Saturday, November 9, 2013

REALITAS MUKMIN DAN KAFIR


Mozaik pemikiran umat Islam mutakhir
Ketika Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Pol Anton Bachrul Alam menetap-kan imbauan kepada polisi wanita (polwan) muslim untuk berjilbab : sifatnya ini hanya imbauan dan tidak ada pemaksaan untuk menerapkan sehari-hari di Polda. Imbauan ini telah kami sampaikan ke seluruh jajaran Polda Jatim, maka sejumlah tokoh pun memberikan apresiasinya :
1.       Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane : krisis di kepolisian berujung pada masalah hati dan moral. Pendekatan secara religius, dianggapnya sebagai strategi tepat menekan jumlah oknum polisi nakal. Meski strategi pembentukan Tim Asmaul Husna oleh Kapolda Jatim itu terbi-lang kecil, tapi diharapkan bisa memperbaiki masalah moral dan hati nurani mereka. Demikian ju-ga dengan anjuran polwan mengenakan jilbab, jangan hanya karena polwan lantas tak bisa ber-jilbab. Kebijakan tersebut sangat positif  dan itu bisa diterapkan di polda lain.
2.       Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi : saya sangat senang dengan kebijakan mengizinkan polwan berjilbab yang dibuat Kapolda Jatim. Mudah-mudahan saja kebijakan itu bisa diikuti dae-rah lain.
3.       Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin : ini bagus sekali, karena memang Islam mengajarkan seperti itu, wanita harus menutup auratnya. Dan sekarang ada kesempatan bagi para polwan itu. Kebijakan ini harus terus didukung. Pemerintah Indonesia diharapkan segera membuat kebijakan yang mem-bolehkan polwan muslim di seluruh Indonesia untuk mengenakan jilbab. Terlebih, Indonesia meru-pakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Negara lainnya saja seperti Inggris, Norwegia, Swedia dan Australia telah memberlakukan peraturan tersebut. Banyak negara yang polwannya telah menggunakan jilbab, padahal bukan negara yang mayoritas muslim, salah satunya Australia. Masak Indonesia yang mayoritas muslim tidak memperbolehkan. Ini harus dikembangkan dalam kebijakan nasional.
4.       Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, HA. Rosyad Sholeh : mendukung kebijakan Kapolda Jatim yang membolehkan polwan muslim berjilbab. Kebijakan itu ibarat kabar gembira yang patut disyu-kuri umat Islam Indonesia. Menggunakan jilbab bagi seorang perempuan muslim adalah kewaji-ban. Karena itu, kebijakan tersebut patut dijadikan teladan bagi yang lain. Karena itu saya mendu-kung dan sekali lagi kebijakan ini perlu dicontoh karena akan menimbulkan iklim yang baik bagi ajaran Islam. Apalagi, kalau didukung dengan peraturan pemerintah.
Kemudian, pada konferensi bertema : “Unity in Diversity : The culture coexistence in Indonesia” yang diprakarsai pemerintah Indonesia dan Italia yang digelar di Roma Italia (Rabu, 4 Maret 2009) untuk memperbaiki dialog antara Italia dengan Indonesia negara muslim moderat, Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyatakan : pertemuan hari ini telah meletakkan basis fundamental untuk keseimba-ngan keyakinan dan toleransi. Fundamentalisme hanya akan melahirkan konflik antar agama, sedang-kan liberalisme akan membuat kekacauan. Karenanya sangat penting bagi setiap agama memiliki ke-yakinannya masing-masing.
Itulah mozaik realitas umat Islam paling mutakhir yang sekaligus menunjukkan sikap mereka ter-hadap sejumlah fakta, persoalan, permasalahan maupun perkembangan dalam kehidupan dunia berbasis sekularisme. Hingga titik kasus-kasus tersebut masih nampak jelas terjadinya euphoria dan histeria ha-lus sebagian umat Islam terhadap perkembangan kehidupan yang di dalamnya ada aksi elaborasi atau adopsi atau implementasi sejumlah pemikiran Islami : penggunaan jilbab, pembacaan Al-Quran, majlis ta’lim, ekonomi syariah, pengakuan Barat terhadap Islam dan sebagainya. Tanggapan spontan umat Islam tersebut menunjukkan dua hal :
1.       masih adanya kerinduan mereka terhadap pemberlakuan syariah Islamiyah, walau (sangat disa-yangkan) itu hanya berupa respon naluriah dan sama sekali bukan reaksi aqliyah.
