Perbedaan pendapat (اَلإِخْتِلاَفُ) tentang jumlah rakaat shalat tarawih
Para Imam Mujtahidin di
masa lalu yakni Sufyan Ats-Tsauriy, Ibnu Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad dan
Ishaq, berbeda pendapat (اِخْتَلَفُوْا) tentang jumlah
rakaat shalat tarawih di Bulan Ramadlan termasuk tentang apakah lebih baik
dilakukan berjamaah ataukah sendirian saja. Inilah yang ditunjuk-kan oleh
hadits berikut :
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ
بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ
وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى
بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى
تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ (رواه
الترمذي)
Dari Abi Dzar berkata : kami
(para sahabat) shaum bersama dengan Rasulullah saw, lalu beliau tidak
melaksanakan shalat (tarawih) bersama kami hingga bulan Ramadlan tinggal tujuh
hari saja. Setelah itu beliau shalat tarawih bersama kami hingga berlalu
sepertiga malam. Pada sisa hari keenam, beliau tidak shalat bersama kami dan
baru shalat lagi bersama kami pada sisa hari kelima dan itu dilakukan hingga
berlalu setengah malam. Lalu kami berkata kepada beliau : wahai Rasulullah
andai engkau la-kukan shalat nafilah itu (tarawih) bersama kami pada
malam-malam kami yang masih tersisa ini. Maka beliau berkata : ketahuilah bahwa
siapa saja yang melakukan shalat itu (tarawih) bersama Imam hingga habis (bulan
Ramadlan), pastilah akan diwajibkan baginya qiyamu lailah (tarawih). Lalu
beliau tidak shalat bersama kami hingga tinggal tiga hari lagi dari bulan
Ramadlan dan shalat lagi bersama kami di sisa hari ketiga dan beliau mengajak
keluarga berikut istri-istrinya. Beliau melakukan shalat itu (tarawih) hingga
kami khawatir keburu tibanya al-falaah. Saya (Jubair bin Nufair) bertanya apa
itu al-falaah, maka dia (Abu Dzar) menjawab itu adalah as-suhuur (waktu sahur).
Berkenaan dengan hadits
tersebut Abu Isa (Imam Tirmidzi) berkata :
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ فَرَأَى بَعْضُهُمْ
أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً مَعَ الْوِتْرِ وَهُوَ قَوْلُ
أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالْمَدِينَةِ
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ
وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ
وَالشَّافِعِيِّ و قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا
بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً و قَالَ أَحْمَدُ رُوِيَ فِي هَذَا
أَلْوَانٌ وَلَمْ يُقْضَ فِيهِ بِشَيْءٍ و قَالَ إِسْحَقُ بَلْ نَخْتَارُ إِحْدَى
وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاخْتَارَ
ابْنُ الْمُبَارَكِ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ إِذَا
كَانَ قَارِئًا وَفِي الْبَاب عَنْ
عَائِشَةَ وَالنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ
Ini
adalah hadits hasan shahih dan ahlul ilmi (para Imam Mujtahidin) berbeda
pendapat dalam perso-alan qiyamu Ramadlan (tarawih). Sebagian mereka
berpendapat shalat tarawih dilakukan sebanyak 41 rakaat dengan witir dan ini
adalah pendapat penduduk Madinah dan mereka benar-benar melakukan itu di
Madinah. Sebagian besar ahlul ilmi berpendapat tentang jumlah rakaat tarawih
berdasarkan ha-dits yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan selain keduanya dari
kalangan shabat Nabi saw yaitu seba-nyak 20 rakaat dan itu adalah pendapat
Ats-Tsauriy, Ibnu Mubarak, Asy-Syafi’i dan Asy-Syafi’i berka-ta : dan
demikianlah saya mendapati di negeri kami yakni Makkah, mereka shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat. Ahmad berkata : diriwayatkan banyak jenis hadits dalam hal
ini (tarawih) sehingga tidak perlu ditetapkan dengan bentuk (jumlah rakaat
tarawih) tertentu. Ishaq berkata : namun kami memilih sha-lat tarawih sebanyak
41 rakaat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Ibnu Al-Mubarak,
Ahmad dan Ishaq memilih shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama dengan Imam,
se-dangkan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa seseorang boleh melakukan shalat
tarawih sendirian saja jika dia adalah mahir membaca Al-Quran. Dalam persoalan
ini (tarawih) ada juga hadits dari Aisyah, Nu’man bin Basyir dan Ibnu Abbas.
