Kegelisahan intelektual : realitas kekisruhan pemikiran
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta :
Prof. Azyumardi Azra dalam tulisannya berjudul “Korupsi, Fasad, dan Jihad”
(Kompas, Jumat 9 April 2010, OPINI, halaman 6) me-nyatakan :
Aparat birokrasi mana lagi yang bisa dipercayai publik? Karena,
mereka yang terlibat korupsi ter-nyata ada di hampir seluruh lembaga penegak
hukum dan keadilan, mulai dari kepolisian, kejaksaan, peradilan hingga
hakim-hakimnya. Kita selalu berapologi dan “menghibur diri” dengan menyatakan,
para pelaku tersebut hanyalah “oknum-oknum”, padahal publik juga melihat
berbagai indikasi bahwa korupsi semacam itu berlangsung cukup sistemik di
antara orang-orang di sebuah instansi tertentu atau pun antarinstansi.
Mencermati skala endemi korupsi seperti itu, tidak ragu lagi, ia
telah menjadi “kriminalitas luar biasa”, yang pertama-tama telah merusak
lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan penegak hu-kum. Tidak kurang
negatifnya adalah rusaknya trust, kepercayaan publik kepada aparat
birokrasi dan penegak hukum. Padahal, trust merupakan salah satu modal
sosial yang instrumental untuk memba-ngun negara dan pemerintahan yang kredibel
dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
Pada segi ini, para pelaku korupsi dari sudut pandang Islam telah
melakukan fasad, kerusakan yang bahkan luar biasa (mafsadat) terhadap kehidupan
masyarakat, pemerintahan, dan negara-bangsa. Lagi-lagi, dari sudut pandang
Islam, para pelaku kerusakan mestilah sama sekali tidak ditoleransi da-lam
bentuk apa pun dan mereka wajib dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Mentoleransi
dan berlaku “lunak” (lenient) kepada mereka hanya akan membuat publik
dan negara yang menjadi korban juga dapat hanyut dan tenggelam dalam arus
mafsadat.
Mafsadat, khususnya korupsi yang terutama disebabkan kerakusan,
bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali, yang dalam Islam disebut al-nafs
al-syaithaniyyah –hawa nafsu setan. Karena itu, terdapat banyak ayat
Al Quran yang memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa nafsu,
yang bakal menjerumuskan diri ke dalam kesesatan dan kehancuran di dunia dan
akhirat.
Manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu setannya tidak
hanya merusak dirinya, tetapi sebagaimana dikemukakan dalam Hadits Nabi
Muhammad SAW, juga merusak umat dan bang-sa. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan,
jihad terbesar (al-jihad al-akbar) adalah jihad melawan hawa nafsu setan
yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai
tindakan mafsadat yang menghancurkan diri dan masyarakat lingkungannya.
Merupakan tanggung jawab lembaga dan ormas
keagamaan untuk juga berbicara lantang tentang mafsadat korupsi dan pada saat
yang sama memaklumkan jihad –dalam hal ini bermakna, bersungguh-sungguh—
melawan korupsi. Ini salah satu bentuk jihad, kesungguhan tekad dan tindakan,
yang sangat dibutuhkan negara-bangsa ini pada masa ini. Lebih daripada itu,
lembaga dan ormas keagamaan hen-daknya mengembangkan berbagai bentuk program
jihad anti-korupsi dan terus melakukan penyadaran publik tentang pentingnya
bersama melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam berbagai bentuk.
Demikianlah, seorang Direktur Sekolah Pascasarjana yang juga
mantan rektor UIN Syarif Hida-yatullah, telah dengan terus terang mengungkapkan
kegelisahan dirinya terhadap realitas korupsi yang justru banyak dilakukan atau
terjadi di lembaga penegak hukum sendiri : kepolisian, kejaksaan, pera-dilan
hingga hakim-hakimnya. Dia pun menepis dengan tegas anggapan klasik bahwa
tindakan pe-nyimpangan tersebut adalah ulah segelintir oknum saja, karena dia
mengindera ternyata aksi (korupsi) tersebut itu berlangsung cukup sistemik
di antara orang-orang di sebuah instansi tertentu atau pun an-tarinstansi.
