Saturday, November 9, 2013

PERUBAHAN AMERIKA SERIKAT : APANYA?


Barack Obama vs opini dunia tentang perubahan
Opini dunia memang telah berhasil digiring oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Barack Obama ke arah : the change alias perubahan. Paling tidak, sejak awal tahun 2007 hingga terpilihnya Obama sebagai Presiden AS, istilah the change menjadi sangat populer serta sangat bermakna dalam benak populasi dunia. Lalu, istilah tersebut semakin mendapatkan momentumnya ketika sang pencetus dan pengusungnya : Barack Obama, berhasil mutlak meraih posisi orang nomor satu di negeri adidaya tersebut. Seluruh dunia (sangat disayangkan termasuk Dunia Islam) memperlihatkan histeria dan eu-phoria yang meluap-luap tatkala Obama sukses menjadi Presiden AS, bahkan gonjang ganjing di bursa saham utama dunia akibat krisis finansial global pun beberapa saat mereda dan seolah akan pulih. Ini-lah realitas yang banyak terungkap dan diantaranya :
1.       Perdana Manteri Inggris Gordon Brown menyatakan : Obama harus memimpin dunia ke arah peru-bahan yang berarti.
2.       Ketua Dewan Redaksi Media Group Toeti Adhitama dalam tulisannya berjudul Vox Populi Vox Dei menyatakan : Barack Obama, dari Partai Demokrat, menang gemilang. Tokoh muda berkulit hi-tam, berayah kandung orang Afrika, berayah tiri orang Asia, dan ibunya seorang kulit putih Ame-rika, telah sampai di ambang pintu kekuasaan, kekuasaan menggerakkan perubahan di Amerika dan dunia. Vox Populi Vox Dei. Lewat mayoritas dari pemilih Amerika, takdir menentukan Barack Obama akan memelopori politik moral yang mudah-mudahan akan mengutamakan kemanusiaan. Namun, walaupun terjadi perubahan dapat dipastikan spirit kepeloporan yang diwariskan kaum imigran dari Eropa, yang mula-mula datang di benua itu, akan tetap dipertahankan. Spirit itu su-dah menjadi jiwa dan kerangka pikir bangsa Amerika. Karena spirit itulah Amerika tidak mungkin melakukan ‘splendid isolation’, unggul tetapi menutup diri, seperti yang pernah dilakukan Inggris di masa lalu. Amerika pastilah ingin selalu terlibat, bahkan menjadi pelopor dalam perpolitikan dunia. Mudah-mudahan gayanya berbeda dari masa lalu.
3.       Redaktur Senior Media Group T. Taufiqulhadi dalam tulisannya berjudul Berharap Obama menya-takan : antusiasme pendukung Obama nyaris setara dengan antusiasme ratusan juta ‘pendukung-nya’ di luar negeri. Kemenangan Obama telah dianggap oleh rakyat di banyak negara sebagai ke-menangan mereka pula. Sejumlah orang Indonesia, Timur Tengah, dan Afrika menyambut kemena-ngan Obama jauh lebih bersemangat ketimbang menyambut kemenangan salah seorang presiden yang didukungnya di dalam negeri. Seakan perubahan yang dijanjikan Obama akan menerpa me-reka segera pula. Saya khawatir, melihat kecenderungan sejumlah pernyataan Obama terakhir, masyarakat dunia yang penuh antusias tadi nanti akan mengalami frustasi hebat. Karena apa yang dibayangkan, justru akan berbeda dengan kenyataan. Sebenarnya, walaupun kemenangan Obama harus diakui sebagai langkah lebih maju dalam demokrasi Amerika, tapi masih tersisa pertanyaan, tembok manakah yang diterobos? Tembok rasial memang jebol, tapi tembok agama tidak, justru makin mengeras. Persoalan agama inilah yang membuat harapan warga dunia akan meleset. Da-lam rangka menghindari cap Islam, terakhir Obama menghindar bertemu komunitas Arab yang dulu sempat dia akrabi. Dia menolak dukungan Nation of Islam, organisasi masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai gantinya, secara demonstratif justru dia bertemu American Israel Public Rela-tions Committee (AIPAC), organisasi pelobi Israel paling berpengaruh di Amerika untuk menyam-paikan pidato pro-Israel. Padahal, konflik Israel-Palestina adalah kunci terhadap persoalan kea-manan dunia sekarang. Pendek kata, semua persoalan yang menjadi bagian ketidakadilan dunia akan tetap berlanjut di tangan Obama. Kenapa? Karena Obama presiden Amerika. Obama, seperti rata-rata Presiden AS, telah tertawan dengan ilusi polisi dunia AS dan oleh pelobi Yahudi. Obama seperti Bush, tidak pernah memahami penderitaan warga Palestina.

