Realitas peran ormas Islam dalam negara kebangsaan sekularistik
Seminar bertema “Membincang Ulang Peran Sosial-Politik Organisasi
Keagamaan” telah digelar tanggal 11 Maret 2010 yang lalu bertempat di Gedung
Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-nesia (LIPI) Jakarta (Kompas, Jumat
12 Maret 2010, POLITIK & HUKUM : Peran Organisasi Islam Merosot, halaman
5). Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
: Bahtiar Effendy yang menjadi pembicara dalam seminar menyatakan : Ada
demoralisasi dalam tubuh NU dan Muhammadiyah pascareformasi. Demoralisasi itu
terbukti dengan tidak adanya kepatuhan anggota organisasi kepada pimpinan
ataupun santri kepada kiai. Saat ini, kebijakan atau fatwa pimpi-nan organisasi
jarang sekali didengar oleh anggotanya. Bisa jadi fatwa merokok haram yang
dikeluar-kan Yunahar Ilyas (Ketua PP Muhammadiyah) tidak didengarkan.
Jangan-jangan Malik Fadjar (Ke-tua PP Muhammadiyah) malah keluar dari
Muhammadiyah gara-gara fatwa itu. Demoralisasi itu ter-jadi lantaran menurunnya
peran NU dan Muhammadiyah dalam masalah sosial dan keagamaan. Pas-careformasi
1998, perhatian kedua organisasi itu tersedot ke politik. Tidak sedikit
pengurus, termasuk para ulama, yang terjun ke ranah politik praktis. Aktivitas
politik praktis itulah yang menyebabkan pe-ran sosial keagamaan NU dan
Muhammadiyah semakin merosot dalam 12 tahun terakhir. Baik NU maupun
Muhammadiyah tidak lagi kreatif membangun masyarakat, seperti pada awal Orde Baru
keti-ka peran politik mereka dibatasi. Saat itu, NU dan Muhammadiyah lebih
banyak berkiprah di masya-rakat dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan
fasilitas pelayanan masyarakat lainnya.
Sementara itu pada acara yang sama, Kepala
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Abdul Rachman Patji
menyatakan : keberadaan gerakan Islam pascareformasi justru mampu mendorong
demokratisasi. Bukan hanya NU dan Muhammadiyah, tetapi juga kelompok lain
muncul pascareformasi, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir
Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
Demikianlah, Bahtiar Effendy menyodorkan realitas yang wajib
dilakukan oleh organisasi massa (ormas) Islam yakni pembangunan moral
(moralisasi) masyarakat paling tidak terhadap massa di ling-kungannya sendiri.
Bentuk riil aktivitas moralisasi massa dari ormas Islam adalah berperan aktif
dalam masalah sosial dan keagamaan, lalu jika peran tersebut dikurangi atau
apalagi ditinggalkan maka secara otomatis ormas Islam bersangkutan telah
mengalami demoralisasi (Aktivitas politik praktis itulah yang menyebabkan
peran sosial keagamaan NU dan Muhammadiyah semakin merosot dalam 12 tahun
ter-akhir). Menurut Bahtiar, peran aktif ormas Islam adalah antara lain
membangun sekolah, rumah sakit dan fasilitas pelayanan masyarakat lainnya
seperti yang dilakukan oleh NU maupun Muhammadiyah pada awal Orde Baru
ketika peran politik mereka dibatasi.
Oleh karena itu, Bahtiar memastikan bahwa ormas Islam “haram”
menggeser atau melebarkan perannya ke ranah politik praktis misalnya mendirikan
partai politik, seperti yang dilakukan oleh NU (PKB) maupun Muhammadiyah (PAN)
pada awal reformasi tahun 1999. Pergeseran atau pelebaran peran seperti itu
dipastikan akan menyebabkan ormas Islam mengalami demoralisasi. Artinya, ketika
ormas Islam melibatkan diri (resmi atau tidak, langsung atau tidak) dalam
politik praktis maka seketika itu juga mereka telah menyalahi dan menyimpang
dari jatidirinya yang orisinal.
Adapun pernyataan Abdul Rachman Patji yang memastikan bahwa keberadaan
gerakan Islam pascareformasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir
Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
justru mampu mendorong demokratisasi, menunjuk-kan bahwa bagi dia suara
(gagasan, pemikiran, usulan, pendapat) yang selama dilontarkan oleh sejum-lah
gerakan Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) ada-lah sama saja alias identik
dengan suara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM), yakni mampu mendorong atau menjadi bagian dari proses
demokrati-sasi di Indonesia. Jadi bagi dia, MMI yang identik dengan jihad
melawan kaum kufar, lalu HTI yang menyuarakan pemberlakuan syariah Islamiyah
dalam wadah Khilafah Islamiyah, adalah sama saja de-ngan JIL
maupun JIMM yang sejak awal keberadaan keduanya meneriakkan propaganda
anti pem-berlakuan Islam secara formal atau menolak
Ideologi Islam, yakni mereka semuanya berperan aktif da-lam proses demokratisasi
di Indonesia.
