Demokrasi : gelanggang fair nan suci, benarkah?
Akhir perjalanan tahun 2008 adalah tipikal dengan
saat memasukinya yakni benar-benar menjadi tahun konsolidasi kaum kufar dan
kekufuran. Adalah Thomas Koten (Direktur Social Development Center)
dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi” menyodorkan
gagasan yang seluruhnya ditujukan bagi pembenahan wajah demokrasi maupun
bentuk penerapannya dalam arena aksi mensejahterakan rakyat. Dia
menyatakan :
1.
demokrasi adalah suatu tata aturan kehidupan
bermasyarakat yang diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua
anggota masyarakat dalam keanekaragaman. Karena itulah, dalam kehidupan
demokrasi dan dalam revitalisasi kehidupan bermasyarakat; komunikasi,
kebebasan, sa-ling menghargai, memiliki peran sentral.
2.
masyarakat demokratis adalah masyarakat yang bisa
mewujudkan sosiabilitasnya (kutipan dari fil-suf pendidikan : John Dewey). Di
dalamnya, komunikasi adalah suatu proses berbagi pengalaman sampai
pengalaman-pengalaman itu menjadi milik bersama. Komunikasi yang demokratis
mengan-tarkan orang kepada tercapainya kesepakatan-kesepakatan bersama tentang
tujuan hidup bersama.
3.
tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi
mandul. Mandulnya demokrasi menyembul-kan aneka perilaku masyarakat bangsa yang
egoistik. Oleh karena itu, demokrasi yang menjadi pi-lar kehidupan berbangsa
harus terus-menerus dikembangkan agar perilaku masyarakat yang egois-tik dapat
mencair dan berbuahkan perilaku toleransi.
4.
demokrasi dengan landasan kebebasan telah mengerucutkan
perilaku egoistik yang kemudian seca-ra internal komponen bangsa melalui hasrat
kelompok (collective desire) membangun ruang-ruang kehidupan berbangsa
dan bernegara menjadi kotak-kotak, pagar-pagar eksklusivisme yang di da-lamnya
setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri.
5.
meraih keuntungan diri dalam kehidupan bersama di
bidang sosial, ekonomi dan politik, yang menggiring pada fundamentalisme tidak
lain sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability)
dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamen-tal
dengan merayakan praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme (Jurgen Habermas
dalam The Inclusion of Others).
6.
karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan
politis, maka semua urusan politik, da-lam atas nama demokrasi selalu dilihat
sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Hubu-ngan antara
politik, kekuasaan dan uang semakin intim. Dalam kehidupan politik dan dalam
peraih-an kekuasaan, terjadi adagium, “Ada uang abang disayang dan tidak ada
uang abang ditendang”. Di sini demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan
suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis untuk bisa
menjelmakan ideal-ideal politiknya yang menyejahterakan rakyat, melainkan
sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di semua lini
kehidupan bang-sa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi politik
mencari peruntungan diri.
7.
tatkala perkembangan demokrasi ditentukan kekuatan uang
dan kekuasaan pun dapat dibeli dengan uang, maka dalam kehidupan politik secara
keseluruhan berkembang menjadi politik Machiavelian. Jika fenomena itu
dibiarkan, mimpi rakyat agar di balik gebyarnya demokrasi itu negara dapat
me-wujudkan mimpi-mimpi kesejahteraannya tidak akan pernah terwujud. Maka,
tidak ada jalan lain, demokrasi yang berintegritas moral harus segera dibangun
dan dikembangkan. Untuk itu, kontrol dan kritik publik harus terus-menerus
dibangun.
8. integritas
moral, tulis Matthew Collins (2003), berarti terciptanya kesatuan yang kental
antara nura-ni yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal
yang dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan pada hukum moral. Integritas
moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang
mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up
uang.
Demikianlah gagasan Thomas Koten, lalu apa yang dia
maksudkan dengan semuanya itu dan apa yang dapat dipahamkan dari bagian per
bagiannya? Rincian pembahasan terhadap gagasan Thomas Ko-ten adalah sebagai
berikut :
1. demokrasi
tidak diragukan lagi adalah konsep pemerintahan yang muncul dari sekularisme.
Sekula-risme mewajibkan Tuhan tidak ikut campur dalam arena kehidupan manusia
di dunia dan Tuhan diposisikan hanya di wilayah kewenangannya yakni gereja.
