Mozaik pemikiran umat Islam mutakhir
Ketika Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur
Irjen Pol Anton Bachrul Alam menetap-kan imbauan kepada polisi wanita (polwan)
muslim untuk berjilbab : sifatnya ini hanya imbauan dan tidak ada pemaksaan
untuk menerapkan sehari-hari di Polda. Imbauan ini telah kami sampaikan ke
seluruh jajaran Polda Jatim, maka sejumlah tokoh pun memberikan
apresiasinya :
1.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane : krisis
di kepolisian berujung pada masalah hati dan moral. Pendekatan secara religius,
dianggapnya sebagai strategi tepat menekan jumlah oknum polisi nakal. Meski
strategi pembentukan Tim Asmaul Husna oleh Kapolda Jatim itu terbi-lang kecil,
tapi diharapkan bisa memperbaiki masalah moral dan hati nurani mereka. Demikian
ju-ga dengan anjuran polwan mengenakan jilbab, jangan hanya karena polwan
lantas tak bisa ber-jilbab. Kebijakan tersebut sangat positif dan itu bisa diterapkan di polda lain.
2.
Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi : saya sangat
senang dengan kebijakan mengizinkan polwan berjilbab yang dibuat Kapolda Jatim.
Mudah-mudahan saja kebijakan itu bisa diikuti dae-rah lain.
3.
Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin : ini bagus sekali,
karena memang Islam mengajarkan seperti itu, wanita harus menutup auratnya. Dan
sekarang ada kesempatan bagi para polwan itu. Kebijakan ini harus terus
didukung. Pemerintah Indonesia diharapkan segera membuat kebijakan yang
mem-bolehkan polwan muslim di seluruh Indonesia untuk mengenakan jilbab. Terlebih,
Indonesia meru-pakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Negara lainnya saja seperti
Inggris, Norwegia, Swedia dan Australia telah memberlakukan peraturan tersebut.
Banyak negara yang polwannya telah menggunakan jilbab, padahal bukan negara
yang mayoritas muslim, salah satunya Australia. Masak Indonesia yang mayoritas
muslim tidak memperbolehkan. Ini harus dikembangkan dalam kebijakan nasional.
4. Sekretaris
Umum PP Muhammadiyah, HA. Rosyad Sholeh : mendukung kebijakan Kapolda Jatim
yang membolehkan polwan muslim berjilbab. Kebijakan itu ibarat kabar gembira
yang patut disyu-kuri umat Islam Indonesia. Menggunakan jilbab bagi seorang
perempuan muslim adalah kewaji-ban. Karena itu, kebijakan tersebut patut
dijadikan teladan bagi yang lain. Karena itu saya mendu-kung dan sekali lagi
kebijakan ini perlu dicontoh karena akan menimbulkan iklim yang baik bagi
ajaran Islam. Apalagi, kalau didukung dengan peraturan pemerintah.
Kemudian, pada konferensi
bertema : “Unity in Diversity : The culture coexistence in Indonesia” yang
diprakarsai pemerintah Indonesia dan Italia yang digelar di Roma Italia (Rabu,
4 Maret 2009) untuk memperbaiki dialog antara Italia dengan Indonesia negara
muslim moderat, Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyatakan : pertemuan
hari ini telah meletakkan basis fundamental untuk keseimba-ngan keyakinan dan
toleransi. Fundamentalisme hanya akan melahirkan konflik antar agama,
sedang-kan liberalisme akan membuat kekacauan. Karenanya sangat penting bagi
setiap agama memiliki ke-yakinannya masing-masing.
Itulah mozaik realitas umat Islam paling mutakhir
yang sekaligus menunjukkan sikap mereka ter-hadap sejumlah fakta, persoalan,
permasalahan maupun perkembangan dalam kehidupan dunia berbasis sekularisme.
Hingga titik kasus-kasus tersebut masih nampak jelas terjadinya euphoria dan
histeria ha-lus sebagian umat Islam terhadap perkembangan kehidupan yang di
dalamnya ada aksi elaborasi atau adopsi atau implementasi sejumlah pemikiran
Islami : penggunaan jilbab, pembacaan Al-Quran, majlis ta’lim, ekonomi syariah,
pengakuan Barat terhadap Islam dan sebagainya. Tanggapan spontan umat Islam
tersebut menunjukkan dua hal :
1.
masih adanya kerinduan mereka terhadap pemberlakuan
syariah Islamiyah, walau (sangat disa-yangkan) itu hanya berupa respon naluriah
dan sama sekali bukan reaksi aqliyah.
