Barack Obama vs opini dunia tentang perubahan
Opini dunia memang telah
berhasil digiring oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Barack Obama ke
arah : the change alias perubahan. Paling tidak, sejak awal tahun 2007
hingga terpilihnya Obama sebagai Presiden AS, istilah the change menjadi
sangat populer serta sangat bermakna dalam benak populasi dunia. Lalu, istilah
tersebut semakin mendapatkan momentumnya ketika sang pencetus dan pengusungnya
: Barack Obama, berhasil mutlak meraih posisi orang nomor satu di negeri
adidaya tersebut. Seluruh dunia (sangat disayangkan termasuk Dunia Islam)
memperlihatkan histeria dan eu-phoria yang
meluap-luap tatkala Obama sukses menjadi Presiden AS, bahkan gonjang ganjing di
bursa saham utama dunia akibat krisis finansial global pun beberapa saat mereda
dan seolah akan pulih. Ini-lah realitas yang banyak terungkap dan diantaranya :
1. Perdana
Manteri Inggris Gordon Brown menyatakan : Obama harus memimpin dunia ke arah
peru-bahan yang berarti.
2. Ketua
Dewan Redaksi Media Group Toeti Adhitama dalam tulisannya berjudul Vox
Populi Vox Dei menyatakan : Barack Obama, dari Partai Demokrat, menang
gemilang. Tokoh muda berkulit hi-tam, berayah kandung orang Afrika, berayah
tiri orang Asia, dan ibunya seorang kulit putih Ame-rika, telah sampai di
ambang pintu kekuasaan, kekuasaan menggerakkan perubahan di Amerika dan dunia.
Vox Populi Vox Dei. Lewat mayoritas dari pemilih Amerika, takdir menentukan
Barack Obama akan memelopori politik moral yang mudah-mudahan akan mengutamakan
kemanusiaan. Namun, walaupun terjadi perubahan dapat dipastikan spirit
kepeloporan yang diwariskan kaum imigran dari Eropa, yang mula-mula datang di
benua itu, akan tetap dipertahankan. Spirit itu su-dah menjadi jiwa dan
kerangka pikir bangsa Amerika. Karena spirit itulah Amerika tidak mungkin
melakukan ‘splendid isolation’, unggul tetapi menutup diri, seperti yang pernah
dilakukan Inggris di masa lalu. Amerika pastilah ingin selalu terlibat, bahkan
menjadi pelopor dalam perpolitikan dunia. Mudah-mudahan gayanya berbeda dari
masa lalu.
3.
Redaktur Senior Media Group T. Taufiqulhadi dalam
tulisannya berjudul Berharap Obama menya-takan : antusiasme pendukung
Obama nyaris setara dengan antusiasme ratusan juta ‘pendukung-nya’ di luar
negeri. Kemenangan Obama telah dianggap oleh rakyat di banyak negara sebagai
ke-menangan mereka pula. Sejumlah orang Indonesia, Timur Tengah, dan Afrika
menyambut kemena-ngan Obama jauh lebih bersemangat ketimbang menyambut
kemenangan salah seorang presiden yang didukungnya di dalam negeri. Seakan
perubahan yang dijanjikan Obama akan menerpa me-reka segera pula. Saya
khawatir, melihat kecenderungan sejumlah pernyataan Obama terakhir, masyarakat
dunia yang penuh antusias tadi nanti akan mengalami frustasi hebat. Karena apa
yang dibayangkan, justru akan berbeda dengan kenyataan. Sebenarnya, walaupun
kemenangan Obama harus diakui sebagai langkah lebih maju dalam demokrasi
Amerika, tapi masih tersisa pertanyaan, tembok manakah yang diterobos? Tembok
rasial memang jebol, tapi tembok agama tidak, justru makin mengeras. Persoalan
agama inilah yang membuat harapan warga dunia akan meleset. Da-lam rangka
menghindari cap Islam, terakhir Obama menghindar bertemu komunitas Arab yang
dulu sempat dia akrabi. Dia menolak dukungan Nation of Islam, organisasi
masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai gantinya, secara demonstratif justru
dia bertemu American Israel Public Rela-tions Committee (AIPAC), organisasi
pelobi Israel paling berpengaruh di Amerika untuk menyam-paikan pidato
pro-Israel. Padahal, konflik Israel-Palestina adalah kunci terhadap persoalan
kea-manan dunia sekarang. Pendek kata, semua persoalan yang menjadi bagian
ketidakadilan dunia akan tetap berlanjut di tangan Obama. Kenapa? Karena Obama
presiden Amerika. Obama, seperti rata-rata Presiden AS, telah tertawan dengan
ilusi polisi dunia AS dan oleh pelobi Yahudi. Obama seperti Bush, tidak pernah
memahami penderitaan warga Palestina.
