Syariah Islamiyah sebagai alternatif : kemungkaran yang sangat sadis!
Tabloid Republika Dialog Jumat edisi Jumat 16 Oktober 2009
rubrik LAPORAN UTAMA (ha-laman 5) dengan tajuk “SYARIAT ISLAM : Alternatif di
Tengah Buruknya Pelayanan” menyatakan : Sejak bergulirnya era otonomi
daerah, sejumlah daerah yang mayoritas berpenduduk Muslim di Indo-nesia mencoba
menerapkan syariat Islam. Pemerintah kabupaten/kota menerapkan syariat Islam
mela-lui peraturan daerah (perda). Fenomena munculnya penerapan syariat Islam
di Tanah Air itu menun-jukkan adanya peningkatan kesadaran untuk mengembalikan
aturan kepada hukum Islam.
Selanjutnya Dialog Jumat mengutip hasil penelitian Irfan
Noor (peneliti Lembaga Kajian Keis-laman dan Kemasyarakatan/LK-3 Banjarmasin)
dengan tajuk “Perda Syariat Islam : Kajian tentang Ge-neologi Penerapan Syariat
Islam di Indonesia” : maraknya gerakan formalisasi syariat Islam di
berba-gai daerah ke dalam perda berbasis syariat Islam bukanlah tanpa konteks
tertentu. Penelusuran atas berbagai kecenderungan di Indonesia menunjukkan bahwa
lahirnya gerakan ini terkait dengan buruk-nya pelayanan negara akibat reformasi
yang mengalami pembusukan dari dalam. Oleh karena itu, ke-tika muncul tawaran
ideologi alternatif berbasis Islam mampu berkelindan dengan semangat identitas
lokal, maka wacana penerapan syariat Islam itu direspons sebagai antitesa bagi
hegemoni negara pas-ca-Orde Baru yang mulai menurun intensitasnya atas
masyarakat sipil. Syariat Islam tampaknya me-menuhi keinginan masyarakat
mengenai hukum yang ideal. Sebuah hasil survei PPIM-UIN Jakarta, pada 2001,
orang yang menginginkan hukum Islam mencapai 61,4 persen. Pada 2002, melonjak
men-jadi 70,6 persen, tahun 2004 naik lagi menjadi 75,5 persen. Orang yang
menginginkan pelaksanaan hukum potong tangan juga meningkat dari tahun ke
tahun. Jika pada 2001 mencapai 28,9 persen, ta-hun 2002 ada 35,5 persen dan
2004 sebanyak 38,9 persen responden menginginkan diberlakukannya hukum potong tangan
bagi para koruptor. Mereka beranggapan praktik potong tangan mencerminkan
ketegasan, keadilan, ketidakberpihakan hukum terhadap korupsi.
Dialog Jumat selanjutnya menyatakan bahwa berkembangnya penerapan syariat
Islam yang dite-rapkan sejumlah daerah melalui perda mendapat dukungan dari
kalangan ulama. Dalam Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia pada Mei
2006 lalu, MUI mengeluarkan rekomendasi yang mendu-kung perda-perda penerapan
syariat Islam seperti di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang dan lainnya. Ketua Umum
Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail mengung-kapkan
perlunya penerapan syariat Islam dilakukan secara tadrijiyyan
(bertahap). Agar penerapan sya-riat Islam bisa diterima oleh berbagai pihak
hendaknya dilakukan secara bertahap dan tidak kaku dan bukan asal potong
tangan. Akidah atau tauhid umat harus diperkuat terlebih dahulu. Kemudian
ibadah-nya seperti shalat dan hukum-hukum Islam yang lainnya serta
kesejahteraan hidupnya. Dengan begitu, umat bisa menerima penerapan syariat
Islam dengan baik.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Prof. Tgk H Muslim
Ibrahim ketika ditanya soal adanya tudingan melanggar HAM dalam sanksi Qanun
Jinayat menyatakan : PBB pernah mengi-rim orang ke Aceh untuk menanyakan
masalah penegakan hukum syariat. Mereka sempat memperta-nyakan apakah syariah
atau hukum Islam yang dijalankan melanggar HAM. Setelah saya jelaskan bahwa
hukum cambuk di Aceh bukan model keroyok tapi ada aturannya. Pertama bila
tersangka terli-hat aneh ditangkap dibawa ke kantor polisi. Polisinya pun
Kepolisian RI, bukan polisi Aceh. Setelah disidik mereka dikirim ke Kejaksaan RI.
Setelah itu baru diserahkan ke Mahkamah Syariah. Di sana dikaji. Bila ada keputusan maka
eksekusinya dilakukan oleh kejaksaan. Maka utusan dari PBB itu me-ngatakan,
kalau model demikian tidak melanggar HAM. Kami katakan, hukum Islam itu bukan
hukum rimba. Artinya penegakkan syariah di Aceh tidak melanggar HAM Indonesia dan
HAM PBB atau HAM internasional.
