Saturday, November 9, 2013

PRAGMATISME ISLAMI : BOLEHKAH?


Kegelisahan intelektual : realitas kekisruhan pemikiran
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Prof. Azyumardi Azra dalam tulisannya berjudul “Korupsi, Fasad, dan Jihad” (Kompas, Jumat 9 April 2010, OPINI, halaman 6) me-nyatakan :
Aparat birokrasi mana lagi yang bisa dipercayai publik? Karena, mereka yang terlibat korupsi ter-nyata ada di hampir seluruh lembaga penegak hukum dan keadilan, mulai dari kepolisian, kejaksaan, peradilan hingga hakim-hakimnya. Kita selalu berapologi dan “menghibur diri” dengan menyatakan, para pelaku tersebut hanyalah “oknum-oknum”, padahal publik juga melihat berbagai indikasi bahwa korupsi semacam itu berlangsung cukup sistemik di antara orang-orang di sebuah instansi tertentu atau pun antarinstansi.
Mencermati skala endemi korupsi seperti itu, tidak ragu lagi, ia telah menjadi “kriminalitas luar biasa”, yang pertama-tama telah merusak lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan penegak hu-kum. Tidak kurang negatifnya adalah rusaknya trust, kepercayaan publik kepada aparat birokrasi dan penegak hukum. Padahal, trust merupakan salah satu modal sosial yang instrumental untuk memba-ngun negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
Pada segi ini, para pelaku korupsi dari sudut pandang Islam telah melakukan fasad, kerusakan yang bahkan luar biasa (mafsadat) terhadap kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara-bangsa. Lagi-lagi, dari sudut pandang Islam, para pelaku kerusakan mestilah sama sekali tidak ditoleransi da-lam bentuk apa pun dan mereka wajib dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Mentoleransi dan berlaku “lunak” (lenient) kepada mereka hanya akan membuat publik dan negara yang menjadi korban juga dapat hanyut dan tenggelam dalam arus mafsadat.
Mafsadat, khususnya korupsi yang terutama disebabkan kerakusan, bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali, yang dalam Islam disebut al-nafs al-syaithaniyyah –hawa nafsu setan. Karena itu, terdapat banyak ayat Al Quran yang memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa nafsu, yang bakal menjerumuskan diri ke dalam kesesatan dan kehancuran di dunia dan akhirat.
Manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu setannya tidak hanya merusak dirinya, tetapi sebagaimana dikemukakan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, juga merusak umat dan bang-sa. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan, jihad terbesar (al-jihad al-akbar) adalah jihad melawan hawa nafsu setan yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai tindakan mafsadat yang menghancurkan diri dan masyarakat lingkungannya.
Merupakan tanggung jawab lembaga dan ormas keagamaan untuk juga berbicara lantang tentang mafsadat korupsi dan pada saat yang sama memaklumkan jihad –dalam hal ini bermakna, bersungguh-sungguh— melawan korupsi. Ini salah satu bentuk jihad, kesungguhan tekad dan tindakan, yang sangat dibutuhkan negara-bangsa ini pada masa ini. Lebih daripada itu, lembaga dan ormas keagamaan hen-daknya mengembangkan berbagai bentuk program jihad anti-korupsi dan terus melakukan penyadaran publik tentang pentingnya bersama melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam berbagai bentuk.
Demikianlah, seorang Direktur Sekolah Pascasarjana yang juga mantan rektor UIN Syarif Hida-yatullah, telah dengan terus terang mengungkapkan kegelisahan dirinya terhadap realitas korupsi yang justru banyak dilakukan atau terjadi di lembaga penegak hukum sendiri : kepolisian, kejaksaan, pera-dilan hingga hakim-hakimnya. Dia pun menepis dengan tegas anggapan klasik bahwa tindakan pe-nyimpangan tersebut adalah ulah segelintir oknum saja, karena dia mengindera ternyata aksi (korupsi) tersebut itu berlangsung cukup sistemik di antara orang-orang di sebuah instansi tertentu atau pun an-tarinstansi.