Oleh karena itu, demokrasi yang ber-basis aqidah tersebut menggariskan bahwa :
(a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ
adalah mi-lik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Lalu dalam penerapannya, demokrasi menuntut terwujudnya kebebasan atau freedom
atau اَلْحُرِّيَةُ
secara menyeluruh (beragama, berpenda-pat, kepemilikan dan berkepribadian)
supaya posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan maupun sumber kekuasaan
benar-benar dapat terealisir sempurna. Oleh karena itu, saat Thomas Koten
me-nyatakan demokrasi adalah suatu tata aturan kehidupan bermasyarakat yang
diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua anggota masyarakat
dalam keanekaragaman, maka yang dimaksudkan dengan … dalam
keanekaragaman adalah realitas kehidupan pluralis yang terbentuk secara
otomatis akibat diberlakukannya kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan
dan berke-pribadian. Artinya Koten tengah berupaya keras untuk menutupi wajah
asli demokrasi yang angker nan sadis dan tidak manusiawi dengan “topeng
silikon” yang berkesan sangat ramah, alami, santun dan humanis. Topeng tersebut
adalah : Karena itulah, dalam kehidupan demokrasi dan dalam revi-talisasi
kehidupan bermasyarakat; komunikasi, kebebasan, saling menghargai, memiliki
peran sen-tral.
2.
pengkomunikasian pengalaman sedemikian rupa sehingga
pengalaman-pengalaman tersebut menja-di milik bersama seluruh anggota
masyarakat demokratis, berarti :
a.
ungkapan “pengalaman” di sini yang dimaksudkan tentu
saja adalah realitas perjalanan empirik manusia dalam pola kehidupan berbasis
demokrasi, yakni kehidupan “super” bebas (اَشَدُّ الْحُرِّيَةِ)
sebagai bentuk implementasi riil dari keadaan yang dituntut oleh hakikat
demokrasi itu sendiri (rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan)
: kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan berkepribadian. Jadi,
pengkomunikasian “pengalaman-pengalaman” itu adalah sebuah upaya serius dari
satu pihak (para demokrat sejati) kepada pihak lain (kasus di Indonesia adalah
umat Islam) untuk membangun kesepakatan atau paling tidak konvensi alami
seluruh individu masyarakat demokratis dalam mewujudkan kesinambungan dan
kelestarian pemberla-kuan demokrasi itu sendiri.
b. ungkapan
… menjadi milik bersama seluruh anggota masyarakat demokratis … semakin
me-mastikan pertelaan bahwa dalam pola kehidupan berbasis demokrasi dan dalam
revitalisasi ke-hidupan masyarakatnya, seluruh perbedaan latar belakang setiap
anggota masyarakat terutama “agama” harus diformat menjadi mozaik pluralitas
kohesif yang sama sekali tidak boleh menja-di faktor kontra produktif atau
bahkan penghancur bagi demokrasi maupun penerapannya mela-inkan harus menjadi faktor
pengokoh dan penguatnya. Hal itu hanya dapat diraih bila seluruh anggota
masyarakat demokratis telah memiliki secara bersama-sama alias sepakat terhadap
se-mua pemikiran yang muncul dari atau dituntut ada oleh
demokrasi. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan : komunikasi yang
demokratis mengantarkan orang kepada tercapainya kese-pakatan-kesepakatan
bersama tentang tujuan hidup bersama.
3. sodoran
ultimatum sangat halus … tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi
mandul, merupakan sebuah penegasan bahwa aktivitas komunikasi (propaganda,
pengopinian, provokasi) seluruh konsep (pokok, cabang, turunan) yang ada dalam
demokrasi maupun yang muncul dalam penerapannya, adalah “harga mati dan something
of emergency” agar pola kehidupan yang dituntut harus oleh demokrasi
benar-benar dapat terwujud utuh. Inilah yang terungkap saat Koten memposi-sikan
secara berlawanan antara “perilaku masyarakat bangsa yang egoistik” sebagai
akibat ditutup-nya pintu komunikasi dengan “perilaku masyarakat bangsa yang
penuh toleransi” bila demokrasi yang menjadi pilar kehidupan berbangsa
terus-menerus dikembangkan yakni dikomunikasikan.