2. kondisi
kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap mereka masih sangat keras membatu,
sehingga mereka sama sekali tidak mampu membedakan mana realitas keberpihakan
kepada Islam dan umat Islam serta mana yang hanya berupa aksi pemanfaatan
Islam maupun umat Islam untuk kepenting-an semakin lestarinya pemberlakuan
sistema kufur : demokrasi dan kapitalisme dalam arena kehi-dupan dunia.
Pertanyaannya adalah apakah sikap
sambut gembira penuh kebanggaan dari sejumlah tokoh muslim terhadap kebijakan
Kapolda Jatim tersebut layak, pantas dan dibenarkan oleh Islam? Hal itu sa-ngat
perlu dikemukakan sebab seluruh sikap tersebut selalu dikaitkan dengan Islam,
pemikiran Islami berikut pemberlakuannya. Ketika diajukan pertanyaaan apakah
layak dan pantas, maka itu berarti mem-persoalkan kesesuaian antara sikap yang
muncul dari umat Islam dengan realitas persoalan atau per-kembangan yang ada di
hadapan mereka. Sebagai contoh : apakah sikap gembira,
apresiatif bahkan bersyukur yang ditunjukkan oleh umat Islam dengan adanya
kebijakan Kapolda Jatim adalah sesuai de-ngan realitas dari kebijakan itu
sendiri?
Kapolda Jatim yang baru dilantik tanggal 19 Februari
2009, memastikan tujuan dari dibentuknya Tim Asmaul Husna maupun himbauan
penggunaan jilbab bagi polwan adalah sebagai berikut :
1.
pembentukan tim ini adalah bagian dari proses mengubah
kultur di kepolisian. Sebab kalau polisi membaca ayat-ayat suci, maka Allah
akan mengganti 100 keburukannya dengan berlipat kali kebai-kan. Selama ini
aparat kepolisian terkesan sangat jauh dari nilai-nilai keagamaan. Padahal
kultur seseorang itu merupakan cermin dari perbuatan manusia. Seorang polisi
mesti dekat dengan Pengu-asa Alam, dan Allah SWT pun pasti akan mendekat kepada
polisi. Dengan demikian, kinerja kepo-lisian diharapkan tidak lagi
bengkok-bengkok, tetap berdasar pada nilai-nilai kebenaran. Kebijakan religius
itu guna meningkatkan trust holding atau kepercayaan terhadap institusi,
baik kepercayaan dari masyarakat maupun dari kalangan internal.
2. jilbab
adalah hal baru untuk penyegaran di tubuh Polri. Sebab selama ini banyak
anggota Polwan maupun istri Polri yang risi auratnya dilihat orang yang bukan
muhrim. Jilbab tak akan merusak ki-nerja polwan di lapangan. Karena, saat
beraktivitas, misalnya lari, polwan bisa memakai celana panjang. Yang penting
pahanya tidak kelihatan.
Dengan demikian kebijakan
yang “dianggap berpihak kepada Islam” atau “kebijakan religius” tersebut oleh
sebagian tokoh muslim, sama sekali tidak menunjukkan demikian sedikit pun. Hal
itu karena baik pembentukan Tim Asmaul Husna maupun himbauan penggunaan jilbab,
keduanya ditujukan bagi per-baikan kultur di dalam tubuh sumber
daya manusia (SDM) Polri dan bukan didasarkan kepada kesa-daran
bahwa Islam sebagai ideologi dunia memang wajib diberlakukan
dalam realitas kehidupan. Ucapan Kapolda Jatim sendiri berkenaan dengan Tim
Asmaul Husna yakni : dengan demikian, kinerja kepolisian diharapkan tidak
lagi bengkok-bengkok, tetap berdasar pada nilai-nilai kebenaran. Kebija-kan
religius itu guna meningkatkan trust holding atau kepercayaan terhadap
institusi, baik kepercaya-an dari masyarakat maupun dari kalangan internal
atau berkenaan dengan jilbab : jilbab adalah hal baru untuk penyegaran di
tubuh Polri. Sebab selama ini banyak anggota Polwan maupun istri Polri yang
risi auratnya dilihat orang yang bukan muhrim, memastikan