Demikianlah, sangat tampak adanya penggiringan opini dengan sangat
keras terhadap umat Islam bahwa fenomena munculnya penerapan syariat Islam
di Tanah Air itu menunjukkan adanya peningkat-an kesadaran untuk mengembalikan
aturan kepada hukum Islam. Kemudian supaya opini tersebut ter-kesan
didukung oleh mayoritas umat Islam, maka ditunjukkan sejumlah pernyataan maupun
hasil pene-litian (survei) yang berkaitan dengan hal itu, antara lain hasil
penelitian dari Lembaga Kajian Keislam-an dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin
(Irfan Noor), atau rekomendasi Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia
pada Mei 2006 lalu yang mendukung perda-perda penerapan syariat Islam seperti
di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang dan lainnya, atau ide Ketua
Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail yang
mengungkapkan perlunya penerapan sya-riat Islam dilakukan secara tadrijiyyan
(bertahap), atau berbagai pendapat Ketua Majelis Permusyawa-ratan Ulama (MPU)
Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim seputar Qanun Jinayat di Nangroe Aceh
Darus-salam (NAD) atau lainnya. Seluruhnya sangat dikesankan menyepakati
diberlakukannya hukum Islam di Indonesia dan kesepakatan itu digambarkan secara
vulgar sebagai bentuk nyata sikap memuliakan dan menjunjung tinggi syariah
Islamiyah. Lalu benarkah hakikatnya demikian?
Kepastian faktual yang hingga kini tengah berlangsung di Indonesia
adalah adanya Negara Kesa-tuan Republik Indonesia (NKRI) yang mensifati
realitas sebagai berikut :
1.
sekularisme adalah asas perjalanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan,
masyarakat berikut selu-ruh interaksi yang lazim muncul dari dan terjadi dalam
pola kehidupan tersebut.
2.
NKRI adalah negara kebangsaan dan secara tegas menyatakan diri
menganut serta memberlakukan konsep nasionalisme.
3.
demokrasi adalah sistem yang digunakan untuk menjalankan
pemerintahan NKRI dan kapitalisme (apa pun alasannya) adalah sistem
perekonomiannya.
4.
negara berikut pemerintahannya menempatkan semua agama (termasuk
Islam) sebagai :
a.
urusan pribadi (private business) setiap individu
masyarakat dan harus terlepas dari kendali sia-pa pun atau pihak mana pun
termasuk negara dan pemerintah.
b.
memiliki posisi yang sama dan setara, yakni sama-sama
mengajarkan kebaikan dan kemanu-siaan serta satu sama memiliki kesetaraan
sehingga tidak perlu adanya klaim paling benar dari suatu agama maupun klaim
salah yang ditudingkan kepada agama lain.
c.
tidak diperuntukkan sebagai ideologi kehidupan melainkan hanya
sebagai ajaran spiritualisme ritualisme yang pemberlakuannya terbatas di dalam
arena internal suatu komunitas agama.
d.
nilai-nilai atau konsep-konsep yang bersama-sama dengan adat
maupun tradisi lokal memper-kaya kebudayaan nasional Indonesia.
5.
mayoritas penduduk NKRI (88,2 persen : “Mapping the Global Muslim
Population”, The Pew Fo-rum on Religion and Public Life) adalah mengaku
beragama Islam. Oleh karena itu pemerintah NKRI selalu berusaha mengesankan
diri sangat berpihak kepada atau setidaknya akan
selalu memperhatikan aspirasi kelompok pemeluk agama terbesar ini. Pembangunan
kesan tersebut diim-plementasikan dalam dua lini besar kehidupan bernegara
yakni :
a.
perekonomian, dalam bentuk pengelaborasian sejumlah pemikiran perekonomian
yang ada da-lam Islam ke dalam mainstream perekonomian kapitalisme. Hal
itu seperti pembentukan per-bankan syariah murni misal BMI (yang berslogan Pertama
Murni Syariah), atau pembukaan divisi (office channeling) syariah
pada perbankan konvesional, atau pembentukan lembaga keu-angan syariah non
bank, atau asuransi syariah, obligasi syariah, bursa saham syariah, reksadana
syariah dan sebagainya. Seluruhnya diberlakukan dengan asas Undang-undang
sistem syariah yang memang telah cukup lama diundangkan oleh pemerintah NKRI.
b.
politik, secara umum dalam bentuk penetapan otonomi daerah hingga tingkat
kabupaten/kota yang memberikan ruang gerak sangat leluasa kepada pemerintah
kabupaten (pemkab) atau pe-merintah kota
(pemkot) untuk melakukan apa yang saat ini tengah populer yakni penetapan
pe-raturan daerah (perda) syariah atau yang bernuansa syariah, seperti yang
terjadi di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang,
Tangerang. Sedangkan secara khusus dilakukan dengan penetapan undang-undang
penerapan syariah Islamiyah yang diperuntukkan bagi provinsi NAD. Bentuk
lainnya dari proses akomodasi realitas mayoritas umat Islam di Indonesia adalah
dengan diizin-kannya pembentukan partai politik (parpol) berasas Islam atau
bermerek Islam atau berbasis massa
umat Islam.
Oleh karena itu, berdasarkan kepastian faktual yang melekat pada
realitas NKRI tersebut maka dapat ditetapkan pemikiran sebagai berikut :
1.
klaim bahwa fenomena munculnya penerapan syariat Islam di Tanah
Air itu menunjukkan adanya peningkatan kesadaran untuk mengembalikan aturan
kepada hukum Islam, tentu saja mustahil ber-temu dengan kenyataannya. Hal
itu karena bagian pernyataan … peningkatan kesadaran untuk me-ngembalikan
aturan kepada hukum Islam, adalah hanya angan-angan filosofis dan tidak
mungkin dapat direalisir, walau misal yang dimaksudkan adalah sekedar kompilasi
sejumlah bentuk sanksi dalam syariah Islamiyah ke dalam sistem sanksi yang ada
(KUHP) sekali pun. Sehingga tingkat ke-mustahilannya akan semakin tinggi lagi
jika maksud pernyataan itu adalah seluruh ketentuan Islam yang biasa dijalankan
oleh Khilafah Islamiyah terutama saat dipimpin oleh Khulafa Rasyidun.
