Saturday, November 9, 2013

PENISTAAN TERHADAP ISLAM : SEMAKIN MASSIF!


Syariah Islamiyah sebagai alternatif : kemungkaran yang sangat sadis!
Tabloid Republika Dialog Jumat edisi Jumat 16 Oktober 2009 rubrik LAPORAN UTAMA (ha-laman 5) dengan tajuk “SYARIAT ISLAM : Alternatif di Tengah Buruknya Pelayanan” menyatakan : Sejak bergulirnya era otonomi daerah, sejumlah daerah yang mayoritas berpenduduk Muslim di Indo-nesia mencoba menerapkan syariat Islam. Pemerintah kabupaten/kota menerapkan syariat Islam mela-lui peraturan daerah (perda). Fenomena munculnya penerapan syariat Islam di Tanah Air itu menun-jukkan adanya peningkatan kesadaran untuk mengembalikan aturan kepada hukum Islam.
Selanjutnya Dialog Jumat mengutip hasil penelitian Irfan Noor (peneliti Lembaga Kajian Keis-laman dan Kemasyarakatan/LK-3 Banjarmasin) dengan tajuk “Perda Syariat Islam : Kajian tentang Ge-neologi Penerapan Syariat Islam di Indonesia” : maraknya gerakan formalisasi syariat Islam di berba-gai daerah ke dalam perda berbasis syariat Islam bukanlah tanpa konteks tertentu. Penelusuran atas berbagai kecenderungan di Indonesia menunjukkan bahwa lahirnya gerakan ini terkait dengan buruk-nya pelayanan negara akibat reformasi yang mengalami pembusukan dari dalam. Oleh karena itu, ke-tika muncul tawaran ideologi alternatif berbasis Islam mampu berkelindan dengan semangat identitas lokal, maka wacana penerapan syariat Islam itu direspons sebagai antitesa bagi hegemoni negara pas-ca-Orde Baru yang mulai menurun intensitasnya atas masyarakat sipil. Syariat Islam tampaknya me-menuhi keinginan masyarakat mengenai hukum yang ideal. Sebuah hasil survei PPIM-UIN Jakarta, pada 2001, orang yang menginginkan hukum Islam mencapai 61,4 persen. Pada 2002, melonjak men-jadi 70,6 persen, tahun 2004 naik lagi menjadi 75,5 persen. Orang yang menginginkan pelaksanaan hukum potong tangan juga meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2001 mencapai 28,9 persen, ta-hun 2002 ada 35,5 persen dan 2004 sebanyak 38,9 persen responden menginginkan diberlakukannya hukum potong tangan bagi para koruptor. Mereka beranggapan praktik potong tangan mencerminkan ketegasan, keadilan, ketidakberpihakan hukum terhadap korupsi.
Dialog Jumat selanjutnya menyatakan bahwa berkembangnya penerapan syariat Islam yang dite-rapkan sejumlah daerah melalui perda mendapat dukungan dari kalangan ulama. Dalam Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia pada Mei 2006 lalu, MUI mengeluarkan rekomendasi yang mendu-kung perda-perda penerapan syariat Islam seperti di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang dan lainnya. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail mengung-kapkan perlunya penerapan syariat Islam dilakukan secara tadrijiyyan (bertahap). Agar penerapan sya-riat Islam bisa diterima oleh berbagai pihak hendaknya dilakukan secara bertahap dan tidak kaku dan bukan asal potong tangan. Akidah atau tauhid umat harus diperkuat terlebih dahulu. Kemudian ibadah-nya seperti shalat dan hukum-hukum Islam yang lainnya serta kesejahteraan hidupnya. Dengan begitu, umat bisa menerima penerapan syariat Islam dengan baik.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim ketika ditanya soal adanya tudingan melanggar HAM dalam sanksi Qanun Jinayat menyatakan : PBB pernah mengi-rim orang ke Aceh untuk menanyakan masalah penegakan hukum syariat. Mereka sempat memperta-nyakan apakah syariah atau hukum Islam yang dijalankan melanggar HAM. Setelah saya jelaskan bahwa hukum cambuk di Aceh bukan model keroyok tapi ada aturannya. Pertama bila tersangka terli-hat aneh ditangkap dibawa ke kantor polisi. Polisinya pun Kepolisian RI, bukan polisi Aceh. Setelah disidik mereka dikirim ke Kejaksaan RI. Setelah itu baru diserahkan ke Mahkamah Syariah. Di sana dikaji. Bila ada keputusan maka eksekusinya dilakukan oleh kejaksaan. Maka utusan dari PBB itu me-ngatakan, kalau model demikian tidak melanggar HAM. Kami katakan, hukum Islam itu bukan hukum rimba. Artinya penegakkan syariah di Aceh tidak melanggar HAM Indonesia dan HAM PBB atau HAM internasional.