bahwa pengelaborasian sebagian sa-ngat kecil dari syariah Islamiyah seperti
baca Al-Quran, shalat berjamaah, taushiyah dan penggunaan jilbab bagi polwan
tersebut seluruhnya hanya ditujukan untuk : (a) perbaikan berbagai kekurangan
yang selama ini ada atau dianggap ada dalam SDM Polri dan (b)
penyempurnaan kinerja maupun ke-percayaan kepada institusi Polri. Jadi, sangat
gamblang nyata bahwa kebjakan Kapolda Jatim tersebut sama sekali bukan
bentuk sikap kesadaran untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam
(syariah Is-lamiyah) dalam pentas kehidupan manusia di dunia. Seluruhnya adalah
sebuah aksi pengadopsian seba-gian dari syariah Islamiyah untuk kemanfaatan
(sesuai koridor kapitalisme) kepolisian Indonesia, baik secara kelembagaan
maupun SDM-nya. Tegasnya kebijakan tersebut adalah kebijakan yang tidak
Isla-mi dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, melainkan
sebuah kepastian sebagai kebija-kan kapitalistik sekularistik. Ini adalah
sebentuk kebijakan manipulatif dan sarat dengan penyesatan yang
akan (sebagian sudah terbukti) memunculkan opini pada diri umat Islam atau
menggiring opini mereka bahwa Polri telah berusaha keras menjelmakan diri
sebagai institusi Islami (كِيَانٌ اِسْلاَمِيٌّ).
Lagipula, aspek pokok mendasar yang merupakan
jatidiri Polri adalah institusi tersebut lahir, tumbuh, berkembang dan lalu
mapan dalam realitas institusi tempat pemberlakuan sistema kufur demo-krasi dan
kapitalisme, yakni NKRI. Artinya main stream (رَأْسُ
الأَمْرِ) yang menaungi
dan melandasi ek-sistensi Polri adalah bukan Islam melainkan kekufuran
tersebut. Akibatnya adalah sikap gembira, apre-siatif bahkan bersyukur yang
ditunjukkan oleh umat Islam dengan adanya kebijakan Kapolda Jatim adalah sama
sekali tidak sesuai dengan realitas dari kebijakan itu sendiri.
Tegasnya, respon umat Islam tersebut adalah tidak pantas dan tidak layak,
sebab yang pantas dan layak adalah bersikap sebaliknya yakni
sedih, marah, merasa dihinakan dan semakin sadar bahwa kaum kufar beserta
antek-antek mere-ka dari kalangan umat Islam akan selalu berusaha keras tiada
henti untuk menghalangi manusia dari Is-lam sekaligus menghalangi kembalinya
Islam menempati posisi orisinalnya sebagai Ideologi kehidupan dunia.
Sikap gembira,
apresiatif bahkan bersyukur yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh muslim yang ada
di NU, Muhammadiyah dan MUI tersebut selain tidak pantas tidak layak, juga
sebagai ekspresi pasti keberpihakan dan loyalitas mereka kepada
NKRI, demokrasi, kapitalisme sekaligus sebagai sikap pembelaan
mereka kepada keberlangsungan pemberlakuan kekufuran tersebut di Indonesia.
Dengan demikian sikap mereka tersebut sudah pasti diharamkan oleh Islam sebab
hakikat sikap mereka itu ada-lah dukungan, pembelaan dan loyalitas penuh kepada
kekufuran berikut pemberlakuannya dalam kehi-dupan dunia. Tidak diragukan lagi
sikap mereka itu adalah hanya aksi mengamankan kepentingan me-reka sendiri dan
sama sekali tidak peduli kepada hidayah dari Allah SWT. Allah SWT menyatakan :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ (القصص : 50)
“lalu bila mereka (ahlul kitab) tidak
memenuhi permintaanmu (Muhammad), maka ketahuilah olehmu bahwa yang mereka
ikuti itu hanyalah kepentingan naluriah mereka dan siapa lagi yang lebih sesat
daripada seseorang yang mengikuti kepentingan naluriahnya tanpa didasari
hidayah dari Allah”.