Demikianlah sebagian respon dunia terhadap posisi
Barack Obama yang pada tanggal 20 Januari 2009 nanti akan dilantik untuk secara
resmi menjadi presiden baru ke-44 negara AS dan perubahan du-nia yang selama
ini diusung sebagai tema besar dalam kampanyenya. Lalu, akankah sikap negara AS
berubah signifikan “hanya” karena presiden ke-44 nya adalah Barack Obama?
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Obama sendiri dengan the change?
Bagaimana seharusnya umat Islam dan Du-nia Islam menyikapi realitas Obama
sebagai Presiden AS?
Barack Obama dan pola
sikap negara AS
Bangsa Amerika memiliki sebuah slogan yang
menegaskan sikap sekuler mereka yaitu : God bless America. Slogan
tersebut juga memastikan bahwa Amerika itu baik sebagai bangsa (American)
maupun sebagai negara (The United States of America alias AS) adalah
negara dan bangsa yang diyaki-ni benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan
sendiri. Sehingga mereka sepakat untuk mempertahan-kannya serta melindunginya
dari ancaman destruktif baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Makna
yang melekat inheren pada slogan itu pun menjadikan rakyat negara AS
memiliki kebanggaan (proudness) yang luar biasa terhadap negara (USA)
berikut seluruh struktur administrasi dan adminis-tratur pemerintahannya.
Realitas inilah yang sangat nampak pada sikap setiap individu rakyat maupun
penguasa negara adidaya tersebut dalam memandang serta memposisikan
negara-negara lain mana pun di luar AS. Pernyataan Toeti Adhitama yakni : Namun,
walaupun terjadi perubahan dapat dipastikan spirit kepeloporan yang diwariskan
kaum imigran dari Eropa, yang mula-mula datang di benua itu, akan tetap
dipertahankan. Spirit itu sudah menjadi jiwa dan kerangka pikir bangsa Amerika,
adalah te-pat karena sesuai 100 persen dengan faktanya.
Obama bukanlah presiden AS yang pertama walau memang
dia adalah presiden berkulit hitam untuk pertama kalinya dalam sejarah
perjalanan negara tersebut. Pasca dilantik pada 20 Januari 2009 nanti, Obama
adalah presiden AS ke-44 dan itu berarti sebelum dia telah ada 43 orang
presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan negara AS.
Fakta empirik perjalanan dan sikap negara AS dibawah “kendali” seluruh presiden
sebelum Obama memastikan sejumlah keadaan sebagai berikut :
1.
AS adalah satu-satunya negara kebangsaan (nation
states) yang selain keluar sebagai pemenang da-lam Perang Dunia II, juga
dalam tempo tidak sampai 100 tahun (tepatnya 63 tahun) telah berhasil meraih
kedudukannya sekarang yaitu sebagai the only super power in the whole world, bahkan nampaknya hingga saat ini (awal abad
ke-21) kedudukan tersebut masih belum akan dapat digoyah-kan apalagi diambil
alih oleh kekuatan negara mana pun. Kedudukan AS itu menjadikan negara
ter-sebut seolah dipastikan dan disepakati memiliki sejumlah hak istimewa atas
realitas kehidupan du-nia seperti : (a) sebagai jatidiri sebenarnya dari
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB alias The United Nations Organization)
yang ditunjukkan dengan posisinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang
selain memiliki hak veto juga yang paling sering menggunakannya, (b) sebagai
jatidiri sebenarnya dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic
Treaty Organization alias NATO), (c) sebagai pemilik sebenarnya dari dua
lembaga keuangan utama dunia yaitu IMF (International Monetery Funds) dan WB (World Bank) dengan
menguasai 51 persen saham kedua lembaga terse-but, (d) sebagai the globocop
alias polisi dunia yang “diberi otoritas” oleh dunia untuk “menilang” setiap
bentuk pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh negara atau pihak mana pun dan
seterus-nya.