2.
kesimpulan bahwa buruknya pelayanan negara akibat reformasi
yang mengalami pembusukan dari dalam adalah penyebab maraknya
gerakan formalisasi syariat Islam di berbagai daerah ke dalam perda berbasis
syariat Islam, tentu saja tidak mengagetkan dan tidak pula berlebihan.
Bahkan te-muan di lapangan tersebut dapat dikatakan sangat realisitis alias
sesuai dengan kenyataan apa ada-nya. Artinya, faktor satu-satunya yang
mendorong munculnya keinginan umat Islam untuk mem-berlakukan syariah Islamiyah
adalah kepentingan naluriah yang tidak terpenuhi alias tidak terlayani dengan
sempurna. Tegasnya, mereka menginginkan Islam sama sekali bukan diawali dengan
ada-nya kesadaran aqliy terhadap Islam sebagai ideologi yang wajib diberlakukan
dalam kehidupan ma-nusia di dunia, melainkan semata karena mereka menduga atau
menganggap bahwa dalam Islam ada sesuatu yang dapat memenuhi atau melayani
kebutuhan dan kepentingan naluriah mereka terse-but. Jadi kesimpulan syariat
Islam tampaknya memenuhi keinginan masyarakat mengenai hukum yang ideal
adalah sangat tepat jika dimaksudkan untuk menggambarkan realitas sikap umat
Islam yang menempatkan Islam hanya sebagai asas legalitas bagi tindakan mereka
ketika berusaha keras untuk memenuhi kepentingan naluriahnya. Namun, kesimpulan
tersebut adalah sangat salah yakni tidak sesuai dengan faktanya jika
dimaksudkan sebagai gambaran kesadaran umat Islam terhadap Islam sebagai
ideologi yang wajib diberlakukan dalam arena kehidupan dunia tanpa
mempertim-bangkan apa pun selain kesadaran hubungan mereka dengan Allah SWT.
Adapun berkenaan dengan hasil survei PPIM-UIN
Jakarta berikut :
Permasalahan
|
Tahun
2001 (%)
|
Tahun
2002 (%)
|
Tahun
2004 (%)
|
Menginginkan hukum Islam
|
61,4
|
70,6
|
75,5
|
Menginginkan praktik potong tangan
|
28,9
|
35,5
|
38,9
|
yang menunjukkan
adanya peningkatan keinginan responden baik terhadap pemberlakuan hukum Islam
maupun penerapan sanksi potong tangan bagi para koruptor, tentu saja tidak
dapat dan tidak boleh dijadikan sebagai asas untuk
memutuskan bahwa kesadaran umat Islam terhadap kewajiban mereka untuk
memberlakukan seluruh ketentuan Islam dalam kehidupan dunia semakin tinggi dari
tahun ke tahun. Hal itu karena fakta kehidupan mereka saat survei dilakukan
hingga kini justru me-nunjukkan realitas yang bertentangan dengan hasil survei
itu sendiri. Hingga saat ini sebagian sa-ngat besar umat Islam masih
menempatkan Islam sebagai agama spiritualistik ritualistik layaknya agama-agama
lain yang ada di Indonesia.
Mereka juga masih menganggap bahwa Islam tidak ada hubungannnya apa pun dengan
kehidupan manusia di dunia, bagi mereka Islam adalah aturan untuk ke-akhiratan.
Sebenarnya pernyataan bahwa mereka beranggapan praktik potong tangan
mencer-minkan ketegasan, keadilan, ketidakberpihakan hukum terhadap korupsi,
adalah semakin menegas-kan pola berpikir dan bersikap mereka terhadap Islam,
yakni sanksi potong tangan dalam Islam di-anggap dapat memberantas tindak
korupsi. Jadi yang diinginkan oleh mereka bukan Islam sebagai ideologi
kehidupan manusia di dunia, melainkan supaya tindak korupsi tidak ada lagi dan
itu dila-kukan dengan cara apa pun termasuk dengan mengkompilasi sanksi potong
tangan yang ada dalam Islam. Apakah Islam yang mereka inginkan ataukah
berhentinya tindak korupsi? Tentu saja yang mereka inginkan adalah berhentinya
tindak korupsi itu dan bukan Islam!
3.
rekomendasi Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia pada
Mei 2006 lalu yang mendu-kung perda-perda penerapan syariat Islam seperti di
Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tange-rang dan lainnya, sama sekali tidak
menunjukkan sikap memuliakan dan mengunggulkan Islam atas
kekufuran (demokrasi dan kapitalisme) yang tengah intensif diberlakukan di
NKRI. Justru se-baliknya rekomendasi tersebut adalah gambaran pasti sikap MUI
yang :
a.
berusaha keras untuk semakin memperkuat dan memperkokoh
pemberlakuan sistema kufur de-mokrasi di Indonesia dan itu mereka lakukan
dengan cara Islamisasi kekufuran tersebut. Bu-kankah mereka juga
tahu persis bahwa di seluruh wilayah kekuasaan NKRI tengah diberlaku-kan
demokrasi sebagai sistema pemerintahan yang menjadi dasar eksistensi NKRI berikut
selu-ruh provinsi maupun seluruh kabupaten dan kota yang ada di dalamnya?
b.
telah menghinakan dan menistakan Islam, karena
mereka telah secara sengaja, sadar dan te-rencana menempatkan Islam sebagai bagian
atau sub ordinan dari demokrasi. Bahkan mereka pun telah
menjadikan Islam sebagai hanya stempel Islamisasi bagi sistema
kufur tersebut beri-kut seluruh implementasi konsep cabang maupun turunannya,
antara lain perda.