Dia pun sangat khawatir tentang keberlangsungan bangsa, negara dan
pemerintahan Indonesia akibat dari tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat
birokrasi dan penegak hukum, sebab akan meng-antarkan secara pasti munculnya
ketidakpercayaan masyarakat. Padahal menurut dia kepercayaan ma-syarakat adalah
modal sosial yang instrumental untuk membangun negara dan pemerintahan yang
kre-dibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
Artinya, dia tengah dengan serius memikirkan cara jitu untuk menanggulangi
maraknya korupsi di Indonesia demi terjaminnya keberlangsungan bangsa, negara
dan pemerintahan Indonesia. Oleh karena itulah, dia “mengais-ngais” tumpukan
pemikiran dan konsepsi Islami dengan harapan dapat digunakan untuk tujuan
tersebut.
Upaya tersebut mengantarkan dia kepada sebuah kesimpulan bahwa
tindakan korupsi adalah bagian dari kategori mafsadat dalam Islam dan
penyebabnya adalah hawa nafsu yang tidak terkendali alias al-nafs
al-syaithaniyyah. Oleh karena itulah, menurut dia baik Al-Quran maupun
As-Sunnah ba-nyak memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa
nafsu, yang bakal menjerumuskan di-ri ke dalam kesesatan dan kehancuran di
dunia dan akhirat. Nabi Muhammad saw (sekali lagi menurut dia) menyatakan
bahwa al-jihad al-akbar adalah jihad melawan hawa nafsu setan yang
dapat bernya-la-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai
tindakan mafsadat yang menghan-curkan diri dan masyarakat lingkungannya.
Inilah yang mendorong dia untuk menyeru lembaga dan ormas keagamaan untuk
bicara lantang tentang mafsadat korupsi sekaligus memaklumkan jihad
(ber-sungguh-sungguh) melawan korupsi. Selain itu, dia tegaskan bahwa lembaga
dan ormas keagamaan hendaknya mengembangkan berbagai bentuk program jihad
anti-korupsi dan terus melakukan penya-daran publik tentang pentingnya bersama
melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam ber-bagai bentuk.
Nampak sangat jelas, begitu dalamnya kegelisahan Azyumardi tentang
masa depan, keberlangsu-ngan serta kemajuan bangsa, negara dan pemerintahan
Indonesia, akibat adanya tindak korupsi yang semakin merajalela dan bersifat
sistemik. Artinya, di tengah tekanan kegelisahannya itu dia sangat me-nyadari
bahwa there is something wrong dalam sistem yang diberlakukan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga justru mendorong dan menciptakan
pra kondisi bahkan kondisi yang sangat nyaman sekaligus aman
untuk melakukan tindak korupsi. Lalu sebagai intelektual muslim, dia pun
memastikan harus dilakukan jihad untuk melawan korupsi sebab korupsi terjadi
akibat adanya hawa nafsu setan yang bernyala-nyala dalam diri manusia. Dia juga
menegaskan bahwa jihad yang dimak-sudkan adalah bukan perang fisik (اَلْقِتَالُ) melainkan kesungguhan
(اَلْجُهْدُ) melawan korupsi dalam
ber-bagai bentuk.
Lalu, hakikat apa yang dapat ditarik sebagai benang merah dari
unjuk pemikiran seorang Direktur Sekolah Pascasarjana UIN tersebut? Tentu saja
dengan singkat dan sederhana dapat dipastikan bahwa :
1.
dia telah menjadikan keberlangsungan NKRI sebagai harga mati (قَنَاعَتُهُ) bahkan dia memiliki
obsesi besar untuk memberikan kontribusi sangat berarti bagi membangun
negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya
dapat memajukan bangsa.
2.
bagi dia, praktik korupsi yang sistemik di NKRI bukan karena
sistemnya yang salah melainkan te-tap akibat dari kerakusan manusia yang
menjalankannya. Sedangkan sistemnya yakni kapitalisme tetap benar dan sangat
layak untuk memfasilitasi tujuan besar membangun negara dan pemerintah-an
yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
3.
menurut dia, Islam tetap dibutuhkan untuk mendampingi sekaligus
melengkapi dan menyempurna-kan sejumlah kekurangan dalam sistem kapitalisme.
Selain itu, Islam pun harus diperankan sebagai landasan spiritualistik untuk
moralisasi aparatur negara khususnya dan seluruh bangsa Indonesia secara umum.
