Monday, November 11, 2013

WAJAH BARU DEMOKRASI


Demokrasi : gelanggang fair nan suci, benarkah?
Akhir perjalanan tahun 2008 adalah tipikal dengan saat memasukinya yakni benar-benar menjadi tahun konsolidasi kaum kufar dan kekufuran. Adalah Thomas Koten (Direktur Social Development Center) dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi” menyodorkan gagasan yang seluruhnya ditujukan bagi pembenahan wajah demokrasi maupun bentuk penerapannya dalam arena aksi mensejahterakan rakyat. Dia menyatakan :
1.       demokrasi adalah suatu tata aturan kehidupan bermasyarakat yang diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua anggota masyarakat dalam keanekaragaman. Karena itulah, dalam kehidupan demokrasi dan dalam revitalisasi kehidupan bermasyarakat; komunikasi, kebebasan, sa-ling menghargai, memiliki peran sentral.
2.       masyarakat demokratis adalah masyarakat yang bisa mewujudkan sosiabilitasnya (kutipan dari fil-suf pendidikan : John Dewey). Di dalamnya, komunikasi adalah suatu proses berbagi pengalaman sampai pengalaman-pengalaman itu menjadi milik bersama. Komunikasi yang demokratis mengan-tarkan orang kepada tercapainya kesepakatan-kesepakatan bersama tentang tujuan hidup bersama.
3.       tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi mandul. Mandulnya demokrasi menyembul-kan aneka perilaku masyarakat bangsa yang egoistik. Oleh karena itu, demokrasi yang menjadi pi-lar kehidupan berbangsa harus terus-menerus dikembangkan agar perilaku masyarakat yang egois-tik dapat mencair dan berbuahkan perilaku toleransi.
4.       demokrasi dengan landasan kebebasan telah mengerucutkan perilaku egoistik yang kemudian seca-ra internal komponen bangsa melalui hasrat kelompok (collective desire) membangun ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kotak-kotak, pagar-pagar eksklusivisme yang di da-lamnya setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri.
5.       meraih keuntungan diri dalam kehidupan bersama di bidang sosial, ekonomi dan politik, yang menggiring pada fundamentalisme tidak lain sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamen-tal dengan merayakan praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme (Jurgen Habermas dalam The Inclusion of Others).
6.       karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan politis, maka semua urusan politik, da-lam atas nama demokrasi selalu dilihat sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Hubu-ngan antara politik, kekuasaan dan uang semakin intim. Dalam kehidupan politik dan dalam peraih-an kekuasaan, terjadi adagium, “Ada uang abang disayang dan tidak ada uang abang ditendang”. Di sini demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis untuk bisa menjelmakan ideal-ideal politiknya yang menyejahterakan rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di semua lini kehidupan bang-sa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi politik mencari peruntungan diri.
7.       tatkala perkembangan demokrasi ditentukan kekuatan uang dan kekuasaan pun dapat dibeli dengan uang, maka dalam kehidupan politik secara keseluruhan berkembang menjadi politik Machiavelian. Jika fenomena itu dibiarkan, mimpi rakyat agar di balik gebyarnya demokrasi itu negara dapat me-wujudkan mimpi-mimpi kesejahteraannya tidak akan pernah terwujud. Maka, tidak ada jalan lain, demokrasi yang berintegritas moral harus segera dibangun dan dikembangkan. Untuk itu, kontrol dan kritik publik harus terus-menerus dibangun.
8.       integritas moral, tulis Matthew Collins (2003), berarti terciptanya kesatuan yang kental antara nura-ni yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan pada hukum moral. Integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up uang.