Demikian juga dengan
pemikiran dan sikap Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi yang sa-ngat setuju dan
sepakat dengan kaum kufar (Nasrani Katholik Roma) dalam mempertahankan dan
me-lestarikan realitas kehidupan Unity in Diversity (bersatu
dalam keragaman agama-agama) khususnya di Indonesia (The Culture Coexistence
: kerjasama kebudayaan) dan umumnya di seluruh dunia. Sikap-nya tersebut
sama persis dengan sikap Stefania Craxi (Sekretaris Hubungan Luar Negeri dan
Presiden Lembaga Amal Katholik Sant’Egidio) yang menyatakan pujian bahwa
Indonesia merupakan simbol penting di Dunia Islam. Tentu saja pujian ini
diberikan oleh Stefania tidak secara gratis melainkan se-bagai balasan atas kerelaan
dan kesediaan Sang Ketum PBNU untuk membiarkan posisi Islam disa-makan
dan disejajarkan dengan Katholik. Ini adalah sikap yang selain tidak pantas
tidak layak juga di-haramkan oleh Islam. Allah SWT menyatakan :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا
الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
“perangilah oleh kalian (umat Islam)
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beri-man kepada hari
akhir dan mereka tidak mengharamkan segala perkara yang telah Allah dan
Rasul-Nya haramkan dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam)
yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepada mereka Kitab (Taurah
dan Injil), hingga mereka bersedia membe-rikan jizyah dengan tangan mereka
sendiri dalam keadaan mereka tunduk patuh”.
Fakta lebih kentara lagi yang menunjukkan tidak
adanya perbedaan sama sekali antara sikap umat Islam dengan kaum kufar adalah
terjadi pada kasus perekonomian syariah yakni seiring dengan sema-kin
populernya sistem pembiayaan syariah baik perbankan maupun non bank. Adalah
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai
“Pertama Murni Syariah”, arti-nya mereka sangat gembira dan puas diri karena
menganggap telah dapat memberlakukan sistem pere-konomian syariah secara mandiri
dan bukan sebagai office channeling dari bank konvensional. Padahal,
layak dan pantaskah sikap mereka tersebut? Jawabannya adalah tentu saja tidak,
sebab aspek apakah yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan maupun
kegembiraan dari realitas BMI tersebut, bukankah di negara
Inggris juga tengah berlangsung keadaan yang sama bahkan Inggris adalah negara
yang pa-ling banyak memiliki bank bagi umat Islam di antara negara-negara Barat
lainnya. Saat ini di negara tersebut ada lima bank murni syariah dan 17 bank
lainnya seperti Barclays, RBS dan Lloyds Banking Group telah memiliki unit
usaha syariah (office channeling). Aset perbankan syariah Inggris
mencapai 18 miliar dolar AS (12 miliar poundsterling) dan nilai ini melebihi
aset bank syariah yang ada di Pakis-tan, Bangladesh, Turki dan Mesir, serta
menduduki peringkat ke-8 di seluruh dunia. Lalu, apakah realitas sikap Inggris
terhadap perbankan syariah tersebut sebagai bukti bahwa negara itu telah
berubah 180 derajat dari penghancur Khilafah Islamiyah terakhir di
Turki menjadi pembela dan loyalis sejati Islam? Sama sekali
tidak, sebab negara yang paling memusuhi Islam dan Dunia Islam
serta paling membela Yahudi sebelum akhirnya digantikan Amerika
Serikat (AS) tersebut mengadopsi dan mem-berlakukan sebagian kecil dari
perekonomian Islam secara sub sistem terhadap perekonomian kapitalis-me adalah
semata untuk kepentingan mereka, tidak lebih.
Wal hasil, keseluruhan
mozaik tersebut memastikan satu hal yakni sangat sulit bahkan hampir mustahil
membedakan pemikiran dan sikap umat Islam dengan kaum kufar, bahkan umat Islam
lebih sering tampil atau ditampilkan ke depan dalam arena percaturan pembelaan
terhadap kekufuran. Allah SWT menyatakan :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ
إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا
مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ
جَمِيعًا (النساء : 140)
“dan telah Dia (Allah) turunkan kepada kalian dalam Al-Quran
bahwa ketika sebagian kalian mende-ngar ayat-ayat Allah, maka orang itu
bersikap kufur kepadanya dan mengolok-olokannya, maka ja-nganlah kalian duduk
bersama mereka hingga mereka beralih dalam pembicaraan lainnya. Sebab jika
kalian tetap duduk bersama mereka maka kalian sama saja dengan mereka. Sungguh
Allah akan me-ngumpulkan munafiqin dan kafirin dalam jahanam secara bersamaan”.
Realitas mukmin dan kafir
: harus berbeda!