2.       kondisi kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap mereka masih sangat keras membatu, sehingga mereka sama sekali tidak mampu membedakan mana realitas keberpihakan kepada Islam dan umat Islam serta mana yang hanya berupa aksi pemanfaatan Islam maupun umat Islam untuk kepenting-an semakin lestarinya pemberlakuan sistema kufur : demokrasi dan kapitalisme dalam arena kehi-dupan dunia.
Pertanyaannya adalah apakah sikap sambut gembira penuh kebanggaan dari sejumlah tokoh muslim terhadap kebijakan Kapolda Jatim tersebut layak, pantas dan dibenarkan oleh Islam? Hal itu sa-ngat perlu dikemukakan sebab seluruh sikap tersebut selalu dikaitkan dengan Islam, pemikiran Islami berikut pemberlakuannya. Ketika diajukan pertanyaaan apakah layak dan pantas, maka itu berarti mem-persoalkan kesesuaian antara sikap yang muncul dari umat Islam dengan realitas persoalan atau per-kembangan yang ada di hadapan mereka. Sebagai contoh : apakah sikap gembira, apresiatif bahkan bersyukur yang ditunjukkan oleh umat Islam dengan adanya kebijakan Kapolda Jatim adalah sesuai de-ngan realitas dari kebijakan itu sendiri?
Kapolda Jatim yang baru dilantik tanggal 19 Februari 2009, memastikan tujuan dari dibentuknya Tim Asmaul Husna maupun himbauan penggunaan jilbab bagi polwan adalah sebagai berikut :
1.       pembentukan tim ini adalah bagian dari proses mengubah kultur di kepolisian. Sebab kalau polisi membaca ayat-ayat suci, maka Allah akan mengganti 100 keburukannya dengan berlipat kali kebai-kan. Selama ini aparat kepolisian terkesan sangat jauh dari nilai-nilai keagamaan. Padahal kultur seseorang itu merupakan cermin dari perbuatan manusia. Seorang polisi mesti dekat dengan Pengu-asa Alam, dan Allah SWT pun pasti akan mendekat kepada polisi. Dengan demikian, kinerja kepo-lisian diharapkan tidak lagi bengkok-bengkok, tetap berdasar pada nilai-nilai kebenaran. Kebijakan religius itu guna meningkatkan trust holding atau kepercayaan terhadap institusi, baik kepercayaan dari masyarakat maupun dari kalangan internal.
2.       jilbab adalah hal baru untuk penyegaran di tubuh Polri. Sebab selama ini banyak anggota Polwan maupun istri Polri yang risi auratnya dilihat orang yang bukan muhrim. Jilbab tak akan merusak ki-nerja polwan di lapangan. Karena, saat beraktivitas, misalnya lari, polwan bisa memakai celana panjang. Yang penting pahanya tidak kelihatan.