Demikianlah sebagian respon dunia terhadap posisi Barack Obama yang pada tanggal 20 Januari 2009 nanti akan dilantik untuk secara resmi menjadi presiden baru ke-44 negara AS dan perubahan du-nia yang selama ini diusung sebagai tema besar dalam kampanyenya. Lalu, akankah sikap negara AS berubah signifikan “hanya” karena presiden ke-44 nya adalah Barack Obama? Apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Obama sendiri dengan the change? Bagaimana seharusnya umat Islam dan Du-nia Islam menyikapi realitas Obama sebagai Presiden AS?
Barack Obama dan pola sikap negara AS
Bangsa Amerika memiliki sebuah slogan yang menegaskan sikap sekuler mereka yaitu : God bless America. Slogan tersebut juga memastikan bahwa Amerika itu baik sebagai bangsa (American) maupun sebagai negara (The United States of America alias AS) adalah negara dan bangsa yang diyaki-ni benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Sehingga mereka sepakat untuk mempertahan-kannya serta melindunginya dari ancaman destruktif baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Makna yang melekat inheren pada slogan itu pun menjadikan rakyat negara AS memiliki kebanggaan (proudness) yang luar biasa terhadap negara (USA) berikut seluruh struktur administrasi dan adminis-tratur pemerintahannya. Realitas inilah yang sangat nampak pada sikap setiap individu rakyat maupun penguasa negara adidaya tersebut dalam memandang serta memposisikan negara-negara lain mana pun di luar AS. Pernyataan Toeti Adhitama yakni : Namun, walaupun terjadi perubahan dapat dipastikan spirit kepeloporan yang diwariskan kaum imigran dari Eropa, yang mula-mula datang di benua itu, akan tetap dipertahankan. Spirit itu sudah menjadi jiwa dan kerangka pikir bangsa Amerika, adalah te-pat karena sesuai 100 persen dengan faktanya.
Obama bukanlah presiden AS yang pertama walau memang dia adalah presiden berkulit hitam untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan negara tersebut. Pasca dilantik pada 20 Januari 2009 nanti, Obama adalah presiden AS ke-44 dan itu berarti sebelum dia telah ada 43 orang presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan negara AS. Fakta empirik perjalanan dan sikap negara AS dibawah “kendali” seluruh presiden sebelum Obama memastikan sejumlah keadaan sebagai berikut :
1.       AS adalah satu-satunya negara kebangsaan (nation states) yang selain keluar sebagai pemenang da-lam Perang Dunia II, juga dalam tempo tidak sampai 100 tahun (tepatnya 63 tahun) telah berhasil meraih kedudukannya sekarang yaitu sebagai the only super power in the whole world, bahkan nampaknya hingga saat ini (awal abad ke-21) kedudukan tersebut masih belum akan dapat digoyah-kan apalagi diambil alih oleh kekuatan negara mana pun. Kedudukan AS itu menjadikan negara ter-sebut seolah dipastikan dan disepakati memiliki sejumlah hak istimewa atas realitas kehidupan du-nia seperti : (a) sebagai jatidiri sebenarnya dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB alias The United Nations Organization) yang ditunjukkan dengan posisinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang selain memiliki hak veto juga yang paling sering menggunakannya, (b) sebagai jatidiri sebenarnya dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization alias NATO), (c) sebagai pemilik sebenarnya dari dua lembaga keuangan utama dunia yaitu IMF (International Monetery Funds) dan WB (World Bank) dengan menguasai 51 persen saham kedua lembaga terse-but, (d) sebagai the globocop alias polisi dunia yang “diberi otoritas” oleh dunia untuk “menilang” setiap bentuk pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh negara atau pihak mana pun dan seterus-nya.