Jadi memang sejak masa
sahabat Nabi Muhammad saw jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua macam yaitu
(a) 41 rakaat dengan witir, menurut kabar dari sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab dan
(b) 20 rakaat tanpa witir, menurut kabar dari sahabat Umar, Ali dan lainnya.
Setelah para sahabat Nabi Muhammad saw meninggal semua, maka diteruskan oleh
tabi’in lalu oleh tabi’ut tabi’in. Lalu macam shalat tarawih nomor (a)
digunakan oleh Imam Ishaq dan penduduk Madinah hingga saat ini, sedangkan macam
shalat tarawih nomor (b) digunakan oleh Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Ibnu
Al-Mubarak dan Imam Asy-Syafi’i serta penduduk Makkah hingga saat ini. Lalu
karena di Indonesia
sebagian besar mengikuti Madzhab Imam Asy-Syafi’i (antara lain umat Islam yang
berada dalam organisasi NU) maka umat Is-lam di Indonesia melakukan shalat
tarawih sebanyak 20 rakaat dan ditambah witir ada yang satu rakaat dan ada juga
yang tiga rakaat.
Sekali lagi, hanya dua macam jumlah shalat tarawih
itulah yang dilaksanakan sejak generasi sa-habat Nabi Muhammad saw (setelah
Nabi Muhammad saw wafat), lalu dilanjutkan oleh murid mereka (generasi tabi’in)
dan dilanjutkan lagi oleh murid generasi tabi’in yakni tabi’ut tabi’in antara
lain Imam Ishaq (41 rakaat) dan Imam Asy-Syafi’i (20 rakaat).
Bagaimana tentang tarawih
yang dilakukan oleh Muhammadiyah atau Persis?
Hingga saat ini
organisasi Muhammadiyah dan Persis itu adalah anti madzhab terutama madzhab
Imam Asy-Syafi’i dan karena di Indonesia
yang mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i adalah NU ma-ka secara otomatis NU pun
sangat dibenci oleh Muhammadiyah dan Persis. Oleh karena itulah segala hal yang
berbau madzhab Imam Asy-Syafi’i antara lain niyat shalat dengan keras (اُصَلِّيْ),
niyat shaum harus diucapkan (نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ), qunut dalam shalat
shubuh, jarak safar 16 farsakh (sekitar 90-an km) dan lain-lain dianggap tidak
berdasarkan dalil dan jika ada dalil pun dianggap oleh Muhammadiyah dan Persis
sebagai lemah alias dlaif. Sehingga perbuatan tersebut mereka katakan sebagai
bid’ah.
بَاب فِي كَمْ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَسَمَّى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا وَلَيْلَةً سَفَرًا وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ
فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا (رواه البخاري)
اَلْفَرْسَخُ = ثَلاَثَةُ اَمْيَالٍ
Karena ketidaksukaan
Muhammadiyah dan Persis kepada segala hal yang berbau madzhab Imam Asy-Syafi’i
serta NU termasuk shalat tarawih yang 20 rakaat, maka mereka mencari-cari hadits
yang dapat dianggap sebagai dalil bahwa shalat tarawih itu bukan 20 atau 40
(dengan witir 1 rakaat(
melain-kan 8 rakaat. Mereka katakan bahwa Nabi Muhammad saw juga melaksanakan
shalat tarawih hanya 8 rakaat seperti dalam hadits yang berasal dari Aisyah
sebagai berikut :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ
كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ
فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا
عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي (رواه البخاري)
Dari
Abi Salamah bin Abdirrahman bahwa dia telah bertanya kepada Aisyah radliallahu
anha : bagai-mana shalat Rasulullah saw dalam bulan Ramadlan? Lalu dia (Aisyah)
menjawab : beliau tidak per-nah menambahi shalat sebanyak 11 rakaat baik di
bulan Ramadlan maupun di selainnya. Beliau shalat 4 rakaat, maka jangan
bertanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian shalat lagi empat rakaat
maka jangan bertanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian shalat tiga
rakaat. Saya (Aisyah) bertanya : wahai Rasulullah, apakah engkau tertidur
sebelum engkau shalat witir? Beliau menjawab : wahai Aisyah, memang kedua
mataku tertidur, tapi kesadaranku tidak pernah tidur.