Demikianlah, sangat tampak adanya penggiringan opini dengan sangat keras terhadap umat Islam bahwa fenomena munculnya penerapan syariat Islam di Tanah Air itu menunjukkan adanya peningkat-an kesadaran untuk mengembalikan aturan kepada hukum Islam. Kemudian supaya opini tersebut ter-kesan didukung oleh mayoritas umat Islam, maka ditunjukkan sejumlah pernyataan maupun hasil pene-litian (survei) yang berkaitan dengan hal itu, antara lain hasil penelitian dari Lembaga Kajian Keislam-an dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin (Irfan Noor), atau rekomendasi Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia pada Mei 2006 lalu yang mendukung perda-perda penerapan syariat Islam seperti di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang dan lainnya, atau ide Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail yang mengungkapkan perlunya penerapan sya-riat Islam dilakukan secara tadrijiyyan (bertahap), atau berbagai pendapat Ketua Majelis Permusyawa-ratan Ulama (MPU) Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim seputar Qanun Jinayat di Nangroe Aceh Darus-salam (NAD) atau lainnya. Seluruhnya sangat dikesankan menyepakati diberlakukannya hukum Islam di Indonesia dan kesepakatan itu digambarkan secara vulgar sebagai bentuk nyata sikap memuliakan dan menjunjung tinggi syariah Islamiyah. Lalu benarkah hakikatnya demikian?
Kepastian faktual yang hingga kini tengah berlangsung di Indonesia adalah adanya Negara Kesa-tuan Republik Indonesia (NKRI) yang mensifati realitas sebagai berikut :
1.       sekularisme adalah asas perjalanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, masyarakat berikut selu-ruh interaksi yang lazim muncul dari dan terjadi dalam pola kehidupan tersebut.
2.       NKRI adalah negara kebangsaan dan secara tegas menyatakan diri menganut serta memberlakukan konsep nasionalisme.
3.       demokrasi adalah sistem yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan NKRI dan kapitalisme (apa pun alasannya) adalah sistem perekonomiannya.
4.       negara berikut pemerintahannya menempatkan semua agama (termasuk Islam) sebagai :
a.       urusan pribadi (private business) setiap individu masyarakat dan harus terlepas dari kendali sia-pa pun atau pihak mana pun termasuk negara dan pemerintah.
b.       memiliki posisi yang sama dan setara, yakni sama-sama mengajarkan kebaikan dan kemanu-siaan serta satu sama memiliki kesetaraan sehingga tidak perlu adanya klaim paling benar dari suatu agama maupun klaim salah yang ditudingkan kepada agama lain.
c.       tidak diperuntukkan sebagai ideologi kehidupan melainkan hanya sebagai ajaran spiritualisme ritualisme yang pemberlakuannya terbatas di dalam arena internal suatu komunitas agama.
d.      nilai-nilai atau konsep-konsep yang bersama-sama dengan adat maupun tradisi lokal memper-kaya kebudayaan nasional Indonesia.
5.       mayoritas penduduk NKRI (88,2 persen : “Mapping the Global Muslim Population”, The Pew Fo-rum on Religion and Public Life) adalah mengaku beragama Islam. Oleh karena itu pemerintah NKRI selalu berusaha mengesankan diri sangat berpihak kepada atau setidaknya akan selalu memperhatikan aspirasi kelompok pemeluk agama terbesar ini. Pembangunan kesan tersebut diim-plementasikan dalam dua lini besar kehidupan bernegara yakni :
a.       perekonomian, dalam bentuk pengelaborasian sejumlah pemikiran perekonomian yang ada da-lam Islam ke dalam mainstream perekonomian kapitalisme. Hal itu seperti pembentukan per-bankan syariah murni misal BMI (yang berslogan Pertama Murni Syariah), atau pembukaan divisi (office channeling) syariah pada perbankan konvesional, atau pembentukan lembaga keu-angan syariah non bank, atau asuransi syariah, obligasi syariah, bursa saham syariah, reksadana syariah dan sebagainya. Seluruhnya diberlakukan dengan asas Undang-undang sistem syariah yang memang telah cukup lama diundangkan oleh pemerintah NKRI.
b.       politik, secara umum dalam bentuk penetapan otonomi daerah hingga tingkat kabupaten/kota yang memberikan ruang gerak sangat leluasa kepada pemerintah kabupaten (pemkab) atau pe-merintah kota (pemkot) untuk melakukan apa yang saat ini tengah populer yakni penetapan pe-raturan daerah (perda) syariah atau yang bernuansa syariah, seperti yang terjadi di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tangerang. Sedangkan secara khusus dilakukan dengan penetapan undang-undang penerapan syariah Islamiyah yang diperuntukkan bagi provinsi NAD. Bentuk lainnya dari proses akomodasi realitas mayoritas umat Islam di Indonesia adalah dengan diizin-kannya pembentukan partai politik (parpol) berasas Islam atau bermerek Islam atau berbasis massa umat Islam.
Oleh karena itu, berdasarkan kepastian faktual yang melekat pada realitas NKRI tersebut maka dapat ditetapkan pemikiran sebagai berikut :
1.       klaim bahwa fenomena munculnya penerapan syariat Islam di Tanah Air itu menunjukkan adanya peningkatan kesadaran untuk mengembalikan aturan kepada hukum Islam, tentu saja mustahil ber-temu dengan kenyataannya. Hal itu karena bagian pernyataan … peningkatan kesadaran untuk me-ngembalikan aturan kepada hukum Islam, adalah hanya angan-angan filosofis dan tidak mungkin dapat direalisir, walau misal yang dimaksudkan adalah sekedar kompilasi sejumlah bentuk sanksi dalam syariah Islamiyah ke dalam sistem sanksi yang ada (KUHP) sekali pun. Sehingga tingkat ke-mustahilannya akan semakin tinggi lagi jika maksud pernyataan itu adalah seluruh ketentuan Islam yang biasa dijalankan oleh Khilafah Islamiyah terutama saat dipimpin oleh Khulafa Rasyidun.
