Demokrasi adalah sunnatullah : benarkah?
Pada tahun 1994, DR. Sri Bintang Pamungkas
menyatakan bahwa Allah SWT adalah Maha De-mokratis dan itu ditunjukkan oleh
peristiwa ketika Allah SWT akan menciptakan Adam ternyata Dia mengajak
musyawarah kepada para malaikat. Hal itu disampaikan oleh Al-Quran :
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (البقرة :
30)
Bagi Sri Bintang Pamungkas pernyataan وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ adalah representasi
dari aktivitas pokok da-lam demokrasi yakni musyawarah dan realitas itu semakin
pasti dengan adanya bargaining (penawar-an) yang diajukan oleh
para malaikat ketika mereka telah mendengar keputusan Allah SWT tersebut : قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ.
Oleh karena itu, walaupun saat itu Sri Bintang Pamungkas tidak
secara eksplisit menyatakan bah-wa demokrasi adalah sunnatullah, namun
kesimpulan yang dia buat yakni Allah SWT adalah Maha De-mokratis, tidak
diragukan lagi (secara implisit) telah menggiring siapa pun yang mendengar dan
mem-baca kesimpulan itu untuk menetapkan sinthesis bahwa demokrasi memang
sunnatullah. Bahkan pada tahun 2007 (13 tahun kemudian), seorang Surwandono
(Dosen Fisipol UMY dan kandidat Doktor Ilmu Politik UGM) dalam tulisannya
berjudul “Memuasakan Demokrasi” menyatakan : demokrasi seakan telah menjadi
Tuhan baru tempat di mana harapan tertinggi masyarakat digantungkan kepadanya.
Demikian juga pernyataan sebagian sangat besar umat Islam di dunia
bahwa demokrasi adalah Is-lami, atau berasal dari Islam, atau diakui oleh
Islam, atau syura dalam Islam, atau lainnya seluruhnya memastikan bahwa bagi
mereka demokrasi itu selain perintah Allah SWT juga sunnatullah. Akibatnya
adalah umat Islam tidak pernah lagi memandang perlu mencari tahu dari mana
munculnya demokrasi, atau apakah Islam dan demokrasi bertentangan atau
sebaliknya justru bersesuaian. Bahkan mereka pun sangat tidak peduli terhadap
realitas awal dari keberadaan demokrasi di dunia yang jauh lebih muda (minimal
lebih muda 1.218 tahun) daripada Islam, sehingga jika pun menggunakan asas
mempengaruhi dan terpengaruhi sebenarnya sangat mudah untuk memastikan mana
yang orisinal dan mana terimbas oleh pengaruh. Padahal, tentu saja Islam yang
1.218 tahun lebih dulu ada di dunia daripada demokrasi adalah yang paling
mungkin bahkan hampir pasti memberikan pengaruh kepada demokrasi dan bukan
sebaliknya. Artinya (jika memang terjadi), sejumlah konsepsi (baik dasar maupun
cabang) yang ada dalam demokrasi telah dipengaruhi oleh pemikiran Islam,
sehingga sedikit atau banyak menjadi mirip bahkan sangat mirip dengan pemikiran
Islam yang mempengaruhinya.
Namun terlepas dari apakah mekanisme mempengaruhi
dan dipengaruhi antara Islam dan de-mokrasi tersebut memang benar
terjadi ataukah sama sekali tidak, maka secara dalil aqliy adalah wajib
memposisikan keduanya pada kondisi orisinalnya masing-masing. Jadi andaikan
memang terjadi meka-nisme sejumlah pemikiran Islam mempengaruhi sejumlah
konsepsi dalam demokrasi, maka seharusnya (dalil aqliy) dikembalikan kepada
jatidiri orisinal (اَلأَصْلُ) masing-masing ketika
akan menentukan mana Islam dan mana demokrasi. Tegasnya, ketika ada tudingan
bahwa demokrasi adalah syura dalam Islam yang berarti pemikiran syura telah
mempengaruhi demokrasi sehingga demokrasi sangat tampak mirip dengan syura
dalam Islam, maka ketika akan menentukan mana demokrasi dan mana Islam adalah
wa-jib terlebih dahulu mengembalikan orisinalitas Islam kepada keadaan semula,
begitu juga orisinalitas demokrasi harus dikalibrasi ulang supaya kembali
kepada realitas awalnya. Inilah bentuk implementasi dari kaidah ushul fiqih اَلإِسْتِصْحَابُ وَهُوَ اِسْتِصْحَابُ الْحَالِ :
عِبَارَةٌ
عَنِ الْحُكْمِ بِثُبُوْتِ اَمْرٍ فِيْ الزَّمَانِ الثَّانِيْ بِنَاءً عَلَى
ثُبُوْتِهِ فِيْ الزَّمَانِ الأَوَّلِ اَيْ هُوَ ثُبُوْتُ اَمْرٍ فِيْ الزَّمَانِ
الْحَاضِرِ بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِيْمَا مَضَى وَعَلَى سَبِيْلِ الْمِثَالِ
يُطْلَقُ اَنَّهُ اَلأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ اَوْ لاَ يُزَالُ
الْيَقِيْنُ بِالشَّكِّ
Keputusan hukum dengan penetapan suatu
perkara pada zaman kedua berdasarkan pada penetapan-nya pada zaman pertama,
atau penetapan suatu perkara pada zaman saat ini berdasarkan pada pene-tapannya
pada zaman yang telah berlalu. Sebagai contoh diberlakukan bahwa keadaan asal
adalah te-tapnya kondisi sesuatu pada kondisinya tersebut apa adanya, atau
realitas yakin itu tidak akan terhi-langkan oleh realitas keraguan
Penerapan kaidah tersebut pada kasus
pernyataan Sri Bintang Pamungkas sebagai berikut :
1.