Dengan demikian kebijakan yang “dianggap berpihak kepada Islam” atau “kebijakan religius” tersebut oleh sebagian tokoh muslim, sama sekali tidak menunjukkan demikian sedikit pun. Hal itu karena baik pembentukan Tim Asmaul Husna maupun himbauan penggunaan jilbab, keduanya ditujukan bagi per-baikan kultur di dalam tubuh sumber daya manusia (SDM) Polri dan bukan didasarkan kepada kesa-daran bahwa Islam sebagai ideologi dunia memang wajib diberlakukan dalam realitas kehidupan. Ucapan Kapolda Jatim sendiri berkenaan dengan Tim Asmaul Husna yakni : dengan demikian, kinerja kepolisian diharapkan tidak lagi bengkok-bengkok, tetap berdasar pada nilai-nilai kebenaran. Kebija-kan religius itu guna meningkatkan trust holding atau kepercayaan terhadap institusi, baik kepercaya-an dari masyarakat maupun dari kalangan internal atau berkenaan dengan jilbab : jilbab adalah hal baru untuk penyegaran di tubuh Polri. Sebab selama ini banyak anggota Polwan maupun istri Polri yang risi auratnya dilihat orang yang bukan muhrim, memastikan bahwa pengelaborasian sebagian sa-ngat kecil dari syariah Islamiyah seperti baca Al-Quran, shalat berjamaah, taushiyah dan penggunaan jilbab bagi polwan tersebut seluruhnya hanya ditujukan untuk : (a) perbaikan berbagai kekurangan yang selama ini ada atau dianggap ada dalam SDM Polri dan (b) penyempurnaan kinerja maupun ke-percayaan kepada institusi Polri. Jadi, sangat gamblang nyata bahwa kebjakan Kapolda Jatim tersebut sama sekali bukan bentuk sikap kesadaran untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam (syariah Is-lamiyah) dalam pentas kehidupan manusia di dunia. Seluruhnya adalah sebuah aksi pengadopsian seba-gian dari syariah Islamiyah untuk kemanfaatan (sesuai koridor kapitalisme) kepolisian Indonesia, baik secara kelembagaan maupun SDM-nya. Tegasnya kebijakan tersebut adalah kebijakan yang tidak Isla-mi dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, melainkan sebuah kepastian sebagai kebija-kan kapitalistik sekularistik. Ini adalah sebentuk kebijakan manipulatif dan sarat dengan penyesatan yang akan (sebagian sudah terbukti) memunculkan opini pada diri umat Islam atau menggiring opini mereka bahwa Polri telah berusaha keras menjelmakan diri sebagai institusi Islami (كِيَانٌ اِسْلاَمِيٌّ).
Lagipula, aspek pokok mendasar yang merupakan jatidiri Polri adalah institusi tersebut lahir, tumbuh, berkembang dan lalu mapan dalam realitas institusi tempat pemberlakuan sistema kufur demo-krasi dan kapitalisme, yakni NKRI. Artinya main stream (رَأْسُ الأَمْرِ) yang menaungi dan melandasi ek-sistensi Polri adalah bukan Islam melainkan kekufuran tersebut. Akibatnya adalah sikap gembira, apre-siatif bahkan bersyukur yang ditunjukkan oleh umat Islam dengan adanya kebijakan Kapolda Jatim adalah sama sekali tidak sesuai dengan realitas dari kebijakan itu sendiri. Tegasnya, respon umat Islam tersebut adalah tidak pantas dan tidak layak, sebab yang pantas dan layak adalah bersikap sebaliknya yakni sedih, marah, merasa dihinakan dan semakin sadar bahwa kaum kufar beserta antek-antek mere-ka dari kalangan umat Islam akan selalu berusaha keras tiada henti untuk menghalangi manusia dari Is-lam sekaligus menghalangi kembalinya Islam menempati posisi orisinalnya sebagai Ideologi kehidupan dunia.
Sikap gembira, apresiatif bahkan bersyukur yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh muslim yang ada di NU, Muhammadiyah dan MUI tersebut selain tidak pantas tidak layak, juga sebagai ekspresi pasti keberpihakan dan loyalitas mereka kepada NKRI, demokrasi, kapitalisme sekaligus sebagai sikap pembelaan mereka kepada keberlangsungan pemberlakuan kekufuran tersebut di Indonesia. Dengan demikian sikap mereka tersebut sudah pasti diharamkan oleh Islam sebab hakikat sikap mereka itu ada-lah dukungan, pembelaan dan loyalitas penuh kepada kekufuran berikut pemberlakuannya dalam kehi-dupan dunia. Tidak diragukan lagi sikap mereka itu adalah hanya aksi mengamankan kepentingan me-reka sendiri dan sama sekali tidak peduli kepada hidayah dari Allah SWT. Allah SWT menyatakan :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ (القصص : 50)
“lalu bila mereka (ahlul kitab) tidak memenuhi permintaanmu (Muhammad), maka ketahuilah olehmu bahwa yang mereka ikuti itu hanyalah kepentingan naluriah mereka dan siapa lagi yang lebih sesat daripada seseorang yang mengikuti kepentingan naluriahnya tanpa didasari hidayah dari Allah”.