Salah satu pemikiran Islami yang sangat tepat digunakan saat ini dalam upaya
peng-ganyangan tindak korupsi adalah jihad yakni bersungguh-sungguh dalam
melawan hawa nafsu setan yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia.
Lalu, bagaimana tentang realitas jihad yang
dia tawarkan untuk menjadi solusi bagi pemberantas-an korupsi di NKRI? Apakah
memang benar Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa jihad paling besar adalah
jihad melawan hawa manusia sendiri?
Konon kabarnya, ketika Rasulullah saw beserta
rombongan pasukan kaum muslim kembali dari Perang Badar Kubra, beliau menyatakan
:
رَجَعْنَا
مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ اِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ وَهُوَ جِهَادُ النَّفْسِ
Terlepas dari
status hadits yang diperselisihkan kesahihannya, pemikiran yang ditunjukkan
oleh hadits tersebut (مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ) adalah benar dan tidak salah.
Hal itu karena, Perang Badar adalah pasti salah satu perang besar dalam Islam
dan berhasil dimenangkan dengan gemilang oleh umat Islam. Kemena-ngan
spektakuler umat Islam itu tentu saja akibat dari mereka :
1.
berhasil memenangkan pemahaman aqal tentang kewajiban perang dan
mengabaikan tuntutan nalu-riah (غَرِيْزَةُ
الْبَقَاءِ) yang menyatakan perang
itu tidak menyenangkan (كُرْهٌ). Hasil dari dominasi aqli-yah atas naluriah
tersebut adalah keputusan mereka untuk mentaati perintah Allah SWT dalam
Al-Quran :
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (التوبة : 41)
Dengan demikian mereka telah berhasil melakukan جِهَادُ النَّفْسِ terlebih dahulu sebelum اَلْقِتَالُ (Perang Badar) dan inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan
Rasulullah saw yang sepenuhnya telah mereka pahami dengan sempurna :
الْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
Hadits tersebut
memang menyebut جِهَادُ النَّفْسِ namun tidak berdiri sendiri melainkan مُقْتَرَنَةً
(dikait-kan) dengan ungkapan lainnya yaitu فِي
سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ,
sehingga جِهَادُ النَّفْسِ
yang dilakukan oleh se-orang الْمُجَاهِدُ adalah supaya dia mampu mengatasi hambatan
naluriah untuk pergi menuju medan perang, misalnya Perang Badar.
2.
sepenuhnya taat kepada Rasulullah saw sebagai قَائِدُ الْجَيْشِ وَالْمَعْرَكَةِ
(komandan pasukan dan penyer-buan), sehingga jika pun ada yang tidak
setuju terhadap keputusan Rasulullah saw maka itu pun disampaikan dengan cara
yang tepat dan dalam rangka semakin menguatkan pasukan umat Islam. Tindakan
inilah yang dilakukan oleh Habab bin Munzhir seperti yang disampaikan dalam
Sirah Ib-nu Hisyam :
اِنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
حِيْنَ نَزَلَ عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ لَمْ يَرْضَ الْحَبَّابُ بْنُ الْمُنْذِرِ
بِهَذَا الْمَنْزِلِ وَقَالَ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ اَرَاَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ اَمَنْزِلاً اَنْزَلَكَهُ اللهُ
لَيْسَ لَنَا اَنْ نَتَقَدَّمَهُ وَلاَ نَتَأَخَّرَ عَنْهُ اَمْ هُوَ الرَّأْيُ
وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ قَالَ بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ
وَالْمَكِيْدَةُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِلٍ
فَانْهَضْ بِالنَّاسِ حَتَّى نَأْتِيَ اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ فَنَنْزِلَهُ
ثُمَّ نُغَوِّرُ مَا وَرَاءَهُ مِنَ الْقُلُبِ ثُمَّ نَبْنِيْ عَلَيْهِ حَوْضًا
فَنَمْلَؤُهُ مَاءً ثُمَّ نُقَاتِلُ الْقَوْمَ فَنَشْرَبُ وَلاَ يَشْرَبُوْنَ
فَقَالَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ
فَنَهَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ
فَسَارَ حَتَّى اِذَا اَتَى اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ نَزَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ
اَمَرَ بِالْقُلُبِ فَغُوِّرَتْ وَبَنَى حَوْضًا عَلَى الْقَلِيْبِ الَّذِيْ
نَزَلَ عَلَيْهِ فَمُلِئَ مَاءٌ ثُمَّ قَذَفُوْهُ فِيْهِ الآنِيَةَ
Bahwa beliau as
ketika berhenti di cekungan air yang ada di Badar, ternyata Habbab bin Mundzir
tidak setuju dengan tempat pemberhentian tersebut dan dia pun berkata kepada
Rasulullah saw : wahai Rasulullah, apakah menurut Anda tempat ini adalah tempat
yang telah Allah tetapkan kepa-da Anda sehingga kami tidak boleh merubahnya
sedikit pun, ataukah ini adalah pendapat, strategi perang dan tipudaya. Beliau
menjawab : benar sekali, ini adalah pendapat, strategi perang dan ti-pudaya.