ثُبُوْتُ اَمْرٍ فِيْ
الزَّمَانِ الثَّانِيْ adalah Allah SWT Maha
Demokratis yakni Allah SWT sendiri telah mem-berlakukan demokrasi khususnya
ketika akan menciptakan Adam (manusia pertama) dengan meng-ajak para malaikat
untuk bermusyawarah.
2.
ثُبُوْتُ اَمْرٍ فِيْ
الزَّمَانِ الأَوَّلِ adalah Allah SWT sama
sekali tidak mengajak para malaikat untuk bermu-syawarah berkenaan dengan
penciptaan Adam, melainkan hanya memberikan informasi kepada mereka (اَلْعِلْمُ لَهُمْ) tentang itu. Realitas ini sangat tampak dalam pernyataan para
malaikat sendiri ke-tika Allah SWT menyuruh mereka untuk menyebutkan nama-nama
seluruh benda yang nantinya akan ada di bumi :
وَعَلَّمَ
ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ
لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
(البقرة : 31-32)
Pernyataan para
malaikat قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا
مَا عَلَّمْتَنَا memastikan bahwa apa pun yang mereka ketahui termasuk tentang
Adam adalah seluruhnya berasal dari pemberitahuan Allah SWT. Oleh karena itu
pernyataan Allah SWT وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً juga berada dalam
hu-kum asal ini yaitu pemberian informasi kepada mereka dan sama sekali bukan
realitas bermusya-warah dengan mereka. Hakikat ini semakin gamblang dengan
adanya penegasan dari Allah SWT kepada mereka :
قَالَ
أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ
مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (البقرة : 33)
yang memastikan
tiga hal :
a.
informasi tentang Adam yang dimiliki para Malaikat (قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ) adalah sebagian sangat kecil dari sifat faktual Adam,
sedangkan keunggulan Adam yakni mam-pu menghimpun informasi yang jauh lebih
banyak daripada mereka tidak diberitahukan oleh Allah SWT dan realitas itu baru
mereka ketahui setelah peristiwa :
قَالَ
يَاآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (البقرة : 33)
b.
pernyataan para malaikat tentang Adam : أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ, sama sekali bukan
bentuk penyampaian pendapat mereka kepada Allah SWT (layaknya dalam syura)
melainkan sikap spontan mereka yang muncul dari adanya sedikit informasi
tentang Adam yang telah di-berikan oleh Allah SWT.
c.
kedua realitas para malaikat tersebut (poin a dan b)
memastikan posisi mereka sama sekali bukanlah tim syura bagi Allah SWT (اَهْلُ الشُّوْرَى ِللهِ تَعَالَى) dan bukan pula tim
penasihat bagi Nya (اَهْلُ الْمُسْتَشَارِيْنَ لَهُ). Mereka semua termasuk
Iblis adalah makhluq Allah SWT yang menjadi ob-jek pemberian informasi tentang
Adam.
3.
pernyataan Allah SWT إِنِّي
أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا
كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ memastikan tidak ada keperluan apa pun bagi Allah SWT untuk
bermusyawarah dengan makhluq (termasuk malaikat) da-lam perkara apa pun
termasuk penciptaan Adam. Realitas ini adalah اَلأَصْلُ
فِيْ اللهِ, sehingga berlaku kaidah اَلأَصْلُ
بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ.
Dengan demikian, anggapan Sri Bintang
Pamungkas bahwa Allah SWT Maha Demokratis selain salah fatal juga tidak sesuai
dengan اَلأَصْلُ فِيْ اللهِ yakni : إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا
تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ. Sehingga dalam arena
sunnatullah sama sekali tidak terdapat konsepsi demokrasi karena bertentangan
dengan اَلأَصْلُ فِيْ اللهِ tersebut, selain karena sunnatullah itu adalah semua ketetapan (اَلتَّقْدِيْرُ) Allah SWT yang berkenaan dengan atau berlaku
atas kehidupan dunia secara global dan bukan berkenaan de-ngan
atau berlaku atas perbuatan manusia yang berada dalam naungan
perintah Nya : halal dan haram.
Lalu, bagaimana dengan anggapan Surwandono bahwa demokrasi
seakan telah menjadi Tuhan baru tempat di mana harapan tertinggi masyarakat
digantungkan kepadanya? Tentu saja anggapan ini tipikal dengan thesis Sri
Bintang Pamungkas, yakni sama-sama salah fatal dan sama-sama menyalahi realitas
اَلأَصْلُ فِيْ اللهِ yakni : إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ. Apakah ketika
Sur-wandono merumuskan anggapan tersebut berdasarkan fakta aqliyah bahwa memang
benar demokrasi memiliki realitas اَلأَصْلُ yang sama 100 persen
dengan realitas اَلأَصْلُ فِيْ اللهِ? Dapat dipastikan bahwa
fak-ta aqliyah tersebut tidak ada dalam otak yang bersangkutan bahkan sangat
mungkin dia tidak pernah memiliki pemikiran ke arah itu, sebab anggapan itu dia
rumuskan secara induktif kasuistik yakni berda-sarkan sikap sebagian besar
manusia (termasuk umat Islam) saat ini yang menempatkan demokrasi se-bagai
segalanya bagi atau dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, demokrasi sendiri
tidak lebih dari sekedar antithesis bagi konsep diktatorisme yang dilembagakan
secara formal oleh para kaisar maupun raja yang berkuasa di Eropa Barat pada
abad pertengahan. Adalah Raja Louis XIV dari Perancis yang secara tegas
menyatakan : l’etat cest moi (negara adalah saya), lalu klaim ini dia
lembagakan secara formal radikal di seluruh wilayah kekuasaannya. Pelembagaan
tersebut diimplementasikan dengan sa-dis dan brutal sehingga siapa pun dari
kalangan rakyat yang menentangnya dipastikan akan dihadapkan kepada dua pilihan
: masuk penjara Bastille atau dipenggal dengan Guilloutine.