Dia pun sangat khawatir tentang keberlangsungan bangsa, negara dan pemerintahan Indonesia akibat dari tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi dan penegak hukum, sebab akan meng-antarkan secara pasti munculnya ketidakpercayaan masyarakat. Padahal menurut dia kepercayaan ma-syarakat adalah modal sosial yang instrumental untuk membangun negara dan pemerintahan yang kre-dibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa. Artinya, dia tengah dengan serius memikirkan cara jitu untuk menanggulangi maraknya korupsi di Indonesia demi terjaminnya keberlangsungan bangsa, negara dan pemerintahan Indonesia. Oleh karena itulah, dia “mengais-ngais” tumpukan pemikiran dan konsepsi Islami dengan harapan dapat digunakan untuk tujuan tersebut.
Upaya tersebut mengantarkan dia kepada sebuah kesimpulan bahwa tindakan korupsi adalah bagian dari kategori mafsadat dalam Islam dan penyebabnya adalah hawa nafsu yang tidak terkendali alias al-nafs al-syaithaniyyah. Oleh karena itulah, menurut dia baik Al-Quran maupun As-Sunnah ba-nyak memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa nafsu, yang bakal menjerumuskan di-ri ke dalam kesesatan dan kehancuran di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad saw (sekali lagi menurut dia) menyatakan bahwa al-jihad al-akbar adalah jihad melawan hawa nafsu setan yang dapat bernya-la-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai tindakan mafsadat yang menghan-curkan diri dan masyarakat lingkungannya. Inilah yang mendorong dia untuk menyeru lembaga dan ormas keagamaan untuk bicara lantang tentang mafsadat korupsi sekaligus memaklumkan jihad (ber-sungguh-sungguh) melawan korupsi. Selain itu, dia tegaskan bahwa lembaga dan ormas keagamaan hendaknya mengembangkan berbagai bentuk program jihad anti-korupsi dan terus melakukan penya-daran publik tentang pentingnya bersama melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam ber-bagai bentuk.
Nampak sangat jelas, begitu dalamnya kegelisahan Azyumardi tentang masa depan, keberlangsu-ngan serta kemajuan bangsa, negara dan pemerintahan Indonesia, akibat adanya tindak korupsi yang semakin merajalela dan bersifat sistemik. Artinya, di tengah tekanan kegelisahannya itu dia sangat me-nyadari bahwa there is something wrong dalam sistem yang diberlakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga justru mendorong dan menciptakan pra kondisi bahkan kondisi yang sangat nyaman sekaligus aman untuk melakukan tindak korupsi. Lalu sebagai intelektual muslim, dia pun memastikan harus dilakukan jihad untuk melawan korupsi sebab korupsi terjadi akibat adanya hawa nafsu setan yang bernyala-nyala dalam diri manusia. Dia juga menegaskan bahwa jihad yang dimak-sudkan adalah bukan perang fisik (اَلْقِتَالُ) melainkan kesungguhan (اَلْجُهْدُ) melawan korupsi dalam ber-bagai bentuk.
Lalu, hakikat apa yang dapat ditarik sebagai benang merah dari unjuk pemikiran seorang Direktur Sekolah Pascasarjana UIN tersebut? Tentu saja dengan singkat dan sederhana dapat dipastikan bahwa :
1.       dia telah menjadikan keberlangsungan NKRI sebagai harga mati (قَنَاعَتُهُ) bahkan dia memiliki obsesi besar untuk memberikan kontribusi sangat berarti bagi membangun negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
2.       bagi dia, praktik korupsi yang sistemik di NKRI bukan karena sistemnya yang salah melainkan te-tap akibat dari kerakusan manusia yang menjalankannya. Sedangkan sistemnya yakni kapitalisme tetap benar dan sangat layak untuk memfasilitasi tujuan besar membangun negara dan pemerintah-an yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
3.       menurut dia, Islam tetap dibutuhkan untuk mendampingi sekaligus melengkapi dan menyempurna-kan sejumlah kekurangan dalam sistem kapitalisme. Selain itu, Islam pun harus diperankan sebagai landasan spiritualistik untuk moralisasi aparatur negara khususnya dan seluruh bangsa Indonesia secara umum. Salah satu pemikiran Islami yang sangat tepat digunakan saat ini dalam upaya peng-ganyangan tindak korupsi adalah jihad yakni bersungguh-sungguh dalam melawan hawa nafsu setan yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia.