Lalu benarkah anggapan
Muhammadiyah dan Persis bahwa hadits tersebut adalah dalil tentang shalat
tarawih? Untuk menentukan benar dan salahnya anggapan Muhammadiyah dan Persis
tersebut maka wajib diperhatikan beberapa hal berikut :
1.
Imam Bukhari, Muslim, Trimidzi, Nasaiy, Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ad-Darimiy, Al-Baihaqiy, Ad-Daruquthniy, Ibnu Hibban, Ad-Daelamiy dan
lainnya dari kalangan para periwayat hadits, selu-ruhnya adalah berguru tentang
hadits, ushul fiqih maupun fiqih kepada para tabi’in di antaranya adalah Imam
Madzhab yang tiga : Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i. Sebagai
con-toh Imam Bukhari pernah berguru kepada 1000 orang dan di antaranya adalah
Imam Asy-Syafi’i. Jadi semua hadits yang diketahui oleh para periwayat hadits
(Imam Bukhari, Muslim, Trimidzi, Na-saiy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimiy,
Al-Baihaqiy, Ad-Daruquthniy, Ibnu Hibban, Ad-Dae-lamiy dan lainnya) dapat
dipastikan juga diketahui oleh Imam madzhab dan para Imam lainnya ter-sebut.
Oleh karena itu, tidak boleh berkata bahwa hadits tentang tarawih 8 rakaat
ditambah 3 rakaat witir, tidak diketahui oleh Imam Ishaq (tarawihnya 41 rakaat)
maupun Imam Asy-Syafi’i (tarawih-nya 20 rakaat). Itu adalah tuduhan dan
penghinaan kepada manusia-manusia taqwa dan salih yang dijanjikan mendapat
ridla Allah SWT.
2.
hadits yang dianggap sebagai dalil untuk shalat tarawih
11 rakaat (4+4+3) yang bersumber dari Aisyah
harus ditempatkan sebagai berikut :
a.
bukan menunjukkan shalat tarawih sebab ada bagian
hadits مَا
كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ (beliau tidak
pernah menambahi di bulan Ramadlan dan tidak di selainnya) yang memastikan
bahwa shalat Rasulullah saw sebanyak 11 rakaat (4+4+3) tersebut bukan khas
beliau lakukan di bulan Ramadlan melainkan di seluruh bulan di luar Ramadlan.
Artinya jika pun dipaksakan dijadikan dalil maka itu bisa saja dianggap shalat
tahajjud, walaupun lebih banyak lagi hadits memastikan bahwa shalat tahajjud itu
diperbuat oleh Nabi Muhammad saw di dalam rumah beliau khususnya di bilik
Aisyah sendiri. Namun untuk perkara-perkara yang diucapkan adalah dilakukan dua
rakaat dua rakaat tanpa batasan berapa jumlah mak-simalnya.
b.
kesaksian Aisyah memang sangat kuat untuk
perkara-perkara yang diucapkan dan diperbuat oleh Rasulullah saw di luar rumah
yakni di dalam kehidupan umum, maka para sahabat lainnya yang laki-laki adalah
lebih banyak me-ngetahui ucapan, perbuatan dan diamnya Rasulullah saw. Oleh
karena itulah, hadits tentang shalat tarawih yang dilakukan khusus di bulan Ramadlan
yang dijadikan dalil atau hujjah oleh para ulama salaf (Imam madzhab yang empat
dan para Imam mujtahid lainnya) adalah bukan yang berasal dari Aisyah tersebut
melainkan dari sahabat lain : Umar, Ali, Ubay bin Ka’ab dan lain-lain.
c.
