Saturday, November 9, 2013

RIDLA ALLAH : MUNGKINKAH DIRAIH UMAT ISLAM?


Angan-angan kosong umat Islam : memperoleh ridla Allah!
Ucapan : mudah-mudahan Allah SWT meridlai kita semua, semoga Allah SWT memberikan ridla kepada segala usaha kita, kita semua selalu mengharapkan ridla Allah SWT, insya Allah semua aktivi-tas kita diridlai oleh Allah SWT, dengan disahkannya RUU APP semoga Allah SWT meridlai semua langkah kita, tujuan hidup manusia di dunia adalah meraih ridla Allah SWT  dan ungkapan lainnya yang serupa sangat sering bahkan selalu diucapkan terutama di negeri Indonesia dalam berbagai forum mulai dari pengajian, majlis ta’lim, arisan ibu-ibu, rapat pimpinan, rapat akhir tahun koperasi, sidang paripurna DPR, konsolidasi pemenangan pemilu sejumlah partai peserta koalisi, rapat kabinet yang di-pimpin oleh Presiden, rapat konsultasi DPR dan Pemerintah maupun kegiatan lainnya.
Ucapan ridla Allah telah menjelma sebagai ungkapan yang sangat lumrah, lazim, pasaran bahkan sangat terkesan basa basi dalam realitas kehidupan umat Islam di negeri Indonesia, sehingga dicitrakan (sengaja atau tidak) jika ucapan atau ungkapan tersebut tidak diikutsertakan dalam naskah pidato atau sambutan atau aksi-aksi fisik (unjuk rasa, demonstrasi, pesta dan lainnya) maka dianggap tidak sem-purna, tidak lengkap bahkan tidak religius. Sama halnya dengan ucapan اِنْشَاءَ اللهُ yang sudah go inter re-ligion alias lintas agama, maka ungkapan ridla Allah pun telah tidak lagi milik “mulut” kaum muslim melainkan sangat sering diartikulasikan oleh “pemeluk lintas agama”. Apakah realitas ini merupakan fakta yang menggembirakan ataukah justru sangat memprihatinkan, mengerikan sekaligus bentuk pe-nistaan dan penghinaan terhadap Islam melalui penggunaan istilah-istilah Islami (اِصْطِلاَحٌ اِسْلاَمِيٌّ) secara sangat tidak tepat?
Istilah “ridla Allah” atau رِضَى اللهِ dalam bentuk tunggal dan رِضْوَانُ اللهِ dalam bentuk jamak memili-ki makna secara bahasa maupun syara’, yakni :
a.       makna bahasa dari رِضَى اللهِ atau رِضْوَانُ اللهِ mengikuti makna bahasa dari lafadz رِضًا atau رِضْوَانٌ yaitu kebalikan dari lafadz سُخْطٌ. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللَّهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ بِهَا سُخْطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ (رواه ابن ماجه)
Sungguh salah seorang di antara kalian akan berucap dengan kata-kata رِضْوَانِ اللَّهِ yang dia sendiri tidak pernah menduga kata-kata itu akan sampai kepada yang seharusnya, lalu Allah SWT menu-liskan dengan kata-kata itu رِضْوَانَهُ hingga hari qiyamah. Sungguh salah seorang di antara kalian akan berucap dengan kata-kata سُخْطِ اللَّهِ yang dia sendiri tidak pernah menduga kata-kata itu akan sampai kepada yang seharusnya, lalu Allah SWT menuliskan dengan kata-kata itu سُخْطَهُ hingga hari orang itu bertemu dengan Nya (Allah)
Ucapan Rasulullah saw tersebut secara gamblang memposisikan lafadz رِضْوَانٌ (رِضْوَانِ اللَّهِ) sebagai kebalikan dari lafadz سُخْطٌ (سُخْطِ اللَّهِ). Hal yang sama ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (التوبة : 58)
Dan di antara mereka (kaum munafiqin) ada yang mencelamu dalam urusan zakat, lalu jika mere-ka diberi bagian dari zakat itu maka mereka ridla (رَضُوا) dan jika mereka tidak diberi bagian dari-nya maka seketika itu juga mereka murka (هُمْ يَسْخَطُونَ)
Jadi sikap رِضًا merupakan penampakkan (ekspresi) dari perasaan suka dan senang akibat kepenti-ngannya terpenuhi, sedangkan sikap سُخْطٌ merupakan penampakkan dari perasaan marah dan tidak puas (kecewa) akibat kepentingannya tidak terpenuhi (sebagian maupun apalagi seluruhnya).