Lalu, bagaimana tentang realitas jihad yang dia tawarkan untuk menjadi solusi bagi pemberantas-an korupsi di NKRI? Apakah memang benar Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa jihad paling besar adalah jihad melawan hawa manusia sendiri?
Konon kabarnya, ketika Rasulullah saw beserta rombongan pasukan kaum muslim kembali dari Perang Badar Kubra, beliau menyatakan :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ اِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ وَهُوَ جِهَادُ النَّفْسِ
Terlepas dari status hadits yang diperselisihkan kesahihannya, pemikiran yang ditunjukkan oleh hadits tersebut (مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ) adalah benar dan tidak salah. Hal itu karena, Perang Badar adalah pasti salah satu perang besar dalam Islam dan berhasil dimenangkan dengan gemilang oleh umat Islam. Kemena-ngan spektakuler umat Islam itu tentu saja akibat dari mereka :
1.       berhasil memenangkan pemahaman aqal tentang kewajiban perang dan mengabaikan tuntutan nalu-riah (غَرِيْزَةُ الْبَقَاءِ) yang menyatakan perang itu tidak menyenangkan (كُرْهٌ). Hasil dari dominasi aqli-yah atas naluriah tersebut adalah keputusan mereka untuk mentaati perintah Allah SWT dalam Al-Quran :
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (التوبة : 41)
Dengan demikian mereka telah berhasil melakukan جِهَادُ النَّفْسِ terlebih dahulu sebelum اَلْقِتَالُ (Perang Badar) dan inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw yang sepenuhnya telah mereka pahami dengan sempurna :
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
Hadits tersebut memang menyebut جِهَادُ النَّفْسِ namun tidak berdiri sendiri melainkan مُقْتَرَنَةً (dikait-kan) dengan ungkapan lainnya yaitu فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ, sehingga جِهَادُ النَّفْسِ yang dilakukan oleh se-orang الْمُجَاهِدُ adalah supaya dia mampu mengatasi hambatan naluriah untuk pergi menuju medan perang, misalnya Perang Badar.
2.       sepenuhnya taat kepada Rasulullah saw sebagai قَائِدُ الْجَيْشِ وَالْمَعْرَكَةِ (komandan pasukan dan penyer-buan), sehingga jika pun ada yang tidak setuju terhadap keputusan Rasulullah saw maka itu pun disampaikan dengan cara yang tepat dan dalam rangka semakin menguatkan pasukan umat Islam. Tindakan inilah yang dilakukan oleh Habab bin Munzhir seperti yang disampaikan dalam Sirah Ib-nu Hisyam :
اِنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ نَزَلَ عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ لَمْ يَرْضَ الْحَبَّابُ بْنُ الْمُنْذِرِ بِهَذَا الْمَنْزِلِ وَقَالَ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اَرَاَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ اَمَنْزِلاً اَنْزَلَكَهُ اللهُ لَيْسَ لَنَا اَنْ نَتَقَدَّمَهُ وَلاَ نَتَأَخَّرَ عَنْهُ اَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ قَالَ بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِلٍ فَانْهَضْ بِالنَّاسِ حَتَّى نَأْتِيَ اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ فَنَنْزِلَهُ ثُمَّ نُغَوِّرُ مَا وَرَاءَهُ مِنَ الْقُلُبِ ثُمَّ نَبْنِيْ عَلَيْهِ حَوْضًا فَنَمْلَؤُهُ مَاءً ثُمَّ نُقَاتِلُ الْقَوْمَ فَنَشْرَبُ وَلاَ يَشْرَبُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ فَنَهَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ فَسَارَ حَتَّى اِذَا اَتَى اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ نَزَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ اَمَرَ بِالْقُلُبِ فَغُوِّرَتْ وَبَنَى حَوْضًا عَلَى الْقَلِيْبِ الَّذِيْ نَزَلَ عَلَيْهِ فَمُلِئَ مَاءٌ ثُمَّ قَذَفُوْهُ فِيْهِ الآنِيَةَ