Realitas inilah yang memicu kemunculan klaim tandingan dari rakyat (dimotori
oleh para pemikir dan filosof) yang berbu-nyi : vox populi vox dei
(suara rakyat adalah suara Tuhan). Klaim vox populi vox dei pada gilirannya
melahirkan konsep pokok dari demokrasi yakni : from the people by the people
and for the people alias pemerintahan rakyat (حُكْمُ الشَّعْبِ)
yang maknanya adalah : (1) kedaulatan (sovereignty) di tangan rakyat dan
(2) rakyat adalah sumber kekuasaan. Kemudian konsep tersebut semakin ditegaskan
dalam konsep turunan Trias Politica alias pemisahan tiga lini kekuasaan :
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin realitas
demokrasi tersebut oleh Sri Bintang Pamungkas di-sifatkan kepada Allah SWT
yakni dianggap sebagai sunnatullah dan oleh Surwandono diposisikan se-bagai
Tuhan? Ketidakmungkinan inilah yang secara pasti telah memposisikan kedua orang
tersebut ju-ga lainnya yang serupa, sebagai manusia-manusia dungu (لاَ يَعْقِلُوْنَ اَوْ لاَ يَفْقَهُوْنَ) persis seperti
guru-guru mereka di Dunia Barat : kaum kufar. Allah SWT menyatakan :
وَمَثَلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً
وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
(الأنفال : 65)
Demokrasi adalah sunnah Rasul : benarkah?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak bangsa Indonesia
meneladani Rasulullah Mu-hammad SAW yang dengan kearifannya membangun tatanan
masyarakat demokratis, rukun, dan har-monis di antara umat sekalipun berbeda
pandangan dan keyakinan. Perilaku Rasulullah yang santun dan penuh etika
haruslah menginspirasi kita dalam mewujudkan demokrasi di Tanah Air. Presiden
me-negaskan, dalam pengembangan demokrasi dan kehidupan politik, bangsa
Indonesia seharusnya men-contoh Nabi Muhammad SAW yang dapat menerapkannya
dengan arif dan bijaksana, tetapi dengan te-tap menjunjung tinggi kerukunan dan
keharmonisan antarumat. (Kompas, Sabtu 27 Februari 2010, MAULID NABI, halaman
1).
Pernyataan atau seruan atau ajakan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam peringat-an Maulid Nabi Muhammad saw tersebut memastikan
bahwa menurut dia :
1.
Nabi Muhammad saw telah berhasil membangun masyarakat demokratis
yang rukun dan harmonis walaupun rakyatnya memiliki perbedaan dalam pandangan
dan keyakinan.
2.
Nabi Muhammad saw telah berhasil dalam pengembangan demokrasi dan
kehidupan politik de-ngan tetap menjunjung tinggi kerukunan dan keharmonisan
antarumat.
Dengan kata lain, menurut SBY demokrasi
berikut penerapan, pemberlakuan dan pengembangannya dalam kehidupan politik dan
kenegaraan saat ini adalah sunnah Rasulullah saw. Benarkah?
Hakikat demokrasi adalah antithesis terhadap diktatorisme tangan
besi (l’etat cest moi) yang di-berlakukan oleh para Kaisar dan para Raja di Eropa Barat
berkolaborasi dengan para Gerejawan. De-mokrasi diseolahkan sebagai vox dei
(suara Tuhan) yang direpresentasikan oleh vox populi (suara rak-yat),
sehingga ketika rakyat menetapkan halal maupun haram, maka itu adalah ketetapan
Tuhan. Ada-kah perbedaan antara l’etat cest moi dengan vox
populi vox dei? Klaim l’etat cest moi muncul lalu di-berlakukan
dengan dukungan penuh kaum agamawan yang atas nama Tuhan mereka memberikan
restu dan pembelaannya kepada para Kaisar maupun Raja. Demikian juga, sejak
awal kemunculannya klaim vox populi
vox dei jelas menyandarkan diri dan bertumpu kepada Tuhan bahkan Tuhan
dianggap telah mendelegasikan suara Nya (ketentuan Nya) kepada rakyat. Jadi pada faktanya antara thesis l’etat cest moi
dengan antithesisnya vox populi vox dei, adalah sama saja yakni
sama-sama mengatasnamakan Tuhan atau sama-sama bertumpu kepada Kuasa Tuhan.
Lalu, apakah realitas masyarakat, politik dan negara
yang berhasil dibangun sempurna oleh Rasu-lullah saw di Negeri Madinah boleh
atau dapat disebut sebagai masyarakat demokratis, politik demo-kratis
dan negara demokratis?
Masyarakat demokratis adalah masyarakat dengan
pemikiran, perasaan dan peraturan yang me-landasi interaksi manusia anggotanya
tersatukan oleh seluruh konsepsi yang ada dalam demokrasi. Saat ini, masyarakat
demokratis terwujud di seluruh negara kebangsaan yang jumlahnya hampir 200
negara. Sehingga, dapat dipastikan bahwa walaupun jumlah negara kebangsaan
begitu banyak namun masyara-kat yang ada hanya satu yakni masyarakat
demokratis.
