anggap sebagai pribadi yang paling agung di antara kaum muslim yang masih hidup
Demikianlah sejumlah sosok muslim yang dianggap atau diposisikan oleh sebagian besar umat Islam sebagai figur-figur pelaku pembaruan (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) pada masanya masing-masing. Seharusnya rea-litas yang melekat pada istilah اَلْمُجَدِّدُوْنَ adalah seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه احمد)
Barukanlah selalu iman kalian! Dikatakan : wahai Rasulullah, bagaimana kami membarukan iman ka-mi? Beliau menjawab : perbanyaklah oleh kalian ucapan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
Iman kepada Allah SWT bermakna iman kepada realitas posisi Allah SWT yang terkandung dalam lafadz لَا إِلَهَ yakni : (a) لاَ خَالِقَ, (b) لاَ مَعْبُوْدَ dan (c) لاَ مُشَرِّعَ. Oleh karena itu, ketika seseorang telah sampai kepada iman melalui pembuktian aqalnya, maka ketiga realitas tersebut harus dibuktikan oleh dirinya melalui sikap yakni taat sepenuhnya kepada Allah SWT. Lalu karena manusia itu ditaqdirkan memiliki kecenderungan naluriah yang memastikan kepentingan dirinya dan tidak jarang kepentingan naluriah tersebut hampir saja atau bahkan memang mengeliminir iman kepada Allah SWT, maka metode Islami untuk mengembalikan posisi kepentingan naluriah tersebut pada posisi seharusnya (yakni tunduk patuh kepada ketentuan Allah SWT) adalah dengan menyadari kembali realitas posisi Allah SWT dengan mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ sebanyak-banyaknya. Seiring dengan semakin seringnya mulut mengucapkan lafadz tersebut, maka otomatis akan menjelmakan kesadaran dalam dirinya tentang hubungannya de-ngan Allah SWT (اِدْرَاكُهُ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى ). Inilah realitas اَلْمُجَدِّدُوْنَ yang ditetapkan dalam Islam. Dengan demikian, siapa pun dari kaum muslim yang selalu membarukan kontribusi dirinya (pemikiran dan si-kap) kepada posisi dan eksistensi Islam sebagai Ideologi Dunia maka dia atau mereka itulah اَلْمُجَدِّدُوْنَ. Ketika Islam diberlakukan secara praktis dalam kehidupan manusia, seperti yang pernah terjadi sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 M, maka para pembaru sejati akan mencurahkan seluruh daya (piki-ran dan sikap) yang mereka miliki demi lestarinya keberlangsungan pemberlakuan Islam tersebut. Lalu ketika di tengah pemberlakuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah ternyata ada sekelompok orang yang mencoba untuk mengusik, mengotak-atik bahkan berencana memecah belah dan menghancurkan Khilafah tersebut, maka para pembaru sejati akan tampil paling depan untuk menghadapi sekaligus menghancurkan orang-orang tersebut siapa pun mereka dan bagaimana pun kekuatan yang mereka mi-liki. Sikap para pembaru sejati demikian itu sama sekali bukan karena kecenderungan naluriahnya me-lainkan karena kesadaran terhadap ketentuan Allah SWT. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Siapa saja yang mendatangi kalian (umat Islam) dan pemerintahan kalian seluruhnya terhimpunkan di tangan seorang (Khalifah), dia (pendatang) berencana untuk menghancurkan keutuhan kalian dan me-mecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah oleh kalian orang tersebut.
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ (رواه مسلم)
Lalu, siapa saja yang berencana untuk memecah belah urusan umat ini (umat Islam) dan itu dalam keadaan bersatu, maka penggallah dia oleh kalian dengan pedang siapa pun orangnya.
Lalu adakah pola pikir dan sikap pembaru sejati itu melekat atau ditemukan pada atau ditampakkan oleh Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghaniy, Muham-mad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad Mushthafa Al-Maraghiy dan lainnya yang sejenis dengan me-reka? Jawaban yang pasti adalah mereka sama sekali tidak memiliki realitas pemikiran maupun sikap pembaru sejati, bahkan pola pikir dan sikap mereka justru bertolak belakang dengan realitas pem-baru sejati. Jawaban ini adalah terindera dari hakikat perjalanan hidup mereka di masanya masing-masing dan itu tercatat serta tersaksikan oleh sejarah panjang kehidupan umat Islam sepanjang mereka berada dalam naungan Khilafah Islamiyah.


Khatimah
Ibnu Taimiyah, Al-Ghazaly, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghaniy, Muham-mad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad Mushthafa Al-Maraghiy dan lainnya yang sejenis dengan me-reka yang “terlanjur” diposisikan dan dianggap sebagai para pembaru (اَلْمُجَدِّدُوْنَ) oleh umat Islam, ter-nyata realitasnya tidak lebih dari agen dan antek (اَلْعُمَلاَءُ وَالْحُلَفَاءُ) negara kufur Inggris saat itu. Kerajaan Inggris sengaja menghimpun mereka untuk merealisir tujuan utamanya yakni menghancurkan Khilafah Islamiyah yang saat itu tengah dikelola dan dikendalikan oleh Keluarga Utsmaniyah sekaligus memus-nahkannya secara permanen dari kehidupan dunia.
Kontribusi mereka dalam hancurnya Khilafah Islamiyah Utsmaniyah sangatlah besar dan me-nentukan dan itu mereka lakukan dengan berbagai cara : menyulut pemberontakan, memunculkan kei-nginan untuk memisahkan diri, propaganda anti Khalifah dan Khilafah Islamiyah, memalingkan per-hatian umat Islam dari kewajiban mereka untuk muhasabah kepada para Khalifah dan sebagainya. Oleh karena itu, adalah sebuah kewajiban Islami umat Islam saat ini untuk melepaskan diri (pikiran, perasaan dan sikap) dari realitas sosok mereka maupun para pelanjutnya yang semakin masif saat ini (Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Wahhabiy, Salafiy dan sebagainya).

No comments:

Post a Comment