Demikianlah gagasan Thomas Koten, lalu apa yang dia maksudkan dengan semuanya itu dan apa yang dapat dipahamkan dari bagian per bagiannya? Rincian pembahasan terhadap gagasan Thomas Ko-ten adalah sebagai berikut :
1.       demokrasi tidak diragukan lagi adalah konsep pemerintahan yang muncul dari sekularisme. Sekula-risme mewajibkan Tuhan tidak ikut campur dalam arena kehidupan manusia di dunia dan Tuhan diposisikan hanya di wilayah kewenangannya yakni gereja. Oleh karena itu, demokrasi yang ber-basis aqidah tersebut menggariskan bahwa : (a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ adalah mi-lik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan. Lalu dalam penerapannya, demokrasi menuntut terwujudnya kebebasan atau freedom atau اَلْحُرِّيَةُ secara menyeluruh (beragama, berpenda-pat, kepemilikan dan berkepribadian) supaya posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan maupun sumber kekuasaan benar-benar dapat terealisir sempurna. Oleh karena itu, saat Thomas Koten me-nyatakan demokrasi adalah suatu tata aturan kehidupan bermasyarakat yang diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua anggota masyarakat dalam keanekaragaman, maka yang dimaksudkan dengan … dalam keanekaragaman adalah realitas kehidupan pluralis yang terbentuk secara otomatis akibat diberlakukannya kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan berke-pribadian. Artinya Koten tengah berupaya keras untuk menutupi wajah asli demokrasi yang angker nan sadis dan tidak manusiawi dengan “topeng silikon” yang berkesan sangat ramah, alami, santun dan humanis. Topeng tersebut adalah : Karena itulah, dalam kehidupan demokrasi dan dalam revi-talisasi kehidupan bermasyarakat; komunikasi, kebebasan, saling menghargai, memiliki peran sen-tral.
2.       pengkomunikasian pengalaman sedemikian rupa sehingga pengalaman-pengalaman tersebut menja-di milik bersama seluruh anggota masyarakat demokratis, berarti :
a.       ungkapan “pengalaman” di sini yang dimaksudkan tentu saja adalah realitas perjalanan empirik manusia dalam pola kehidupan berbasis demokrasi, yakni kehidupan “super” bebas (اَشَدُّ الْحُرِّيَةِ) sebagai bentuk implementasi riil dari keadaan yang dituntut oleh hakikat demokrasi itu sendiri (rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan) : kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan berkepribadian. Jadi, pengkomunikasian “pengalaman-pengalaman” itu adalah sebuah upaya serius dari satu pihak (para demokrat sejati) kepada pihak lain (kasus di Indonesia adalah umat Islam) untuk membangun kesepakatan atau paling tidak konvensi alami seluruh individu masyarakat demokratis dalam mewujudkan kesinambungan dan kelestarian pemberla-kuan demokrasi itu sendiri.
b.       ungkapan … menjadi milik bersama seluruh anggota masyarakat demokratis … semakin me-mastikan pertelaan bahwa dalam pola kehidupan berbasis demokrasi dan dalam revitalisasi ke-hidupan masyarakatnya, seluruh perbedaan latar belakang setiap anggota masyarakat terutama “agama” harus diformat menjadi mozaik pluralitas kohesif yang sama sekali tidak boleh menja-di faktor kontra produktif atau bahkan penghancur bagi demokrasi maupun penerapannya mela-inkan harus menjadi faktor pengokoh dan penguatnya. Hal itu hanya dapat diraih bila seluruh anggota masyarakat demokratis telah memiliki secara bersama-sama alias sepakat terhadap se-mua pemikiran yang muncul dari atau dituntut ada oleh demokrasi. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan : komunikasi yang demokratis mengantarkan orang kepada tercapainya kese-pakatan-kesepakatan bersama tentang tujuan hidup bersama.
3.       sodoran ultimatum sangat halus … tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi mandul, merupakan sebuah penegasan bahwa aktivitas komunikasi (propaganda, pengopinian, provokasi) seluruh konsep (pokok, cabang, turunan) yang ada dalam demokrasi maupun yang muncul dalam penerapannya, adalah “harga mati dan something of emergency” agar pola kehidupan yang dituntut harus oleh demokrasi benar-benar dapat terwujud utuh. Inilah yang terungkap saat Koten memposi-sikan secara berlawanan antara “perilaku masyarakat bangsa yang egoistik” sebagai akibat ditutup-nya pintu komunikasi dengan “perilaku masyarakat bangsa yang penuh toleransi” bila demokrasi yang menjadi pilar kehidupan berbangsa terus-menerus dikembangkan yakni dikomunikasikan.
