Saturday, November 9, 2013

PERAN ORMAS ISLAM : PERLUKAH?


Realitas peran ormas Islam dalam negara kebangsaan sekularistik
Seminar bertema “Membincang Ulang Peran Sosial-Politik Organisasi Keagamaan” telah digelar tanggal 11 Maret 2010 yang lalu bertempat di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-nesia (LIPI) Jakarta (Kompas, Jumat 12 Maret 2010, POLITIK & HUKUM : Peran Organisasi Islam Merosot, halaman 5). Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah : Bahtiar Effendy yang menjadi pembicara dalam seminar menyatakan : Ada demoralisasi dalam tubuh NU dan Muhammadiyah pascareformasi. Demoralisasi itu terbukti dengan tidak adanya kepatuhan anggota organisasi kepada pimpinan ataupun santri kepada kiai. Saat ini, kebijakan atau fatwa pimpi-nan organisasi jarang sekali didengar oleh anggotanya. Bisa jadi fatwa merokok haram yang dikeluar-kan Yunahar Ilyas (Ketua PP Muhammadiyah) tidak didengarkan. Jangan-jangan Malik Fadjar (Ke-tua PP Muhammadiyah) malah keluar dari Muhammadiyah gara-gara fatwa itu. Demoralisasi itu ter-jadi lantaran menurunnya peran NU dan Muhammadiyah dalam masalah sosial dan keagamaan. Pas-careformasi 1998, perhatian kedua organisasi itu tersedot ke politik. Tidak sedikit pengurus, termasuk para ulama, yang terjun ke ranah politik praktis. Aktivitas politik praktis itulah yang menyebabkan pe-ran sosial keagamaan NU dan Muhammadiyah semakin merosot dalam 12 tahun terakhir. Baik NU maupun Muhammadiyah tidak lagi kreatif membangun masyarakat, seperti pada awal Orde Baru keti-ka peran politik mereka dibatasi. Saat itu, NU dan Muhammadiyah lebih banyak berkiprah di masya-rakat dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan masyarakat lainnya.
Sementara itu pada acara yang sama, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Abdul Rachman Patji menyatakan : keberadaan gerakan Islam pascareformasi justru mampu mendorong demokratisasi. Bukan hanya NU dan Muhammadiyah, tetapi juga kelompok lain muncul pascareformasi, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
Demikianlah, Bahtiar Effendy menyodorkan realitas yang wajib dilakukan oleh organisasi massa (ormas) Islam yakni pembangunan moral (moralisasi) masyarakat paling tidak terhadap massa di ling-kungannya sendiri. Bentuk riil aktivitas moralisasi massa dari ormas Islam adalah berperan aktif dalam masalah sosial dan keagamaan, lalu jika peran tersebut dikurangi atau apalagi ditinggalkan maka secara otomatis ormas Islam bersangkutan telah mengalami demoralisasi (Aktivitas politik praktis itulah yang menyebabkan peran sosial keagamaan NU dan Muhammadiyah semakin merosot dalam 12 tahun ter-akhir). Menurut Bahtiar, peran aktif ormas Islam adalah antara lain membangun sekolah, rumah sakit dan fasilitas pelayanan masyarakat lainnya seperti yang dilakukan oleh NU maupun Muhammadiyah pada awal Orde Baru ketika peran politik mereka dibatasi.
Oleh karena itu, Bahtiar memastikan bahwa ormas Islam “haram” menggeser atau melebarkan perannya ke ranah politik praktis misalnya mendirikan partai politik, seperti yang dilakukan oleh NU (PKB) maupun Muhammadiyah (PAN) pada awal reformasi tahun 1999. Pergeseran atau pelebaran peran seperti itu dipastikan akan menyebabkan ormas Islam mengalami demoralisasi. Artinya, ketika ormas Islam melibatkan diri (resmi atau tidak, langsung atau tidak) dalam politik praktis maka seketika itu juga mereka telah menyalahi dan menyimpang dari jatidirinya yang orisinal.
Adapun pernyataan Abdul Rachman Patji yang memastikan bahwa keberadaan gerakan Islam pascareformasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah justru mampu mendorong demokratisasi, menunjuk-kan bahwa bagi dia suara (gagasan, pemikiran, usulan, pendapat) yang selama dilontarkan oleh sejum-lah gerakan Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ada-lah sama saja alias identik dengan suara dari Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), yakni mampu mendorong atau menjadi bagian dari proses demokrati-sasi di Indonesia. Jadi bagi dia, MMI yang identik dengan jihad melawan kaum kufar, lalu HTI yang menyuarakan pemberlakuan syariah Islamiyah dalam wadah Khilafah Islamiyah, adalah sama saja de-ngan JIL maupun JIMM yang sejak awal keberadaan keduanya meneriakkan propaganda anti pem-berlakuan Islam secara formal atau menolak Ideologi Islam, yakni mereka semuanya berperan aktif da-lam proses demokratisasi di Indonesia.
Dengan demikian, keduanya (Bahtiar Effendy dan Abdul Rachman Patji) sepakat bahwa demo-krasi tidak hanya membolehkan eksistensi ormas Islam bahkan lebih dari itu membutuhkannya, terle-pas dari apakah suara yang diartikulasikan oleh ormas tersebut memang nyata membela mati-matian sekaligus mengokohkan pemberlakuan demokrasi itu sendiri (seperti JIL dan JIMM), ataukah justru menohok, menyerang dan menolak pemberlakuan demokrasi (seperti MMI dan HTI). Keduanya juga memastikan bahwa dalam perjalanan negara kebangsaan sekularistik (apalagi Indonesia yang 88,1 per-sen penduduknya adalah umat Islam) peran orisinal dari ormas Islam adalah dalam masalah sosial dan keagamaan alias moralisasi massa, bukan dalam ranah politik praktis. Ketika ormas Islam telah meng-geser atau melebarkan perannya ke arah politik praktis, maka sejak itu peran orisinalnya akan hilang alias akan mengalami demoralisasi.
Lalu, mengapa realitas MMI maupun HTI dianggap sama saja dengan NU maupun Muhamma-diyah bahkan dengan JIL atau pun JIMM? Anggapan itu sangat mudah dimengerti mengapa muncul kemudian menjadi thesis, sebab memang tidak boleh dipungkiri apa pun yang disuarakan dan dilaku-kan sebagai aksi oleh MMI maupun HTI, sangat sering diatasnamakan atau bertumpu kepada doktrin dasar yang ada dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat dan berserikat (berasosiasi). Sisi inilah yang menggiring paksa siapa pun untuk menyimpulkan seperti yang dilakukan oleh Abdul Rachman Patji, yakni MMI, HTI, JIL, JIMM, NU, Muhammadiyah dan lainnya adalah sama saja yaitu berperan sekaligus berkontribusi sangat besar dalam proses demokratisasi di Indonesia, bahkan di negara ke-bangsaan mana pun yang selama ini menjadi habitat hidup umat Islam.
Tentu saja, realitas tersebut sangat merusak citra sebuah gerakan Islam yang telah susah payah dibangun sejak awal kelahirannya. Sebagai contoh HTI, sejak berdiri pada awal tahun 1953 telah me-mastikan realitas dirinya sebagai partai politik Islami yang bertujuan untuk melanjutkan kembali kehi-dupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah. Sehingga tentu saja citra orisinal yang wajib tetap dija-ga oleh semua komponen HTI adalah HTI menentang dan menantang semua pemikiran, konsep, gaga-san, ideologi maupun peraturan yang bukan berasal dari Islam atau bertentangan dengan Islam. Demo-krasi jelas bukan berasal dari Islam sekaligus bertentangan dengan Islam, sehingga ketika Abdul Rach-man Patji menyatakan : keberadaan gerakan Islam pascareformasi seperti Majelis Mujahidin Indone-sia, Hizbut Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah justru mampu mendorong demokratisasi, maka upaya pemeliharaan dan penjagaan citra orisinal HTI telah gagal atau paling tidak telah terganggu. Anggapan Patji pun harus menjadi “lampu merah menya-la terang” bagi HTI bahwa jangankan masyarakat pada umumnya sedangkan komunitas intelektual muslim pun masih belum bisa membedakan HTI dari MMI, JIL, JIMM, NU maupun Muhammadiyah.