Selama ini bila ada
pertanyaan mendasar : apakah yang membedakan seorang mukmin dari seo-rang
kafir? Secara spontan muncul jawaban : shalat, karena Rasulullah saw
menyatakan :
اَلْفَرْقُ بَيْنَ
الْمُؤْمِنِ وَالْكَافِرِ اَلصَّلاَةُ
Lalu, apakah pemikiran
seperti itu dapat dibenarkan? Tentu saja pemikiran tersebut adalah benar
se-panjang memposisikan shalat tersebut sebagai pembeda yang paling mudah
dilihat walau hanya sepin-tas tanpa perlu disertai penelitian,
penelaahan maupun pembuktian secara mendalam. Namun pemiki-ran itu akan menjadi
sangat salah jika mendorong sebuah kesimpulan bahwa shalat adalah
segalanya dan satu-satunya yang menjadi jaminan apakah seseorang itu mukmin ataukah
kafir saat ini. Memang jika pemikiran itu diberlakukan saat umat Islam masih
hidup dalam Khilafah Islamiyah maka sangat dapat dibenarkan
karena sesuai dengan kenyataannya. Namun bila pemikiran itu diterapkan kepada
fakta kehidupan mereka saat ini, maka akan sangat salah sebab
telah terjadi keterputusan antara reali-tas umat Islam dengan realitas
institusi kehidupan mereka.
Oleh karena itu, supaya
dapat mempertahankan realitas perbedaan antara umat Islam (اَلْمُؤْمِنُوْنَ) dan kaum kufar (اَلْكُفَّارُ), maka wajib mengembalikan pemikiran yang
sudah terlanjur sangat lama ada dalam diri umat Islam tersebut (shalat sebagai
pembeda antara mukmin dan kafir) kepada informasi wahyu yang lebih komprehensif
(شَامِلاً) dan integral (كُلِّيًّا). Rasulullah saw menyatakan :
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ
مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ
الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ
بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً
أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ
بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu
yang telah Allah mengutus diriku dengan membawa keduanya ada-lah seperti hujan
deras yang menimpa bumi. Sebagian bumi itu ada yang subur dapat menerima air
la-lu menumbuhkan tanaman dan pepohonan yang sangat banyak. Sebagian bumi
lainnya adalah berbu-kit dapat menahan air lalu Allah memberikan manfaat dengan
bagian bumi itu kepada manusia, maka mereka dapat meminumnya, menyirami tanaman
dan bercocok tanam. Bagian lainnya dari bumi ha-nyalah berupa tanah yang
tandus, tidak dapat menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tana-man
maupun pepohonan. Demikian jugalah perumpamaan seseorang yang memahami agama
Allah dan dia memanfaatkan segala perkara yang Allah telah mengutus diriku
dengan membawanya, lalu dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya, dengan
seseorang yang sama sekali tidak dapat meningkat-kan kedudukan dirinya dengan
itu semua secara langsung dan dia pun tidak bersedia menerima hida-ah Allah
yang telah aku bawa seiring dengan diutusnya diriku”.
Pemikiran yang ditunjukkan
oleh pernyataan Nabi Muhammad saw tersebut adalah :
1.
karena posisi hidayah dan ilmu disamakan dengan hujan
deras, sehingga seperti halnya hujan diteri-ma oleh seluruh manusia secara
gratis maka demikian juga hidayah dan ilmu harus diterima oleh mereka secara
gratis, yakni Khilafah Islamiyah wajib menyelenggarakan proses pembelajaran
hi-dayah dan ilmu tersebut (اَلدِّرَاسَةُ وَالتَّعْلِيْمُ) dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh
negara.
2. realitas
bumi itu ada tiga macam, yakni : (a) subur dapat menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan
pepohonan, (b) berbukit dapat menahan air dan (c) tanah yang tandus tidak dapat
menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tanaman maupun pepohonan. Ini
adalah taqdir Allah SWT, se-hingga tidak dapat dirubah dengan upaya apa pun
oleh manusia dan yang dapat serta wajib dilaku-kan oleh mereka adalah mengelola
ketiga macam bagian bumi tersebut supaya ketiganya dapat di-manfaatkan oleh
mereka sesuai dengan ketetapan Allah SWT :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا (البقرة : 29)
3.
manusia itu terbelah menjadi dua kelompok besar yakni :
a.
مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا
بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ : yang
memahami agama Allah dan dia memanfaat-kan segala perkara yang Allah telah
mengutus diriku dengan membawanya, lalu dia pun mem-pelajarinya dan
mengajarkannya.
b. مَنْ
لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ
بِهِ : yang sama sekali tidak dapat
meningkatkan kedudukan dirinya dengan itu semua secara langsung dan dia pun
tidak bersedia menerima hi-dayah Allah yang telah aku bawa seiring dengan
diutusnya diriku.
Kelompok pertama dapat
dipastikan adalah kaum mukmin alias umat Islam yang representasi ter-baik dan idealnya
adalah ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah saw maupun tiga generasi
beri-kutnya, seperti yang digambarkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (رواه مسلم)
Sedangkan kelompok
kedua dapat dipastikan adalah kaum kufar yang menolak hidayah dari Allah SWT
yakni Islam, sehingga kedudukan mereka tidak mengalami perubahan apa pun dengan
keda-tangan Islam, yakni tetap dalam keadaan hina (لَمْ يَرْفَعْ
بِذَلِكَ رَأْسًا).
Realitas mereka itulah yang mem-bedakannya secara pasti dari umat Islam dan hal
ini pun telah Allah SWT nyatakan dalam ayat :
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
(الأنفال : 65)
“wahai Nabi, giringlah kaum mukmin ke arena perang. Jika di
antara kalian ada dua puluh orang yang tangguh pastilah akan dapat mengalahkan
dua ratus orang dan jika di antara kalian ada ada seratus orang pastilah akan
dapat mengalahkan seribu orang dari kalangan orang-orang kafir, hal itu karena
mereka adalah kaum yang tidak memahami apa pun”.
Ungkapan realitas kaum
kufar sebagai بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ dijelaskan oleh hadits dengan menunjukkan
sikap mereka yang : مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ.
Oleh
karena itu, seluruh informasi wahyu tersebut memastikan harus adanya
perbedaan yang pasti an-tara umat Islam dengan kaum kufar dan perbedaan
tersebut adalah hanya dapat diraih bila umat Islam sepenuhnya memenuhi perintah
Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Aksi praktis yang harus
dilakukan oleh umat Islam dalam rangka memenuhi perintah Allah SWT terse-but
adalah seperti yang digambarkan oleh hadits : مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ
اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ.
Dengan demikian
perbedaan umat Islam dan kaum kufar itu bukan hanya perbedaan yang nam-pak di
permukaan saja (supervisial), melainkan muncul dari adanya perbedaan pemikiran
mereka dan perbedaan pemikiran ini disebabkan oleh asas yang menjadi dasar
berpikir mereka masing-masing. Umat Islam hanya menjadikan Islam sebagai asas
pemikiran mereka, sedangkan kaum kufar (jika pun mereka berpikir) hanya
menggunakan kepentingan naluriah mereka sendiri sebagai asas pemikirannya.
Inilah yang digambarkan oleh Nabi Muhammad saw saat menyatakan :
الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ
قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهِرُ وَقَلْبٌ
أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ وَقَلْبٌ مُصْفَحٌ
فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ
وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ وَأَمَّا الْقَلْبُ
الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ وَأَمَّا الْقَلْبُ
الْمُصْفَحُ فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ
كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ
كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ
غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ (رواه احمد)
“aqal itu ada empat macam : قَلْبٌ
أَجْرَدُ di dalamnya seperti lentera yang
bersinar putih jernih, قَلْبٌ أَغْلَفُ yang terikat dengan sampulnya, قَلْبٌ
مَنْكُوسٌ dan قَلْبٌ
مُصْفَحٌ. Adapun الْقَلْبُ
الْأَجْرَدُ adalah aqal seorang mukmin yang
lentera di dalamnya adalah sumber sinarnya. Adapun الْقَلْبُ
الْأَغْلَفُ adalah aqal seorang kafir. Adapun الْقَلْبُ
الْمَنْكُوسُ adalah aqal seorang munafiq yang
telah mengetahui (Islam) lalu menolak-nya. Adapun الْقَلْبُ
الْمُصْفَحُ adalah aqal yang di dalamnya
bercampur antara iman dan nifaq, lalu per-umpamaan iman yang ada di dalamnya
adalah seperti sayuran hijau (الْبَقْلَةُ) yang meneteskan air be-ning dan perumpamaan nifaq yang ada
di dalamnya seperti bukit yang mengalirkan muntah dan da-rah. Maka mana saja
salah satu dari kedua aliran tersebut yang dominan atas yang lainnya, pastilah
akan menguasai aqalnya”.