2.       kesimpulan bahwa buruknya pelayanan negara akibat reformasi yang mengalami pembusukan dari dalam adalah penyebab maraknya gerakan formalisasi syariat Islam di berbagai daerah ke dalam perda berbasis syariat Islam, tentu saja tidak mengagetkan dan tidak pula berlebihan. Bahkan te-muan di lapangan tersebut dapat dikatakan sangat realisitis alias sesuai dengan kenyataan apa ada-nya. Artinya, faktor satu-satunya yang mendorong munculnya keinginan umat Islam untuk mem-berlakukan syariah Islamiyah adalah kepentingan naluriah yang tidak terpenuhi alias tidak terlayani dengan sempurna. Tegasnya, mereka menginginkan Islam sama sekali bukan diawali dengan ada-nya kesadaran aqliy terhadap Islam sebagai ideologi yang wajib diberlakukan dalam kehidupan ma-nusia di dunia, melainkan semata karena mereka menduga atau menganggap bahwa dalam Islam ada sesuatu yang dapat memenuhi atau melayani kebutuhan dan kepentingan naluriah mereka terse-but. Jadi kesimpulan syariat Islam tampaknya memenuhi keinginan masyarakat mengenai hukum yang ideal adalah sangat tepat jika dimaksudkan untuk menggambarkan realitas sikap umat Islam yang menempatkan Islam hanya sebagai asas legalitas bagi tindakan mereka ketika berusaha keras untuk memenuhi kepentingan naluriahnya. Namun, kesimpulan tersebut adalah sangat salah yakni tidak sesuai dengan faktanya jika dimaksudkan sebagai gambaran kesadaran umat Islam terhadap Islam sebagai ideologi yang wajib diberlakukan dalam arena kehidupan dunia tanpa mempertim-bangkan apa pun selain kesadaran hubungan mereka dengan Allah SWT.
Adapun berkenaan dengan hasil survei PPIM-UIN Jakarta berikut :
Permasalahan
Tahun 2001 (%)
Tahun 2002 (%)
Tahun 2004 (%)
Menginginkan hukum Islam
61,4
70,6
75,5
Menginginkan praktik potong tangan
28,9
35,5
38,9
yang menunjukkan adanya peningkatan keinginan responden baik terhadap pemberlakuan hukum Islam maupun penerapan sanksi potong tangan bagi para koruptor, tentu saja tidak dapat dan tidak boleh dijadikan sebagai asas untuk memutuskan bahwa kesadaran umat Islam terhadap kewajiban mereka untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam dalam kehidupan dunia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Hal itu karena fakta kehidupan mereka saat survei dilakukan hingga kini justru me-nunjukkan realitas yang bertentangan dengan hasil survei itu sendiri. Hingga saat ini sebagian sa-ngat besar umat Islam masih menempatkan Islam sebagai agama spiritualistik ritualistik layaknya agama-agama lain yang ada di Indonesia. Mereka juga masih menganggap bahwa Islam tidak ada hubungannnya apa pun dengan kehidupan manusia di dunia, bagi mereka Islam adalah aturan untuk ke-akhiratan. Sebenarnya pernyataan bahwa mereka beranggapan praktik potong tangan mencer-minkan ketegasan, keadilan, ketidakberpihakan hukum terhadap korupsi, adalah semakin menegas-kan pola berpikir dan bersikap mereka terhadap Islam, yakni sanksi potong tangan dalam Islam di-anggap dapat memberantas tindak korupsi. Jadi yang diinginkan oleh mereka bukan Islam sebagai ideologi kehidupan manusia di dunia, melainkan supaya tindak korupsi tidak ada lagi dan itu dila-kukan dengan cara apa pun termasuk dengan mengkompilasi sanksi potong tangan yang ada dalam Islam. Apakah Islam yang mereka inginkan ataukah berhentinya tindak korupsi? Tentu saja yang mereka inginkan adalah berhentinya tindak korupsi itu dan bukan Islam!
3.       rekomendasi Ijitima Ulama Komisi Fatwa MUI II se-Indonesia pada Mei 2006 lalu yang mendu-kung perda-perda penerapan syariat Islam seperti di Bulukumba, Cianjur, Cilegon, Padang, Tange-rang dan lainnya, sama sekali tidak menunjukkan sikap memuliakan dan mengunggulkan Islam atas kekufuran (demokrasi dan kapitalisme) yang tengah intensif diberlakukan di NKRI. Justru se-baliknya rekomendasi tersebut adalah gambaran pasti sikap MUI yang :
a.       berusaha keras untuk semakin memperkuat dan memperkokoh pemberlakuan sistema kufur de-mokrasi di Indonesia dan itu mereka lakukan dengan cara Islamisasi kekufuran tersebut. Bu-kankah mereka juga tahu persis bahwa di seluruh wilayah kekuasaan NKRI tengah diberlaku-kan demokrasi sebagai sistema pemerintahan yang menjadi dasar eksistensi NKRI berikut selu-ruh provinsi maupun seluruh kabupaten dan kota yang ada di dalamnya?
b.       telah menghinakan dan menistakan Islam, karena mereka telah secara sengaja, sadar dan te-rencana menempatkan Islam sebagai bagian atau sub ordinan dari demokrasi. Bahkan mereka pun telah menjadikan Islam sebagai hanya stempel Islamisasi bagi sistema kufur tersebut beri-kut seluruh implementasi konsep cabang maupun turunannya, antara lain perda.