4.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori
Ismail menyatakan perlunya penerapan syariat Islam dilakukan secara tadrijiyyan
(bertahap) dan agar bisa diterima oleh berba-gai pihak hendaknya dilakukan
secara bertahap dan tidak kaku dan bukan asal potong tangan. Be-narkah
demikian?
Harus diingat ruang lingkup kehidupan saat
Ketua Umum Ikadi menyatakan idenya tersebut adalah negara kebangsaan NKRI dan
bukan wadah pelaksanaan politik (كِيَانٌ
سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) bagi Islam yang sesuai dengan tuntutan Islam itu sendiri yakni
Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, seharusnya se-luruh umat Islam termasuk
Ahmad Satori Ismail tidak perlu dan tidak layak membicarakan pem-berlakuan
syariah Islamiyah dalam wadah NKRI yang memang bukan peruntukkannya. Artinya,
pemberlakukan syariah Islamiyah dalam wadah NKRI baik itu secara sempurna,
menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً
وَاحِدَةً) maupun bertahap (تَدَرُّجًا), adalah sama
saja yakni haram dilakukan se-bab Islam telah menetapkan
dengan pasti bahwa hanya Khilafah Islamiyah wadah satu-satunya un-tuk penerapan
dan pelaksanaan seluruh ketentuan Islam. Rasulullah saw menyatakan :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ (رواه احمد)
Allah SWT telah menetapkan taqdir bahwa umat Islam hanya
satu kali hidup dalam nubuwwah yang secara langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad
saw. Setelah itu seiring dengan wafatnya Ra-sulullah saw, umat Islam memang
akan hidup tetap dalam risalah nubuwwah namun dipimpin oleh Khulafa dalam wadah
Khilafah Islamiyah : ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى
مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ. Jadi, sejak saat itu Islam sebagai risalah nubuwwah Nabi
Muhammad saw secara pasti akan (dan telah) diberlakukan dalam Khilafah
Islamiyah di bawah kendali Khalifah yang memimpin Khilafah seca-ra tunggal.
Dengan demikian perbincangan tentang pemberlakuan syariah Islamiyah harus
didahu-lui oleh kesadaran aqliy seluruh umat Islam untuk membai’at seorang
Khalifah dengan bai’at pe-ngangkatan (بَيْعَةُ
الإِنْعِقَادِ). Barulah
setelah itu dilakukan implementasi ketentuan Islam yakni Khali-fah wajib
memberlakukan syariah Islamiyah شَامِلاً
كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً dan haram secara
تَدَرُّجًا.
5.
penjelasan Ketua MPU Aceh tentang mekanisme dan prosedural
penjatuhan sanksi Qanun Jinayat kepada utusan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
tentu saja memastikan beberapa hal berikut :
a.
dia dan teman sejawatnya di Mahkamah Syariah NAD telah dengan
sengaja dan aktif menem-patkan Islam (atas nama bagiannya yang disebut Qanun
Jinayat) sebagai bagian dari tata tertib acara hukum pidana NKRI : Pertama
bila tersangka terlihat aneh ditangkap dibawa ke kantor polisi. Polisinya pun
Kepolisian RI, bukan polisi Aceh. Setelah disidik mereka dikirim ke Ke-jaksaan RI.
Setelah itu baru diserahkan ke Mahkamah Syariah. Di sana dikaji. Bila ada kepu-tusan maka
eksekusinya dilakukan oleh kejaksaan.
b.
dia (juga lainnya di seluruh Dunia Islam) telah dengan lantang dan
tanpa merasa bersalah sedi-kit pun menyatakan bahwa Islam mengakui, menyetujui
bahkan bersesuaian dengan konsepsi HAM : Kami katakan, hukum Islam itu bukan
hukum rimba. Artinya penegakkan syariah di Aceh tidak melanggar HAM Indonesia dan
HAM PBB atau HAM internasional.
Artinya, Prof. Tgk H Muslim Ibrahim tanpa keraguan
sedikit pun telah memastikan bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan
dari atau mengakui eksistensi atau bersesuaian
dengan kekufuran yang muncul di atas asas sekularisme : KUHAP maupun
HAM. Lalu, apakah dia tidak pernah me-nerima informasi wahyu yang menyatakan :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا
يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ
حَكِيمٍ حَمِيدٍ (فصلت : 41-42)
Sungguh
orang-orang yang kafir itu kufur kepada Al-Quran saat telah datang kepada
mereka dan padahal dia (Al-Quran) adalah كِتَابٌ
عَزِيزٌ yang kekufuran (الْبَاطِلُ) tidak pernah mendatanginya baik dari depan maupun dari
belakang. Dia diturunkan dari Allah yang حَكِيمٍ
حَمِيدٍ.
Wal hasil,
propaganda dan penyebarluasan opini yang menyatakan bahwa Syariah
Islamiyah sebagai alternatif bagi sistema sekularisme berikut anak
kembarnya demokrasi dan kapitalisme, adalah ke-mungkaran yang sadis, keji dan
brutal yang setara dengan kemungkaran Iblis kepada Allah SWT tatka-la
menyatakan :
ءَأَسْجُدُ
لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا (الإسراء : 61)
Apakah aku akan sujud kepada seseorang yang
telah Engkau ciptakan sebagai tanah?