Politik demokratis adalah realitas perjalanan
memperoleh, menggunakan dan kehilangan kekua-saan (C. Calhoun, 2002 : the ways in which people gain,
use, and lose power) yang berlangsung dalam naungan seluruh
konsepsi yang ada dalam demokrasi. Inilah hakikat politik yang tengah
berlangsung saat ini di seluruh dunia, terutama sejak runtuhnya Khilafah
Islamiyah Utsmaniyah pada tanggal 3 Ma-ret 1924.
Negara demokratis adalah negara kebangsaan saat ini
yang memberlakukan seluruh konsepsi de-mokrasi dalam perjalanan pemerintahannya
dan itu ditunjukkan oleh penerapan trias politika : legis-latif, eksekutif,
yudikatif. Pasca diruntuhkannya Khilafah Islamiyah di Istambul tidak ada lagi
satu pun negara di dunia yang bukan negara demokratis.
Lalu, apakah اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ yang berpusat di Madinah dengan رَئِيْسُهَا
Nabi Muhammad saw masuk atau terpetakan atau terkualifikasi oleh ketiga entitas
demokrasi tersebut? Tentu saja tidak satu pun dari ketiga entitas demokrasi itu
yang dapat ditemukan dalam atau ditunjukkan oleh realitas negara, politik
maupun masyarakat di Negeri Madinah. Pembahasannya sebagai berikut :
1. negara
yang berhasil didirikan oleh Rasulullah saw di Negeri Madinah yakni اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ adalah negara yang diwajibkan ada oleh
Allah SWT dan seluruh pemikiran tentang negara tersebut baik pokok maupun
cabang dan turunannya, telah ditetapkan secara rinci dalam banyak dalil baik
Al-Quran maupun As-Sunnah. Dengan kata lain, اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ adalah bentuk negara yang ditetapkan dalam
nubuwwah Nabi Muhammad saw :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا
شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Realitas تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw lainnya :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Bagian ucapan
Rasulullah saw وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ memastikan bahwa :
كَانَ
الْمُسْلِمُوْنَ يَسُوْسُهُمُ النَّبِيُّ الْوَاحِدُ وَهُوَ النَّبِيُّ مُحَمَّدٌ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِيْ ذَلِكَ الْحِيْنِ تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيْهِمْ ثُمَّ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُوْنُ خُلَفَاءُ يَسُوْسُوْنَ
الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ خِلَافَةٍ عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ
Kaum muslim itu hanya satu orang Nabi yang mengurus dan memimpin
mereka yakni Nabi Mu-hammad saw dan dalam masa itu Nubuwwah ada di
tengah-tengah mereka, kemudian setelah wa-fatnya beliau saw adalah para
Khalifah yang mengurus dan memimpin kaum muslim dalam Khi-lafah yang berjalan
sesuai dengan Nubuwwah
Representasi pasti
dari ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ adalah sepanjang
Khilafah dipimpin oleh barisan Khalifah terbaik yang pernah ada dalam kehidupan
Islami : Khulafa Rasyidun dan itu berlangsung selama 30 tahun sesuai dengan
pernyataan Rasulullah saw :
الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ
ذَلِكَ (رواه احمد)
الْخِلَافَةُ ثَلَاثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ
الْمُلْكُ (رواه احمد)
خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ
الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ (رواه ابو داود)
خِلَافَةُ
النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ
مَنْ يَشَاءُ (رواه ابو داود)
Hal itu bukan
berarti Khilafah Islamiyah hanya berlangsung 30 tahun yakni sepanjang Khulafa
Ra-syidun lalu setelahnya yakni mulai Muawiyah adalah bukan lagi Khilafah.
Tentu saja tidak demiki-an realitas yang ditunjukkan oleh dalil-dalil tersebut,
melainkan maknanya adalah Khilafah yang berkualifikasi خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
adalah hanya ada di dunia selama 30 tahun. Inilah yang dipastikan oleh ucapan
Rasulullah saw : خِلَافَةُ
النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ
أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ (رواه ابو داود).
Lalu berdasarkan realitas empiris Khilafah Islamiyah baik selama 30 tahun
dipimpin dan diurus oleh Khulafa Rasyidun maupun ketika telah beralih kepada
Muawiyah dan berakhir di tangan Ab-dul Majid II pada tanggal 3 Maret 1924,
seluruhnya memastikan bahwa Khilafah adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ
لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ
الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ
عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
kepemimpinan bagi
seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami serta mengemban
dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu tiada lain adalah
Imamah
Dengan demikian
Khilafah Islamiyah berlangsung sangat panjang yakni sejak tahun 632 M (Abu
Bakar) hingga 1924 M (Abdul Majid II) alias 1.292 tahun (13 abad) dan 30 tahun
di awal keberada-annya merupakan periode Khilafah terbaik karena mensifati : خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ.
Wal hasil demikianlah hakikat negara dalam Islam (اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) yang ada sejak masa
kepemimpi-nan Nabi Muhammad saw hingga awal abad ke 20 (3 Maret 1924 M), apakah
ini adalah realitas ne-gara demokratis? Jawabannya adalah tidak dan bukan
bahkan diametral dengan seluruh negara de-mokratis yang ada di
dunia saat ini, baik dari aspek asas, pemikiran pokok
maupun pemikiran ca-bang dan turunannya.