4.       Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail menyatakan perlunya penerapan syariat Islam dilakukan secara tadrijiyyan (bertahap) dan agar bisa diterima oleh berba-gai pihak hendaknya dilakukan secara bertahap dan tidak kaku dan bukan asal potong tangan. Be-narkah demikian?
Harus diingat ruang lingkup kehidupan saat Ketua Umum Ikadi menyatakan idenya tersebut adalah negara kebangsaan NKRI dan bukan wadah pelaksanaan politik (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) bagi Islam yang sesuai dengan tuntutan Islam itu sendiri yakni Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, seharusnya se-luruh umat Islam termasuk Ahmad Satori Ismail tidak perlu dan tidak layak membicarakan pem-berlakuan syariah Islamiyah dalam wadah NKRI yang memang bukan peruntukkannya. Artinya, pemberlakukan syariah Islamiyah dalam wadah NKRI baik itu secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً) maupun bertahap (تَدَرُّجًا), adalah sama saja yakni haram dilakukan se-bab Islam telah menetapkan dengan pasti bahwa hanya Khilafah Islamiyah wadah satu-satunya un-tuk penerapan dan pelaksanaan seluruh ketentuan Islam. Rasulullah saw menyatakan :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ (رواه احمد)
Allah SWT telah menetapkan taqdir bahwa umat Islam hanya satu kali hidup dalam nubuwwah yang secara langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. Setelah itu seiring dengan wafatnya Ra-sulullah saw, umat Islam memang akan hidup tetap dalam risalah nubuwwah namun dipimpin oleh Khulafa dalam wadah Khilafah Islamiyah : ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ. Jadi, sejak saat itu Islam sebagai risalah nubuwwah Nabi Muhammad saw secara pasti akan (dan telah) diberlakukan dalam Khilafah Islamiyah di bawah kendali Khalifah yang memimpin Khilafah seca-ra tunggal. Dengan demikian perbincangan tentang pemberlakuan syariah Islamiyah harus didahu-lui oleh kesadaran aqliy seluruh umat Islam untuk membai’at seorang Khalifah dengan bai’at pe-ngangkatan (بَيْعَةُ الإِنْعِقَادِ). Barulah setelah itu dilakukan implementasi ketentuan Islam yakni Khali-fah wajib memberlakukan syariah Islamiyah شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً dan haram secara تَدَرُّجًا.
5.       penjelasan Ketua MPU Aceh tentang mekanisme dan prosedural penjatuhan sanksi Qanun Jinayat kepada utusan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentu saja memastikan beberapa hal berikut :
a.       dia dan teman sejawatnya di Mahkamah Syariah NAD telah dengan sengaja dan aktif menem-patkan Islam (atas nama bagiannya yang disebut Qanun Jinayat) sebagai bagian dari tata tertib acara hukum pidana NKRI : Pertama bila tersangka terlihat aneh ditangkap dibawa ke kantor polisi. Polisinya pun Kepolisian RI, bukan polisi Aceh. Setelah disidik mereka dikirim ke Ke-jaksaan RI. Setelah itu baru diserahkan ke Mahkamah Syariah. Di sana dikaji. Bila ada kepu-tusan maka eksekusinya dilakukan oleh kejaksaan.
b.       dia (juga lainnya di seluruh Dunia Islam) telah dengan lantang dan tanpa merasa bersalah sedi-kit pun menyatakan bahwa Islam mengakui, menyetujui bahkan bersesuaian dengan konsepsi HAM : Kami katakan, hukum Islam itu bukan hukum rimba. Artinya penegakkan syariah di Aceh tidak melanggar HAM Indonesia dan HAM PBB atau HAM internasional.
Artinya, Prof. Tgk H Muslim Ibrahim tanpa keraguan sedikit pun telah memastikan bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari atau mengakui eksistensi atau bersesuaian dengan kekufuran yang muncul di atas asas sekularisme : KUHAP maupun HAM. Lalu, apakah dia tidak pernah me-nerima informasi wahyu yang menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (فصلت : 41-42)
Sungguh orang-orang yang kafir itu kufur kepada Al-Quran saat telah datang kepada mereka dan padahal dia (Al-Quran) adalah كِتَابٌ عَزِيزٌ yang kekufuran (الْبَاطِلُ) tidak pernah mendatanginya baik dari depan maupun dari belakang. Dia diturunkan dari Allah yang حَكِيمٍ حَمِيدٍ.