Bahwa beliau as ketika berhenti di cekungan air yang ada di Badar, ternyata Habbab bin Mundzir tidak setuju dengan tempat pemberhentian tersebut dan dia pun berkata kepada Rasulullah saw : wahai Rasulullah, apakah menurut Anda tempat ini adalah tempat yang telah Allah tetapkan kepa-da Anda sehingga kami tidak boleh merubahnya sedikit pun, ataukah ini adalah pendapat, strategi perang dan tipudaya. Beliau menjawab : benar sekali, ini adalah pendapat, strategi perang dan ti-pudaya. Lalu dia (Habbab) berkata lagi : wahai Rasulullah, sungguh tempat ini bukanlah tempat yang tepat, oleh karena itu ajaklah seluruh manusia untuk bergerak kembali hingga kita tiba di ce-kungan air suatu kaum lalu kita berhenti di sana kemudian kita bendung semua mata air yang ada di dalamnya lalu kita bangun bendungan dan kita isi bendungan itu dengan air hingga penuh. Se-telah itu barulah kita akan memerangi kaum tersebut, kita bisa minum sedangkan mereka sama se-kali tidak bisa. Maka Rasulullah saw pun berkata : sungguh telah kamu tunjukkan pendapat yang sangat tepat. Kemudian Rasulullah saw bangkit bersama dengan seluruh manusia yang bersama beliau, lalu berjalan hingga tiba di sebuah cekungan air suatu kaum beliau pun berhenti di sana. Kemudian beliau perintahkan untuk menginventarisir mata air yang ada lalu dibendung dan mem-bangun bendungan di tempat mata air yang beliau pilih untuk berhenti di sana. Bendungan itu pun diisi penuh dengan air lalu mereka pun masuk ke dalamnya segera.
Tentu saja, ketaatan seluruh pasukan peserta Perang Badar pun dapat mereka tunjukkan kepada Rasulullah saw setelah mereka berhasil melakukan جِهَادُ النَّفْسِ sebelum dan selama perang berlang-sung. Wal hasil, gagasan Azyumardi Azra untuk menjadikan realitas جِهَادُ النَّفْسِ sebagai solusi bagi pemberantasan korupsi di NKRI, tidak diragukan lagi adalah salah fatal dari dua aspek yakni :
a.       realitas جِهَادُ النَّفْسِ adalah upaya umat Islam untuk dapat menjadi mujahid dalam membela Islam dan agar tidak dihalangi atau terhalangi oleh tuntutan naluriah alias kepentingan manusiawi.
b.      semesta pembicaraan (جَوُّ الْكَلاَمِ) جِهَادُ النَّفْسِ adalah dalam kehidupan Islami yakni dengan wadah Khilafah Islamiyah, sehingga jika hari ini ketika Khilafah tidak ada, realitas جِهَادُ النَّفْسِ dipaksa digeret-geret untuk suatu kepentingan pragmatis tertentu misalnya pemberantasan korupsi, ma-ka tentu saja sikap tersebut tidak benar dan menunjukkan bahwa pelakunya sama sekali tidak memahami realitas perbedaan antara NKRI dengan Khilafah Islamiyah. Penanggulangan korup-si saat ini wajib dikembalikan kepada sistem yang menopangnya yaitu kapitalisme sekularistik karena korupsi hanyalah akibat dari suatu sebab : sistem kapitalistik.