2.
realitas politik dalam Islam adalah :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ
اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
mengurus kepentingan rakyat
atau umat baik dalam negeri maupun luar negeri dengan mengguna-kan hukum syara
(Islam)
Sifat faktual
tersebut dirumuskan berdasarkan informasi wahyu (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌّ) berikut perjalanan
empi-ris (دَلِيْلٌ
عَقْلِيٌّ) sepanjang umat Islam
dipimpin dan diurus oleh Khulafa Rasyidun. Rasulullah saw menyatakan :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ
الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
(رواه البخاري)
Hadits yang
pertama memastikan bahwa berbeda dengan Bani Israil (Yahudi dan Nashrani), umat
Islam hanya satu kali diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk dipimpin dan
diurus oleh Nabi yak-ni Nabi Muhammad saw. Setelah itu, para Khalifah
dipastikan akan menggantikan posisi tersebut dengan realitas yang persis sama
dengan Nabi Muhammad saw kecuali satu hal yakni mereka tidak memperoleh wahyu
dari Allah SWT secara langsung melainkan wahyu yang telah diturunkan kepa-da
Rasulullah saw lalu disampaikan kepada mereka. Hubungan ketaatan rakyat (رَعِيَّةً
مِنْ الْمُسْلِمِينَ) ke-pada Khalifah
dipastikan melalui bai’at (فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ).
Hadits yang kedua
dan ketiga memastikan bahwa penguasa Islam (Khalifah dan para Wali)
sepe-ninggal Rasulullah saw wajib menjalankan kekuasaannya dalam rangka
memberlakukan Islam se-cara sempurna, menyeluruh dan utuh. Mereka haram sedikit
pun melakukan kecurangan (غَاشٌّ)
yak-ni menjalankan kekuasaannya demi ambisi pribadi maupun orang lain, alias
dalam rangka mereali-sir kepentingan naluriah dirinya maupun orang lain yang
ada di sekelilingnya, atau memberlakukan peraturan yang bukan berasal dari
Allah SWT (فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ).
Adapun realitas
perjalanan empiris hakikat politik dalam Islam ditunjukkan oleh pemikiran
mau-pun sikap Khulafa Rasyidun antara lain :
قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ
يَوْمَ مَاتَ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
bagian pernyataan Abu
Bakar وَلاَ
بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ memastikan bahwa
Islam sebagai دِيْنًا tidak akan mungkin dapat diberlakukan
secara sempurna oleh umat Islam terhadap seluruh manusia di dunia bila mereka
tidak memiliki Khalifah yang dibai’at untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab saat beliau menyaksikan be-tapa
kemajuan fisik (اَلتَّقَدُّمُ الْمَادِّيُ) sangat luar biasa
dilakukan oleh bangsa Arab (umat Islam saat itu), namun beliau sangat khawatir
hal itu akan memalingkan mereka dari perkara wajib yang pa-ling penting untuk
selalu dipertahankan yakni Islam dan kepemimpinan. Tamiim Ad-Daariy me-nyatakan :
تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ
عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا
إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ
إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ
وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ
(رواه الدارمي)
pada masa Khalifah
Umar telah terjadi keadaan manusia berlomba-lomba dalam pembangunan fisik
(rumah), lalu Umar berkata kepada mereka : ‘wahai masyarakat Arab tanah itu
akan tetap menjadi tanah (walau telah banyak ditempati bangunan), namun bahwa
Islam itu tidak ada kecuali dengan adanya jamaah (Khilafah) dan jamaah itu
tidak ada kecuali dengan adanya kepemimpinan dan kepemimpinan itu juga tidak
ada kecuali dengan adanya ketaatan. Oleh karena itu siapa saja yang kaumnya
menjadikan dia sebagai pemimpin berdasarkan pemahaman yang benar (terhadap
Islam) maka dia adalah kehidupan bagi dirinya serta kaumnya, dan siapa saja
yang kaumnya men-jadikan dia sebagai pemimpin bukan berdasarkan pemahaman yang
benar (terhadap Islam) maka dia adalah kebinasaan bagi dirinya maupun kaumnya’
Lalu,
apakah hakikat politik dalam Islam tersebut (حَقِيْقَةُ السِّيَاسَةِ فِيْ
الإِسْلاَمِ) sama
atau paling tidak mirip dengan realitas politik demokratis yang
tengah berlangsung saat ini di seluruh dunia? Jawa-bannya dipastikan :
jangankan sama sedangkan sekedar mirip sekali pun adalah sama sekali tidak!
3. istilah
masyarakat atau society atau اَلْمُجْتَمَعُ
merupakan istilah yang menggambarkan atau mengung-kapkan sifat fakta (وَصْفُ
الْوَاقِعِ), sehingga dalilnya adalah dalil aqliy yakni realitas yang
terindera la-lu terpahamkan oleh aqal. Aqal menetapkan hukum terhadap sifat
fakta masyarakat sebagai :
مَجْمُوْعٌ مِنْ
اُنَاسٍ تَكُوْنُ بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ دَائِمِيَّةٌ بِوِحْدَةِ الأَفْكَارِ
وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ
Kumpulan manusia
yang di antara mereka ada interaksi terus menerus berdasarkan satunya
pemi-kiran, perasaan dan peraturan
Sehingga pada faktanya
akan ada berbagai jenis masyarakat tergantung kepada kepastian dari rea-litas بِوِحْدَةِ
الأَفْكَارِ وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ, yakni :
a. jika
realitas بِوِحْدَةِ
الأَفْكَارِ وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ adalah 100 persen
utuh hanya Islam maka itu adalah masyarakat Islami atau Islamic Society
atau اَلْمُجْتَمَعُ
الإِسْلاَمِيُّ.
b. jika
realitas بِوِحْدَةِ
الأَفْكَارِ وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ adalah 100 persen
utuh hanya sistema kufur misal de-mokrasi maka itu adalah masyarakat demokratis
atau Democratic Society atau اَلْمُجْتَمَعُ
الدِيْمُقْرَاطِيُّ, atau secara umum adalah masyarakat kufur
(اَلْمُجْتَمَعُ
الْكُفْرِيُّ).
c. jika
realitas بِوِحْدَةِ
الأَفْكَارِ وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ adalah campuran
antara Islam dan sistema kufur maka itu adalah masyarakat kufur dan bukan
masyarakat kufur yang Islami (lihat poin a).