2.
pemerintahan AS (presiden) adalah satu-satunya di dunia
yang keputusannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dunia (misal kasus Iraq
dan Afghanistan) secara unilateral, tidak dapat dibantah dan ditolak oleh
seluruh negara yang ada di dunia atau bahkan oleh PBB sekali pun. Sikap dunia
saat mendapati kebijakan luar negeri AS seperti itu adalah maksimal wait and
see bahkan seringnya adalah berusaha keras memahaminya dan akhirnya
menyetujuinya serta memutuskan untuk ikut ambil peran dalam kebijakan
unilateral AS tersebut (misal sikap Inggris dan Australia dalam kasus Iraq).
3. hanya
AS yang dapat dengan tegas menolak untuk ikut ambil bagian atau menyetujui atau
meratifi-kasi suatu konvensi dunia dalam suatu persoalan, misalnya dalam kasus
Protokol Kyoto tentang pe-ngurangan emisi gas CO2 yang hingga
hampir berakhir masa berlakunya (tahun 2012) tidak juga dan tidak akan
meratifikasi protokol tersebut. Lalu sikap negara-negara lain yang justru
paling lelah dalam merumuskan konvensi dan paling dirugikan akibat suatu
persoalan (misal emisi gas CO2) adalah sama sekali tidak
berdaya (powerless) terhadap penolakan AS tersebut.
Demikianlah sebagian dari
keistimewaan yang melekat dalam perjalanan negara AS yang bersifat resmi dan
legal (walau sangat kental aspek pemaksaannya) serta nampak secara “vulgar” di
depan pandangan dunia. Tentu saja kebijakan atau sikap atau keputusan negara AS
yang bersifat rahasia atau secret ope-ration adalah dipastikan lebih
banyak lagi mengingat selama ini “mata dunia” tidak mampu menjang-kaunya.
Lalu mengingat perjalanan negara AS telah berlangsung
ratusan tahun minimal jika dihitung dari jumlah presiden yang pernah memimpin
negara itu yakni 43 orang dan rata-rata setiap presiden hanya 4 (empat) tahun
atau hanya satu periode jabatan, maka umur negara adidaya itu adalah 172 tahun,
pada-hal sepanjang itu pula selalu membawa, mempertahankan bahkan mempercanggih
segala keadaan atau keistimewaan atau otoritas khusus yang melekat pada
dirinya, maka dapat dipastikan bahwa sikap maupun pola kebijakan AS saat ini
dan ke depan tidak akan mengalami perubahan yang mendasar dan berarti.
Jika pun terjadi perubahan maka itu hanya pada aspek asesoris atau pengemasan
dan sama sekali bukan pada pola pikir maupun pola sikap yang selama ratusan
tahun telah menginternalisasi dalam sosok negara USA terlepas siapa orangnya
yang menjadi presiden negara tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa proses
suksesi kepemimpinan di AS adalah otomatis merupakan proses pemelihara-an,
penjagaan, pemantapan, pengokohan keberlangsungan sikap negara itu bahkan
menjadi kesempatan emas untuk semakin mempercanggih seluruh instrumen, struktur
maupun pilar yang selama ini menem-pati posisi sebagai penopang utama
keadidayaan AS.