Pragmatisme Islami : mengapa dilakukan?
Penggeretan secara paksa realitas جِهَادُ النَّفْسِ yang ada dalam Islam ke dalam negara kebangsaan (NKRI) demi untuk kepentingan pemberantasan korupsi, sudah pasti merupakan aksi berasas pragma-tisme dengan menggunakan pemikiran Islami tertentu sebagai sifatnya. Sehingga seolah-olah ada enti-tas pragmatisme Islami dan pelakunya dianggap sebagai telah bersikap pragmatis Islami. Inilah nam-paknya yang sangat didambakan oleh Azyumardi Azra. Mengapa dia (juga lainnya sangat banyak) me-lakukan pragmatisme Islami?
Jika dia mempraktikkan pragmatisme semata dan tidak disifati dengan pemikiran Islami apa pun, maka tentu akan sangat mengganggu kredibilitas bahkan integritas dirinya selaku intelektual muslim sekaligus kehilangan identitas pembeda dari intelektual di luar umat Islam. Selain itu, dia sangat kha-watir terhadap opini masyarakat berkenaan dengan pertanyaan apa kontribusi Islam dan umat Islam ter-hadap beraneka rupa problematika kehidupan saat ini, antara lain terhadap semakin mewabahnya prak-tik korupsi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dua pertimbangan naluriah inilah yang sangat mungkin menjadi pemicu dan pendorong dilakukannya pragmatisme Islami. Harus diingat bah-wa keputusan seseorang untuk mempraktikkan pragmatisme Islami demi untuk merealisir suatu kepen-tingan (misal pemberantasan korupsi) atau justru demi untuk menghindar dari suatu kepentingan (per-tanyaan tentang kontribusi Islam), adalah juga aksi pragmatis.
Islamisasi sistema kufur semisal perbankan syariah, asuransi syariah, bursa saham syariah, pem-biayaan syariah, upaya pembangunan dual economy system (yang digagas oleh MES) dan sebagainya, seluruhnya berada dalam ruang lingkup tema pragmatisme Islami. Sehingga tujuan utama dari dilaku-kannya aksi tersebut (disadari atau tidak) adalah pengokohan dan pelestarian pemberlakuan sistema ku-fur kapitalisme sekularistik di Dunia Islam termasuk apalagi di Indonesia.
Namun, mengapa harus menggunakan atau mengkompilasikan Islam dalam praktik pragmatisme tersebut? Hal itu karena kaum kufar sangat mengetahui bahwa hanya Peradaban Islam yang memiliki kesempurnaan sistema untuk digunakan dalam kehidupan manusia di dunia dan realitas itu telah mere-ka saksikan sendiri dan telah dirasakan oleh pendahulu mereka selama periode waktu yang sangat pan-jang yakni lebih dari 1.300 tahun. Sayangnya, fakta kesempurnaan dan keunggulan Islam tersebut bagi mereka bukan menjadi رَحْمَةً, melainkan sebaliknya mereka posisikan Islam sebagai musuh sekaligus ancaman mematikan bagi eksistensi mereka berikut sistema kufur yang telah diracik sendiri dengan ta-ngan mereka. Jadi, demi terealisirnya tujuan melucuti, melumpuhkan dan mematikan Islam, mereka pergunakan segala cara dan saat ini cara yang mereka anggap paling jitu dan handal untuk itu adalah Islamisasi kekufuran. Cara ini memang terbukti tidak terlalu banyak menyakiti umat Islam dan dapat meminimalisir resistensi dari kaum muslim, bahkan sebaliknya justru sangat banyak umat Islam yang bersedia rela mendukung dan membela mati-matian Islamisasi kekufuran tersebut.