Walaupun demikian,
secara دَلاَلَةً
didapati dalam Islam adanya dalil berupa pernyataan Rasulullah saw yang
menunjukkan realitas masyarakat tersebut :
مَثَلُ الْقَائِمِ
عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى
سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ
الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ
فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ
مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا
عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا (رواه البخاري)
Bagian hadits كَمَثَلِ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ menunjukkan aspek مَجْمُوْعٌ
مِنْ اُنَاسٍ (kumpulan manusia). Ba-gian hadits فَكَانَ
الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ
فَوْقَهُمْ menunjukkan aspek interaksi terus menerus (تَكُوْنُ
بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ دَائِمِيَّةٌ). Adapun bagian akhir
hadits yakni :
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا
خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ
وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا
وَنَجَوْا جَمِيعًا
adalah menunjukkan
aspek بِوِحْدَةِ
الأَفْكَارِ وَالْمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ (berdasarkan
satunya pemikiran, perasaan dan peraturan). Lalu bagian awal hadits : مَثَلُ
الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا, memastikan bahwa
se-mesta pembicaraan (مَوْضُوْعُ الْبَحْثِ) dari pernyataan
Rasulullah saw itu adalah kehidupan Islami se-hingga masyarakat yang beliau
maksudkan tentu saja adalah masyarakat Islami atau Islamic Society atau اَلْمُجْتَمَعُ
الإِسْلاَمِيُّ. Lalu, apakah realitas masyarakat di
Madinah yang ditunjukkan oleh dalil terse-but adalah mensifati kualifikasi
masyarakat demokratis seperti yang ada saat ini di seluruh negara kebangsaan di
dunia? Jawabannya adalah tentu saja tidak dan bahkan 100 persen
bertentangan.
Lebih dari itu, dalam
pandangan Islam jangankan realitas masyarakat demokratis yang ada saat ini yang
tentu saja diharamkan terbentuk dan diberlakukan, sedangkan walau masih
terkategori masya-rakat Islami namun banyak penyimpangan, maka realitas
masyarakat seperti itu juga diharamkan terwujud dalam kehidupan umat Islam.
Imam Ahmad menyampaikan hadits Rasulullah saw tentang hal itu sebagai berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ
السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا
يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ
حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
(رواه احمد)
dari Jabir bin
Abdillah bahwa Nabi saw berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah : aku mohonkan
perlin-dungan bagimu kepada Allah dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab) bertanya :
apakah itu imarah sufa-ha? Beliau berkata : yakni para Amir yang akan ada
sepeninggalku, mereka memimpin manusia bukan dengan hidayahku dan memberlakukan
aturan kepada manusia bukan dengan sunnahku. Lalu siapa saja yang membenarkan
kebohongan mereka dan mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu bukan bagian
dari aku dan aku bukan bagian dari mereka dan mereka pun jangan berha-rap
memperoleh al-haudl (نَهْرُ
الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku. Dan siapa saja yang tidak
membenarkan keboho-ngan mereka dan tidak mendukung kezhaliman mereka, maka
orang itu adalah bagian dari aku dan aku bagian dari mereka dan mereka dapat
berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ)
da-riku
Wal hasil, anggapan
Presiden SBY bahwa demokrasi adalah sunnah Rasulullah saw tentu saja sa-ngat salah fatal sebab sama sekali tidak sesuai dengan
realitas sunnah Rasul itu sendiri yang tiada lain adalah upaya dan langkah
praktis riil dari Rasulullah saw dalam memberlakukan seluruh ketentuan Is-lam di arena kehidupan manusia di dunia. Inilah yang
dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
أُمَرَاءُ يَكُونُونَ
بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي (رواه احمد)
Artinya jangankan para penguasa saat ini yang
memberlakukan demokrasi dalam pemerintahan mereka sehingga pasti diharamkan
oleh Islam, sedangkan Khalifah sekalipun jika dia menjalankan pemerintah-an
Khilafah Islamiyah yang dipimpinnya tidak menggunakan Islam, maka itu pun sudah
diharamkan oleh Islam.
Kasus SBY : membela diri dengan
menghinakan Rasulullah saw!
Mengapa SBY begitu percaya diri menyatakan lalu menyimpulkan bahwa
demokrasi adalah sun-nah Rasulullah saw?
Adalah sangat mudah untuk mencari tahu alasan SBY melakukan
penghinaan kepada Rasulullah saw tersebut, yakni karena eksistensi maupun
keberlangsungan kekuasaan dan pemerintahannya saat ini amat sangat rapuh bahkan
terancam bubar dan ambruk di permulaan perjalanannya. Adalah kasus bailout
kepada Bank Century yang menelan uang negara sebesar Rp 6,7 triliun telah
menjadi ancaman mematikan bagi posisi SBY sebagai presiden bahkan bagi
administrasi pemerintahannya secara umum termasuk eksistensi partai
pengusungnya : Partai Demokrat. Inilah mengapa SBY secara gamblang me-nyatakan
: demokrasi juga harus kita tunjukkan dengan penuh etika dan kesantunan
serta tetap men-junjung tinggi akhlaqul karimah, bukan demokrasi yang sarat
dengan dendam dan permusuhan serta saling menjatuhkan. (Kompas, Sabtu 27
Februari 2010, MAULID NABI, halaman 15 : sambungan dari halaman 1).