Oleh karena itu, posisi dan eksistensi Barack Obama
yang sebentar lagi akan menerima tongkat estafeta kepresidenan negara AS dari
pendahulunya (presiden ke-43) George Walker Bush, sama sekali tidak akan
menjadi titik awal (the point of zero) munculnya perubahan mendasar pada
pola pikir dan pola sikap negara itu. Bahkan yang pasti adalah siapa pun yang
menjadi presiden USA maka baik seca-ra pribadi yang bersangkutan (termasuk
Obama), institusional (negara USA) maupun konstitusional, diharamkan
baginya untuk merubah pola pikir dan pola sikap yang selama ini telah menjadi
realitas atau jatidiri yang sebenarnya dari AS. Dengan kata lain, diwajibkan
kepada siapa pun yang menjadi penerus kepemimpinan di negara AS untuk selalu
menjaga, memelihara, mempertahankan dan mem-perkokoh serta mempercanggih
seluruh pola pikir maupun pola sikap yang selama ini telah menjadi ciri khas dari
USA. Lebih dari itu, pada kasus Obama yang sejak awal diopinikan secara
mengglobal seba-gai presiden negara AS berkulit non putih alias hitam untuk
pertama kalinya sejak negara tersebut ber-diri bahkan sejak benua tersebut
ditemukan, tentu saja hal itu menjadi : (a) pesan yang mengultimatum bagi Obama
supaya dia selalu sadar bahwa dirinya bukanlah manusia yang berasal dari ras
unggul dan superior (kulit putih), (b) beban amat sangat berat bagi Obama sebab
mulai sejak sekarang dia harus se-lalu memperhatikan, memelihara, menjaga dan
mengamankan keselamatan dan keberlangsungan se-luruh “teman,
kerabat, saudara” satu rasnya yakni ras negro atau Afro-Amerika dan (c)
perintah keras dari ras kulit putih yang hingga kapa pun tidak akan pernah
sudi, rela maupun bersedia berposisi seba-gai “warga kelas kedua alias bawahan”
untuk supaya Obama benar-benar menjadi pelayan setia bagi seluruh
kepentingan mereka. Hal-hal inilah yang akan sangat mungkin bahkan dapat
dipastikan menja-dikan Obama sebagai Presiden AS yang bersikap lebih
berkhidmat kepada dan lebih mengutamakan kepentingan
bangsa kulit putih (yang diposisikan sebagai bangsa Amerika sejati) daripada 43
orang Presiden AS sebelumnya yang berasal dari ras kulit putih sendiri. Sikap
ini sejak awal bahkan sebelum resmi dilantik menjadi Presiden AS ke-44, telah
ditunjukkan secara demonstratif oleh Obama, seperti pada kejadian faktual yang
diungkapkan oleh Redaktur Senior Media Group T. Taufiqulhadi : Dalam rangka
menghindari cap Islam, terakhir Obama menghindar bertemu komunitas Arab yang
dulu sem-pat dia akrabi. Dia menolak dukungan Nation of Islam, organisasi
masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai gantinya, secara demonstratif justru
dia bertemu American Israel Public Relations Committee (AIPAC), organisasi pelobi
Israel paling berpengaruh di Amerika untuk menyampaikan pidato pro-Isreal.
Wal hasil, Presiden
Barack Obama yang akan segera memimpin The United States of America
alias AS tidak akan pernah diijinkan oleh Negara Amerika Serikat
untuk merubah secara mendasar semua hal yang telah menjadi ciri khas, pola
pikir dan pola sikap USA selama dipimpin secara bergan-tian oleh 43 orang
presiden berkulit putih, diantaranya adalah : (a) harus selalu memposisikan
negara Israel sebagai duri mematikan dalam jantung Dunia Islam (Timur Tengah)
demi terpeliharanya seluruh kepentingan AS di kawasan tersebut, (b) harus
selalu mempropagandakan bahwa Amerika tidak me-musuhi Islam dan bukan musuh
Islam demi untuk menghalangi munculnya kesadaran hakiki umat Is-lam terhadap
posisi dan eksistensi AS sendiri yakni sebagai musuh nyata sebenarnya bagi
mereka dan seterusnya dari semua sikap maupun kebijakan luar negeri AS yang
selama ini telah dan akan selalu di-jalankan serta diimplementasikan dalam
realitas kehidupan global. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT ketika
menyatakan :
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ
رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ
الْعَظِيمِ (البقرة : 105)
Obama dan the change
Paling tidak sejak Presiden AS ke-40 yakni Ronald
Reagan yang berkuasa selama dua periode masa jabatan (8 tahun), lalu berlanjut
kepada Presiden AS ke-41 Bush Senior (berkuasa selama 8 ta-hun), kemudian
dilanjutkan oleh Presiden Bill Clinton sebagai presiden ke-42 yang berkuasa
juga sela-ma dua kali masa jabatan (8 tahun) dan terakhir estafeta kepemimpinan
AS berada di tangan Bush Yu-nior yang telah menduduki dua kali masa jabatan (8
tahun), fakta kebijakan luar negeri AS adalah ber-basis militer (military
base policy). Artinya, selama 32 tahun perjalanan negara AS selalu
menerapkan pola kebijakan tersebut.