Khilafah Islamiyah : potret sejati clean government dan good governance
Islam diturunkan kepada manusia adalah supaya mereka dapat mempertahankan realitas dirinya sebagai manusia yakni bukan binatang dan agar seluruh kebutuhan mereka (pokok maupun pelengkap) dapat terpenuhi dengan sempurna, sehingga mereka berada dalam kesejahteraan hidup di dunia. Inilah yang dapat dipahamkan dari pernyataan Allah SWT :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَوَاتِ الْعُلَا (طه : 2-4)
Al-Quran diturunkan adalah untuk memelihara aqal manusia agar tetap dapat berfungsi dengan sem-purna sehingga mereka dapat mempertahankan posisinya selaku manusia yang dengan aqalnya dapat mengetahui dan memahami seluruh informasi ketentuan Allah SWT. Al-Quran pun diturunkan bukan untuk menyengsarakan manusia (لِتَشْقَى) melainkan peraturan yang pasti bagi mereka untuk menjalan-kan kehidupan di dunia, jika mereka memang takut kepada Allah SWT yang menciptakan bumi serta langit yang tinggi. Oleh karena itu, Islam yang bersumber dari Al-Quran adalah untuk diberlakukan oleh manusia selama hidup di dunia sehingga mereka dipastikan akan berada dalam kesejahteraan yak-ni segala kebutuhan pokok dan pelengkap mereka terpenuhi dengan sempurna (اِشْبَاعًا كُلِّيًّا). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
Ungkapan فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا memastikan bahwa jika seluruh kebutuhan seseorang terpenuhi maka dia akan terlepas dari penderitaan sehingga dunia seutuhnya seolah diserahkan kepadanya sendirian.
Tanggungjawab pemenuhan kebutuhan pokok dan pelengkap setiap orang manusia di dunia, dise-rahkan sepenuhnya oleh Allah SWT kepada Khalifah dengan memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT yang ada dalam Islam. Rasulullah saw menyatakan :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
Bagian hadits مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ menunjukkan bahwa Khalifah wajib memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam mengelola kepentingan rakyat orang per orang dan selama realitas Khalifah seperti demikian maka setiap rakyat wajib mentaatinya : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ. Sebaliknya, ketika Khalifah telah memenuhi kualifikasi : فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ, maka selain tidak wajib lagi bagi rakyat un-tuk mentaatinya melainkan juga dia telah melalaikan kewajibannya sendiri yakni mengelola urusan rakyat dengan hanya menggunakan ketentuan Islam.
Oleh karena itu, kewajiban yang harus dipikul oleh Khalifah beserta bawahannya (para Wali dan ‘Amil) tersebut tentu saja menuntut terwujudnya pemerintahan yang bersih (مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ) alias clean government dan kemampuan yang tinggi dalam mengelola urusan rakyat alias good governance. Rea-lisasi clean government adalah dengan memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan pelengkap para pe-nguasa dan pejabat Khilafah, sehingga tidak ada lagi alasan untuk melakukan tindakan curang dan ja-hat sekaligus menutup celah munculnya peluang maupun kesempatan untuk melakukannya. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه ابو داود)
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةً فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ خَادِمًا فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا أَوْ دَابَّةً فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه احمد)
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ (رواه احمد)
Istri (زَوْجَةٌ), pembantu/pelayan (خَادِمٌ), rumah (مَسْكَنٌ اَيْ مَنْزِلٌ) dan kendaraan (دَابَّةٌ), tidak diragukan lagi merupakan kebutuhan pokok setiap orang termasuk apalagi para pejabat negara. Oleh karena itu, Kha-lifah wajib memenuhi kebutuhan pokok para pejabat bawahannya tersebut orang per orang, sehingga ketika mereka masih juga mencari “tambahan” lain atau mengambil di luar hak mereka itu maka dipas-tikan mereka telah melakukan غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ. Siapa pun pelakunya maka selain harta haramnya itu harus disita dan dimasukkan ke Baitul Mal kaum muslim, juga harus dijatuhkan sanksi berat mulai dari pe-mecatan hingga uqubat mati dan disertai dengan اَلتَّشْهِيْرُ yakni menunjukkan pelaku berikut aksinya ke-pada masyarakat. Inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw pada masa kepemimpinan beliau :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ (رواه البخاري)