Wal hasil, propaganda dan penyebarluasan opini yang menyatakan bahwa Syariah Islamiyah sebagai alternatif bagi sistema sekularisme berikut anak kembarnya demokrasi dan kapitalisme, adalah ke-mungkaran yang sadis, keji dan brutal yang setara dengan kemungkaran Iblis kepada Allah SWT tatka-la menyatakan :
ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا (الإسراء : 61)
Apakah aku akan sujud kepada seseorang yang telah Engkau ciptakan sebagai tanah?


Mengapa sikap umat Islam demikian brutal?
Apabila diperbandingkan antara bentuk penistaan terhadap Islam yang dilakukan oleh Ahmadi-yah, Syi’ah, Bahaiyyah, Komunitas Eden dan lainnya yang sejenis, dengan tindak penistaan yang dila-kukan oleh umat Islam yang ada di Tabloid Republika Dialog Jumat, atau oleh Irfan Noor (peneliti Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan/LK-3 Banjarmasin), atau oleh umat Islam yang me-ngawaki PPIM-UIN Jakarta, atau oleh MUI, atau oleh Ketua Umum Ikadi Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail, atau oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim atau oleh lainnya yang juga sejenis, maka sangat nampak bahwa penistaan dan pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh kelompok kedua (umat Islam yang ada di Tabloid Republika Dialog Jumat, Irfan Noor, umat Islam yang mengawaki PPIM-UIN Jakarta, MUI, Ketua Umum Ikadi Prof. Ustadz Ahmad Satori Ismail, Ketua MPU Aceh Prof. Tgk H Muslim Ibrahim atau lainnya yang juga sejenis) jauh lebih sadis dan brutal daripada yang dilakukan oleh kelompok pertama (Ahmadiyah, Syi’ah, Ba-haiyyah, Komunitas Eden dan lainnya yang sejenis). Kedua kelompok memang telah sama-sama me-nistakan, menghina dan melecehkan Islam, namun demikian kadar penistaan, penghinaan maupun pele-cehan yang dilakukan oleh kelompok kedua jauh lebih sadis, lebih brutal dan lebih membahayakan da-ripada kelompok pertama. Hal itu berhubungan dengan sikap umat Islam lainnya terhadap kedua ke-lompok, yakni :
1.       umat Islam menempatkan kelompok pertama sebagai wajib ditinggalkan karena sesat bahkan di-anggap telah dianggap keluar dari Islam. Sehingga apa pun yang digagas dan diperbuat oleh kelom-pok ini hampir tidak ada pengaruh apa pun terhadap pemikiran maupun sikap umat Islam.
2.       karena kelompok kedua tersusun dari sosok-sosok manusia (termasuk ormas atau orpol) yang sa-ngat mendapat tempat dalam perasaan dan pemikiran umat Islam, yakni mereka adalah sangat di-hormati, dimuliakan serta diikuti dan ditaati oleh kaum muslim, maka tentu saja apa pun yang diga-gas dan diperbuat oleh kelompok ini dapat dipastikan akan mempengaruhi bahkan mengendalikan pemikiran berikut sikap umat Islam.
Terlepas dari perbedaan kadar penistaan, penghinaan maupun pelecehan terhadap Islam yang di-lakukan oleh kedua kelompok tersebut, yang pasti harus dipersoalkan adalah mengapa sikap mereka begitu sadis dan brutal?
Ada beberapa realitas aksi hewan yang dijadikan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw sebagai gambaran sikap manusia yang salah (مَثَلُ السَّوْءِ) :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (الأعراف : 176)
Dan andaikan Kami berkehendak sungguh Kami akan cegah dia dari melakukan maksiat dan akan te-tapi dia sendiri begitu menyukai kehidupan di bumi dan dia mengikuti kepentingan naluriahnya sen-diri. Perumpamaan orang itu adalah seperti anjing yakni jika kamu membebaninya maka anjing itu akan menjulurkan lidahnya atau jika kamu membiarkannya dia juga akan menjulurkan lidanya. Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kisah-kisah terse-but kepada mereka supaya mereka dapat memikirkannya.