Lalu dia (Habbab) berkata lagi : wahai Rasulullah, sungguh tempat ini bukanlah
tempat yang tepat, oleh karena itu ajaklah seluruh manusia untuk bergerak
kembali hingga kita tiba di ce-kungan air suatu kaum lalu kita berhenti di sana
kemudian kita bendung semua mata air yang ada di dalamnya lalu kita bangun bendungan
dan kita isi bendungan itu dengan air hingga penuh. Se-telah itu barulah kita
akan memerangi kaum tersebut, kita bisa minum sedangkan mereka sama se-kali
tidak bisa. Maka Rasulullah saw pun berkata : sungguh telah kamu tunjukkan
pendapat yang sangat tepat. Kemudian Rasulullah saw bangkit bersama dengan
seluruh manusia yang bersama beliau, lalu berjalan hingga tiba di sebuah
cekungan air suatu kaum beliau pun berhenti di sana. Kemudian beliau
perintahkan untuk menginventarisir mata air yang ada lalu dibendung dan
mem-bangun bendungan di tempat mata air yang beliau pilih untuk berhenti di
sana. Bendungan itu pun diisi penuh dengan air lalu mereka pun masuk ke
dalamnya segera.
Tentu saja,
ketaatan seluruh pasukan peserta Perang Badar pun dapat mereka tunjukkan kepada
Rasulullah saw setelah mereka berhasil melakukan جِهَادُ
النَّفْسِ sebelum dan selama
perang berlang-sung. Wal hasil, gagasan Azyumardi Azra untuk menjadikan
realitas جِهَادُ النَّفْسِ
sebagai solusi bagi pemberantasan korupsi di NKRI, tidak diragukan lagi adalah salah
fatal dari dua aspek yakni :
a.
realitas جِهَادُ النَّفْسِ adalah upaya umat Islam untuk dapat menjadi
mujahid dalam membela Islam dan agar tidak dihalangi atau terhalangi oleh
tuntutan naluriah alias kepentingan manusiawi.
b.
semesta pembicaraan (جَوُّ
الْكَلاَمِ) جِهَادُ النَّفْسِ
adalah dalam kehidupan Islami yakni dengan wadah Khilafah Islamiyah, sehingga
jika hari ini ketika Khilafah tidak ada, realitas جِهَادُ
النَّفْسِ dipaksa digeret-geret
untuk suatu kepentingan pragmatis tertentu misalnya pemberantasan korupsi,
ma-ka tentu saja sikap tersebut tidak benar dan menunjukkan bahwa pelakunya
sama sekali tidak memahami realitas perbedaan antara NKRI dengan Khilafah
Islamiyah. Penanggulangan korup-si saat ini wajib dikembalikan kepada sistem
yang menopangnya yaitu kapitalisme sekularistik karena korupsi hanyalah akibat
dari suatu sebab : sistem kapitalistik.
Pragmatisme Islami : mengapa dilakukan?
Penggeretan secara paksa realitas جِهَادُ
النَّفْسِ yang ada dalam Islam ke
dalam negara kebangsaan (NKRI) demi untuk kepentingan pemberantasan korupsi,
sudah pasti merupakan aksi berasas pragma-tisme dengan menggunakan pemikiran
Islami tertentu sebagai sifatnya. Sehingga seolah-olah ada enti-tas pragmatisme
Islami dan pelakunya dianggap sebagai telah bersikap pragmatis Islami. Inilah
nam-paknya yang sangat didambakan oleh Azyumardi Azra. Mengapa dia (juga
lainnya sangat banyak) me-lakukan pragmatisme Islami?