Perbuatan Rasulullah saw yang dilaporkan oleh Aisyah
itu harus ditempatkan sebagai kekhususan beliau saja (مِنْ
خُصُوْصِيَّتِهِ) dengan bukti ternyata para sahabat
lainnya terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, sama sekali tidak menirunya
bahkan justru mereka melakukan hal yang berbeda sama sekali. Hal itu berarti,
shalat tarawih yang dicontohkan oleh Nabi Muham-mad saw kepada para sahabat
laki-laki tersebut adalah dua macam yakni 41 rakaat (menurut Ubay bin Ka’ab)
dan 20 rakaat (menurut Umar, Ali dan lainnya).
3. penetapan
atau kesimpulan Muhammadiyah dan Persis bahwa shalat tarawih adalah 4+4+3
rakaat ternyata diawali dengan adanya sentimen ketidaksukaan alias kebencian
kepada segala hal yang berbau madzhab terutama madzhab Asy-Syafi’i juga NU.
Sikap ini jelas salah dan haram dilakukan sebagai dasar dalam menetapkan suatu
perbuatan termasuk tatacara shalat. Tegasnya baik Muham-madiyah maupun Persis
ingin sekedar membedakan diri dari NU dan madzhab Asy-Syafi’i yang mereka tidak
sukai alias mereka benci. Lagipula, orang-orang yang ada di kedua organisasi
tersebut sama sekali tidak ada satu pun yang dapat disebut sebagai mujtahid
apalagi sekelas Imam Madzhab atau para mujtahid lainnya di kalangan generasi
tabi’ut tabi’in.
Oleh karena itu, umat Islam saat ini wajib mengikuti
salah satu dari pendapat Imam Madzhab yang empat termasuk dalam shalat lima waktu, shaum
Ramadlan juga shalat tarawih. Jadi selama bulan Ramadlan memang shalat tarawih
yang benar adalah yang 20 rakaat atau yang 41 rakaat dan sama se-kali bukan
4+4+3 rakaat.
وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ
الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي
رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ
لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ
ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ
لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي
يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ (رواه
البخاري)
قوله : ( وعن ابن شهاب ) هو موصول بالإسناد
المذكور أيضا , وهو في " الموطأ " بالإسنادين , لكن فرقهما حديثين , وقد
أدرج بعض الرواة قصة عمر في الإسناد الأول أخرجه إسحاق في مسنده عن عبد الله بن
الحارث المخزومي عن يونس عن الزهري فزاد بعد قوله وصدرا من خلافة عمر "
حتى
جمعهم عمر على أبي بن كعب فقام بهم في رمضان , فكان ذلك أول اجتماع الناس على قارئ
واحد في رمضان " وجزم الذهلي في " علل حديث الزهري " بأنه وهم من
عبد الله بن الحارث والمحفوظ رواية مالك ومن تابعه , وأن قصة عمر عند ابن شهاب عن
عروة عن عبد الرحمن بن عبد وهو بغير إضافة , لا عن أبي سلمة . قوله : ( أوزاع )
بسكون الواو بعدها زاي أي جماعة متفرقون , وقوله في الرواية " متفرقون "
تأكيد لفظي , وقوله " يصلي الرجل لنفسه " بيان لما أجمل أولا وحاصله أن
بعضهم كان يصلي منفردا وبعضهم يصلي جماعة , قيل يؤخذ منه جواز الائتمام بالمصلي وإن لم ينو
الإمامة . قوله : ( أمثل ) قال ابن التين وغيره استنبط عمر ذلك من تقرير النبي صلى