Demikian juga dengan pemikiran dan sikap Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi yang sa-ngat setuju dan sepakat dengan kaum kufar (Nasrani Katholik Roma) dalam mempertahankan dan me-lestarikan realitas kehidupan Unity in Diversity (bersatu dalam keragaman agama-agama) khususnya di Indonesia (The Culture Coexistence : kerjasama kebudayaan) dan umumnya di seluruh dunia. Sikap-nya tersebut sama persis dengan sikap Stefania Craxi (Sekretaris Hubungan Luar Negeri dan Presiden Lembaga Amal Katholik Sant’Egidio) yang menyatakan pujian bahwa Indonesia merupakan simbol penting di Dunia Islam. Tentu saja pujian ini diberikan oleh Stefania tidak secara gratis melainkan se-bagai balasan atas kerelaan dan kesediaan Sang Ketum PBNU untuk membiarkan posisi Islam disa-makan dan disejajarkan dengan Katholik. Ini adalah sikap yang selain tidak pantas tidak layak juga di-haramkan oleh Islam. Allah SWT menyatakan :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
“perangilah oleh kalian (umat Islam) orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beri-man kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan segala perkara yang telah Allah dan Rasul-Nya haramkan dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam) yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepada mereka Kitab (Taurah dan Injil), hingga mereka bersedia membe-rikan jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan mereka tunduk patuh”.
Fakta lebih kentara lagi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan sama sekali antara sikap umat Islam dengan kaum kufar adalah terjadi pada kasus perekonomian syariah yakni seiring dengan sema-kin populernya sistem pembiayaan syariah baik perbankan maupun non bank. Adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai “Pertama Murni Syariah”, arti-nya mereka sangat gembira dan puas diri karena menganggap telah dapat memberlakukan sistem pere-konomian syariah secara mandiri dan bukan sebagai office channeling dari bank konvensional. Padahal, layak dan pantaskah sikap mereka tersebut? Jawabannya adalah tentu saja tidak, sebab aspek apakah yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan maupun kegembiraan dari realitas BMI tersebut, bukankah di negara Inggris juga tengah berlangsung keadaan yang sama bahkan Inggris adalah negara yang pa-ling banyak memiliki bank bagi umat Islam di antara negara-negara Barat lainnya. Saat ini di negara tersebut ada lima bank murni syariah dan 17 bank lainnya seperti Barclays, RBS dan Lloyds Banking Group telah memiliki unit usaha syariah (office channeling). Aset perbankan syariah Inggris mencapai 18 miliar dolar AS (12 miliar poundsterling) dan nilai ini melebihi aset bank syariah yang ada di Pakis-tan, Bangladesh, Turki dan Mesir, serta menduduki peringkat ke-8 di seluruh dunia. Lalu, apakah realitas sikap Inggris terhadap perbankan syariah tersebut sebagai bukti bahwa negara itu telah berubah 180 derajat dari penghancur Khilafah Islamiyah terakhir di Turki menjadi pembela dan loyalis sejati Islam? Sama sekali tidak, sebab negara yang paling memusuhi Islam dan Dunia Islam serta paling membela Yahudi sebelum akhirnya digantikan Amerika Serikat (AS) tersebut mengadopsi dan mem-berlakukan sebagian kecil dari perekonomian Islam secara sub sistem terhadap perekonomian kapitalis-me adalah semata untuk kepentingan mereka, tidak lebih.
Wal hasil, keseluruhan mozaik tersebut memastikan satu hal yakni sangat sulit bahkan hampir mustahil membedakan pemikiran dan sikap umat Islam dengan kaum kufar, bahkan umat Islam lebih sering tampil atau ditampilkan ke depan dalam arena percaturan pembelaan terhadap kekufuran. Allah SWT menyatakan :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا (النساء : 140)
“dan telah Dia (Allah) turunkan kepada kalian dalam Al-Quran bahwa ketika sebagian kalian mende-ngar ayat-ayat Allah, maka orang itu bersikap kufur kepadanya dan mengolok-olokannya, maka ja-nganlah kalian duduk bersama mereka hingga mereka beralih dalam pembicaraan lainnya. Sebab jika kalian tetap duduk bersama mereka maka kalian sama saja dengan mereka. Sungguh Allah akan me-ngumpulkan munafiqin dan kafirin dalam jahanam secara bersamaan”.