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان : 19)
Dan rendahkanlah suaramu, karena sungguh seburuk-buruknya suara adalah suara keledai
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (الجمعة : 5)
Perumpamaan orang-orang yang dibebankan Taurah kepada mereka (Yahudi) lalu mereka tidak mem-berlakukannya adalah seperti keledai yang memikul kitab, itulah seburuk-buruknya perumpamaan bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan Allah tidak akan memberikan hidayah kepa-da kaum yang bersikap zhalim
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت :41)
Perumpamaan orang-orang yang menjadikan auliya selain Allah adalah seperti labah-labah yang membuat sarang dan sungguh serapuh-rapuhnya bangunan rumah adalah rumahnya labah-labah, an-dai mereka (kaum kufar) mengetahui hal itu
لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ (رواه البخاري)
Bukanlah untuk kita perumpamaan yang buruk yakni seseorang yang mengambil lagi hibahnya seperti anjing yang memakan kembali muntahnya
Anjing yang beraksi إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ atau keledai yang akan selalu bersuara keras tidak enak di dengar (أَنْكَرُ الْأَصْوَاتِ) atau keledai yang يَحْمِلُ أَسْفَارًا atau labah-labah yang akan terus menerus membuat sarangnya walau sarangnya itu sangat rapuh dan mudah hancur (أَوْهَنُ الْبُيُوتِ) atau anjing yang biasa memakan lagi muntahnya sendiri atau aksi hewan lainnya, seluruhnya adalah realitas tindak tan-duk binatang yang memang hanya dikendalikan oleh kepentingan naluriahnya dan kebutuhan pokok-nya (lapar dan haus). Sebagai contoh : ketika seekor labah-labah sarangnya dirusak atau bahkan dihan-curkan maka dia akan segera saja membuatnya kembali di tempat yang sama alias tidak ada upaya un-tuk berpindah dan sebagainya. Fakta hewan (apa pun) tersebut oleh Allah SWT dan Rasulullah saw di-jadikan pembanding pasti bagi sikap manusia yang menolak aturan Allah SWT atau melecehkan dan menghinakannya. Artinya, manusia sekali pun yang ditaqdirkan beraqal akan dapat dengan mudah ber-sikap persis seperti hewan ketika mereka tidak menggunakan aturan Allah SWT (شَرِيْعَةُ اللهِ تَعَالَى) dalam kehidupan mereka di dunia. Hal itu terjadi karena sejak manusia memutuskan untuk meninggalkan atu-ran Allah SWT maka seketika itu juga dia telah menjadikan kepentingan naluriahnya sebagai patokan dan standard (وَاتَّبَعَ هَوَاهُ). Tentu saja realitas sikap manusia di dunia yang sudah وَاتَّبَعَ هَوَاهُ adalah mustahil dibedakan dari hewan bahkan lebih sesat lagi (بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا) :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
karena jika hewan sesat, salah, maksiat dan sebagainya adalah wajar, pantas dan lumrah sebab sejak awal diciptakan memang hanya memperturutkan kepentingan naluriahnya akibat mereka memang tidak diberi khasiat aqal pada otaknya dan khasiat mendengar pemikiran pada telinganya. Namun jika itu (se-sat, salah, maksiat) dilakukan oleh atau menjadi sikap manusia padahal mereka يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ, maka tentu saja sangat tidak wajar, tidak pantas dan tidak lumrah : إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا.
Dengan demikian adalah sangat mudah untuk dipahami mengapa sikap umat Islam saat ini begitu sadis dan brutal dalam menghinakan, melecehkan dan menistakan Islam yakni karena mereka :
a.       telah tidak lagi menjadikan Islam berikut seluruh pemikiran, hukum dan ide yang ada di dalamnya, sebagai asas berpikir dan berperasaan mereka. Artinya pemikiran dan perasaan mereka telah sepe-nuhnya dikooptasi, didominasi dan dikendalikan oleh kepentingan naluriahnya yang tentu saja sela-lu menuntut dan menuntun mereka untuk memenuhinya dengan cara apa pun, termasuk yang sela-ma ini hanya hewan yang melakukannya.
b.       bersamaan dengan kosongnya pemikiran dan perasaan mereka dari Islam, ternyata mereka bersedia dan rela menjadikan diri mereka sebagai tempat bercokolnya konsepsi najis ramuan tangan manu-sia yakni sekularisme berikut demokrasi dan kapitalisme yang keduanya muncul dari asas tersebut.
Oleh karena itu, adalah tidak mengejutkan jika umat Islam saat ini begitu sadis, brutal dan kejam dalam menghinakan, melecehkan dan menistakan Islam dan saat yang bersamaan mereka berjuang mati-ma-tian dalam memuliakan kekufuran serta membela dan mempertahankan pemberlakuan sistema kufur tersebut dalam kehidupan mereka.


Islam dalam negara kebangsaan vs Islam dalam Khilafah Islamiyah
Negara kebangsaan adalah diharamkan oleh Islam dan memang secara faktanya tidak layak dan tidak pantas dijadikan wadah pelaksanaan politik (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) bagi seluruh ketentuan Islam. Hal itu karena realitas negara kebangsaan adalah seperti yang tengah berlangsung dalam arena kehidupan dunia saat ini yang jumlahnya hampir 200 negara. Ketidaklayakan dan ketidakpantasan konsepsi terse-but dapat ditunjukkan antara lain oleh dua aspeknya yakni :
1.       batas teritorial wilayah kekuasaan suatu negara kebangsaan yang kenyataannya berada dalam satu garis dengan batas yang sama dari satu atau lebih negara kebangsaan lainnya. Realitas tersebut ten-tu saja akan menempatkan manusia selalu berada dalam fakta konflik perbatasan yang menjadi an-caman mematikan setiap saat.
2.       fakta dukungan dari potensi sumber daya alam (SDA) yang terkandung dalam bumi maupun udara yang berada dalam cakupan wilayah kekuasaan suatu negara kebangsaan, yakni ada yang memang memiliki potensi SDA sangat melimpah (NKRI, China, India, Kerajaan Saudi Arabi, Amerika Se-rikat dan lainnya) dan ada yang sebaliknya yakni sangat kekurangan bahkan hampir tidak SDA yang terkandung dalam wilayah cakupan kekuasaannya (negara-negara Afrika Tengah, Afrika Ba-rat dan negara yang ada di Sub Sahara). Realitas tersebut (disengaja atau tidak) pasti akan mengan-tarkan kepada terbentuknya kelompok negara-negara super miskin dan kelompok negara-negara super kaya yang seluruhnya akibat dari keleluasaan akses terhadap SDA sekaligus menguasainya secara dominan dan menghalangi akses negara-negara lainnya. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh kelompok negara industri maju (G-8) dengan kelompok campuran negara berkembang dan miskin (tergabung secara politis dalam gugus Non Blok). Keadaan inilah yang menyebabkan terja-dinya hegemoni G-8 atas dunia (terutama Dunia Islam) dan tentu saja hal itu adalah ancaman me-matikan setiap saat bagi kehidupan manusia.