2.       pemerintahan AS (presiden) adalah satu-satunya di dunia yang keputusannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dunia (misal kasus Iraq dan Afghanistan) secara unilateral, tidak dapat dibantah dan ditolak oleh seluruh negara yang ada di dunia atau bahkan oleh PBB sekali pun. Sikap dunia saat mendapati kebijakan luar negeri AS seperti itu adalah maksimal wait and see bahkan seringnya adalah berusaha keras memahaminya dan akhirnya menyetujuinya serta memutuskan untuk ikut ambil peran dalam kebijakan unilateral AS tersebut (misal sikap Inggris dan Australia dalam kasus Iraq).
3.       hanya AS yang dapat dengan tegas menolak untuk ikut ambil bagian atau menyetujui atau meratifi-kasi suatu konvensi dunia dalam suatu persoalan, misalnya dalam kasus Protokol Kyoto tentang pe-ngurangan emisi gas CO2 yang hingga hampir berakhir masa berlakunya (tahun 2012) tidak juga dan tidak akan meratifikasi protokol tersebut. Lalu sikap negara-negara lain yang justru paling lelah dalam merumuskan konvensi dan paling dirugikan akibat suatu persoalan (misal emisi gas CO2) adalah sama sekali tidak berdaya (powerless) terhadap penolakan AS tersebut.
Demikianlah sebagian dari keistimewaan yang melekat dalam perjalanan negara AS yang bersifat resmi dan legal (walau sangat kental aspek pemaksaannya) serta nampak secara “vulgar” di depan pandangan dunia. Tentu saja kebijakan atau sikap atau keputusan negara AS yang bersifat rahasia atau secret ope-ration adalah dipastikan lebih banyak lagi mengingat selama ini “mata dunia” tidak mampu menjang-kaunya.
Lalu mengingat perjalanan negara AS telah berlangsung ratusan tahun minimal jika dihitung dari jumlah presiden yang pernah memimpin negara itu yakni 43 orang dan rata-rata setiap presiden hanya 4 (empat) tahun atau hanya satu periode jabatan, maka umur negara adidaya itu adalah 172 tahun, pada-hal sepanjang itu pula selalu membawa, mempertahankan bahkan mempercanggih segala keadaan atau keistimewaan atau otoritas khusus yang melekat pada dirinya, maka dapat dipastikan bahwa sikap maupun pola kebijakan AS saat ini dan ke depan tidak akan mengalami perubahan yang mendasar dan berarti. Jika pun terjadi perubahan maka itu hanya pada aspek asesoris atau pengemasan dan sama sekali bukan pada pola pikir maupun pola sikap yang selama ratusan tahun telah menginternalisasi dalam sosok negara USA terlepas siapa orangnya yang menjadi presiden negara tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa proses suksesi kepemimpinan di AS adalah otomatis merupakan proses pemelihara-an, penjagaan, pemantapan, pengokohan keberlangsungan sikap negara itu bahkan menjadi kesempatan emas untuk semakin mempercanggih seluruh instrumen, struktur maupun pilar yang selama ini menem-pati posisi sebagai penopang utama keadidayaan AS.