4.       Koten sangat menyadari (realized) akan munculnya secara otomatis perilaku egoistik akibat diber-lakukannya demokrasi dengan landasan kebebasan yakni terbangunnya pola kotak-kotak dan pagar-pagar eksklusivisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada gilirannya akan mendo-rong secara pasti setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri. Lalu, upaya meraih keuntungan diri tersebut akan menggiring pada realitas fundamentalisme yakni sebuah gerakan dalam memba-ngun kehidupan secara ultrastabil (ultrastability) dengan merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme.
Implikasi inilah (penerapan demokrasi berbasis liberal mengakibatkan perilaku egoistik, perilaku egoistik mengarahkan setiap orang untuk mencari keuntungan diri dan sikap ini akan menggiring kepada fundamentalisme) yang sangat ditakutkan oleh Koten sebab akan menjadi faktor penghan-cur demokrasi itu sendiri maupun pemberlakuannya. Hal itu karena (menurut Koten) fundamenta-lisme adalah gerakan untuk membangun kehidupan dunia yang diinginkan sangat stabil (ultrastabi-lity) melalui perestorasian  berbagai cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme. Lalu, mengapa Koten begitu mengkhawatirkan terja-dinya kondisi tersebut? Tentu saja demikian, sebab :
a.       kehidupan dunia ultrastability adalah hanya akan terbentuk sempurna bila asas yang melandasi pola kehidupan tersebut berupa “aturan Tuhan alias God’s Law” yang terekspresikan dalam wa-dah negara ketuhanan (theocracy). Ketika dia melirik ke Dunia Kristiani, maka itu adalah kea-daan di Eropa dalam era abad pertengahan saat Gereja dan Agamawan berkonspirasi dengan para Kaisar atas nama Tuhan untuk menindas dan memeras rakyat. Ketika dia menolehkan pan-dangannya ke Dunia Islam, maka itu adalah saat Dunia Islam bahkan seluruh dunia dicengke-ram oleh hegemoni Khilafah Islamiyah yang berlangsung sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 M. Keduanya bagi Koten, bila kembali terwujud dalam kehidupan merupakan ancaman me-matikan bagi demokrasi berikut pemberlakuannya.
b.       upaya merestorasi aneka cara berarti menghimpun segala cara yang mungkin lalu memposisi-kannya sebagai benar, tepat dan layak untuk digunakan dalam mencapai tujuan atau agar sam-pai kepada target. Restorasi ini bagi Koten adalah sangat menakutkan bahkan menebar ancam-an maut, sebab dapat dipastikan akan muncul klaim “otoritas” membunuh manusia lain atau memusnahkan peradaban lain atas nama Tuhan.
c.       upaya merestorasi keyakinan, bagi Koten berarti menjadikan keyakinan (faith) sebagai asas dan kepemimpinan dalam melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Bukankah perang Salib yang berlangsung sangat lama adalah terjadi karena tuntutan keyakinan dari pihak Dunia Kristi-ani maupun Dunia Islam? Bukankah berbagai aksi penaklukan yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah adalah tindakan yang diatas namakan keyakinan? Bukankah umat Islam memerangi kaum Nasrani maupun Yahudi adalah karena mereka mengklaim aksi itu dilakukan atas tuntu-tan keyakinan? Inilah sejumlah fakta empiris yang singgah dalam otak Koten lalu dia memutus-kan bahwa inilah bentuk riil ancaman mematikan yang akan muncul bila keyakinan direstorasi sedemikian rupa sehingga menjadi asas dan kepemimpinan dalam melakukan atau tidak mela-kukan suatu tindakan.
d.      upaya merestorasi nilai-nilai fundamental (yang dimaksudkan oleh Koten dengan nilai-nilai fundamental adalah nilai-nilai agama) berarti menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai argumen pembenar bagi suatu tindakan. Nampaknya yang dibidik oleh dia dalam hal ini adalah Islam dan sebagian umat Islam yang berusaha untuk menjadikan “nilai-nilai” Islam sebagai asas kehi-dupan manusia di dunia dalam wadah negara Khilafah Islamiyah. Mengapa hal itu dapat dipas-tikan demikian? Karena : (i) ruang lingkup (circumstances) pembicaraan Koten adalah Indone-sia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia, (ii) individu manusia yang menjadi ang-gota masyarakat Indonesia sebagian sangat besar adalah umat Islam dan (iii) hanya Islam (suka atau tidak, diakui atau disangkal) didalamnya terdapat “nilai-nilai” yang mengatur negara, pe-nguasa, rakyat, pemberlakuan sistema dan seterusnya. Oleh karena itu, bagi dia realitas tersebut adalah ancaman sangat berbahaya dan luar biasa mematikannya bagi demokrasi berikut pem-berlakuannya di dunia.