Mengapa sikap umat Islam demikian brutal?
Apabila diperbandingkan antara bentuk penistaan terhadap Islam
yang dilakukan oleh Ahmadi-yah, Syi’ah, Bahaiyyah, Komunitas Eden dan lainnya
yang sejenis, dengan tindak penistaan yang dila-kukan oleh umat Islam yang ada
di Tabloid Republika Dialog Jumat, atau oleh Irfan Noor (peneliti
Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan/LK-3 Banjarmasin), atau oleh umat
Islam yang me-ngawaki PPIM-UIN Jakarta, atau oleh MUI, atau oleh Ketua Umum
Ikadi Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail, atau oleh Ketua Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim atau oleh lainnya yang juga sejenis,
maka sangat nampak bahwa penistaan dan pelecehan terhadap Islam
yang dilakukan oleh kelompok kedua (umat Islam yang ada di
Tabloid Republika Dialog Jumat, Irfan Noor, umat Islam yang mengawaki
PPIM-UIN Jakarta, MUI, Ketua Umum Ikadi Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail, Ketua
MPU Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim atau lainnya yang juga sejenis) jauh
lebih sadis dan brutal daripada yang dilakukan oleh kelompok pertama
(Ahmadiyah, Syi’ah, Ba-haiyyah, Komunitas Eden dan lainnya yang sejenis). Kedua
kelompok memang telah sama-sama me-nistakan, menghina dan melecehkan Islam,
namun demikian kadar penistaan, penghinaan maupun pele-cehan yang dilakukan
oleh kelompok kedua jauh lebih sadis, lebih brutal dan lebih membahayakan
da-ripada kelompok pertama. Hal itu berhubungan dengan sikap umat Islam lainnya
terhadap kedua ke-lompok, yakni :
1.
umat Islam menempatkan kelompok pertama sebagai wajib
ditinggalkan karena sesat bahkan di-anggap telah dianggap keluar dari Islam.
Sehingga apa pun yang digagas dan diperbuat oleh kelom-pok ini hampir tidak ada
pengaruh apa pun terhadap pemikiran maupun sikap umat Islam.
2.
karena kelompok kedua tersusun dari sosok-sosok manusia (termasuk
ormas atau orpol) yang sa-ngat mendapat tempat dalam perasaan dan pemikiran
umat Islam, yakni mereka adalah sangat di-hormati, dimuliakan serta diikuti dan
ditaati oleh kaum muslim, maka tentu saja apa pun yang diga-gas dan diperbuat
oleh kelompok ini dapat dipastikan akan mempengaruhi bahkan mengendalikan
pemikiran berikut sikap umat Islam.
Terlepas dari perbedaan kadar penistaan, penghinaan maupun
pelecehan terhadap Islam yang di-lakukan oleh kedua kelompok tersebut, yang
pasti harus dipersoalkan adalah mengapa sikap mereka begitu sadis dan brutal?
Ada beberapa
realitas aksi hewan yang dijadikan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw sebagai
gambaran sikap manusia yang salah (مَثَلُ
السَّوْءِ) :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ
بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ
لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (الأعراف : 176)
Dan andaikan Kami berkehendak sungguh Kami akan cegah dia
dari melakukan maksiat dan akan te-tapi dia sendiri begitu menyukai kehidupan
di bumi dan dia mengikuti kepentingan naluriahnya sen-diri. Perumpamaan orang
itu adalah seperti anjing yakni jika kamu membebaninya maka anjing itu akan
menjulurkan lidahnya atau jika kamu membiarkannya dia juga akan menjulurkan
lidanya. Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka
ceritakanlah kisah-kisah terse-but kepada mereka supaya mereka dapat
memikirkannya.
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ
أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان : 19)
Dan rendahkanlah
suaramu, karena sungguh seburuk-buruknya suara adalah suara keledai
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا
التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (الجمعة : 5)
Perumpamaan
orang-orang yang dibebankan Taurah kepada mereka (Yahudi) lalu mereka tidak
mem-berlakukannya adalah seperti keledai yang memikul kitab, itulah
seburuk-buruknya perumpamaan bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah
dan Allah tidak akan memberikan hidayah kepa-da kaum yang bersikap zhalim
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ
أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت :41)
Perumpamaan orang-orang yang menjadikan auliya selain Allah
adalah seperti labah-labah yang membuat sarang dan sungguh serapuh-rapuhnya
bangunan rumah adalah rumahnya labah-labah, an-dai mereka (kaum kufar)
mengetahui hal itu
لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ
الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ (رواه البخاري)
Bukanlah untuk
kita perumpamaan yang buruk yakni seseorang yang mengambil lagi hibahnya
seperti anjing yang memakan kembali muntahnya
Anjing yang
beraksi إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ
تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ atau keledai yang akan selalu bersuara keras tidak enak di
dengar (أَنْكَرُ الْأَصْوَاتِ) atau keledai yang يَحْمِلُ أَسْفَارًا atau labah-labah yang akan terus menerus membuat sarangnya
walau sarangnya itu sangat rapuh dan mudah hancur (أَوْهَنُ
الْبُيُوتِ) atau anjing yang biasa memakan lagi muntahnya sendiri atau
aksi hewan lainnya, seluruhnya adalah realitas tindak tan-duk binatang yang
memang hanya dikendalikan oleh kepentingan naluriahnya dan kebutuhan pokok-nya
(lapar dan haus). Sebagai contoh : ketika seekor labah-labah sarangnya dirusak
atau bahkan dihan-curkan maka dia akan segera saja membuatnya kembali di tempat
yang sama alias tidak ada upaya un-tuk berpindah dan sebagainya. Fakta hewan
(apa pun) tersebut oleh Allah SWT dan Rasulullah saw di-jadikan pembanding
pasti bagi sikap manusia yang menolak aturan Allah SWT atau melecehkan dan menghinakannya.