Oleh karena itu, posisi dan eksistensi Barack Obama yang sebentar lagi akan menerima tongkat estafeta kepresidenan negara AS dari pendahulunya (presiden ke-43) George Walker Bush, sama sekali tidak akan menjadi titik awal (the point of zero) munculnya perubahan mendasar pada pola pikir dan pola sikap negara itu. Bahkan yang pasti adalah siapa pun yang menjadi presiden USA maka baik seca-ra pribadi yang bersangkutan (termasuk Obama), institusional (negara USA) maupun konstitusional, diharamkan baginya untuk merubah pola pikir dan pola sikap yang selama ini telah menjadi realitas atau jatidiri yang sebenarnya dari AS. Dengan kata lain, diwajibkan kepada siapa pun yang menjadi penerus kepemimpinan di negara AS untuk selalu menjaga, memelihara, mempertahankan dan mem-perkokoh serta mempercanggih seluruh pola pikir maupun pola sikap yang selama ini telah menjadi ciri khas dari USA. Lebih dari itu, pada kasus Obama yang sejak awal diopinikan secara mengglobal seba-gai presiden negara AS berkulit non putih alias hitam untuk pertama kalinya sejak negara tersebut ber-diri bahkan sejak benua tersebut ditemukan, tentu saja hal itu menjadi : (a) pesan yang mengultimatum bagi Obama supaya dia selalu sadar bahwa dirinya bukanlah manusia yang berasal dari ras unggul dan superior (kulit putih), (b) beban amat sangat berat bagi Obama sebab mulai sejak sekarang dia harus se-lalu memperhatikan, memelihara, menjaga dan mengamankan keselamatan dan keberlangsungan se-luruh “teman, kerabat, saudara” satu rasnya yakni ras negro atau Afro-Amerika dan (c) perintah keras dari ras kulit putih yang hingga kapa pun tidak akan pernah sudi, rela maupun bersedia berposisi seba-gai “warga kelas kedua alias bawahan” untuk supaya Obama benar-benar menjadi pelayan setia bagi seluruh kepentingan mereka. Hal-hal inilah yang akan sangat mungkin bahkan dapat dipastikan menja-dikan Obama sebagai Presiden AS yang bersikap lebih berkhidmat kepada dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa kulit putih (yang diposisikan sebagai bangsa Amerika sejati) daripada 43 orang Presiden AS sebelumnya yang berasal dari ras kulit putih sendiri. Sikap ini sejak awal bahkan sebelum resmi dilantik menjadi Presiden AS ke-44, telah ditunjukkan secara demonstratif oleh Obama, seperti pada kejadian faktual yang diungkapkan oleh Redaktur Senior Media Group T. Taufiqulhadi : Dalam rangka menghindari cap Islam, terakhir Obama menghindar bertemu komunitas Arab yang dulu sem-pat dia akrabi. Dia menolak dukungan Nation of Islam, organisasi masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai gantinya, secara demonstratif justru dia bertemu American Israel Public Relations Committee (AIPAC), organisasi pelobi Israel paling berpengaruh di Amerika untuk menyampaikan pidato pro-Isreal.
Wal hasil, Presiden Barack Obama yang akan segera memimpin The United States of America alias AS tidak akan pernah diijinkan oleh Negara Amerika Serikat untuk merubah secara mendasar semua hal yang telah menjadi ciri khas, pola pikir dan pola sikap USA selama dipimpin secara bergan-tian oleh 43 orang presiden berkulit putih, diantaranya adalah : (a) harus selalu memposisikan negara Israel sebagai duri mematikan dalam jantung Dunia Islam (Timur Tengah) demi terpeliharanya seluruh kepentingan AS di kawasan tersebut, (b) harus selalu mempropagandakan bahwa Amerika tidak me-musuhi Islam dan bukan musuh Islam demi untuk menghalangi munculnya kesadaran hakiki umat Is-lam terhadap posisi dan eksistensi AS sendiri yakni sebagai musuh nyata sebenarnya bagi mereka dan seterusnya dari semua sikap maupun kebijakan luar negeri AS yang selama ini telah dan akan selalu di-jalankan serta diimplementasikan dalam realitas kehidupan global. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT ketika menyatakan :
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (البقرة : 105)

Obama dan the change
Paling tidak sejak Presiden AS ke-40 yakni Ronald Reagan yang berkuasa selama dua periode masa jabatan (8 tahun), lalu berlanjut kepada Presiden AS ke-41 Bush Senior (berkuasa selama 8 ta-hun), kemudian dilanjutkan oleh Presiden Bill Clinton sebagai presiden ke-42 yang berkuasa juga sela-ma dua kali masa jabatan (8 tahun) dan terakhir estafeta kepemimpinan AS berada di tangan Bush Yu-nior yang telah menduduki dua kali masa jabatan (8 tahun), fakta kebijakan luar negeri AS adalah ber-basis militer (military base policy). Artinya, selama 32 tahun perjalanan negara AS selalu menerapkan pola kebijakan tersebut.