e.       bila keadaan pola kehidupan ultrastability, restorasi aneka cara, restorasi keyakinan dan resto-rasi nilai-nilai fundamental tidak dicegah atau bahkan dibiarkan terjadi dengan sempurna, maka sikap intoleransi dan eksklusivisme akan mengemuka kuat dalam arena kehidupan sebuah ne-gara demokrasi dan ini jelas akan sangat menggerogoti (evolutif maupun revolutif) keberlang-sungan pemberlakuan demokrasi itu sendiri. Jadi upaya Koten dalam mencuatkan sikap intole-ransi dan eksklusivisme sebagai bertentangan dengan demokrasi tersebut, tiada lain adalah un-tuk “menghardik dan melecehkan” secara halus umat Islam yang ketika berusaha menegakkan kembali Khilafah Islamiyah sangat nampak sikap intoleransi dan eksklusivisme mereka yakni mengklaim diri paling benar. Inilah mengapa dia meminta “bantuan” pikiran kepada Jurgen Ha-bermas supaya terhindar dari “cap” sekedar pikiran sendirian tanpa teman sependapat.
5.       kerisauan Koten berikutnya adalah berkenaan dengan kondisi faktual dari perjalanan penerapan de-mokrasi itu sendiri yakni demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis untuk bisa menjelmakan ideal-ideal politiknya yang me-nyejahterakan rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di se-mua lini kehidupan bangsa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi politik mencari peruntungan diri. Dia mengekspresikan kegelisahannya dengan ucapan lain : karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan politis, maka semua urusan politik, dalam atas nama demo-krasi selalu dilihat sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Bahkan dia mencoba mencemooh keadaan ini sebagai perkembangan yang mengarah kepada politik Machiavelian yakni realitas politik yang segala sesuatunya diukur dan distandardisasi oleh kepentingan naluriah manu-siawi.
Benarkah realitas sejati demokrasi adalah gelanggang fair nan suci? Secara bahasa kata fair dapat bermakna pekan raya (misal jakarta fair) atau pasar malam atau pantas atau jujur (misal fair play). Sehingga bila diistilahkan gelanggang fair maka bermakna gelanggang yang pantas atau gelang-gang yang jujur. Kata “suci” bermakna bersih atau bebas dari kotoran/najis (misal istilah bersuci melalui wudlu atau mandi) atau sesuatu yang dimuliakan atau dikeramatkan (misal tanah suci, ba-ngunan suci, tempat suci) atau sesuatu yang terbebas dari sentuhan dan peran manusia (misal Ki-tab Suci Al-Quran). Lalu, benarkah demokrasi adalah gelanggang fair nan suci?
Aspek orisinalitas demokrasi adalah berawal dari upaya serius untuk mengingkari peran Tuhan da-lam realitas kehidupan manusia di dunia dan hal itu muncul sebagai akibat dari penyalahgunaan “otoritas Tuhan” tersebut oleh kekuatan konspiratif gereja dan istana dalam menindas dan memeras rakyat. Rakyat yang menjadi objek penindasan dan pemerasan kekuatan konspiratif tersebut akhir-nya berteriak lantang Vox Populi Vox Dei serta menuntut keadaan Give The God His Right and Give The Emperor His Right Too. Inilah sekularisme (اَلْعِلْمَانِيَّةُ) yang berdasarkan pengalaman pahit kepentingan manusiawi (rakyat) menggariskan bahwa peran Tuhan atas manusia hanya sampai pa-da batas penciptaan, tidak lebih : God watch maker. Kemudian untuk mewujudkan posisi rakyat sebagai Vox Populi Vox Dei maka dibuatlah rumusan : (a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ adalah milik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan. Artinya, demokrasi dari sisi orisinalitasnya tersebut merupakan konsep yang tidak fair (jujur) sebab dirumuskan berdasarkan pengingkaran manusia terhadap peran Tuhan dalam kehidupan mereka. Padahal dapat dipastikan ti-dak akan pernah ada seorang pun manusia yang beraqal (tidak gila) yang mampu menipu dan me-nindas dirinya sendiri supaya dapat menyangkal peran Tuhan tersebut. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah fakta empiris : (a) ungkapan Vox Populi Vox Dei sendiri, (b) perjalanan kemanusiaan se-jak Nabi Adam hingga Nabi Isa (diabadikan dalam Taurah dan Injil) dan Nabi Muhammad (diki-sahkan dalam Al-Quran) dan (c) konsep kekekalan materi (اَلْمَادَّةُ اَزَلِيَةٌ اَوِ الْمَادَّةُ اَصْلُ الأَشْيَاءِ) yang men-jadi aqidah ideologi sosialisme (Tuhan mereka adalah materi itu sendiri). Lalu, sucikah demokrasi?