Itulah hakikat negara kebangsaan yang memang saat ini masih bahkan semakin dicintai oleh umat Is-lam di seluruh Dunia Islam, padahal sikap mereka itu justru akan secara pasti mengantarkan mereka kepada kebinasaan kemanusiaan selama hidup di dunia. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه مسلم)
فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه النسائي)
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ (رواه ابو داود)
Pensifatan sebagai قِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ atau لَيْسَ مِنَّا atau فَلَيْسَ مِنِّي untuk :
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً
مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ
مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَمَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَمَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
memastikan bahwa seruan, propaganda, slogan, konsepsi dan gagasan yang mengarah kepada kebang-saan maupun kekeluargaan (عَصَبِيَّةً) adalah diharamkan oleh Islam karena itu adalah kekufuran. Demiki-an juga aksi bantuan kepada atau mati dalam rangka membela atau berperang untuk membela عَصَبِيَّةً, seluruhnya adalah diharamkan oleh Islam. Realitas عَصَبِيَّةً ditunjukkan oleh seseorang yang mensifatinya yakni :
وَالْعَصَبِيُّ هُوَ الَّذِيْ يَعْصُبُ لِعُصْبَتِهِ أَيْ أَقَارِبِهِ وَيُحَامِيْ عَنْهُمْ (شرح سنن ابن ماجه للسندي)
dan orang yang bersikap عَصَبِيَّةً adalah yang membela dan melindungi keluarganya atau kerabatnya
Oleh karena itu, seluruh umat Islam saat ini yang jumlahnya 1,57 miliar orang (23 persen dari seluruh penduduk dunia yang 6,8 miliar orang) dan tersebar di lebih dari 50 negara kebangsaan, adalah haram membicarakan pemberlakuan syariah Islamiyah di dunia. Hal itu karena kehidupan mereka berlang-sung telah lebih dari 85 tahun dalam wadah yang diharamkan oleh Islam yakni negara kebangsaan. Ke-wajiban paling mendesak yang harus segera dilaksanakan oleh mereka saat ini adalah mewujudkan ke-sadaran aqliy untuk sepakat membai’at seseorang sebagai Khalifah yang secara otomatis akan memim-pin serta mengendalikan Khilafah Islamiyah secara tunggal. Tegasnya, selama umat Islam masih men-jalankan kehidupan mereka dalam wadah negara kebangsaan, maka selama itu pula tidak ada gunanya (selain haram) sama sekali membahas soal pemberlakuan syariah Islamiyah, apakah boleh secara ber-tahap (تَدَرُّجًا) ataukah harus sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
Lalu, bagaimana halnya ketika Khilafah Islamiyah telah tegak berdiri kembali dalam arena kehi-dupan dunia? Tentu saja saat Khilafah Islamiyah telah ada lagi, maka Khalifah beserta para penguasa yang ada di bawahnya (para Wali dan Amil) wajib memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dan Rasulullah saw dalam Islam secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً) dan haram melakukannya secara bertahap (تَدَرُّجًا) apa pun pertimbangan dan kesulitannya. Inilah yang dituntut se-cara pasti oleh dalil yang ada dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, antara lain :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
Bagian ayat وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ memastikan bahwa اَلأَخْدُ بِمَا ءَاتَانَا الرَّسُوْلُ dan اَلإِنْتِهَاءُ عَمَّا نَهَانَا الرَّسُوْلُ adalah wajib dilakukan dan itu berarti pemberlakuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah adalah wajib secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Pernyataan وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا yang mengikuti bagian awal ayat وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ memastikan bahwa sikap أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ yakni اَلتَّخَيُّرُ (pemilihan pemilahan) adalah haram di-lakukan. Artinya ketika umat Islam beserta Khalifah telah menerima seluruh informasi tentang semua ketentuan dalam Islam yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul Nya (إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا), maka mereka wajib memberlakukannya secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (المائدة : 49)
Bagian pernyataan Allah SWT وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ yang mengikuti ba-gian وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ memastikan bahwa tuntutan perintah tersebut adalah wajib. Lalu karena adanya larangan pasti (haram) mengikuti kepentingan naluriah manusia secara langsung (وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ) maupun yang telah tersisipkan, terselipkan, tercampurkan dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT (وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ), maka pemberlakuan ketentuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah itu wajib secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً). Sifat pemberlakuan syariah Islamiyah dalam wadah Khilafah tersebut juga dinyatakan oleh Rasulullah saw :

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ (رواه ابن ماجه)
Dan selama para Imam mereka (umat Islam) tidak memberlakukan pemerintahan dengan Kitabullah dan mereka pun melakukan pilah pilih terhadap apa-apa yang telah Allah turunkan, kecuali Allah pas-ti menjadikan dosanya merata di antara mereka
Artinya, Islam mengharamkan para Khalifah menjalankan pemerintahannya bukan dengan peraturan yang bersumber dari Al-Quran dan mereka pun haram bersikap اَلتَّخَيُّرُ ketika akan memberlakukan ke-tentuan Islam dalam arena kehidupan manusia di dunia. Tegasnya, Khalifah wajib menjalankan peme-rintahannya dengan sepenuhnya bersumber kepada Al-Quran dan dia wajib memberlakukan syariah Is-lamiyah secara sempurna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً).