Artinya, manusia sekali pun yang ditaqdirkan beraqal akan dapat dengan mudah
ber-sikap persis seperti hewan ketika mereka tidak menggunakan aturan Allah SWT
(شَرِيْعَةُ اللهِ تَعَالَى) dalam kehidupan mereka
di dunia. Hal itu terjadi karena sejak manusia memutuskan untuk meninggalkan
atu-ran Allah SWT maka seketika itu juga dia telah menjadikan kepentingan
naluriahnya sebagai patokan dan standard (وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ). Tentu saja realitas sikap manusia di dunia yang sudah وَاتَّبَعَ هَوَاهُ adalah mustahil dibedakan dari hewan bahkan lebih sesat lagi (بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا) :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
karena jika hewan sesat, salah, maksiat dan
sebagainya adalah wajar, pantas dan lumrah sebab sejak awal diciptakan memang
hanya memperturutkan kepentingan naluriahnya akibat mereka memang tidak diberi
khasiat aqal pada otaknya dan khasiat mendengar pemikiran pada telinganya.
Namun jika itu (se-sat, salah, maksiat) dilakukan oleh atau menjadi sikap
manusia padahal mereka يَسْمَعُونَ أَوْ
يَعْقِلُونَ, maka tentu saja sangat tidak wajar, tidak pantas dan tidak lumrah
: إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا.
Dengan demikian adalah sangat mudah untuk dipahami mengapa sikap
umat Islam saat ini begitu sadis dan brutal dalam menghinakan, melecehkan dan
menistakan Islam yakni karena mereka :
a.
telah tidak lagi menjadikan Islam berikut seluruh pemikiran, hukum
dan ide yang ada di dalamnya, sebagai asas berpikir dan berperasaan mereka.
Artinya pemikiran dan perasaan mereka telah sepe-nuhnya dikooptasi, didominasi
dan dikendalikan oleh kepentingan naluriahnya yang tentu saja sela-lu menuntut
dan menuntun mereka untuk memenuhinya dengan cara apa pun, termasuk yang
sela-ma ini hanya hewan yang melakukannya.
b.
bersamaan dengan kosongnya pemikiran dan perasaan mereka dari
Islam, ternyata mereka bersedia dan rela menjadikan diri mereka sebagai tempat
bercokolnya konsepsi najis ramuan tangan manu-sia yakni sekularisme berikut
demokrasi dan kapitalisme yang keduanya muncul dari asas tersebut.
Oleh karena itu, adalah tidak mengejutkan
jika umat Islam saat ini begitu sadis, brutal dan kejam dalam menghinakan,
melecehkan dan menistakan Islam dan saat yang bersamaan mereka berjuang
mati-ma-tian dalam memuliakan kekufuran serta membela dan mempertahankan
pemberlakuan sistema kufur tersebut dalam kehidupan mereka.
Islam dalam negara kebangsaan vs Islam dalam
Khilafah Islamiyah
Negara kebangsaan adalah diharamkan oleh Islam dan memang secara
faktanya tidak layak dan tidak pantas dijadikan wadah pelaksanaan politik (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) bagi seluruh ketentuan
Islam. Hal itu karena realitas negara kebangsaan adalah seperti yang tengah
berlangsung dalam arena kehidupan dunia saat ini yang jumlahnya hampir 200
negara. Ketidaklayakan dan ketidakpantasan konsepsi terse-but dapat ditunjukkan
antara lain oleh dua aspeknya yakni :
1.
batas teritorial wilayah kekuasaan suatu negara kebangsaan yang
kenyataannya berada dalam satu garis dengan batas yang sama dari satu atau
lebih negara kebangsaan lainnya. Realitas tersebut ten-tu saja akan menempatkan
manusia selalu berada dalam fakta konflik perbatasan yang menjadi an-caman
mematikan setiap saat.
2.
fakta dukungan dari potensi sumber daya alam (SDA) yang terkandung
dalam bumi maupun udara yang berada dalam cakupan wilayah kekuasaan suatu
negara kebangsaan, yakni ada yang memang memiliki potensi SDA sangat melimpah
(NKRI, China, India, Kerajaan Saudi Arabi, Amerika Se-rikat dan lainnya) dan
ada yang sebaliknya yakni sangat kekurangan bahkan hampir tidak SDA yang
terkandung dalam wilayah cakupan kekuasaannya (negara-negara Afrika Tengah,
Afrika Ba-rat dan negara yang ada di Sub Sahara). Realitas tersebut (disengaja
atau tidak) pasti akan mengan-tarkan kepada terbentuknya kelompok negara-negara
super miskin dan kelompok negara-negara super kaya yang seluruhnya akibat dari
keleluasaan akses terhadap SDA sekaligus menguasainya secara dominan dan
menghalangi akses negara-negara lainnya. Inilah yang ditunjukkan secara pasti
oleh kelompok negara industri maju (G-8) dengan kelompok campuran negara
berkembang dan miskin (tergabung secara politis dalam gugus Non Blok). Keadaan
inilah yang menyebabkan terja-dinya hegemoni G-8 atas dunia (terutama Dunia
Islam) dan tentu saja hal itu adalah ancaman me-matikan setiap saat bagi
kehidupan manusia.