Pola kebijakan luar negeri AS tersebut mencapai puncaknya sepanjang kepemimpinan Presiden ke-43 yakni Bush Yunior yang telah menerapkannya untuk setidaknya pada dua kasus yakni perang di Afghanistan dan di Iraq. Tentu saja pemberlakuan pola tersebut yang berlangsung lebih dari tigapuluh tahun (32 tahun) pasti akan menimbulkan kejenuhan pada semua lapisan masyarakat AS sendiri. Kea-daan itu ditunjukkan secara gamblang oleh berbagai unjuk rasa masyarakat untuk memprotes kebijakan tersebut dan itu dimotori terutama oleh keluarga yang salah satu atau lebih anggotanya tengah menjala-ni wajib militer dan dikirimkan ke daerah konflik di luar negeri (Iraq dan Afghanistan) atau telah kem-bali walau hanya mayatnya atau kembali dalam keadaan cacat fisik permanen atau bahkan menjadi gila (seperti para veteran perang teluk di Iraq). Seluruhnya mengkristalkan kegelisahan hingga kemarahan masyarakat AS kepada pemerintahnya yang seakan tidak pernah mau peduli baik terhadap semakin ba-nyaknya korban nyawa maupun biaya, sebagai contoh riil untuk perang di Iraq saja hingga tahun 2008, negara AS telah kehilangan lebih dari 4000-an orang tentara dan harus mengeluarkan biaya yang lebih dari satu triliun dolar.
Kristalisasi kejenuhan, kegelisahan dan kemarahan masyarakat (terutama kulit putih) inilah yang ditangkap dengan tepat oleh Barack Obama (secara pribadi) dan Partai Demokrat (secara institusi), se-hingga sepakat untuk “bersatu padu” mengusung tema besar The Change dalam sepanjang kampanye road to The White House hingga detik-detik terakhir menjelang the US’ election tanggal 4 November 2008 yang lalu. Tema tersebut kembali ditegaskan oleh Obama saat pidato kemenangannya di kawasan Chicago. Sehingga bila ditanyakan : apa yang dimaksudkan oleh Obama tentang the change yang men-jadi tema besar selama kampanyenya? Jawabannya adalah :
1.       perubahan tradisi keberpihakan warga kulit putih (mayoritas penduduk AS) yang selama ratusan ta-hun selalu menginginkan dipimpin oleh presiden dari kalangan ras mereka sendiri. Obama memang telah berhasil merubah tradisi tersebut dan itu terbukti pasti dalam pemilu presiden 4 November la-lu yang dimenangkan olehnya atas capres kulit putih dari Partai “Gajah” Republik : John McCain.
2.       rencana perubahan terhadap pola kebijakan luar negeri AS dari military base policy menjadi nego-tiation base policy. Rencana ini nampaknya akan menjadi pilar penyangga utama bagi kepemim-pinan Obama selama masa jabatannya yang pertama bahkan akan digunakan untuk meraih kembali kedudukan tersebut untuk periode kedua nanti.
3.       karena Obama sangat mengetahui perkembangan mutakhir opini dunia terhadap posisi negara AS terutama sepanjang delapan tahun di bawah kendali Presiden Bush Yunior, yakni penduduk dunia (baik kawan maupun lawan) telah tergiring secara tidak sengaja oleh gaya administrasi Presiden Bush bahwa AS telah tidak lagi memperhatikan pertimbangan apa pun termasuk dari sekutunya sa-at menetapkan suatu kebijakan luar negeri. Kenyataan itu tampak jelas sekali dalam kasus invasi militer AS ke Iraq dan Afghanistan. Dengan demikian Obama merencanakan untuk melakukan per-ubahan terhadap stigma opini dunia tersebut.
Lalu, apakah Obama akan merubah rambu-rambu pokok dan mendasar dari negara AS? Rambu-rambu pokok dan mendasar negara AS adalah :
1.       sekularisme yang menjadi asas berdiri dan berjalannya negara USA. Asas ini tidak akan mungkin dirubah oleh siapa pun baik Presiden, Kongres, Senat atau masyarakat, sebab perubahan apa pun dan sekecil apa pun terhadap asas tersebut dipastikan akan menjadikan negara USA hancur dan le-nyap dari realitas kehidupan.
2.       demokrasi sekularistik yang diberlakukan sebagai sistem pemerintahan negara USA. Dipastikan bahwa seluruh elemen yang menopang negara AS (rakyat, Kongres, Senat, Presiden, General Attor-ney, High Court, FBI, CIA, Pentagon dan seterusnya) telah sepakat bahwa demokrasi harus tetap diberlakukan dan dijamin keberlangsungannya tidak hanya di negara AS melainkan di seluruh du-nia terutama di Dunia Islam.