4. Koten
sangat menyadari (realized) akan munculnya secara otomatis perilaku
egoistik akibat diber-lakukannya demokrasi dengan landasan kebebasan yakni
terbangunnya pola kotak-kotak dan pagar-pagar eksklusivisme dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang pada gilirannya akan mendo-rong secara pasti
setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri. Lalu, upaya meraih keuntungan
diri tersebut akan menggiring pada realitas fundamentalisme yakni sebuah
gerakan dalam memba-ngun kehidupan secara ultrastabil (ultrastability)
dengan merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan
merayakan praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme.
Implikasi
inilah (penerapan demokrasi berbasis liberal mengakibatkan perilaku egoistik,
perilaku egoistik mengarahkan setiap orang untuk mencari keuntungan diri dan
sikap ini akan menggiring kepada fundamentalisme) yang sangat ditakutkan oleh
Koten sebab akan menjadi faktor penghan-cur demokrasi itu sendiri maupun
pemberlakuannya. Hal itu karena (menurut Koten) fundamenta-lisme adalah gerakan
untuk membangun kehidupan dunia yang diinginkan sangat stabil (ultrastabi-lity)
melalui perestorasian berbagai cara,
keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik
intoleransi dan eksklusivisme. Lalu, mengapa Koten begitu
mengkhawatirkan terja-dinya kondisi tersebut? Tentu saja demikian, sebab :
a.
kehidupan dunia ultrastability adalah hanya akan
terbentuk sempurna bila asas yang melandasi pola kehidupan tersebut berupa
“aturan Tuhan alias God’s Law” yang terekspresikan dalam wa-dah negara
ketuhanan (theocracy). Ketika dia melirik ke Dunia Kristiani, maka itu
adalah kea-daan di Eropa dalam era abad pertengahan saat Gereja dan Agamawan
berkonspirasi dengan para Kaisar atas nama Tuhan untuk menindas dan memeras
rakyat. Ketika dia menolehkan pan-dangannya ke Dunia Islam, maka itu adalah
saat Dunia Islam bahkan seluruh dunia dicengke-ram oleh hegemoni Khilafah
Islamiyah yang berlangsung sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 M. Keduanya
bagi Koten, bila kembali terwujud dalam kehidupan merupakan ancaman me-matikan
bagi demokrasi berikut pemberlakuannya.
b.
upaya merestorasi aneka cara berarti menghimpun segala
cara yang mungkin lalu memposisi-kannya sebagai benar, tepat dan layak untuk
digunakan dalam mencapai tujuan atau agar sam-pai kepada target. Restorasi ini
bagi Koten adalah sangat menakutkan bahkan menebar ancam-an maut, sebab dapat
dipastikan akan muncul klaim “otoritas” membunuh manusia lain atau memusnahkan
peradaban lain atas nama Tuhan.
c.
upaya merestorasi keyakinan, bagi Koten berarti
menjadikan keyakinan (faith) sebagai asas dan kepemimpinan dalam
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Bukankah perang Salib yang
berlangsung sangat lama adalah terjadi karena tuntutan keyakinan dari pihak
Dunia Kristi-ani maupun Dunia Islam? Bukankah berbagai aksi penaklukan yang
dilakukan oleh Khilafah Islamiyah adalah tindakan yang diatas namakan keyakinan?
Bukankah umat Islam memerangi kaum Nasrani maupun Yahudi adalah karena mereka
mengklaim aksi itu dilakukan atas tuntu-tan keyakinan? Inilah sejumlah fakta
empiris yang singgah dalam otak Koten lalu dia memutus-kan bahwa inilah bentuk
riil ancaman mematikan yang akan muncul bila keyakinan direstorasi sedemikian
rupa sehingga menjadi asas dan kepemimpinan dalam melakukan atau tidak
mela-kukan suatu tindakan.
d.
upaya merestorasi nilai-nilai fundamental (yang
dimaksudkan oleh Koten dengan nilai-nilai fundamental adalah nilai-nilai agama)
berarti menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai argumen pembenar bagi suatu
tindakan. Nampaknya yang dibidik oleh dia dalam hal ini adalah Islam dan
sebagian umat Islam yang berusaha untuk menjadikan “nilai-nilai” Islam sebagai asas
kehi-dupan manusia di dunia dalam wadah negara Khilafah Islamiyah. Mengapa hal
itu dapat dipas-tikan demikian? Karena : (i) ruang lingkup (circumstances)
pembicaraan Koten adalah Indone-sia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di
dunia, (ii) individu manusia yang menjadi ang-gota masyarakat Indonesia
sebagian sangat besar adalah umat Islam dan (iii) hanya Islam (suka atau tidak,
diakui atau disangkal) didalamnya terdapat “nilai-nilai” yang mengatur negara,
pe-nguasa, rakyat, pemberlakuan sistema dan seterusnya. Oleh karena itu, bagi
dia realitas tersebut adalah ancaman sangat berbahaya dan luar biasa
mematikannya bagi demokrasi berikut pem-berlakuannya di dunia.