Itulah hakikat
negara kebangsaan yang memang saat ini masih bahkan semakin dicintai oleh umat
Is-lam di seluruh Dunia Islam, padahal sikap mereka itu justru akan secara
pasti mengantarkan mereka kepada kebinasaan kemanusiaan selama hidup di dunia.
Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ
قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً
فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه مسلم)
فَلَيْسَ
مِنِّي وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ
يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه النسائي)
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ (رواه ابو داود)
Pensifatan sebagai قِتْلَةٌ
جَاهِلِيَّةٌ atau لَيْسَ مِنَّا atau فَلَيْسَ مِنِّي untuk :
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ
عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً
مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ
عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ
مَنْ
دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَمَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَمَنْ مَاتَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ
memastikan
bahwa seruan, propaganda, slogan, konsepsi dan gagasan yang mengarah kepada
kebang-saan maupun kekeluargaan (عَصَبِيَّةً) adalah diharamkan oleh Islam karena itu adalah kekufuran.
Demiki-an juga aksi bantuan kepada atau mati dalam rangka
membela atau berperang untuk membela عَصَبِيَّةً, seluruhnya
adalah diharamkan oleh Islam. Realitas عَصَبِيَّةً ditunjukkan oleh seseorang yang mensifatinya yakni :
وَالْعَصَبِيُّ هُوَ الَّذِيْ
يَعْصُبُ لِعُصْبَتِهِ أَيْ أَقَارِبِهِ وَيُحَامِيْ عَنْهُمْ (شرح سنن ابن ماجه
للسندي)
dan orang yang
bersikap عَصَبِيَّةً adalah yang membela dan
melindungi keluarganya atau kerabatnya
Oleh karena itu, seluruh umat Islam saat ini
yang jumlahnya 1,57 miliar orang (23 persen dari seluruh penduduk dunia yang
6,8 miliar orang) dan tersebar di lebih dari 50 negara kebangsaan, adalah haram
membicarakan pemberlakuan syariah Islamiyah di dunia. Hal itu karena kehidupan
mereka berlang-sung telah lebih dari 85 tahun dalam wadah yang diharamkan oleh
Islam yakni negara kebangsaan. Ke-wajiban paling mendesak yang harus segera
dilaksanakan oleh mereka saat ini adalah mewujudkan ke-sadaran aqliy untuk
sepakat membai’at seseorang sebagai Khalifah yang secara otomatis akan
memim-pin serta mengendalikan Khilafah Islamiyah secara tunggal. Tegasnya,
selama umat Islam masih men-jalankan kehidupan mereka dalam wadah negara
kebangsaan, maka selama itu pula tidak ada gunanya (selain haram) sama sekali
membahas soal pemberlakuan syariah Islamiyah, apakah boleh secara ber-tahap (تَدَرُّجًا) ataukah harus sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
Lalu, bagaimana halnya ketika Khilafah
Islamiyah telah tegak berdiri kembali dalam arena kehi-dupan dunia? Tentu saja
saat Khilafah Islamiyah telah ada lagi, maka Khalifah beserta para penguasa
yang ada di bawahnya (para Wali dan Amil) wajib memberlakukan
seluruh ketentuan Allah SWT dan Rasulullah saw dalam Islam secara sempurna,
menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً
وَاحِدَةً) dan haram melakukannya secara bertahap (تَدَرُّجًا) apa pun pertimbangan dan kesulitannya. Inilah yang dituntut
se-cara pasti oleh dalil yang ada dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, antara lain
:
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
Bagian ayat وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
memastikan bahwa اَلأَخْدُ بِمَا ءَاتَانَا
الرَّسُوْلُ dan اَلإِنْتِهَاءُ عَمَّا نَهَانَا الرَّسُوْلُ adalah wajib dilakukan dan itu berarti pemberlakuan
Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah adalah wajib secara sempurna,
menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً
وَاحِدَةً).
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Pernyataan وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا yang mengikuti bagian awal ayat وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ memastikan bahwa
sikap أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ yakni اَلتَّخَيُّرُ (pemilihan
pemilahan) adalah haram di-lakukan. Artinya ketika umat Islam
beserta Khalifah telah menerima seluruh informasi tentang semua ketentuan dalam
Islam yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul Nya (إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا),
maka mereka wajib memberlakukannya secara sempurna,
menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً
وَاحِدَةً).
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ
ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (المائدة : 49)
Bagian pernyataan Allah SWT وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ yang mengikuti ba-gian وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ memastikan bahwa
tuntutan perintah tersebut adalah wajib. Lalu karena adanya larangan pasti
(haram) mengikuti kepentingan naluriah manusia secara langsung (وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ) maupun yang telah
tersisipkan, terselipkan, tercampurkan dengan wahyu yang telah diturunkan oleh
Allah SWT (وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ), maka pemberlakuan
ketentuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah itu wajib secara sempurna,
menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً
وَاحِدَةً). Sifat pemberlakuan syariah
Islamiyah dalam wadah Khilafah tersebut juga dinyatakan oleh Rasulullah saw :
وَمَا
لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ
اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ (رواه ابن ماجه)
Dan selama para
Imam mereka (umat Islam) tidak memberlakukan pemerintahan dengan Kitabullah dan
mereka pun melakukan pilah pilih terhadap apa-apa yang telah Allah turunkan,
kecuali Allah pas-ti menjadikan dosanya merata di antara mereka
Artinya, Islam mengharamkan para Khalifah
menjalankan pemerintahannya bukan dengan peraturan yang bersumber dari Al-Quran
dan mereka pun haram bersikap اَلتَّخَيُّرُ ketika akan
memberlakukan ke-tentuan Islam dalam arena kehidupan manusia di dunia.