3.       kapitalisme sekularistik yang dijadikan sistema dalam perekonomian negara AS. Walaupun ideolo-gi pasar (the market’s ideology, meminjam istilah yang diungkap oleh mantan Gubernur The Fed : Alan Greenspan) tersebut paling tidak saat ini telah menunjukkan secara vulgar kegagalannya da-lam mengantarkan manusia di dunia kepada kesejahteraannya, namun ternyata seluruh dunia dan terutama negara AS sepakat untuk tetap mempertahankannya diberlakukan sebagai sistema pereko-nomian dunia. Inilah yang tampak dari sejumlah kebijakan fiskal maupun moneter yang dilakukan oleh sejumlah negara maju termasuk AS sendiri di antaranya : (a) bailout sebesar 700 miliar dolar AS yang telah dilakukan oleh negara itu dan direncanakan akan ditambah 75 miliar dolar lagi, (b) suntikan dana segar ke pasar modal dan uang sebesar 1,6 triliun Yen yang dilakukan oleh Bank Of Japan, (c) bailout sebesar 650 miliar dolar AS yang dilakukan oleh pemerintah China dan sebagai-nya.
4.       liberalisme sekularistik yang dijadikan standard untuk interaksi sosial dalam masyarakat. Kebebas-an dalam hal beragama, berekspresi, berpendapat, berkepemilikan dan berkepribadian, adalah per-kara yang disakralkan oleh setiap orang dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hampir selu-ruh manusia di dunia (termasuk umat Islam) sangat sepakat bahwa rambu kehidupan dunia tersebut harus dipertahankan dan tidak boleh dirubah sedikit pun.
Walau mungkin saja secara pribadi, Obama punya sedikit pemikiran untuk melakukan perubahan di sa-na sini terhadap rambu-rambu pokok dan mendasar negara AS tersebut, tetapi pemikirannya itu adalah tidak akan mungkin diterapkan dengan argumen apa pun. Hal itu karena jika Obama melakukannya ju-ga maka sama saja dengan dia mengumumkan Perang Dunia III kepada seluruh dunia. Jadi, persoalan-nya bagi Obama adalah dia mendapati kenyataan bahwa rambu-rambu pokok dan mendasar negara AS tersebut telah sepenuhnya menjadi rambu-rambu pokok dan mendasar bagi seluruh negara yang ada di dunia.
Wal hasil, the change yang dimaksudkan oleh Obama adalah perubahan dalam hal atau perkara atau aspek yang memang masih mungkin untuk dilakukan (menguntungkan kepentingan negara AS) dan masih diijinkan oleh negara USA serta warga dunia. Tegasnya, Obama akan mengharamkan diri-nya untuk memberlakukan perubahan dalam hal atau perkara atau aspek yang memang akan menjadi ancaman mematikan bagi posisi, eksistensi dan kepentingan USA dalam realitas percaturan global. Ini-lah realitas kaum kufar yang digambarkan oleh Allah SWT saat menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ (الأنفال : 36)


Umat Islam dan Presiden Barack Obama
Kenyataan menunjukkan adalah tidak sedikit umat Islam di Dunia Islam yang menyambut penuh harap (bahkan mungkin gembira) kemenangan mutlak Barack Obama dalam pemilu presiden AS pada 4 November 2008 yang lalu. Fakta tersebut mempertelakan bahwa seolah kesuksesan Obama meraih posisi Presiden AS ke-44 dianggap oleh sebagian kaum muslim merupakan momentum yang diduga kuat akan atau mungkin dipastikan akan merubah seluruh pola pikir, pola sikap maupun kebijakan lu-ar negeri AS terhadap umat Islam dan Dunia Islam. Umat Islam seakan berpikir (walau sebenarnya ti-dak sama sekali) bahwa Presiden Barack Obama akan “lebih sayang dan bersikap adil” terhadap mere-ka dan Dunia Islam serta akan menjadi sosok presiden AS yang benar-benar berbeda 180 derajat de-ngan para pendahulunya terutama George Walker Bush. Bahkan umat Islam di negeri Iraq yang selama lima tahun terakhir sangat menderita (fisik, pemikiran maupun perasaan) akibat kesadisan, kebiadaban dan kebrutalan tentara AS pun ternyata sebagian dari mereka ada yang memiliki harapan besar kepada Obama akan bersikap beda yakni lebih lunak daripada Bush Yunior.