Realitas unfairness demokrasi sekaligus memastikan bahwa demokrasi sama sekali tidak suci dan bukan gelanggang yang dapat diberi kategori suci, sebab sudah sangat nyata bahwa seluruh konsep pokok, cabang maupun turunan yang ada dalam demokrasi dirumuskan semata berdasarkan kepen-tingan naluriah manusiawi. Tuhan (sekedar tuhan sekali pun apalagi Allah SWT) tidak ada hubung-an apa pun atau tidak berperan sedikit pun dalam perumusan demokrasi tersebut, sehingga bagai-mana mungkin dapat diberi kualifikasi “suci”. Lalu, dapatkah demokrasi dipisahkan atau dihindar-kan dari para kapitalis?
Fakta empiris pemberlakuan demokrasi dalam realitas kehidupan dan aspek konseptual demokrasi memastikan bahwa demokrasi adalah mustahil dipisahkan atau dihindarkan dari para kapitalis, bah-kan sebaliknya para kapitalis lah yang paling berperan dalam melanggengkan penerapannya. Secara konsep, demokrasi dan kapitalisme sama-sama terpancar (مُنْبَثَقَةٌ) dan terlahir (مَوْلُوْدَةٌ) dari aqidah ‘il-maniyah (sekularisme). Realitas ini memastikan bahwa perbedaan di antara keduanya amatlah tipis yakni hanya pada aspek ruang lingkup (circumstances) arena penerapannya, yaitu demokrasi dalam arena pemerintahan sedangkan kapitalisme dalam arena perekonomian. Faktanya menunjukkan di seluruh dunia demokrasi menjadi sistema pemerintahan semua negara yang ada saat ini bahkan ter-masuk di China, Kuba maupun Korea Utara. Kemudian, kenyataannya tidak ada satu pun negara yang tidak menjadikan ekonomi kapitalisme sebagai sistem perekonomiannya termasuk juga China, Kuba dan Korea Utara. Oleh karena itu, antara demokrasi dan kapitalisme tidak mungkin dipisah-kan dalam realitas perjalanan negara mana pun di dunia saat ini, sehingga para demokrat dan para kapitalis adalah dua kubu yang sebenarnya berada dalam sebuah kubu yang sama. Kaum demokrat dapat menjalankan tugasnya dengan bantuan dan dukungan penuh para kapitalis. Sebaliknya, para kapitalis dapat menjalankan fungsi mereka adalah dengan bantuan dan dukungan kaum demokrat. Terjadilah simbiosa mutualistis antara keduanya dalam perjalanan negara mana pun (nasional) juga dalam tingkat internasional. Contoh konkrit adalah di Amerika Serikat (AS) yang ternyata pilar ke-kuasaan di sana tidak hanya eksekutif (The White House) dan Kongres (The Capitol) melainkan ada yang ketiga yakni para pelobi (lobbyers) yang bermarkas di K-street Washington DC. Para pelobi tersebut tiada lain adalah para kapitalis yang tidak jarang dapat menjadi penentu semua kebijakan pihak eksekutif maupun perundangan yang disahkan oleh Kongres. Bukankah di Indonesia juga ter-jadi seperti itu walau dalam kadar kevulgaran yang lebih rendah?