Tegasnya, Khalifah wajib menjalankan peme-rintahannya dengan sepenuhnya
bersumber kepada Al-Quran dan dia wajib memberlakukan syariah Is-lamiyah secara
sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً
كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
Demikianlah hakikat
pemberlakuan seluruh ketentuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah di bawah
kendali Khalifah secara tunggal. Hakikat tersebut telah secara praktis
diimplementasikan secara sempurna oleh barisan Khalifah terbaik yakni Khulafa
Rasyidun.
Khatimah
Suatu saat Ibnu Al-Khashaashiyyah
(As-Saduusiy) mendatangi Nabi Muhammad saw untuk membai’at beliau, maka
terjadilah dialog seperti berikut :
قَالَ
فَاشْتَرَطَ عَلَيَّ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنْ أُقِيمَ الصَّلَاةَ وَأَنْ أُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ
وَأَنْ أَحُجَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ وَأَنْ أَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَنْ
أُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا اثْنَتَانِ
فَوَاللَّهِ مَا أُطِيقُهُمَا الْجِهَادُ وَالصَّدَقَةُ فَإِنَّهُمْ زَعَمُوا
أَنَّهُ مَنْ وَلَّى الدُّبُرَ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ فَأَخَافُ إِنْ
حَضَرْتُ تِلْكَ جَشِعَتْ نَفْسِي وَكَرِهَتْ الْمَوْتَ وَالصَّدَقَةُ فَوَاللَّهِ
مَا لِي إِلَّا غُنَيْمَةٌ وَعَشْرُ ذَوْدٍ هُنَّ رَسَلُ أَهْلِي وَحَمُولَتُهُمْ
قَالَ فَقَبَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ
ثُمَّ حَرَّكَ يَدَهُ ثُمَّ قَالَ فَلَا جِهَادَ وَلَا صَدَقَةَ فَلِمَ تَدْخُلُ
الْجَنَّةَ إِذًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أُبَايِعُكَ قَالَ
فَبَايَعْتُ عَلَيْهِنَّ كُلِّهِنَّ (رواه احمد)
Dia (Ibnu Al-Khashaashiyyah) berkata : lalu
beliau mensyaratkan kepada saya syahadah لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ, dan supaya saya melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,
melaksanakan haji-nya Islam, melaksanakan shaum Ramadlan dan berjihad fi
sabiilillah. Lalu saya berkata : wahai Rasu-lullah, adapun yang dua perkara, maka
demi Allah saya tidak mampu melaksanakannya yakni jihad dan shadaqah (zakat).
Sungguh mereka (manusia) menyangka bahwa siapa saja yang melarikan diri dari
jihad, maka dia pasti berhadapan dengan murka Allah. Oleh karena itu, saya
khawatir jika saya mengikuti jihad itu maka diri saya menjadi lemah dan
membenci mati. Sedangkan tentang zakat maka demi Allah saya tidak memiliki apa
pun kecuali beberapa ekor kambing dan kurang dari 10 ekor unta seluruhnya
adalah tumpuan keluarga saya dan sumber pendapatan mereka. Dia (Ibnu
Al-Khashaa-shiyyah) berkata : lalu Rasulullah saw menggenggamkan tangannya
kemudian mengguncangkannya, lalu berkata : maka jika tidak jihad dan tidak
zakat lalu bagaimana kamu akan dapat masuk الْجَنَّةَ? Dia (Ibnu
Al-Khashaashiyyah) berkata : saya berkata, wahai Rasulullah saya akan membai’at
engkau. Dia (Ibnu Al-Khashaashiyyah) berkata : lalu saya membai’at beliau atas
seluruh persyaratan tersebut.
Peristiwa tersebut berlangsung di Ibukota
Madinah Al-Munawwarah yang berarti kedudukan Rasulul-lah saw adalah telah
sebagai Kepala Negara yang memikul kewajiban untuk memberlakukan seluruh
ketentuan Islam terhadap seluruh warga negara dari kalangan umat Islam yang di
antaranya adalah Ib-nu Al-Khashaashiyyah.
Pada kasus tersebut nampak sekali Nabi Muhammad saw tidak menerima
tawar menawar atau sikap pilah pilih yang ditunjukkan oleh umat Islam dan itu tidak
dikhususkan kepada yang ditampak-kan oleh Ibnu Al-Khashaashiyyah. Hal itu
karena bagian ucapan فَلَا جِهَادَ وَلَا صَدَقَةَ adalah lafadz umum
sehingga berlaku kaidah :
اَلْعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Wal
hasil riwayat tersebut semakin memastikan bahwa ketika Khilafah Islamiyah ada
di tengah kehidupan manusia, maka itulah saat yang tepat bagi umat Islam untuk
selalu memelihara kesadaran diri mereka untuk senantiasa bersama-sama dengan
Khalifah menjaga pemberlakuan Islam secara sem-purna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
No comments:
Post a Comment