Realitas mukmin dan kafir : harus berbeda!
Selama ini bila ada pertanyaan mendasar : apakah yang membedakan seorang mukmin dari seo-rang kafir? Secara spontan muncul jawaban : shalat, karena Rasulullah saw menyatakan :
اَلْفَرْقُ بَيْنَ الْمُؤْمِنِ وَالْكَافِرِ اَلصَّلاَةُ
Lalu, apakah pemikiran seperti itu dapat dibenarkan? Tentu saja pemikiran tersebut adalah benar se-panjang memposisikan shalat tersebut sebagai pembeda yang paling mudah dilihat walau hanya sepin-tas tanpa perlu disertai penelitian, penelaahan maupun pembuktian secara mendalam. Namun pemiki-ran itu akan menjadi sangat salah jika mendorong sebuah kesimpulan bahwa shalat adalah segalanya dan satu-satunya yang menjadi jaminan apakah seseorang itu mukmin ataukah kafir saat ini. Memang jika pemikiran itu diberlakukan saat umat Islam masih hidup dalam Khilafah Islamiyah maka sangat dapat dibenarkan karena sesuai dengan kenyataannya. Namun bila pemikiran itu diterapkan kepada fakta kehidupan mereka saat ini, maka akan sangat salah sebab telah terjadi keterputusan antara reali-tas umat Islam dengan realitas institusi kehidupan mereka.
Oleh karena itu, supaya dapat mempertahankan realitas perbedaan antara umat Islam (اَلْمُؤْمِنُوْنَ) dan kaum kufar (اَلْكُفَّارُ), maka wajib mengembalikan pemikiran yang sudah terlanjur sangat lama ada dalam diri umat Islam tersebut (shalat sebagai pembeda antara mukmin dan kafir) kepada informasi wahyu yang lebih komprehensif (شَامِلاً) dan integral (كُلِّيًّا). Rasulullah saw menyatakan :
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu yang telah Allah mengutus diriku dengan membawa keduanya ada-lah seperti hujan deras yang menimpa bumi. Sebagian bumi itu ada yang subur dapat menerima air la-lu menumbuhkan tanaman dan pepohonan yang sangat banyak. Sebagian bumi lainnya adalah berbu-kit dapat menahan air lalu Allah memberikan manfaat dengan bagian bumi itu kepada manusia, maka mereka dapat meminumnya, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Bagian lainnya dari bumi ha-nyalah berupa tanah yang tandus, tidak dapat menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tana-man maupun pepohonan. Demikian jugalah perumpamaan seseorang yang memahami agama Allah dan dia memanfaatkan segala perkara yang Allah telah mengutus diriku dengan membawanya, lalu dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya, dengan seseorang yang sama sekali tidak dapat meningkat-kan kedudukan dirinya dengan itu semua secara langsung dan dia pun tidak bersedia menerima hida-ah Allah yang telah aku bawa seiring dengan diutusnya diriku”.
Pemikiran yang ditunjukkan oleh pernyataan Nabi Muhammad saw tersebut adalah :
1.       karena posisi hidayah dan ilmu disamakan dengan hujan deras, sehingga seperti halnya hujan diteri-ma oleh seluruh manusia secara gratis maka demikian juga hidayah dan ilmu harus diterima oleh mereka secara gratis, yakni Khilafah Islamiyah wajib menyelenggarakan proses pembelajaran hi-dayah dan ilmu tersebut (اَلدِّرَاسَةُ وَالتَّعْلِيْمُ) dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh negara.