الله عليه وسلم من صلى معه في تلك الليالي , وإن كان كره ذلك لهم فإنما كرهه خشية
أن يفرض عليهم , وكأن هذا هو السر في إيراد البخاري لحديث عائشة عقب حديث عمر ,
فلما مات النبي صلى الله عليه وسلم حصل الأمن من ذلك , ورجح عند عمر ذلك لما في
الاختلاف من افتراق الكلمة , ولأن الاجتماع على واحد أنشط لكثير من المصلين , وإلى
قول عمر جنح الجمهور , وعن مالك في إحدى الروايتين وأبي يوسف وبعض الشافعية الصلاة
في البيوت أفضل عملا بعموم قوله صلى الله
عليه وسلم " أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة " وهو حديث صحيح
أخرجه مسلم من حديث أبي هريرة , وبالغ الطحاوي فقال : إن صلاة التراويح في الجماعة
واجبة على الكفاية , وقال ابن بطال : قيام رمضان سنة لأن عمر إنما أخذه من فعل
النبي صلى الله عليه وسلم , وإنما
تركه النبي صلى الله عليه وسلم خشية الافتراض , وعند الشافعية في أصل المسألة
ثلاثة أوجه : ثالثها من كان يحفظ القرآن ولا يخاف من الكسل ولا تختل الجماعة في
المسجد بتخلفه فصلاته في الجماعة والبيت سواء , فمن فقد بعض ذلك فصلاته في الجماعة
أفضل . قوله : ( فجمعهم على
أبي بن كعب ) أي جعله لهم إماما وكأنه اختاره عملا بقوله صلى الله عليه وسلم
" يؤمهم أقرؤهم لكتاب الله " وسيأتي في تفسير البقرة قول عمر "
أقرؤنا أبي " وروى سعيد بن منصور من طريق عروة " أن عمر جمع الناس على
أبي بن كعب فكان يصلي بالرجال , وكان تميم الداري يصلي بالنساء " ورواه محمد
بن نصر في " كتاب قيام الليل " له من هذا الوجه فقال " سليمان بن
أبي حثمة " بدل تميم الداري , ولعل ذلك كان في وقتين . قوله : ( فخرج ليلة
والناس يصلون بصلاة قارئهم ) أي إمامهم المذكور , وفيه إشعار بأن عمر كان لا يواظب
على الصلاة معهم وكأنه كان يرى أن الصلاة في بيته ولا سيما في آخر الليل أفضل ,
وقد روى محمد بن نصر في " قيام الليل " من طريق طاوس ابن عباس قال
" كنت عند عمر في المسجد , فسمع هيعة الناس فقال : ما هذا ؟ قيل : خرجوا من
المسجد , وذلك في رمضان , فقال : ما بقي من الليل أحب إلي مما مضى " ومن طريق
عكرمة عن ابن عباس نحوه من قوله . قوله : ( قال عمر نعم البدعة ) في بعض الروايات
" نعمت البدعة " بزيادة تاء , والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق
, وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة , والتحقيق أنها إن كانت مما تندرج
تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وإن كان مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة
وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة . قوله : ( والتي ينامون
عنها أفضل ) هذا تصريح منه بأن الصلاة في آخر الليل أفضل من أوله , لكن ليس فيه أن
الصلاة في قيام الليل فرادى أفضل من التجميع . ( تكميل ) : لم يقع في هذه الرواية
عدد الركعات التي كان يصلي بها أبي بن كعب , وقد اختلف في ذلك ففي " الموطأ
" عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد أنها إحدى عشرة , ورواه سعيد بن منصور
من وجه آخر وزاد فيه " وكانوا يقرؤون بالمائتين ويقومون على العصى من طول
القيام " ورواه محمد بن نصر المروزي من طريق محمد بن إسحاق عن محمد بن يوسف
فقال ثلاث عشرة ورواه عبد الرزاق من وجه آخر عن محمد بن يوسف فقال إحدى وعشرين ,