e. bila
keadaan pola kehidupan ultrastability, restorasi aneka cara, restorasi
keyakinan dan resto-rasi nilai-nilai fundamental tidak dicegah atau bahkan
dibiarkan terjadi dengan sempurna, maka sikap intoleransi dan eksklusivisme
akan mengemuka kuat dalam arena kehidupan sebuah ne-gara demokrasi dan ini
jelas akan sangat menggerogoti (evolutif maupun revolutif) keberlang-sungan
pemberlakuan demokrasi itu sendiri. Jadi upaya Koten dalam mencuatkan sikap
intole-ransi dan eksklusivisme sebagai bertentangan dengan demokrasi tersebut,
tiada lain adalah un-tuk “menghardik dan melecehkan” secara halus umat Islam
yang ketika berusaha menegakkan kembali Khilafah Islamiyah sangat nampak sikap
intoleransi dan eksklusivisme mereka yakni mengklaim diri paling benar. Inilah
mengapa dia meminta “bantuan” pikiran kepada Jurgen Ha-bermas supaya terhindar
dari “cap” sekedar pikiran sendirian tanpa teman sependapat.
5. kerisauan
Koten berikutnya adalah berkenaan dengan kondisi faktual dari perjalanan
penerapan de-mokrasi itu sendiri yakni demokrasi bukan lagi menjadi
gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi
strategis untuk bisa menjelmakan ideal-ideal politiknya yang me-nyejahterakan
rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di
se-mua lini kehidupan bangsa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi
politik mencari peruntungan diri. Dia mengekspresikan kegelisahannya dengan
ucapan lain : karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan
politis, maka semua urusan politik, dalam atas nama demo-krasi selalu dilihat
sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Bahkan dia
mencoba mencemooh keadaan ini sebagai perkembangan yang mengarah kepada
politik Machiavelian yakni realitas politik yang segala sesuatunya diukur
dan distandardisasi oleh kepentingan naluriah manu-siawi.
Benarkah realitas sejati
demokrasi adalah gelanggang fair nan suci? Secara bahasa kata fair
dapat bermakna pekan raya (misal jakarta fair) atau pasar malam atau
pantas atau jujur (misal fair play). Sehingga bila diistilahkan gelanggang
fair maka bermakna gelanggang yang pantas atau gelang-gang yang jujur. Kata
“suci” bermakna bersih atau bebas dari kotoran/najis (misal
istilah bersuci melalui wudlu atau mandi) atau sesuatu yang
dimuliakan atau dikeramatkan (misal tanah suci, ba-ngunan suci, tempat
suci) atau sesuatu yang terbebas dari sentuhan dan peran manusia
(misal Ki-tab Suci Al-Quran). Lalu, benarkah demokrasi adalah gelanggang
fair nan suci?
Aspek orisinalitas
demokrasi adalah berawal dari upaya serius untuk mengingkari peran Tuhan da-lam
realitas kehidupan manusia di dunia dan hal itu muncul sebagai akibat dari
penyalahgunaan “otoritas Tuhan” tersebut oleh kekuatan konspiratif gereja dan
istana dalam menindas dan memeras rakyat. Rakyat yang menjadi objek penindasan
dan pemerasan kekuatan konspiratif tersebut akhir-nya berteriak lantang Vox
Populi Vox Dei serta menuntut keadaan Give The God His Right and Give The Emperor His Right Too. Inilah sekularisme (اَلْعِلْمَانِيَّةُ) yang berdasarkan pengalaman pahit
kepentingan manusiawi (rakyat) menggariskan bahwa peran Tuhan atas manusia
hanya sampai pa-da batas penciptaan, tidak lebih : God watch maker.