2.       realitas bumi itu ada tiga macam, yakni : (a) subur dapat menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan pepohonan, (b) berbukit dapat menahan air dan (c) tanah yang tandus tidak dapat menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tanaman maupun pepohonan. Ini adalah taqdir Allah SWT, se-hingga tidak dapat dirubah dengan upaya apa pun oleh manusia dan yang dapat serta wajib dilaku-kan oleh mereka adalah mengelola ketiga macam bagian bumi tersebut supaya ketiganya dapat di-manfaatkan oleh mereka sesuai dengan ketetapan Allah SWT :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا (البقرة : 29)
3.       manusia itu terbelah menjadi dua kelompok besar yakni :
a.       مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ : yang memahami agama Allah dan dia memanfaat-kan segala perkara yang Allah telah mengutus diriku dengan membawanya, lalu dia pun mem-pelajarinya dan mengajarkannya.
b.       مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ : yang sama sekali tidak dapat meningkatkan kedudukan dirinya dengan itu semua secara langsung dan dia pun tidak bersedia menerima hi-dayah Allah yang telah aku bawa seiring dengan diutusnya diriku.
Kelompok pertama dapat dipastikan adalah kaum mukmin alias umat Islam yang representasi ter-baik dan idealnya adalah ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah saw maupun tiga generasi beri-kutnya, seperti yang digambarkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (رواه مسلم)
Sedangkan kelompok kedua dapat dipastikan adalah kaum kufar yang menolak hidayah dari Allah SWT yakni Islam, sehingga kedudukan mereka tidak mengalami perubahan apa pun dengan keda-tangan Islam, yakni tetap dalam keadaan hina (لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا). Realitas mereka itulah yang mem-bedakannya secara pasti dari umat Islam dan hal ini pun telah Allah SWT nyatakan dalam ayat :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (الأنفال : 65)
“wahai Nabi, giringlah kaum mukmin ke arena perang. Jika di antara kalian ada dua puluh orang yang tangguh pastilah akan dapat mengalahkan dua ratus orang dan jika di antara kalian ada ada seratus orang pastilah akan dapat mengalahkan seribu orang dari kalangan orang-orang kafir, hal itu karena mereka adalah kaum yang tidak memahami apa pun”.
Ungkapan realitas kaum kufar sebagai بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ dijelaskan oleh hadits dengan menunjukkan sikap mereka yang : مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ.
Oleh karena itu, seluruh informasi wahyu tersebut memastikan harus adanya perbedaan yang pasti an-tara umat Islam dengan kaum kufar dan perbedaan tersebut adalah hanya dapat diraih bila umat Islam sepenuhnya memenuhi perintah Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Aksi praktis yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka memenuhi perintah Allah SWT terse-but adalah seperti yang digambarkan oleh hadits : مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ.
Dengan demikian perbedaan umat Islam dan kaum kufar itu bukan hanya perbedaan yang nam-pak di permukaan saja (supervisial), melainkan muncul dari adanya perbedaan pemikiran mereka dan perbedaan pemikiran ini disebabkan oleh asas yang menjadi dasar berpikir mereka masing-masing. Umat Islam hanya menjadikan Islam sebagai asas pemikiran mereka, sedangkan kaum kufar (jika pun mereka berpikir) hanya menggunakan kepentingan naluriah mereka sendiri sebagai asas pemikirannya. Inilah yang digambarkan oleh Nabi Muhammad saw saat menyatakan :
الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهِرُ وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ وَقَلْبٌ مُصْفَحٌ فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصْفَحُ فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ (رواه احمد)
“aqal itu ada empat macam : قَلْبٌ أَجْرَدُ di dalamnya seperti lentera yang bersinar putih jernih, قَلْبٌ أَغْلَفُ yang terikat dengan sampulnya, قَلْبٌ مَنْكُوسٌ dan قَلْبٌ مُصْفَحٌ. Adapun الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ adalah aqal seorang mukmin yang lentera di dalamnya adalah sumber sinarnya. Adapun الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ adalah aqal seorang kafir. Adapun الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ adalah aqal seorang munafiq yang telah mengetahui (Islam) lalu menolak-nya. Adapun الْقَلْبُ الْمُصْفَحُ adalah aqal yang di dalamnya bercampur antara iman dan nifaq, lalu per-umpamaan iman yang ada di dalamnya adalah seperti sayuran hijau (الْبَقْلَةُ) yang meneteskan air be-ning dan perumpamaan nifaq yang ada di dalamnya seperti bukit yang mengalirkan muntah dan da-rah. Maka mana saja salah satu dari kedua aliran tersebut yang dominan atas yang lainnya, pastilah akan menguasai aqalnya”.