Jika dia mempraktikkan pragmatisme semata dan tidak disifati
dengan pemikiran Islami apa pun, maka tentu akan sangat mengganggu kredibilitas
bahkan integritas dirinya selaku intelektual muslim sekaligus kehilangan
identitas pembeda dari intelektual di luar umat Islam. Selain itu, dia sangat
kha-watir terhadap opini masyarakat berkenaan dengan pertanyaan apa kontribusi
Islam dan umat Islam ter-hadap beraneka rupa problematika kehidupan saat ini,
antara lain terhadap semakin mewabahnya prak-tik korupsi dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Dua pertimbangan naluriah inilah yang sangat mungkin
menjadi pemicu dan pendorong dilakukannya pragmatisme Islami. Harus diingat
bah-wa keputusan seseorang untuk mempraktikkan pragmatisme Islami demi untuk
merealisir suatu kepen-tingan (misal pemberantasan korupsi) atau justru demi
untuk menghindar dari suatu kepentingan (per-tanyaan tentang kontribusi Islam),
adalah juga aksi pragmatis.
Islamisasi sistema kufur semisal perbankan syariah, asuransi
syariah, bursa saham syariah, pem-biayaan syariah, upaya pembangunan dual
economy system (yang digagas oleh MES) dan sebagainya, seluruhnya berada
dalam ruang lingkup tema pragmatisme Islami. Sehingga tujuan utama dari
dilaku-kannya aksi tersebut (disadari atau tidak) adalah pengokohan dan
pelestarian pemberlakuan sistema ku-fur kapitalisme sekularistik di Dunia Islam
termasuk apalagi di Indonesia.
Namun, mengapa harus menggunakan atau mengkompilasikan Islam dalam
praktik pragmatisme tersebut? Hal itu karena kaum kufar sangat mengetahui bahwa
hanya Peradaban Islam yang memiliki kesempurnaan sistema untuk digunakan dalam
kehidupan manusia di dunia dan realitas itu telah mere-ka saksikan sendiri dan
telah dirasakan oleh pendahulu mereka selama periode waktu yang sangat pan-jang
yakni lebih dari 1.300 tahun. Sayangnya, fakta kesempurnaan dan keunggulan
Islam tersebut bagi mereka bukan menjadi رَحْمَةً, melainkan sebaliknya mereka posisikan Islam
sebagai musuh sekaligus ancaman mematikan bagi eksistensi mereka berikut
sistema kufur yang telah diracik sendiri dengan ta-ngan mereka. Jadi, demi
terealisirnya tujuan melucuti, melumpuhkan dan mematikan Islam, mereka
pergunakan segala cara dan saat ini cara yang mereka anggap paling jitu dan
handal untuk itu adalah Islamisasi kekufuran. Cara ini memang terbukti tidak terlalu
banyak menyakiti umat Islam dan dapat meminimalisir resistensi dari kaum
muslim, bahkan sebaliknya justru sangat banyak umat Islam yang bersedia rela
mendukung dan membela mati-matian Islamisasi kekufuran tersebut.
Khilafah Islamiyah : potret sejati clean
government dan good governance
Islam diturunkan kepada manusia adalah supaya mereka dapat
mempertahankan realitas dirinya sebagai manusia yakni bukan binatang dan agar
seluruh kebutuhan mereka (pokok maupun pelengkap) dapat terpenuhi dengan
sempurna, sehingga mereka berada dalam kesejahteraan hidup di dunia. Inilah
yang dapat dipahamkan dari pernyataan Allah SWT :
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
مَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَوَاتِ الْعُلَا (طه : 2-4)
Al-Quran
diturunkan adalah untuk memelihara aqal manusia agar tetap dapat berfungsi
dengan sem-purna sehingga mereka dapat mempertahankan posisinya selaku manusia
yang dengan aqalnya dapat mengetahui dan memahami seluruh informasi ketentuan
Allah SWT. Al-Quran pun diturunkan bukan untuk menyengsarakan manusia (لِتَشْقَى) melainkan peraturan yang pasti bagi mereka untuk menjalan-kan
kehidupan di dunia, jika mereka memang takut kepada Allah SWT yang menciptakan
bumi serta langit yang tinggi. Oleh karena itu, Islam yang bersumber dari
Al-Quran adalah untuk diberlakukan oleh manusia selama hidup di dunia sehingga
mereka dipastikan akan berada dalam kesejahteraan yak-ni segala kebutuhan pokok
dan pelengkap mereka terpenuhi dengan sempurna (اِشْبَاعًا
كُلِّيًّا). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ
يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
Ungkapan
فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا memastikan bahwa jika seluruh
kebutuhan seseorang terpenuhi maka dia akan terlepas dari penderitaan sehingga
dunia seutuhnya seolah diserahkan kepadanya sendirian.