Kemudian untuk mewujudkan posisi rakyat sebagai Vox Populi Vox Dei
maka dibuatlah rumusan : (a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ
adalah milik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Artinya, demokrasi dari sisi orisinalitasnya tersebut merupakan konsep yang
tidak fair (jujur) sebab dirumuskan berdasarkan pengingkaran manusia
terhadap peran Tuhan dalam kehidupan mereka. Padahal dapat dipastikan ti-dak
akan pernah ada seorang pun manusia yang beraqal (tidak gila) yang mampu menipu
dan me-nindas dirinya sendiri supaya dapat menyangkal peran Tuhan tersebut. Hal
ini dibuktikan oleh sejumlah fakta empiris : (a) ungkapan Vox Populi Vox Dei
sendiri, (b) perjalanan kemanusiaan se-jak Nabi Adam hingga Nabi Isa
(diabadikan dalam Taurah dan Injil) dan Nabi Muhammad (diki-sahkan dalam
Al-Quran) dan (c) konsep kekekalan materi (اَلْمَادَّةُ
اَزَلِيَةٌ اَوِ الْمَادَّةُ اَصْلُ الأَشْيَاءِ) yang men-jadi aqidah
ideologi sosialisme (Tuhan mereka adalah materi itu sendiri). Lalu, sucikah
demokrasi?
Realitas unfairness
demokrasi sekaligus memastikan bahwa demokrasi sama sekali tidak suci dan
bukan gelanggang yang dapat diberi kategori suci, sebab sudah sangat nyata
bahwa seluruh konsep pokok, cabang maupun turunan yang ada dalam demokrasi
dirumuskan semata berdasarkan kepen-tingan naluriah manusiawi. Tuhan (sekedar
tuhan sekali pun apalagi Allah SWT) tidak ada hubung-an apa pun atau tidak
berperan sedikit pun dalam perumusan demokrasi tersebut, sehingga bagai-mana
mungkin dapat diberi kualifikasi “suci”. Lalu, dapatkah demokrasi
dipisahkan atau dihindar-kan dari para kapitalis?
Fakta empiris
pemberlakuan demokrasi dalam realitas kehidupan dan aspek konseptual demokrasi
memastikan bahwa demokrasi adalah mustahil dipisahkan atau dihindarkan dari
para kapitalis, bah-kan sebaliknya para kapitalis lah yang paling berperan
dalam melanggengkan penerapannya. Secara konsep, demokrasi dan kapitalisme
sama-sama terpancar (مُنْبَثَقَةٌ) dan terlahir (مَوْلُوْدَةٌ)
dari aqidah ‘il-maniyah (sekularisme). Realitas ini memastikan bahwa perbedaan
di antara keduanya amatlah tipis yakni hanya pada aspek ruang lingkup (circumstances)
arena penerapannya, yaitu demokrasi dalam arena pemerintahan sedangkan
kapitalisme dalam arena perekonomian. Faktanya menunjukkan di seluruh dunia
demokrasi menjadi sistema pemerintahan semua negara yang ada saat ini bahkan
ter-masuk di China, Kuba maupun Korea Utara. Kemudian, kenyataannya tidak ada satu
pun negara yang tidak menjadikan ekonomi kapitalisme sebagai sistem
perekonomiannya termasuk juga China, Kuba dan Korea Utara. Oleh karena itu,
antara demokrasi dan kapitalisme tidak mungkin dipisah-kan dalam realitas
perjalanan negara mana pun di dunia saat ini, sehingga para demokrat dan para
kapitalis adalah dua kubu yang sebenarnya berada dalam sebuah kubu yang sama.
Kaum demokrat dapat menjalankan tugasnya dengan bantuan dan dukungan penuh para
kapitalis. Sebaliknya, para kapitalis dapat menjalankan fungsi mereka adalah
dengan bantuan dan dukungan kaum demokrat. Terjadilah simbiosa mutualistis
antara keduanya dalam perjalanan negara mana pun (nasional) juga dalam tingkat
internasional. Contoh konkrit adalah di Amerika Serikat (AS) yang ternyata pilar
ke-kuasaan di sana tidak hanya eksekutif (The White House) dan Kongres (The
Capitol) melainkan ada yang ketiga yakni para pelobi (lobbyers) yang
bermarkas di K-street Washington DC. Para pelobi tersebut tiada lain adalah
para kapitalis yang tidak jarang dapat menjadi penentu semua kebijakan pihak
eksekutif maupun perundangan yang disahkan oleh Kongres. Bukankah di Indonesia
juga ter-jadi seperti itu walau dalam kadar kevulgaran yang lebih rendah?