Oleh karena itu, tudingan cemooh Koten terhadap perkembangan penerapan demokrasi yang meng-arah atau bahkan telah menjelma menjadi politik Machiavelian, adalah tidak tepat dan tidak lumrah sebab justru demokrasi itu sejak awal eksistensinya lalu dalam penerapannya telah menjelma sebagai ajang politik kepentingan (politik Machiavelian). Jadi mengapa Koten risau dan gelisah dengan sesuatu yang telah melekat erat pada alias sifat dasar dari demokrasi itu sendiri? Tidak dira-gukan lagi, demokrasi adalah areal sebenarnya bagi para calo dan penjudi politik dalam mencari peruntungan diri dan harus diingat realitas tersebut sama sekali bukan merupakan perkembangan yang menyimpang melainkan sifat dasar orisinal dari demokrasi itu sendiri. Akibatnya, mimpi dan harapan rakyat kepada negara demokratis untuk dapat mewujudkan kesejahteraan mereka adalah akan tetap menjadi mimpi semata dan juga selamanya akan menjadi harapan kosong saja yang tidak akan pernah bertemu dengan kenyataanya.
6.       usulan Koten untuk segera membangun dan mengembangkan demokrasi yang berintegritas moral adalah gagasan berani (namun tidak realistis) untuk menutupi wajah sebenarnya dari demokrasi yang angker, sadis, tidak manusiawi, tidak berpihak kepada rakyat dengan sebuah topeng bermerek “moralitas demokrasi”, sehingga tersembul dari topeng itu wajah baru demokrasi yang sangat ra-mah, alami, santun dan humanis serta “memusuhi” para kapitalis sekaligus sangat mengharuskan negara demokratis untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Inilah yang dia tegaskan saat meng-gunakan ide Matthew Collins (2003) tentang integritas moral lalu dia terapkan kepada realitas de-mokrasi : integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up uang.

Wal hasil, Thomas Koten tengah dan akan selalu berusaha serius untuk mewujudkan demokrasi yang berintegritas moral yakni demokrasi yang menggariskan adanya keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up uang. Dia sodorkan gagasannya itu ke tengah-tengah penerapan demokrasi dalam kehidupan negara NKRI yang notabene adalah tempat hidup dan bermukimnya lebih dari 190 juta orang umat Islam. Apa yang diinginkan oleh Koten melalui upayanya tersebut? Tentu saja adalah supaya umat Islam khususnya di Indonesia semakin cinta dan setia (loyal) kepada demokrasi sehingga siap mati demi membela dan me-langgengkan pemberlakuannya dalam realitas kehidupan mereka di dunia. Dia dan yang lainnya (jum-lahnya sangat banyak) adalah antek-antek kaum kufar dan kekufuran yang selalu akan menghalangi manusia dari jalan Allah SWT (Islam) dengan segala cara. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ (الأنفال : 36)


Khatimah
Kepentingan naluriah manusiawi yakni keinginan rakyat jelata untuk terlepas bebas dari belenggu penindasan dan pemerasan kekuatan konspiratif gereja dan istana, sejak awal sangat nampak pada kon-sep dasar demokrasi : (a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ adalah milik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan. Kedua pemikiran tersebut tidak lebih dari ungkapan anti thesis terha-dap thesis yang telah sangat mapan “suara Kaisar suara Tuhan” dan sama sekali bukan hasil berpikir terhadap aqidah aqliyah yang mendasari sebuah ideologi. Oleh karena itu, demokrasi akan sangat co-cok dengan komunitas manusia yang belum atau tidak memiliki informasi apa pun tentang ideologi dan demokrasi akan dapat diterima dengan tanpa sedikit pun penentangan oleh kelompok manusia yang ha-nya melandaskan seluruh aspek kehidupannya kepada kepentingan naluriah semata (primitive or unci-vilized people).