Dengan demikian, keduanya (Bahtiar Effendy dan Abdul Rachman
Patji) sepakat bahwa demo-krasi tidak hanya membolehkan eksistensi ormas Islam
bahkan lebih dari itu membutuhkannya, terle-pas dari apakah suara
yang diartikulasikan oleh ormas tersebut memang nyata membela mati-matian
sekaligus mengokohkan pemberlakuan demokrasi itu sendiri (seperti JIL dan
JIMM), ataukah justru menohok, menyerang dan menolak pemberlakuan demokrasi
(seperti MMI dan HTI). Keduanya juga memastikan bahwa dalam perjalanan negara
kebangsaan sekularistik (apalagi Indonesia yang 88,1 per-sen penduduknya adalah
umat Islam) peran orisinal dari ormas Islam adalah dalam masalah sosial dan
keagamaan alias moralisasi massa, bukan dalam ranah politik praktis.
Ketika ormas Islam telah meng-geser atau melebarkan perannya ke arah politik
praktis, maka sejak itu peran orisinalnya akan hilang alias akan mengalami
demoralisasi.
Lalu, mengapa realitas MMI maupun HTI dianggap sama saja dengan NU
maupun Muhamma-diyah bahkan dengan JIL atau pun JIMM? Anggapan itu sangat mudah
dimengerti mengapa muncul kemudian menjadi thesis, sebab memang tidak boleh
dipungkiri apa pun yang disuarakan dan dilaku-kan sebagai aksi oleh MMI maupun
HTI, sangat sering diatasnamakan atau bertumpu kepada doktrin
dasar yang ada dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat dan berserikat
(berasosiasi). Sisi inilah yang menggiring paksa siapa pun untuk menyimpulkan
seperti yang dilakukan oleh Abdul Rachman Patji, yakni MMI, HTI, JIL, JIMM, NU,
Muhammadiyah dan lainnya adalah sama saja yaitu berperan sekaligus
berkontribusi sangat besar dalam proses demokratisasi di Indonesia, bahkan di
negara ke-bangsaan mana pun yang selama ini menjadi habitat hidup umat Islam.
Tentu saja, realitas tersebut sangat merusak citra sebuah gerakan
Islam yang telah susah payah dibangun sejak awal kelahirannya. Sebagai contoh
HTI, sejak berdiri pada awal tahun 1953 telah me-mastikan realitas dirinya
sebagai partai politik Islami yang bertujuan untuk melanjutkan kembali
kehi-dupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah. Sehingga tentu saja citra
orisinal yang wajib tetap dija-ga oleh semua komponen HTI adalah HTI menentang
dan menantang semua pemikiran, konsep, gaga-san, ideologi maupun peraturan yang
bukan berasal dari Islam atau bertentangan dengan Islam. Demo-krasi jelas bukan
berasal dari Islam sekaligus bertentangan dengan Islam, sehingga ketika Abdul
Rach-man Patji menyatakan : keberadaan gerakan Islam pascareformasi seperti
Majelis Mujahidin Indone-sia, Hizbut Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal
dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah justru mampu mendorong
demokratisasi, maka upaya pemeliharaan dan penjagaan citra orisinal HTI
telah gagal atau paling tidak telah terganggu. Anggapan Patji pun harus menjadi
“lampu merah menya-la terang” bagi HTI bahwa jangankan masyarakat pada umumnya
sedangkan komunitas intelektual muslim pun masih belum bisa membedakan HTI dari
MMI, JIL, JIMM, NU maupun Muhammadiyah.
Peran ormas Islam : adakah dalam Khilafah
Islamiyah?
Sumber dalil dalam Islam yakni Al-Quran dan
As-Sunnah memastikan bahwa realitas Khilafah Islamiyah adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ
لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ
الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ
عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
kepemimpinan
bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami
serta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu
tiada lain adalah Imamah
Begitu juga, Khalifah yang mengendalikan Khilafah
secara tunggal adalah dalam posisi mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan
kekuasaan : نِيَابَةً عَنِ الأَمَّةِ فِيْ
الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ. Fakta inilah yang
diatur oleh Islam yakni interaksi antara umat Islam dengan para penguasa
(Khalifah, para Wali, para ‘Amil) :
1.
Khalifah bertanggungjawab penuh dalam mengurus dan memenuhi
seluruh kepentingan umat Islam dengan hanya menggunakan hukum syara’ :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ
الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ
mengurus
kepentingan rakyat atau umat baik dalam negeri maupun luar negeri dengan
mengguna-kan hukum syara (Islam)
2.
seluruh umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah wajib melakukan
koreksi kepada para pengu-asa (مُحَاسَبَةُ
الْحُكَّامِ عَلَى اَفْعَالِهِمْ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ)
atas pelaksanaan kewajibannya dalam memberlakukan selu-ruh ketentuan Islam
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan mereka orang per orang. Inilah ke-wajiban
yang ditetapkan oleh Allah SWT :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Aktivitas يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ yang dilakukan oleh umat Islam dan ditujukan
kepada para penguasa Khilafah tiada lain adalah مُحَاسَبَةُ
الْحُكَّامِ عَلَى اَفْعَالِهِمْ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ dan itu dapat dilakukan secara perorangan (فَرْدِيَةً), berkelompok (جَمَاعَةً), kutlah (كُتْلَةً) maupun partai politik (حِزْبًا سِيَاسِيًا).