Peran ormas Islam : adakah dalam Khilafah Islamiyah?
Sumber dalil dalam Islam yakni Al-Quran dan As-Sunnah memastikan bahwa realitas Khilafah Islamiyah adalah :
رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami serta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu tiada lain adalah Imamah
Begitu juga, Khalifah yang mengendalikan Khilafah secara tunggal adalah dalam posisi mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan : نِيَابَةً عَنِ الأَمَّةِ فِيْ الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ. Fakta inilah yang diatur oleh Islam yakni interaksi antara umat Islam dengan para penguasa (Khalifah, para Wali, para ‘Amil) :
1.       Khalifah bertanggungjawab penuh dalam mengurus dan memenuhi seluruh kepentingan umat Islam dengan hanya menggunakan hukum syara’ :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam negeri maupun luar negeri dengan mengguna-kan hukum syara (Islam)
2.       seluruh umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah wajib melakukan koreksi kepada para pengu-asa (مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ عَلَى اَفْعَالِهِمْ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ) atas pelaksanaan kewajibannya dalam memberlakukan selu-ruh ketentuan Islam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan mereka orang per orang. Inilah ke-wajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Aktivitas يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ yang dilakukan oleh umat Islam dan ditujukan kepada para penguasa Khilafah tiada lain adalah مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ عَلَى اَفْعَالِهِمْ وَتَصَرُّفَاتِهِمْ  dan itu dapat dilakukan secara perorangan (فَرْدِيَةً), berkelompok (جَمَاعَةً), kutlah (كُتْلَةً) maupun partai politik (حِزْبًا سِيَاسِيًا).
Inilah konsepsi aturan Islami untuk interaksi antara rakyat warga negara Khilafah Islamiyah dengan pa-ra penguasa (Khalifah, para Wali, para ‘Amil) dan rule of game ini telah secara riil diberlakukan sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw, lalu Khulafa Rasyidun bahkan para Khalifah setelahnya yang di-mulai oleh Muawiyah walau selalu disertai dengan adanya pasang surut keterikatan maupun loyalitas mereka kepada syariah Islamiyah.
Jadi, dalam kehidupan Islami berwadah Khilafah Islamiyah tidak pernah ada dan tidak pernah di-kenal ormas Islam (اَلْجَمْعِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) seperti yang saat ini berlangsung dalam negara kebangsaan sekula-ristik yang ada di Dunia Islam. Oleh karena itu, persoalannya adalah bukan perlukah peran serta ormas Islam dalam perjalanan Khilafah Islamiyah melainkan adakah dan apakah dikenal ormas Islam dalam kehidupan Khilafah Islamiyah, terutama ketika masa kepemimpinan Khulafa Rasyidun? Jawabannya baik secara konsepsi maupun empiris adalah tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal, sehingga seca-ra pasti dan otomatis tidak diperlukan.
Wal hasil, keputusan umat Islam untuk membentuk diri atau paling tidak melibatkan diri dalam ormas Islam saat ini tentu saja adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam karena realitas tersebut tidak pernah ada daan tidak pernah dikenal sepanjang kehidupan Islami terutama yang menjadi dalil syar’iy : masa kepemimpinan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Lebih dari itu, realitas aksi ormas Islam saat ini baik secara konsepsi (perhatikan pernyataan Bahtiar Effendy : Demoralisasi itu terjadi lantaran menurunnya peran NU dan Muhammadiyah dalam masa-lah sosial dan keagamaan, atau : Baik NU maupun Muhammadiyah tidak lagi kreatif membangun ma-syarakat, seperti pada awal Orde Baru ketika peran politik mereka dibatasi. Saat itu, NU dan Muham-madiyah lebih banyak berkiprah di masyarakat dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan masyarakat lainnya) maupun realitas empirisnya memastikan bahwa sifat faktual ormas Is-lam tersebut menyalahi, menyimpang dan bertentangan dengan sifat faktual أُمَّةٌ yang ditetapkan oleh pernyataan Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104 : يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ.