Islam sejak awal diturunkan telah dengan lugas menyeru manusia untuk memfungsikan aqal me-reka baik saat mewujudkan اَلإِيْمَانُ بِاللهِ maupun ketika mereka mengelaborasikan (يَنْطَبِقُوْنَ) segala ketentu-an Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam realitas kehidupan mereka di dunia. Islam pasti berasal dari Allah SWT (suka atau tidak, diakui atau disangkal) dan Allah sama sekali tidak memiliki kepentingan apa pun baik atas alam semesta (اَلْكَوْنُ) maupun manusia (اَلإِنْسَانُ), sehingga aqal (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) dapat memastikan bahwa tidak ada satu bagian pun dari Islam yang muncul dari atau terpengaruh oleh kepentingan Allah mau-pun apalagi manusia (Nabi Muhammad saw). Oleh karena itu, Islam akan sangat sulit diterima oleh ko-munitas manusia yang bermerek primitive or uncivilized people, sebab selama ini mereka tidak pernah menjalankan kehidupan berdasarkan keputusan aqal bahkan sekedar mengerti realitas aqal itu apa pas-tilah tidak dapat mereka lakukan. Inilah yang ditunjukkan oleh masyarakat Arab sebelum Islam yang tinggal di Kota Makkah dan sekitarnya. Adalah Nabi Muhammad saw sendiri yang mendakwahkan Is-lam kepada mereka tanpa henti selama 13 tahun, namun mereka tetap menolaknya.
Umat Islam saat ini (telah berlangsung sejak runtuhnya Khilafah 3 Maret 1924) menolak Islam secara tegas kecuali untuk beberapa bagian syariahnya yang sesuai dengan kecenderungan naluriah me-reka (shalat, shaum, haji, nikah, beristri lebih dari seorang, punya anak banyak, thalaq dan lainnya). Pe-nolakan tersebut adalah identik dengan sikap yang sama dari masyarakat Arab di Makkah saat awal Is-lam ada di dunia, namun ditambah dengan keberpihakan mereka secara kisruh kepada demokrasi. Ke-berpihakan mereka kepada demokrasi adalah sikap kisruh (مَوْقِفٌ غَلْطِيٌّ), sebab terwujud karena mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman yang jernih terhadap hakikat demokrasi itu sendiri. Faktanya, mereka menerima dan memberlakukan demokrasi akibat adanya upaya manipulatif dari kaum kufar (pengusung utama demokrasi) yang mengklaim bahwa demokrasi berasal dari Islam atau demokrasi ti-dak bertentangan dengan Islam atau demokrasi adalah syura dalam Islam.
Seiring dengan realitas keberpihakan secara kisruh umat Islam kepada demokrasi itu, ternyata ada juga segelintir kecil kaum muslim yang telah 100 persen menyadari (realized alias يُدْرِكُوْنَ) hakikat de-mokrasi berikut perkembangan perjalanan pemberlakuannya dalam arena kehidupan manusia. Mereka pun tidak hanya berhenti sampai di situ melainkan terus memberikan penjelasan kepada seluruh umat Islam tentang hakikat demokrasi tersebut. Mereka pada saat yang bersamaan selalu melakukan dua hal yakni : (a) membongkar hakikat kepalsuan demokrasi mulai dari pemikiran pokok hingga cabang dan turunannya dan (b) berusaha keras menghadirkan seluruh pemikiran Islam tanpa kecuali. Akibatnya adalah walau sangat pelan tapi sangat pasti, mulai bermunculan ke permukaan suara penolakan kepada demokrasi yang terbangun dari pemahaman yang jernih terhadap hakikat demokrasi itu sendiri. Suara kesadaran ini semakin hari semakin nyaring dan kuat juga semakin mampu menyadarkan banyak umat Islam, sehingga wajah asli demokrasi yang angker, sadis, tidak manusiawi, tidak berpihak kepada rak-yat semakin terkuak ke hadapan dunia.
Perkembangan mutakhir itulah yang sangat merisaukan dan menggelisahkan para loyalis demo-krasi alias para demokrat sejati baik dari kalangan umat Islam maupun kaum kufar sendiri. Adalah Thomas Koten yang tidak dapat menahan kegundahan dirinya atas realitas terkini tersebut, sehingga dia dengan penuh percaya diri menyodorkan sejumlah gagasan yang intinya adalah untuk menutupi wajah sebenarnya dari demokrasi yang terlanjur telah banyak menyembul terbuka ke permukaan pandangan umat Islam.


ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ (محمد : 3)

No comments:

Post a Comment