Sangat nampak jelas dari informasi pernyataan Rasulullah saw tersebut bahwa aqal manusia adalah yang akan menentukan sikap mereka. Aqal seorang mukmin dipastikan سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ yakni karena hanya Islam yang menjadi asas pemikirannya maka Islam jugalah yang menjadi sumber cahaya bagi si-kapnya dalam kehidupan dunia. Aqal seorang kafir diungkapkan sebagai مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ yaitu terikat de-ngan kuat oleh kepentingan naluriahnya, sehingga seluruh sikapnya dikendalikan oleh aqal yang telah sepenuhnya terwarnai oleh kepentingan tersebut. Aqal seorang munafiq digambarkan secara pasti de-ngan ungkapan عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ yakni otaknya memang telah menerima informasi tentang Islam namun se-luruh informasi tersebut justru mendorong aqalnya untuk menolak Islam secara mutlak.
Macam aqal yang keempat yang digambarkan dengan فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ, memang sangat aneh dan ti-dak jelas pasti bentuknya yakni sangat tergantung kepada bagian mana dari iman dan nifaq tersebut yang dominan menguasai keputusan aqalnya. Ketika bagian iman yang dominan menguasai keputusan aqalnya, maka orang tersebut sangat nampak sikapnya sebagai mukmin dan sebaliknya ketika bagian nifaq yang mendominasi keputusan aqalnya maka sikap dia pun akan menjelma sebagai manusia muna-fiq. Realitas manusia yang aqalnya seperti demikian dinyatakan oleh Allah SWT :
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (التوبة : 101)
“dan di antara orang-orang Arab Baduwi yang ada di sekitar kalian (umat Islam) adalah orang-orang munafiq dan dari sebagian penduduk Madinah mereka juga lebih cenderung kepada nifaq. Engkau (Muhammad) sama sekali tidak mengetahui mereka, Kami (Allah) sangat mengetahui mereka. Kami pasti akan mengadzab mereka dua kali lipat lalu mereka akan dijebloskan ke dalam adzab yang sangat dahsyat”.
Jadi, sikap seorang mukmin memang harus berbeda dengan kaum kufar maupun kaum munafiqin sebab aqal seorang mukmin adalah aqal yang bening jernih dan sepenuhnya diliputi oleh Islam dan itu terjadi karena dia : فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ dan سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ yakni Islam.


Khatimah
Irjen Pol Anton Bachrul Alam, KH. Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amin, HA. Rosyad Sholeh, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Hidayat Nur Wahid, Prof. Dr. Quraisy Shihab, mendiang Dr. Nurkholis Majid, Gus Dur, Mahmud Abbas, mendiang Yaser Arafat, mendiang Anwar Sadat, Raja Abdullah bin Abdil Aziz, mendiang Saddam Husen dan lainnya adalah orang-orang yang melaksanakan shalat lima waktu. Namun fakta pemikiran dan sikap mereka ternyata sama sekali tidak dapat dibedakan dari kaum kufar maupun kaum munafiqin, bahkan benar-benar identik. Realitas inilah yang mengharuskan identifikasi terhadap perbedaan kaum mukmin dengan kaum kufar dilaku-kan berdasarkan pemikiran dan sikap mereka, bukan berdasarkan dilakukan atau tidaknya shalat lima waktu.
Memang benar di masa kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah), pelaksanaan shalat lima waktu sepenuhnya menjadi tanggung jawab Khalifah bahkan di ibukota negara adalah Khalifah yang selalu bertindak sebagai imam dalam shalat berjamaah. Sehingga sangat pantas dan layak bila pelaksanaan shalat tersebut menjadi pembeda antara realitas kaum mukmin dengan kaum kufar. Rasulullah saw me-nyatakan :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
“sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan : wahai Rasulallah, apakah kami boleh membunuh mereka? Lalu beliau menjawab : tidak boleh, selama mereka melaksanakan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat dari para pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya itu dan janganlah kalian mencabut ketaatan kepada mereka”.

No comments:

Post a Comment