Apakah sikap umat Islam tersebut realistis dari sisi faktanya dan apakah dibenarkan atau dihalal-kan oleh Islam?
Sikap umat Islam yang menaruh harapan (apa pun) kepada Presiden AS yang baru Barack Obama adalah bukti bahwa :
1.       mereka sama sekali tidak memahami apalagi menyadari realitas hubungan konstelatif antara Presi-den AS, The United States of America dan kekufuran yang selama ini diusungnya : sekularisme be-serta pemikiran cabang yang lahir darinya (demokrasi dan kapitalisme).
2.       sikap responsif spontanitas mereka itu benar-benar hanya muncul dari dorongan naluriah akibat se-lama ini menyaksikan atau bahkan merasakan pahit getirnya sikap kejam, sadis, brutal negara AS kepada umat Islam di bawah kendali George Walker Bush, sehingga mereka beranggapan bahwa sikap negara tersebut adalah gara-gara presidennya semata.
3.       mereka telah terpedaya oleh kuatnya pengopinian tentang the change yang terus menerus digelora-kan oleh Obama dan tim suksesnya selama kampanye road to The White House hingga detik-detik terakhir menjelang the US’ election tanggal 4 November 2008 yang lalu.
4.       mereka telah berada dalam keadaan frustasi bahkan skeptis terhadap realitas internal umat Islam di Dunia Islam yang memang hingga saat ini serba tidak berdaya.
Oleh karena itu, sikap berharap umat Islam kepada Obama adalah sama sekali tidak realistis yakni ti-dak sesuai dengan realitas hubungan konstelatif antara posisi Presiden AS, The United States of Ame-rica dan kekufuran yang selama ini diusung, dipertahankan, dibela dan disebarluaskannya : sekularisme beserta pemikiran cabang yang lahir darinya (demokrasi dan kapitalisme).
Kemudian, karena Islam mengharamkan sekularisme berikut sistema cabang yang muncul dari-nya yakni demokrasi dan kapitalisme, sedangkan Presiden AS dan The United States of America adalah pengusung utama sistema kufur tersebut, maka sikap berharap umat Islam kepada Obama adalah sama sekali tidak benar menurut Islam dan Islam mengharamkannya.
Lebih dari itu, fakta memastikan bahwa sikap berharap adalah titik awal dari kesediaan untuk se-tia dan mentaati (loyal) siapa pun dan kekuatan mana pun yang dianggap atau diduga kuat akan mampu memenuhi harapan tersebut. Artinya, ketika umat Islam berharap (sekecil apa pun) kepada Obama yang dia adalah The President of The United States of America, maka sejak itu mereka telah memastikan di-rinya untuk setia dan taat kepada Presiden Barack Obama tersebut alias kepada kaum kufar dan kekufu-ran yang diusungnya. Sikap ini jelas diharamkan oleh Islam berdasarkan pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (آل عمران : 149)
Selain itu, ketika kaum muslim berharap negara AS di bawah administrasi Presiden Obama akan bersi-kap lebih lunak dan lebih manusiawi kepada Islam dan dunia Islam, maka itu artinya umat Islam tengah mencari kemuliaan (اَلْعِزَّةُ) di sisi kaum kufar. Padahal seharusnya (sesuai dengan tuntutan aqidah mere-ka) mereka memahami dan menyadari bahwa kemuliaan itu mustahil diperoleh di sisi makhluk apalagi makhluk yang paling hina dalam pandangan Allah SWT (kaum kufar). Allah SWT menyatakan :
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)

Singkat kata, sekali saja kaum muslim memutuskan mencari kemuliaan selain dari Islam yakni dari ka-um kufar, maka sejak itu pula kehinaan (اَلذِّلَّةُ) dan kenistaan (اَلْمَسْكَنَةُ) yang akan diperoleh dari komuni-tas manusia paling hina tersebut. Padahal persoalannya adalah sederhana saja yakni bagaimana mung-kin makhluk paling hina dapat memberikan kemuliaan kepada orang lain. Allah SWT menyatakan :

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (الأنفال : 55)

No comments:

Post a Comment