Tanggungjawab pemenuhan kebutuhan pokok dan
pelengkap setiap orang manusia di dunia, dise-rahkan sepenuhnya oleh Allah SWT
kepada Khalifah dengan memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT yang ada dalam
Islam. Rasulullah saw menyatakan :
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
(رواه البخاري)
Bagian hadits مَا
لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
menunjukkan bahwa Khalifah wajib memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT
dalam mengelola kepentingan rakyat orang per orang dan selama realitas Khalifah
seperti demikian maka setiap rakyat wajib mentaatinya : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ. Sebaliknya, ketika Khalifah telah memenuhi
kualifikasi : فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ, maka selain tidak wajib lagi bagi rakyat
un-tuk mentaatinya melainkan juga dia telah melalaikan kewajibannya sendiri
yakni mengelola urusan rakyat dengan hanya menggunakan ketentuan Islam.
Oleh karena itu, kewajiban yang harus dipikul
oleh Khalifah beserta bawahannya (para Wali dan ‘Amil) tersebut tentu saja
menuntut terwujudnya pemerintahan yang bersih (مَا
لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ)
alias clean government dan kemampuan yang tinggi dalam mengelola
urusan rakyat alias good governance. Rea-lisasi clean
government adalah dengan memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan pelengkap
para pe-nguasa dan pejabat Khilafah, sehingga tidak ada lagi alasan untuk
melakukan tindakan curang dan ja-hat sekaligus menutup celah munculnya peluang
maupun kesempatan untuk melakukannya. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ
كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ
فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ
مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ
(رواه ابو داود)
مَنْ
وَلِيَ لَنَا عَمَلًا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةً فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ خَادِمًا
فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا أَوْ دَابَّةً
فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ
سَارِقٌ (رواه احمد)
مَنْ
وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ
لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ
خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ
شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ (رواه احمد)
Istri (زَوْجَةٌ),
pembantu/pelayan (خَادِمٌ), rumah (مَسْكَنٌ
اَيْ مَنْزِلٌ) dan kendaraan (دَابَّةٌ), tidak
diragukan lagi merupakan kebutuhan pokok setiap orang termasuk apalagi para
pejabat negara. Oleh karena itu, Kha-lifah wajib memenuhi kebutuhan pokok para
pejabat bawahannya tersebut orang per orang, sehingga ketika mereka masih juga
mencari “tambahan” lain atau mengambil di luar hak mereka itu maka dipas-tikan
mereka telah melakukan غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ. Siapa pun
pelakunya maka selain harta haramnya itu harus disita dan dimasukkan ke Baitul
Mal kaum muslim, juga harus dijatuhkan sanksi berat mulai dari pe-mecatan
hingga uqubat mati dan disertai dengan اَلتَّشْهِيْرُ yakni
menunjukkan pelaku berikut aksinya ke-pada masyarakat. Inilah yang telah
dilakukan oleh Rasulullah saw pada masa kepemimpinan beliau :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ
الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي
لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى
تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ
عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا
لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ
وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ
لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا
جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ
اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ
تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ
بَلَّغْتُ (رواه البخاري)
Bagian hadits فَلَمَّا
جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ
هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي
menun-jukkan bahwa kasus korupsi yang dilakukan Ibnu Al-Utabiyyah hanya
diketahui oleh Rasulullah saw selaku Kepala Negara dari laporannya ketika dia
kembali dari tempat tugasnya sebagai pemungut zakat Bani Sulaim. Ternyata
Rasulullah saw tidak hanya menanggapi dan lalu menyelesaikan praktik curang
pejabat yang beliau tugaskan itu secara sendirian alias tertutup, melainkan
segera saja beliau lakukan tindakan اَلتَّشْهِيْرُ dan itu sangat nampak dari bagian hadits :
ثُمَّ
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ
وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي
أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي
أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا
جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ
كَانَ صَادِقًا
Kemudian Rasulullah saw berdiri lalu berkhutbah di hadapan
masyarakat disertai dengan memuji Allah dan menyanjung Nya, setelah itu beliau
berkata : selanjutnya, sungguh aku telah menugaskan sejumlah orang dari kalian
untuk satu urusan dari kewajiban yang telah Allah bebankan kepadaku. Kemudian
salah seorang dari kalian itu kembali dan berkata ini adalah bagi anda dan yang
ini adalah hadiyah yang diberikan kepada saya. Lalu mengapa dia tidak
duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya hingga hadiyahnya itu datang
menghampirinya jika memang dia benar atas pengakuannya.