Nampak sekali, SBY tengah membela diri sekaligus mengamankan
posisinya dengan membawa paksa pemikiran Islami akhlaqul karimah (اَلأَخْلاَقُ الْكَرِيْمَةُ) ke dalam perjalanan politik
demokratis yang tengah berlangsung di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Walaupun tidak eksplisit menye-but aspek akhlaqul karimah
sebagai sifat Rasulullah saw, namun karena SBY menyatakan itu dalam semesta
pembicaraan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw maka tentu saja dapat
dipastikan bahwa yang dimaksudkan adalah : demokrasi juga harus kita
tunjukkan dengan penuh etika dan kesantunan serta tetap menjunjung tinggi
akhlaqul karimah, seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Realitas itu akan makin pasti dengan memperhatikan bagian lainnya
dari ucapan SBY pada acara yang sama : Esensi dari peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW dimaksudkan untuk meneladani se-tiap pikiran, ucapan dan tindakan
Rasulullah. Keteladanan itu terdapat pada pemikiran yang cerdas dan jernih,
ucapan yang santun dan lembut, serta tindakan yang arif dan bijaksana. Pikiran,
ucapan dan tindakan itu diwarnai akhlak mulia yang mampu menebarkan kasih
sayang bagi semesta alam. Se-jarah mencatat, tatanan kehidupan bernegara yang
dibangun oleh Nabi Muhammad sangat menjun-jung tinggi keadilan sosial,
musyawarah untuk mufakat, penghormatan terhadap hak dan nilai kema-nusiaan,
penegakan supremasi hukum, dan kebersamaan antarumat untuk menjaga harmoni
sosial.
Mengapa SBY menempelkan secara paksa anggapan : Keteladanan itu
terdapat pada pemikiran yang cerdas dan jernih, ucapan yang santun dan lembut,
serta tindakan yang arif dan bijaksana, kepa-da Rasulullah saw? Tentu saja
prosedur pemaksaan tersebut yang dipilih SBY, sebab dia sangat sadar bahwa umat
Islam dari berbagai elemen dan latar belakang serta berada dalam berbagai wadah
lah yang selama ini (sejak prosesi Pansus DPR terhadap kasus Bank Century)
menyatakan bahkan meneriakkan kegeraman, kekesalan, kejengkelan maupun caci maki
kepada SBY berikut administrasi pemerintahan-nya. Oleh karena itu, SBY
melakukan serangan balik dengan menggunakan senjata berkaliber Rasulul-lah saw
: Keteladanan itu terdapat pada pemikiran yang cerdas dan jernih, ucapan
yang santun dan lembut, serta tindakan yang arif dan bijaksana.
Artinya, SBY tengah dengan sangat tegas mengingatkan umat Islam
bahwa pemikiran, ucapan dan tindakan mereka selama ini yang tidak sopan, kasar,
tidak arif, tidak bijaksana adalah salah karena telah menyimpang dari
Rasulullah saw.
Tentu saja seluruh anggapan SBY dalam pidato
sambutan pada acara peringatan maulid tersebut tidak ada satupun yang benar dan
sesuai dengan realitas Rasulullah saw, namun tanpa harus membahas satu
per satu atau bagian per bagian dari anggapannya yang keliru tersebut
maka dapat ditarik benang merah bahwa : SBY tengah membela diri dengan
menghinakan Rasulullah saw! Penghinaan yang paling keji, biadab, sadis,
brutal adalah menuding Rasulullah saw sebagai telah berhasil membangun
masyarakat demokratis yang rukun dan harmonis walaupun rakyatnya memiliki
perbedaan dalam pan-dangan dan keyakinan, serta berhasil dalam pengembangan
demokrasi dan kehidupan politik dengan tetap menjunjung tinggi kerukunan dan
keharmonisan antarumat. Kasarnya, SBY telah menuding Ra-sulullah saw telah
berhasil dengan gemilang membangun masyarakat dengan asas kekufuran
dan me-ngembangkan kekufuran tersebut dalam kehidupan politik.
Demi merealisir kepentingan naluriahnya, SBY telah menempatkan kepentingan itu
sebagai tuhan yang sejajar bahkan melebihi Allah SWT :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
Umat Islam : mengapa diam saja?
Hal yang sangat mengerikan dari peristiwa
penghinaan yang dilakukan SBY terhadap Rasulullah saw tersebut adalah
kesepakatan umat Islam Indonesia untuk diam saja dan tidak melakukan apa pun,
baik secara pemikiran, pernyataan maupun sikap. Padahal bentuk penghinaan itu
telah sangat melebihi aneka rupa penghinaan lainnya yang pernah ditujukan
kepada Rasulullah saw baik oleh kaum kufar maupun umat Islam dari masa ke masa.