Pola kebijakan luar negeri AS tersebut mencapai
puncaknya sepanjang kepemimpinan Presiden ke-43 yakni Bush Yunior yang telah
menerapkannya untuk setidaknya pada dua kasus yakni perang di Afghanistan dan
di Iraq. Tentu saja pemberlakuan pola tersebut yang berlangsung lebih dari
tigapuluh tahun (32 tahun) pasti akan menimbulkan kejenuhan pada semua lapisan
masyarakat AS sendiri. Kea-daan itu ditunjukkan secara gamblang oleh berbagai
unjuk rasa masyarakat untuk memprotes kebijakan tersebut dan itu dimotori
terutama oleh keluarga yang salah satu atau lebih anggotanya tengah menjala-ni
wajib militer dan dikirimkan ke daerah konflik di luar negeri (Iraq dan
Afghanistan) atau telah kem-bali walau hanya mayatnya atau kembali dalam
keadaan cacat fisik permanen atau bahkan menjadi gila (seperti para veteran
perang teluk di Iraq). Seluruhnya mengkristalkan kegelisahan
hingga kemarahan masyarakat AS kepada pemerintahnya yang seakan
tidak pernah mau peduli baik terhadap semakin ba-nyaknya korban nyawa maupun
biaya, sebagai contoh riil untuk perang di Iraq saja hingga tahun 2008, negara
AS telah kehilangan lebih dari 4000-an orang tentara dan harus mengeluarkan
biaya yang lebih dari satu triliun dolar.
Kristalisasi kejenuhan, kegelisahan dan kemarahan
masyarakat (terutama kulit putih) inilah yang ditangkap dengan tepat oleh
Barack Obama (secara pribadi) dan Partai Demokrat (secara institusi), se-hingga
sepakat untuk “bersatu padu” mengusung tema besar The Change
dalam sepanjang kampanye road to The White House hingga detik-detik
terakhir menjelang the US’ election tanggal 4 November 2008 yang lalu.
Tema tersebut kembali ditegaskan oleh Obama saat pidato kemenangannya di
kawasan Chicago. Sehingga bila ditanyakan : apa yang dimaksudkan oleh Obama
tentang the change yang men-jadi tema besar selama kampanyenya? Jawabannya
adalah :
1.
perubahan tradisi keberpihakan warga kulit putih
(mayoritas penduduk AS) yang selama ratusan ta-hun selalu menginginkan dipimpin
oleh presiden dari kalangan ras mereka sendiri. Obama memang telah berhasil
merubah tradisi tersebut dan itu terbukti pasti dalam pemilu presiden 4
November la-lu yang dimenangkan olehnya atas capres kulit putih dari Partai
“Gajah” Republik : John McCain.
2.
rencana perubahan terhadap pola kebijakan luar negeri
AS dari military base policy menjadi nego-tiation base policy.
Rencana ini nampaknya akan menjadi pilar penyangga utama bagi kepemim-pinan
Obama selama masa jabatannya yang pertama bahkan akan digunakan untuk meraih
kembali kedudukan tersebut untuk periode kedua nanti.
3. karena
Obama sangat mengetahui perkembangan mutakhir opini dunia terhadap posisi
negara AS terutama sepanjang delapan tahun di bawah kendali Presiden Bush
Yunior, yakni penduduk dunia (baik kawan maupun lawan) telah tergiring secara
tidak sengaja oleh gaya administrasi Presiden Bush bahwa AS telah tidak lagi
memperhatikan pertimbangan apa pun termasuk dari sekutunya sa-at menetapkan
suatu kebijakan luar negeri. Kenyataan itu tampak jelas sekali dalam kasus
invasi militer AS ke Iraq dan Afghanistan. Dengan demikian Obama merencanakan
untuk melakukan per-ubahan terhadap stigma opini dunia tersebut.
Lalu, apakah Obama akan
merubah rambu-rambu pokok dan mendasar dari negara AS? Rambu-rambu pokok dan
mendasar negara AS adalah :
1.
sekularisme yang menjadi asas berdiri dan berjalannya
negara USA. Asas ini tidak akan mungkin dirubah oleh siapa pun baik Presiden,
Kongres, Senat atau masyarakat, sebab perubahan apa pun dan sekecil apa pun
terhadap asas tersebut dipastikan akan menjadikan negara USA hancur dan le-nyap
dari realitas kehidupan.
2.
demokrasi sekularistik yang diberlakukan sebagai sistem
pemerintahan negara USA. Dipastikan bahwa seluruh elemen yang menopang negara
AS (rakyat, Kongres, Senat, Presiden, General Attor-ney, High Court, FBI, CIA,
Pentagon dan seterusnya) telah sepakat bahwa demokrasi harus tetap diberlakukan
dan dijamin keberlangsungannya tidak hanya di negara AS melainkan di seluruh
du-nia terutama di Dunia Islam.