وروى مالك من طريق يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد عشرين ركعة وهذا محمول على غير
الوتر , وعن يزيد بن رومان قال " كان الناس يقومون في زمان عمر بثلاث وعشرين
" وروى محمد بن نصر من طريق عطاء قال " أدركتهم في رمضان يصلون عشرين
ركعة وثلاث ركعات الوتر " والجمع بين هذه الروايات ممكن باختلاف الأحوال ,
ويحتمل أن ذلك الاختلاف بحسب تطويل القراءة وتخفيفها فحيث يطيل القراءة تقل الركعات
وبالعكس وبذلك جزم الداودي وغيره , والعدد الأول موافق لحديث عائشة المذكور بعد
هذا الحديث في الباب , والثاني قريب منه , والاختلاف فيما زاد عن العشرين راجع إلى
الاختلاف في الوتر وكأنه كان تارة يوتر بواحدة وتارة بثلاث , وروى محمد ابن نصر من
طريق داود بن قيس قال " أدركت الناس في إمارة أبان بن عثمان وعمر بن عبد
العزيز - يعني بالمدينة - يقومون بست وثلاثين ركعة ويوترون بثلاث " وقال مالك
هو الأمر القديم عندنا . وعن الزعفراني عن الشافعي " رأيت الناس يقومون
بالمدينة بتسع وثلاثين وبمكة بثلاث وعشرين , وليس في شيء من ذلك ضيق " وعنه
قال : إن أطالوا القيام وأقلوا السجود فحسن , وإن أكثروا السجود وأخفوا القراءة
فحسن , والأول أحب إلي . وقال الترمذي : أكثر ما قيل فيه أنها تصلى إحدى وأربعين
ركعة يعني بالوتر , كذا قال . وقد نقل ابن عبد الله الأسود بن يزيد : تصلى أربعين
ويوتر بسبع , وقيل ثمان وثلاثين ذكره محمد ابن نصر عن ابن أيمن عن مالك , وهذا
يمكن رده إلى الأول بانضمام ثلاث الوتر , لكن صرح في روايته بأنه يوتر بواحدة ,
فتكون أربعين إلا واحدة , قال مالك : وعلى هذا العمل منذ بضع ومائة سنة , وعن مالك
ست وأربعين وثلاث الوتر وهذا هو المشهور عنه , وقد رواه ابن وهب عن العمري عن نافع
قال : لم أدرك الناس إلا وهم يصلون تسعا وثلاثين يوترون منها بثلاث , وعن زرارة بن
أوفى أنه كان يصلي بهم بالبصرة أربعا وثلاثين ويوتر , وعن سعيد بن جبير أربعا
وعشرين وقيل ست عشرة غير الوتر روى عن أبي مجلز عند محمد بن نصر , وأخرج من طريق
محمد بن إسحاق حدثني محمد بن يوسف عن جده السائب ابن يزيد قال : كنا نصلي زمن عمر
في رمضان ثلاث عشرة , قال ابن إسحاق وهذا أثبت ما سمعت في ذلك , وهو موافق لحديث
عائشة في صلاة النبي صلى الله عليه وسلم من الليل والله أعلم .
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ قَالَ
أَبُو عِيسَى حَدِيثُ حَفْصَةَ حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ
هَذَا الْوَجْهِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَوْلُهُ وَهُوَ
أَصَحُّ وَهَكَذَا أَيْضًا رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ الزُّهْرِيِّ مَوْقُوفًا
وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا رَفَعَهُ إِلَّا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَإِنَّمَا مَعْنَى
هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ
قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فِي رَمَضَانَ أَوْ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ أَوْ فِي
صِيَامِ نَذْرٍ إِذَا لَمْ يَنْوِهِ مِنْ اللَّيْلِ لَمْ يُجْزِهِ وَأَمَّا
صِيَامُ التَّطَوُّعِ فَمُبَاحٌ لَهُ أَنْ يَنْوِيَهُ بَعْدَ مَا أَصْبَحَ وَهُوَ
قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ (رواه الترمذي)
No comments:
Post a Comment