Hal itu karena, tuduhan SBY bahwa Nabi Muhammad saw adalah pengusung dan
pemberlaku demokrasi tentu saja bermuara kepada Allah SWT yang juga mem-biarkan
bahkan menyetujui Rasul Nya mengemban, menerapkan dan menyebarluaskan kekufuran
da-lam kehidupan manusia di dunia. Artinya, Allah SWT sendiri juga meridlai
sistema kufur tersebut menjadi دِيْنًا bagi seluruh manusia di
dunia. Kesimpulan ini tidak dapat dihindari bahkan sesuatu yang diniscayakan
oleh aqal, sebab apa pun yang diucapkan dan dilakukan oleh setiap Rasul
termasuk Rasu-lullah saw adalah sepenuhnya berasal dari wahyu Allah SWT sendiri
:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى عَلَّمَهُ شَدِيدُ
الْقُوَى (النجم : 3-5)
Oleh karena itu kesepakatan umat Islam Indonesia untuk mendiamkan
dan tidak mempersoalkan penghinaan SBY terhadap Rasulullah saw tersebut, selain
sangat mengerikan juga menunjukkan rea-litas mereka saat ini yang :
1.
telah sepenuhnya meninggalkan Islam sebagai ideologi bagi
kehidupan manusia di dunia dan yang masih tersisa pada diri mereka hanyalah
sikap spiritualisme ritualisme yang “bercat dan bermerek” Islami.
2.
telah sepenuhnya memposisikan demokrasi sebagai bagian tak
terpisahkan dari Islam bahkan me-nempatkannya lebih tinggi daripada Islam.
Sikap mereka tersebut ditunjukkan oleh adanya kerelaan dan loyalitas yang utuh
terhadap demokrasi dan sebaliknya sangat membenci realitas Islam sebagai
ideologi dunia.
3.
telah tidak lagi memiliki kekuatan pemikiran apa pun untuk dapat
membedakan Islam dari kekufur-an, sehingga dapat dengan mudah dijebak oleh
informasi manipulatif yang sengaja dilontarkan oleh kaum kufar maupun kaum
muslim yang telah menjadi antek loyalis mereka, antara lain SBY.
4.
telah tidak lagi dapat mendudukkan persoalan mana sebab
(اَلسَّبَبُ) dan mana akibat (اَلْمُسَبَّبُ), se-hingga mereka
lebih mempersoalkan rencana kedatangan Presiden Obama ke Indonesia yang hanya
berupa akibat dari pemberlakuan sistema kufur demokrasi di NKRI,
daripada mempersoalkan pem-berlakuan demokrasi itu sendiri yang merupakan sebab
hilir mudiknya kaum kufar ke Indonesia termasuk Obama.
Dengan demikian, apa pun sikap yang
ditampakkan oleh umat Islam Indonesia saat ini (pro mau-pun kontra) dipastikan
tidak lebih dari respon naluriah persis seperti gerak gerik menggelepar dahsyat
dari hewan yang baru disembelih. Fakta ini semakin memastikan bahwa seiring
dengan perjalanan waktu yang terjadi atas umat Islam adalah semakin jauhnya
kesadaran aqliy tentang kewajiban mereka untuk menyelenggarakan kehidupan dunia
sepenuhnya عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ dengan langkah awal
melepaskan diri dari belenggu dan cengkeraman sistema kufur sekularistik :
demokrasi dan kapitalisme. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (الأنفال :
29)
Khatimah
Pada peringatan Maulid Nabi tahun 2010 M atau 1431 H ini, telah
muncul dua orang tokoh yang dengan lantang, vulgar dan penuh percaya diri
menudingkan penghinaan sangat keji kepada Rasulullah saw. Tokoh pertama adalah
yang selama ini bergelar RI-1 yakni Presiden SBY yang menghina Nabi Muhammad
saw dengan pernyataan : mengajak bangsa Indonesia meneladani Rasulullah
Muhammad SAW yang dengan kearifannya membangun tatanan masyarakat demokratis,
rukun, dan harmonis di antara umat sekalipun berbeda pandangan dan keyakinan.
Perilaku Rasulullah yang santun dan penuh etika haruslah menginspirasi kita
dalam mewujudkan demokrasi di Tanah Air.
Tokoh yang kedua adalah Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) KH. Thol-hah Hasan yang dalam tulisannya berjudul “Meneladani Nabi
Muhammad” (Kompas, Kamis 25 Febru-ari 2010, OPINI, halaman 7) menyatakan : Ia
tampil sebagai tokoh yang berkarakter demokratis dan suka perdamaian. Reaksi
berlebihan penduduk Mekkah terhadap Muhammad bukan sebatas karena dakwah Islam
yang dibawanya mengubah paradigma teologis yang mereka anut, yakni teologi
paga-nisme, jadi teologi monotheis (tauhid), tetapi perubahan yang dibawa juga
menyentuh sistem sosial, yang menggusur paradigma feodalisme jadi egaliter dan
demokratis. Perubahan dan pembaruan yang selalu diperjuangkan Nabi Muhammad
adalah untuk mewujudkan masyarakat mukmin yang berbuda-ya sebagai masyarakat
yang religious-etis, damai dan demokratis, sejahtera lahir batin, dan
berkeadil-an. Juga kesepakatan menjaga kebebasan beragama dan menjalankan
ibadah. Kesepakatan tertuang dalam “Piagam Madinah” sebagai kontrak
sosial-politik yang dilahirkan secara demokratis dan ter-dokumentasi. Piagam
ini dinilai para pakar sebagai cikal bakal berdirinya “Negara Islam Madinah”
dengan penduduk/masyarakat pluralis.
Tentu saja dan pasti, kemunculan kedua tokoh tersebut mewakili
fenomena gunung es dalam arena penghinaan kepada Allah SWT, Rasulullah saw,
Islam maupun umat Islam. Artinya masih sangat banyak tokoh lain yang hingga
saat tengah berancang-ancang untuk minimal melakukan hal yang seru-pa dengan keduanya atau bahkan lebih “hebat
lagi” dari keduanya.
No comments:
Post a Comment