Sangat nampak jelas dari informasi pernyataan Rasulullah
saw tersebut bahwa aqal manusia adalah yang akan menentukan sikap mereka. Aqal
seorang mukmin dipastikan سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ yakni karena hanya Islam yang menjadi asas pemikirannya maka
Islam jugalah yang menjadi sumber cahaya bagi si-kapnya dalam kehidupan dunia.
Aqal seorang kafir diungkapkan sebagai مَرْبُوطٌ عَلَى
غِلَافِهِ yaitu terikat de-ngan kuat oleh
kepentingan naluriahnya, sehingga seluruh sikapnya dikendalikan oleh aqal yang
telah sepenuhnya terwarnai oleh kepentingan tersebut. Aqal seorang munafiq
digambarkan secara pasti de-ngan ungkapan عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ yakni otaknya memang telah menerima informasi tentang Islam
namun se-luruh informasi tersebut justru mendorong aqalnya untuk menolak Islam
secara mutlak.
Macam aqal yang keempat yang digambarkan dengan فِيهِ
إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ, memang sangat aneh dan ti-dak
jelas pasti bentuknya yakni sangat tergantung kepada bagian mana dari iman
dan nifaq tersebut yang dominan menguasai keputusan aqalnya.
Ketika bagian iman yang dominan menguasai keputusan aqalnya, maka orang
tersebut sangat nampak sikapnya sebagai mukmin dan sebaliknya ketika bagian
nifaq yang mendominasi keputusan aqalnya maka sikap dia pun akan menjelma
sebagai manusia muna-fiq. Realitas manusia yang aqalnya seperti demikian
dinyatakan oleh Allah SWT :
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ
مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا
تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ
إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (التوبة : 101)
“dan di antara orang-orang Arab Baduwi
yang ada di sekitar kalian (umat Islam) adalah orang-orang munafiq dan dari
sebagian penduduk Madinah mereka juga lebih cenderung kepada nifaq. Engkau
(Muhammad) sama sekali tidak mengetahui mereka, Kami (Allah) sangat mengetahui
mereka. Kami pasti akan mengadzab mereka dua kali lipat lalu mereka akan
dijebloskan ke dalam adzab yang sangat dahsyat”.
Jadi, sikap seorang mukmin
memang harus berbeda dengan kaum kufar maupun kaum munafiqin sebab aqal seorang
mukmin adalah aqal yang bening jernih dan sepenuhnya diliputi oleh Islam dan
itu terjadi karena dia : فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا
بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ dan سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ yakni Islam.
Khatimah
Irjen
Pol Anton Bachrul Alam, KH. Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amin, HA. Rosyad
Sholeh, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Hidayat Nur
Wahid, Prof. Dr. Quraisy Shihab, mendiang Dr. Nurkholis Majid, Gus Dur, Mahmud
Abbas, mendiang Yaser Arafat, mendiang Anwar Sadat, Raja Abdullah bin Abdil
Aziz, mendiang Saddam Husen dan lainnya adalah orang-orang yang melaksanakan
shalat lima waktu. Namun fakta pemikiran dan sikap mereka ternyata sama sekali
tidak dapat dibedakan dari kaum kufar maupun kaum munafiqin, bahkan benar-benar
identik. Realitas inilah yang mengharuskan identifikasi terhadap perbedaan kaum
mukmin dengan kaum kufar dilaku-kan berdasarkan pemikiran dan sikap
mereka, bukan berdasarkan dilakukan atau tidaknya shalat lima waktu.
Memang benar di masa
kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah), pelaksanaan shalat lima waktu sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Khalifah bahkan di ibukota negara adalah Khalifah yang
selalu bertindak sebagai imam dalam shalat berjamaah. Sehingga sangat pantas
dan layak bila pelaksanaan shalat tersebut menjadi pembeda antara realitas kaum
mukmin dengan kaum kufar. Rasulullah saw me-nyatakan :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
“sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka
dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun
mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci
mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun
melaknat kalian. Ditanyakan : wahai Rasulallah, apakah kami boleh membunuh
mereka? Lalu beliau menjawab : tidak boleh, selama mereka melaksanakan shalat
di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat dari para pemimpin kalian
sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya itu dan janganlah kalian
mencabut ketaatan kepada mereka”.
No comments:
Post a Comment