Itulah metode Islami (اَلطَّرِيْقَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
yang telah dipraktikkan secara riil oleh Rasulullah saw dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih (clean government) yakni pemerintahan
yang terbebas dari distorsi yang sistemik. Lalu jika pun terjadi kasus tindak
kecurangan seperti yang dilakukan oleh Ibnu Al-Utabiyyah di masa pemerintahan
Rasulullah saw maka dipastikan akan dapat diselesaikan secara spontan saat itu
juga (فِيْ الْحَالِ).
Penyelesaian spontan dan cepat sangat diperlukan supaya tindak distor-tif
kasuistik tersebut tidak mengarah kepada penyimpangan sistemik.
Adapun good governance atau pengelolaan
atau management yang diberlakukan dalam Khila-fah Islamiyah tiada
lain adalah سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ (strategi pengelolaan kemaslahatan) dalam administra-si Islami
(اَلإِدَارَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ).
Realitas سِيَاسَةُ
اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ
dalam Islam dibangun di atas asas :
1.
اَلْبَسَاطَةُ فِيْ النِّظَامِ : sederhana dalam sistem
2. اَلإِسْرَاعُ
فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ : cepat
dalam pelayanan
3. اَلْكِفَايَةُ
فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ : kapabilitas
para aparatur administrasi
Inilah
realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
sungguh
Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam segala sesuatu, maka bila
kalian mem-bunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik dan
jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang
terbaik
Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang
“ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat
dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun
dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit
tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk
dapat dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat
yang menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi
oleh sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya
dibu-at pembiroan alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan
tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan
pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika
pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap
ke-sempurnaan pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi
tersebut.
Kepentingan dan
kebutuhan rakyat orang per orang adalah sangat berhubungan erat dengan hidup
dan mati mereka, sehingga wajib dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan
secepat mungkin yang dapat dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu
karena walaupun sebuah sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi
kebutuhan setiap orang namun bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem
seperti itu adalah haram diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem
pelayanan wajib memenuhi dua realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan
sempurna memenuhi kebutuhan se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung
sangat cepat.
Khatimah
Wal hasil, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta : Prof. Azyumardi Azra telah menjadi pelopor dalam
mempraktikkan pragmatisme Islami, yakni dengan menggeret paksa sejumlah
pemikiran yang ada dalam Islam untuk suatu kepentingan pragmatis misalnya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Allah SWT menyatakan :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
Acara : SOMASI, Edisi Kamis 15
April 2010
Pengasuh : Ir. Abdul Halim
Tema : Bahasa Arab dan
Islam
Penjelasan singkat :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
(الشعراء : 195)
وَنَادَى أَصْحَابُ
الْجَنَّةِ أَصْحَابَ النَّارِ أَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا
فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالُوا نَعَمْ فَأَذَّنَ
مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ أَنْ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (الأعراف : 44)
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً
سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ
إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ
إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ
جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ (رواه
مسلم)
يَؤُمُّ الْقَوْمَ
أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً
فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً
فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ
سِلْمًا (رواه مسلم)
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ
اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا (رواه مسلم)
No comments:
Post a Comment