Bagian hadits فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي menun-jukkan bahwa kasus korupsi yang dilakukan Ibnu Al-Utabiyyah hanya diketahui oleh Rasulullah saw selaku Kepala Negara dari laporannya ketika dia kembali dari tempat tugasnya sebagai pemungut zakat Bani Sulaim. Ternyata Rasulullah saw tidak hanya menanggapi dan lalu menyelesaikan praktik curang pejabat yang beliau tugaskan itu secara sendirian alias tertutup, melainkan segera saja beliau lakukan tindakan اَلتَّشْهِيْرُ dan itu sangat nampak dari bagian hadits :
ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا
Kemudian Rasulullah saw berdiri lalu berkhutbah di hadapan masyarakat disertai dengan memuji Allah dan menyanjung Nya, setelah itu beliau berkata : selanjutnya, sungguh aku telah menugaskan sejumlah orang dari kalian untuk satu urusan dari kewajiban yang telah Allah bebankan kepadaku. Kemudian salah seorang dari kalian itu kembali dan berkata ini adalah bagi anda dan yang ini adalah hadiyah yang diberikan kepada saya. Lalu mengapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya hingga hadiyahnya itu datang menghampirinya jika memang dia benar atas pengakuannya.
Itulah metode Islami (اَلطَّرِيْقَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang telah dipraktikkan secara riil oleh Rasulullah saw dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) yakni pemerintahan yang terbebas dari distorsi yang sistemik. Lalu jika pun terjadi kasus tindak kecurangan seperti yang dilakukan oleh Ibnu Al-Utabiyyah di masa pemerintahan Rasulullah saw maka dipastikan akan dapat diselesaikan secara spontan saat itu juga (فِيْ الْحَالِ). Penyelesaian spontan dan cepat sangat diperlukan supaya tindak distor-tif kasuistik tersebut tidak mengarah kepada penyimpangan sistemik.
Adapun good governance atau pengelolaan atau management yang diberlakukan dalam Khila-fah Islamiyah tiada lain adalah سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ (strategi pengelolaan kemaslahatan) dalam administra-si Islami (اَلإِدَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ). Realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ dalam Islam dibangun di atas asas :
1.       اَلْبَسَاطَةُ فِيْ النِّظَامِ : sederhana dalam sistem
2.       اَلإِسْرَاعُ فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ  : cepat dalam pelayanan
3.       اَلْكِفَايَةُ فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ   : kapabilitas para aparatur administrasi
Inilah realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
sungguh Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam segala sesuatu, maka bila kalian mem-bunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang terbaik
Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang “ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk dapat dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat yang menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi oleh sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya dibu-at pembiroan alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap ke-sempurnaan pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi tersebut.
Kepentingan dan kebutuhan rakyat orang per orang adalah sangat berhubungan erat dengan hidup dan mati mereka, sehingga wajib dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan secepat mungkin yang dapat dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu karena walaupun sebuah sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan setiap orang namun bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem seperti itu adalah haram diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem pelayanan wajib memenuhi dua realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung sangat cepat.
Khatimah
Wal hasil, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Prof. Azyumardi Azra telah menjadi pelopor dalam mempraktikkan pragmatisme Islami, yakni dengan menggeret paksa sejumlah pemikiran yang ada dalam Islam untuk suatu kepentingan pragmatis misalnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Allah SWT menyatakan :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
Acara : SOMASI, Edisi Kamis 15 April 2010
Pengasuh : Ir. Abdul Halim
Tema : Bahasa Arab dan Islam
Penjelasan singkat :


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (الشعراء : 195)
وَنَادَى أَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابَ النَّارِ أَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالُوا نَعَمْ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ أَنْ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (الأعراف : 44)
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ (رواه مسلم)
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (رواه مسلم)
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا (رواه مسلم)

No comments:

Post a Comment