3.
kapitalisme sekularistik yang dijadikan sistema dalam
perekonomian negara AS. Walaupun ideolo-gi pasar (the market’s ideology,
meminjam istilah yang diungkap oleh mantan Gubernur The Fed : Alan Greenspan)
tersebut paling tidak saat ini telah menunjukkan secara vulgar kegagalannya
da-lam mengantarkan manusia di dunia kepada kesejahteraannya, namun ternyata
seluruh dunia dan terutama negara AS sepakat untuk tetap mempertahankannya
diberlakukan sebagai sistema pereko-nomian dunia. Inilah yang tampak dari sejumlah
kebijakan fiskal maupun moneter yang dilakukan oleh sejumlah negara maju
termasuk AS sendiri di antaranya : (a) bailout sebesar 700 miliar dolar
AS yang telah dilakukan oleh negara itu dan direncanakan akan ditambah 75
miliar dolar lagi, (b) suntikan dana segar ke pasar modal dan uang sebesar 1,6
triliun Yen yang dilakukan oleh Bank Of Japan, (c) bailout sebesar 650
miliar dolar AS yang dilakukan oleh pemerintah China dan sebagai-nya.
4. liberalisme
sekularistik yang dijadikan standard untuk interaksi sosial dalam masyarakat.
Kebebas-an dalam hal beragama, berekspresi, berpendapat, berkepemilikan dan
berkepribadian, adalah per-kara yang disakralkan oleh setiap orang dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hampir selu-ruh manusia di dunia
(termasuk umat Islam) sangat sepakat bahwa rambu kehidupan dunia tersebut harus
dipertahankan dan tidak boleh dirubah sedikit pun.
Walau mungkin saja secara
pribadi, Obama punya sedikit pemikiran untuk melakukan perubahan di sa-na sini
terhadap rambu-rambu pokok dan mendasar negara AS tersebut, tetapi pemikirannya
itu adalah tidak akan mungkin diterapkan dengan argumen apa pun. Hal itu karena
jika Obama melakukannya ju-ga maka sama saja dengan dia mengumumkan Perang
Dunia III kepada seluruh dunia. Jadi, persoalan-nya bagi Obama adalah dia
mendapati kenyataan bahwa rambu-rambu pokok dan mendasar negara AS tersebut
telah sepenuhnya menjadi rambu-rambu pokok dan mendasar bagi seluruh negara
yang ada di dunia.
Wal hasil, the
change yang dimaksudkan oleh Obama adalah perubahan dalam hal
atau perkara atau aspek yang memang masih
mungkin untuk dilakukan (menguntungkan kepentingan negara AS) dan masih
diijinkan oleh negara USA serta warga dunia. Tegasnya, Obama akan mengharamkan
diri-nya untuk memberlakukan perubahan dalam hal atau perkara
atau aspek yang memang akan menjadi ancaman mematikan bagi
posisi, eksistensi dan kepentingan USA dalam realitas percaturan global.
Ini-lah realitas kaum kufar yang digambarkan oleh Allah SWT saat menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ
عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ
يُحْشَرُونَ (الأنفال : 36)
Umat Islam dan Presiden
Barack Obama
Kenyataan menunjukkan adalah tidak sedikit
umat Islam di Dunia Islam yang menyambut penuh harap (bahkan mungkin gembira)
kemenangan mutlak Barack Obama dalam pemilu presiden AS pada 4 November 2008
yang lalu. Fakta tersebut mempertelakan bahwa seolah kesuksesan Obama meraih
posisi Presiden AS ke-44 dianggap oleh sebagian kaum muslim merupakan momentum
yang diduga kuat akan atau mungkin dipastikan akan
merubah seluruh pola pikir, pola sikap maupun kebijakan lu-ar negeri AS
terhadap umat Islam dan Dunia Islam. Umat Islam seakan berpikir (walau
sebenarnya ti-dak sama sekali) bahwa Presiden Barack Obama akan “lebih sayang
dan bersikap adil” terhadap mere-ka dan Dunia Islam serta akan menjadi sosok
presiden AS yang benar-benar berbeda 180 derajat de-ngan para pendahulunya
terutama George Walker Bush. Bahkan umat Islam di negeri Iraq yang selama lima
tahun terakhir sangat menderita (fisik, pemikiran maupun perasaan) akibat
kesadisan, kebiadaban dan kebrutalan tentara AS pun ternyata sebagian dari
mereka ada yang memiliki harapan besar kepada Obama akan bersikap beda yakni
lebih lunak daripada Bush Yunior.