Oleh karena itu,
tudingan cemooh Koten terhadap perkembangan penerapan demokrasi yang meng-arah
atau bahkan telah menjelma menjadi politik Machiavelian, adalah tidak tepat dan
tidak lumrah sebab justru demokrasi itu sejak awal eksistensinya lalu dalam
penerapannya telah menjelma sebagai ajang politik kepentingan (politik
Machiavelian). Jadi mengapa Koten risau dan gelisah dengan sesuatu yang telah
melekat erat pada alias sifat dasar dari demokrasi itu sendiri? Tidak
dira-gukan lagi, demokrasi adalah areal sebenarnya bagi para calo dan penjudi
politik dalam mencari peruntungan diri dan harus diingat realitas tersebut sama
sekali bukan merupakan perkembangan yang menyimpang melainkan sifat
dasar orisinal dari demokrasi itu sendiri. Akibatnya, mimpi dan harapan
rakyat kepada negara demokratis untuk dapat mewujudkan kesejahteraan mereka
adalah akan tetap menjadi mimpi semata dan juga selamanya akan menjadi harapan
kosong saja yang tidak akan pernah bertemu dengan kenyataanya.
6.
usulan Koten untuk segera membangun dan mengembangkan
demokrasi yang berintegritas moral adalah gagasan berani (namun tidak
realistis) untuk menutupi wajah sebenarnya dari demokrasi yang angker, sadis,
tidak manusiawi, tidak berpihak kepada rakyat dengan sebuah topeng bermerek
“moralitas demokrasi”, sehingga tersembul dari topeng itu wajah baru demokrasi
yang sangat ra-mah, alami, santun dan humanis serta “memusuhi” para kapitalis
sekaligus sangat mengharuskan negara demokratis untuk mewujudkan kesejahteraan
mereka. Inilah yang dia tegaskan saat meng-gunakan ide Matthew Collins (2003)
tentang integritas moral lalu dia terapkan kepada realitas de-mokrasi : integritas
moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang
mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up
uang.
Wal hasil, Thomas Koten
tengah dan akan selalu berusaha serius untuk mewujudkan demokrasi yang
berintegritas moral yakni demokrasi yang menggariskan adanya keutuhan
perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan
pada ambisi pribadi yang di-back-up uang. Dia sodorkan gagasannya itu ke
tengah-tengah penerapan demokrasi dalam kehidupan negara NKRI yang notabene
adalah tempat hidup dan bermukimnya lebih dari 190 juta orang umat Islam. Apa
yang diinginkan oleh Koten melalui upayanya tersebut? Tentu saja adalah supaya
umat Islam khususnya di Indonesia semakin cinta dan setia (loyal) kepada
demokrasi sehingga siap mati demi membela dan me-langgengkan pemberlakuannya
dalam realitas kehidupan mereka di dunia. Dia dan yang lainnya (jum-lahnya
sangat banyak) adalah antek-antek kaum kufar dan kekufuran yang
selalu akan menghalangi manusia dari jalan Allah SWT (Islam) dengan segala
cara. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ
عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ
يُحْشَرُونَ (الأنفال : 36)
Khatimah
Kepentingan naluriah manusiawi yakni keinginan
rakyat jelata untuk terlepas bebas dari belenggu penindasan dan pemerasan
kekuatan konspiratif gereja dan istana, sejak awal sangat nampak pada kon-sep
dasar demokrasi : (a) sovereignty alias kedaulatan alias اَلسِّيَادَةُ
adalah milik rakyat (people) dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Kedua pemikiran tersebut tidak lebih dari ungkapan anti thesis terha-dap thesis
yang telah sangat mapan “suara Kaisar suara Tuhan” dan sama sekali bukan
hasil berpikir terhadap aqidah aqliyah yang mendasari sebuah ideologi. Oleh
karena itu, demokrasi akan sangat co-cok dengan komunitas manusia yang belum
atau tidak memiliki informasi apa pun tentang ideologi dan
demokrasi akan dapat diterima dengan tanpa sedikit pun penentangan oleh
kelompok manusia yang ha-nya melandaskan seluruh aspek kehidupannya kepada
kepentingan naluriah semata (primitive or unci-vilized people).