Khatimah
Adalah kerugian yang pasti (خُسْرَانًا مُبِيْنًا) ketika HTI diposisikan sama saja dengan MMI, NU, Mu-hammadiyah, bahkan dengan JIL dan JIMM, yakni sama-sama berperan dan berkontribusi dalam pro-ses demokratisasi di Indonesia. Kerugian tersebut tentu saja menuju ke dua arah, yakni internal ke arah dalam seluruh komponen HTI sendiri, serta ke arah luar yakni terhadap bangunan opini yang ada dalam pemikiran dan benak umat Islam. Internal HTI walau pelan namun pasti akan mengalami proses pem-busukan dari dalam yang pada gilirannya akan mengantarkan HTI kepada realitas yang digagas oleh Abdul Rachman Patji : keberadaan gerakan Islam pascareformasi seperti Majelis Mujahidin Indone-sia, Hizbut Tahrir Indonesia, Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah justru mampu mendorong demokratisasi.
Pada saat yang bersamaan, pemikiran dan benak umat Islam akan terpenuhi oleh opini bahwa HTI adalah satu-satunya gerakan Islam yang masih konsisten dengan tujuannya yakni melanjutkan ke-hidupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah. Akibatnya adalah ketika HTI benar-benar melakukan berbagai manuver yang membenarkan tudingan Abdul Rachman Patji, maka umat Islam akan tetap ber-ada di tempat yakni tetap menganggap bahkan memastikan HTI sebagai masih konsisten dengan reali-tas dirinya yang orisinal. Akhirnya, alih-alih HTI menjadikan umat Islam menyadari kewajiban mereka yang paling utama yakni berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkan kembali Khilafah Islami-yah, malahan justru menyesatkan mereka dalam fatamorgana angan-angan tersebut. Rasulullah saw menyatakan :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)

No comments:

Post a Comment