Inilah konsepsi
aturan Islami untuk interaksi antara rakyat warga negara Khilafah Islamiyah
dengan pa-ra penguasa (Khalifah, para Wali, para ‘Amil) dan rule of game ini
telah secara riil diberlakukan sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw, lalu
Khulafa Rasyidun bahkan para Khalifah setelahnya yang di-mulai oleh Muawiyah
walau selalu disertai dengan adanya pasang surut keterikatan maupun loyalitas
mereka kepada syariah Islamiyah.
Jadi, dalam kehidupan Islami berwadah Khilafah Islamiyah tidak
pernah ada dan tidak pernah di-kenal ormas Islam (اَلْجَمْعِيَّةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) seperti yang saat ini
berlangsung dalam negara kebangsaan sekula-ristik yang ada di Dunia Islam. Oleh
karena itu, persoalannya adalah bukan perlukah peran serta ormas
Islam dalam perjalanan Khilafah Islamiyah melainkan adakah dan apakah
dikenal ormas Islam dalam kehidupan Khilafah Islamiyah, terutama ketika
masa kepemimpinan Khulafa Rasyidun? Jawabannya baik secara konsepsi maupun
empiris adalah tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal, sehingga seca-ra
pasti dan otomatis tidak diperlukan.
Wal hasil, keputusan umat Islam untuk
membentuk diri atau paling tidak melibatkan diri dalam ormas Islam saat ini
tentu saja adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam karena realitas tersebut
tidak pernah ada daan tidak pernah dikenal sepanjang kehidupan Islami terutama
yang menjadi dalil syar’iy : masa kepemimpinan Rasulullah saw dan Khulafa
Rasyidun :
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Lebih dari itu, realitas aksi ormas Islam
saat ini baik secara konsepsi (perhatikan pernyataan Bahtiar Effendy : Demoralisasi
itu terjadi lantaran menurunnya peran NU dan Muhammadiyah dalam masa-lah sosial
dan keagamaan, atau : Baik NU maupun Muhammadiyah tidak lagi kreatif
membangun ma-syarakat, seperti pada awal Orde Baru ketika peran politik mereka
dibatasi. Saat itu, NU dan Muham-madiyah lebih banyak berkiprah di masyarakat
dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan masyarakat
lainnya) maupun realitas empirisnya memastikan bahwa sifat faktual ormas
Is-lam tersebut menyalahi, menyimpang dan bertentangan dengan sifat faktual أُمَّةٌ yang ditetapkan oleh
pernyataan Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104 : يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ.
Khatimah
Adalah kerugian yang pasti (خُسْرَانًا
مُبِيْنًا) ketika HTI diposisikan
sama saja dengan MMI, NU, Mu-hammadiyah, bahkan dengan JIL dan JIMM, yakni
sama-sama berperan dan berkontribusi dalam pro-ses demokratisasi di Indonesia.
Kerugian tersebut tentu saja menuju ke dua arah, yakni internal ke arah dalam
seluruh komponen HTI sendiri, serta ke arah luar yakni terhadap bangunan opini
yang ada dalam pemikiran dan benak umat Islam. Internal HTI walau pelan namun
pasti akan mengalami proses pem-busukan dari dalam yang pada gilirannya akan
mengantarkan HTI kepada realitas yang digagas oleh Abdul Rachman Patji : keberadaan
gerakan Islam pascareformasi seperti Majelis Mujahidin Indone-sia, Hizbut
Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah justru mampu mendorong demokratisasi.
Pada saat yang bersamaan, pemikiran dan benak umat Islam akan
terpenuhi oleh opini bahwa HTI adalah satu-satunya gerakan Islam yang masih
konsisten dengan tujuannya yakni melanjutkan ke-hidupan Islami dalam wadah
Khilafah Islamiyah. Akibatnya adalah ketika HTI benar-benar melakukan berbagai
manuver yang membenarkan tudingan Abdul Rachman Patji, maka umat Islam akan
tetap ber-ada di tempat yakni tetap menganggap bahkan memastikan HTI sebagai
masih konsisten dengan reali-tas dirinya yang orisinal. Akhirnya, alih-alih HTI
menjadikan umat Islam menyadari kewajiban mereka yang paling utama yakni
berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkan kembali Khilafah Islami-yah,
malahan justru menyesatkan mereka dalam fatamorgana angan-angan tersebut.
Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ
الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ
مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ
فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
No comments:
Post a Comment