Islam sejak awal diturunkan telah dengan lugas
menyeru manusia untuk memfungsikan aqal me-reka baik saat mewujudkan اَلإِيْمَانُ
بِاللهِ maupun ketika mereka mengelaborasikan (يَنْطَبِقُوْنَ)
segala ketentu-an Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
dalam realitas kehidupan mereka di dunia. Islam pasti berasal dari Allah SWT
(suka atau tidak, diakui atau disangkal) dan Allah sama sekali tidak memiliki
kepentingan apa pun baik atas alam semesta (اَلْكَوْنُ)
maupun manusia (اَلإِنْسَانُ), sehingga aqal (دَلِيْلٌ
عَقْلِيٌ) dapat memastikan bahwa tidak ada satu bagian pun dari Islam
yang muncul dari atau terpengaruh oleh kepentingan
Allah mau-pun apalagi manusia (Nabi Muhammad saw). Oleh karena itu, Islam akan
sangat sulit diterima oleh ko-munitas manusia yang bermerek primitive or
uncivilized people, sebab selama ini mereka tidak pernah menjalankan
kehidupan berdasarkan keputusan aqal bahkan sekedar mengerti realitas aqal
itu apa pas-tilah tidak dapat mereka lakukan. Inilah yang ditunjukkan
oleh masyarakat Arab sebelum Islam yang tinggal di Kota Makkah dan sekitarnya.
Adalah Nabi Muhammad saw sendiri yang mendakwahkan Is-lam kepada mereka tanpa
henti selama 13 tahun, namun mereka tetap menolaknya.
Umat Islam saat ini (telah berlangsung sejak
runtuhnya Khilafah 3 Maret 1924) menolak Islam secara tegas kecuali untuk
beberapa bagian syariahnya yang sesuai dengan kecenderungan naluriah me-reka
(shalat, shaum, haji, nikah, beristri lebih dari seorang, punya anak banyak,
thalaq dan lainnya). Pe-nolakan tersebut adalah identik dengan sikap yang sama
dari masyarakat Arab di Makkah saat awal Is-lam ada di dunia, namun ditambah
dengan keberpihakan mereka secara kisruh kepada demokrasi. Ke-berpihakan mereka
kepada demokrasi adalah sikap kisruh (مَوْقِفٌ غَلْطِيٌّ),
sebab terwujud karena mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman yang jernih
terhadap hakikat demokrasi itu sendiri. Faktanya, mereka menerima dan
memberlakukan demokrasi akibat adanya upaya manipulatif dari kaum kufar
(pengusung utama demokrasi) yang mengklaim bahwa demokrasi berasal dari Islam
atau demokrasi ti-dak bertentangan dengan Islam atau demokrasi adalah syura
dalam Islam.
Seiring dengan realitas keberpihakan secara kisruh
umat Islam kepada demokrasi itu, ternyata ada juga segelintir kecil kaum muslim
yang telah 100 persen menyadari (realized alias يُدْرِكُوْنَ)
hakikat de-mokrasi berikut perkembangan perjalanan pemberlakuannya dalam arena
kehidupan manusia. Mereka pun tidak hanya berhenti sampai di situ melainkan
terus memberikan penjelasan kepada seluruh umat Islam tentang hakikat demokrasi
tersebut. Mereka pada saat yang bersamaan selalu melakukan dua hal yakni : (a)
membongkar hakikat kepalsuan demokrasi mulai dari pemikiran pokok hingga cabang
dan turunannya dan (b) berusaha keras menghadirkan seluruh pemikiran Islam
tanpa kecuali. Akibatnya adalah walau sangat pelan tapi sangat pasti, mulai
bermunculan ke permukaan suara penolakan kepada demokrasi yang terbangun dari
pemahaman yang jernih terhadap hakikat demokrasi itu sendiri. Suara kesadaran
ini semakin hari semakin nyaring dan kuat juga semakin mampu menyadarkan banyak
umat Islam, sehingga wajah asli demokrasi yang angker, sadis, tidak manusiawi,
tidak berpihak kepada rak-yat semakin terkuak ke hadapan dunia.
Perkembangan mutakhir itulah yang sangat merisaukan
dan menggelisahkan para loyalis demo-krasi alias para demokrat sejati baik dari
kalangan umat Islam maupun kaum kufar sendiri. Adalah Thomas Koten yang tidak
dapat menahan kegundahan dirinya atas realitas terkini tersebut, sehingga dia
dengan penuh percaya diri menyodorkan sejumlah gagasan yang intinya adalah
untuk menutupi wajah sebenarnya dari demokrasi yang terlanjur telah banyak
menyembul terbuka ke permukaan pandangan umat Islam.
ذَلِكَ بِأَنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا
الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ (محمد
: 3)
No comments:
Post a Comment