Apakah sikap umat Islam tersebut realistis dari sisi
faktanya dan apakah dibenarkan atau dihalal-kan oleh Islam?
Sikap umat Islam yang menaruh harapan (apa pun)
kepada Presiden AS yang baru Barack Obama adalah bukti bahwa :
1.
mereka sama sekali tidak memahami apalagi menyadari
realitas hubungan konstelatif antara Presi-den AS, The United States of
America dan kekufuran yang selama ini diusungnya : sekularisme be-serta
pemikiran cabang yang lahir darinya (demokrasi dan kapitalisme).
2.
sikap responsif spontanitas mereka itu benar-benar
hanya muncul dari dorongan naluriah akibat se-lama ini menyaksikan atau bahkan
merasakan pahit getirnya sikap kejam, sadis, brutal negara AS kepada umat Islam
di bawah kendali George Walker Bush, sehingga mereka beranggapan bahwa sikap
negara tersebut adalah gara-gara presidennya semata.
3.
mereka telah terpedaya oleh kuatnya pengopinian tentang
the change yang terus menerus digelora-kan oleh Obama dan tim suksesnya
selama kampanye road to The White House hingga detik-detik terakhir
menjelang the US’ election tanggal 4 November 2008 yang lalu.
4. mereka
telah berada dalam keadaan frustasi bahkan skeptis terhadap realitas internal
umat Islam di Dunia Islam yang memang hingga saat ini serba tidak berdaya.
Oleh karena itu, sikap
berharap umat Islam kepada Obama adalah sama sekali tidak realistis
yakni ti-dak sesuai dengan realitas hubungan konstelatif antara posisi Presiden
AS, The United States of Ame-rica dan kekufuran yang selama ini diusung,
dipertahankan, dibela dan disebarluaskannya : sekularisme beserta pemikiran
cabang yang lahir darinya (demokrasi dan kapitalisme).
Kemudian, karena Islam mengharamkan
sekularisme berikut sistema cabang yang muncul dari-nya yakni demokrasi dan
kapitalisme, sedangkan Presiden AS dan The United States of America
adalah pengusung utama sistema kufur tersebut, maka sikap berharap umat Islam
kepada Obama adalah sama sekali tidak benar menurut Islam dan
Islam mengharamkannya.
Lebih dari itu, fakta
memastikan bahwa sikap berharap adalah titik awal dari kesediaan untuk se-tia
dan mentaati (loyal) siapa pun dan kekuatan mana pun yang dianggap atau diduga
kuat akan mampu memenuhi harapan tersebut. Artinya, ketika umat Islam berharap
(sekecil apa pun) kepada Obama yang dia adalah The President of The United
States of America, maka sejak itu mereka telah memastikan di-rinya
untuk setia dan taat kepada Presiden Barack Obama tersebut alias kepada kaum
kufar dan kekufu-ran yang diusungnya. Sikap ini jelas diharamkan oleh Islam
berdasarkan pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (آل عمران : 149)
Selain
itu, ketika kaum muslim berharap negara AS di bawah administrasi Presiden Obama
akan bersi-kap lebih lunak dan lebih manusiawi kepada Islam dan dunia Islam,
maka itu artinya umat Islam tengah mencari kemuliaan (اَلْعِزَّةُ) di sisi kaum kufar. Padahal seharusnya
(sesuai dengan tuntutan aqidah mere-ka) mereka memahami dan menyadari bahwa
kemuliaan itu mustahil diperoleh di sisi makhluk apalagi makhluk yang paling
hina dalam pandangan Allah SWT (kaum kufar). Allah SWT menyatakan :
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ
فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)
Singkat kata, sekali saja
kaum muslim memutuskan mencari kemuliaan selain dari Islam yakni dari ka-um
kufar, maka sejak itu pula kehinaan (اَلذِّلَّةُ) dan kenistaan (اَلْمَسْكَنَةُ) yang akan diperoleh dari komuni-tas
manusia paling hina tersebut. Padahal persoalannya adalah sederhana saja yakni
bagaimana mung-kin makhluk paling hina dapat memberikan kemuliaan kepada orang
lain. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ
شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
(الأنفال : 55)
No comments:
Post a Comment