Demikianlah hakikat pemberlakuan seluruh ketentuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah di bawah kendali Khalifah secara tunggal. Hakikat tersebut telah secara praktis diimplementasikan secara sempurna oleh barisan Khalifah terbaik yakni Khulafa Rasyidun.

Khatimah
Suatu saat Ibnu Al-Khashaashiyyah (As-Saduusiy) mendatangi Nabi Muhammad saw untuk membai’at beliau, maka terjadilah dialog seperti berikut :
قَالَ فَاشْتَرَطَ عَلَيَّ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنْ أُقِيمَ الصَّلَاةَ وَأَنْ أُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ وَأَنْ أَحُجَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ وَأَنْ أَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَنْ أُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا اثْنَتَانِ فَوَاللَّهِ مَا أُطِيقُهُمَا الْجِهَادُ وَالصَّدَقَةُ فَإِنَّهُمْ زَعَمُوا أَنَّهُ مَنْ وَلَّى الدُّبُرَ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ فَأَخَافُ إِنْ حَضَرْتُ تِلْكَ جَشِعَتْ نَفْسِي وَكَرِهَتْ الْمَوْتَ وَالصَّدَقَةُ فَوَاللَّهِ مَا لِي إِلَّا غُنَيْمَةٌ وَعَشْرُ ذَوْدٍ هُنَّ رَسَلُ أَهْلِي وَحَمُولَتُهُمْ قَالَ فَقَبَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ ثُمَّ حَرَّكَ يَدَهُ ثُمَّ قَالَ فَلَا جِهَادَ وَلَا صَدَقَةَ فَلِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِذًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أُبَايِعُكَ قَالَ فَبَايَعْتُ عَلَيْهِنَّ كُلِّهِنَّ (رواه احمد)
Dia (Ibnu Al-Khashaashiyyah) berkata : lalu beliau mensyaratkan kepada saya syahadah لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, dan supaya saya melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji-nya Islam, melaksanakan shaum Ramadlan dan berjihad fi sabiilillah. Lalu saya berkata : wahai Rasu-lullah, adapun yang dua perkara, maka demi Allah saya tidak mampu melaksanakannya yakni jihad dan shadaqah (zakat). Sungguh mereka (manusia) menyangka bahwa siapa saja yang melarikan diri dari jihad, maka dia pasti berhadapan dengan murka Allah. Oleh karena itu, saya khawatir jika saya mengikuti jihad itu maka diri saya menjadi lemah dan membenci mati. Sedangkan tentang zakat maka demi Allah saya tidak memiliki apa pun kecuali beberapa ekor kambing dan kurang dari 10 ekor unta seluruhnya adalah tumpuan keluarga saya dan sumber pendapatan mereka. Dia (Ibnu Al-Khashaa-shiyyah) berkata : lalu Rasulullah saw menggenggamkan tangannya kemudian mengguncangkannya, lalu berkata : maka jika tidak jihad dan tidak zakat lalu bagaimana kamu akan dapat masuk الْجَنَّةَ? Dia (Ibnu Al-Khashaashiyyah) berkata : saya berkata, wahai Rasulullah saya akan membai’at engkau. Dia (Ibnu Al-Khashaashiyyah) berkata : lalu saya membai’at beliau atas seluruh persyaratan tersebut.

Peristiwa tersebut berlangsung di Ibukota Madinah Al-Munawwarah yang berarti kedudukan Rasulul-lah saw adalah telah sebagai Kepala Negara yang memikul kewajiban untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam terhadap seluruh warga negara dari kalangan umat Islam yang di antaranya adalah Ib-nu Al-Khashaashiyyah.
Pada kasus tersebut nampak sekali Nabi Muhammad saw tidak menerima tawar menawar atau sikap pilah pilih yang ditunjukkan oleh umat Islam dan itu tidak dikhususkan kepada yang ditampak-kan oleh Ibnu Al-Khashaashiyyah. Hal itu karena bagian ucapan فَلَا جِهَادَ وَلَا صَدَقَةَ adalah lafadz umum sehingga berlaku kaidah :
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Wal hasil riwayat tersebut semakin memastikan bahwa ketika Khilafah Islamiyah ada di tengah kehidupan manusia, maka itulah saat yang tepat bagi umat Islam untuk selalu memelihara kesadaran diri mereka untuk senantiasa bersama-sama dengan Khalifah menjaga pemberlakuan Islam secara sem-purna, menyeluruh dan utuh (شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)


No comments:

Post a Comment