b.       makna syara’ (istilah) dari lafadz سُخْطٌ ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT berkenaan dengan sikap Bani Israil :
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ (المائدة : 78-80)
Telah dilaknat orang-orang yang bersikap kufur dari kalangan Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa bin Maryam, hal itu karena mereka bersikap maksiat dan mereka bersikap melanggar batas ke-tentuan. Mereka sama sekali tidak berhenti dari perbuatan munkar bahkan mereka justru melaku-kannya, sungguh itu adalah seburuk-buruk yang telah mereka lakukan. Engkau (Muhammad) akan melihat mereka mengangkat orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, penolong, sekutu, teman dekat), sungguh itu adalah seburuk-buruk yang telah diperbuat oleh kepentingan mereka sehingga Allah murka (سَخِطَ اللَّهُ) kepada mereka dan mereka pasti kekal dalam adzab
Jadi makna سُخْطٌ dalam istilah سُخْطُ اللهِ adalah :
مَوْقِفُ اْلإِسْتِفْزَازِ مِنَ اللهِ الَّذِيْ يُطْلَقُ عَلَى عِبَادِهِ مِنَ النَّاسِ وَذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِهِ وَخَالَفُوْا شَرْيِعَتَهُ بَلْ كَانُوْا يَتْرُكُوْنَهَا اِمَّا جُزْئِيَّةً وَاِمَّا كُلِّيَّةً وَيَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاءَهُمْ وَيَتَّخِذُوْنَهَا اِلَهَهُمْ
Kemarahan Allah yang diberlakukan kepada manusia dan itu karena mereka bersikap kufur kepa-da Nya serta menyalahi syariah Nya bahkan mereka meninggalkan syariah tersebut baik sebagian maupun secara keseluruhan dan mereka pun mengikuti kepentingan naluriah mereka serta menja-dikannya sebagai tuhan mereka
Realitas inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT saat memastikan ketetapan yang diberlakukan kepada Bani Israil akibat sikap mereka selama ini walau masih dipimpin oleh Nabi Musa as :
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (البقرة : 61)
Dan ditimpakan kepada mereka kehinaan dan kemiskinan serta mereka pasti berhadapan dengan kemarahan dari Allah, hal itu karena mereka bersikap kufur kepada ayat-ayat Allah dan mereka membunuh para Nabi tanpa disertai alasan yang benar, hal itu akibat maksiat mereka dan sikap pelanggaran mereka
c.       makna syara’ (istilah) dari lafadz رِضًا ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT berikut :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
Dan السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ baik dari Muhajirin maupun Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya, Allah pasti ridla kepada mereka dan mereka juga ridla kepada Nya dan Dia (Allah) pasti menyediakan bagi mereka جَنَّاتٍ yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mere-ka pasti kekal di dalamnya. Itulah keberhasilan yang luar biasa besarnya
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ (البينة : 7-8)
Bahwa orang-orang yang bersikap iman dan melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ mereka adalah sebaik-baiknya makhluk, balasan mereka di sisi Rab mereka adalah جَنَّاتُ عَدْنٍ yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai, mereka pasti kekal di dalamnya. Allah pasti ridla kepada mereka dan mereka juga ridla kepada Nya. Itu semua adalah bagi siapa saja yang takut kepada Rabnya
Jadi makna lafadz رِضًا dalam istilah رِضَى اللهِ atau رِضْوَانُ اللهِ adalah :
مَوْقِفُ اللهِ الَّذِيْ يَقَعُهُ الإِنْسَانُ اِنْ كَانُوْا يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيُطِيْعُوْنَهُ بِالْقِيَامِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِيْ شَرَّعَهُ اللهُ فِيْ الإِسْلاَمِ
Sikap Allah yang pasti akan ditemui oleh manusia jika mereka beriman kepada Nya serta mentaati Nya dengan melaksanakan عَمَلٌ صَالِحٌ yang telah Allah tetapkan dalam Islam
Realitas tersebut juga ditunjukkan antara lain oleh pernyataan Allah SWT :
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر : 7)
Jika kalian (manusia) bersikap kufur maka sungguh Allah tidak membutuhkan kalian dan Dia tidak ridla hamba-hambanya mengambil kekufuran dan jika kalian bersikap syukur (iman) pastilah Dia (Allah) ridla kepada kalian. Tidak ada seorang pun pemikul dosa akan memikul dosa yang lain, la-lu kalian pasti akan dikembalikan kepada Rab kalian dan Dia akan memberitahukan kepada kalian segala hal yang telah kalian perbuat. Sungguh Dia Maha Mengetahui terhadap lintasan perasaan yang ada dalam dada
Sehingga ketika كَانَ الإِنْسَانُ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَيَعْمَلُوْنَ الصَّالِحَاتِ (manusia beriman kepada Allah dan melaku-kan amal shalih), pastilah mereka akan meraih رِضَى اللهِ atau رِضْوَانُ اللهِ. Sebaliknya jika mereka me-mutuskan untuk يَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَقْتَضِيْ اَهْوَاءُهُمْ (bersikap kufur kepada Allah dan mengikuti sega-la sesuatu yang dituntut oleh kepentingan-kepentingan naluriah mereka), maka hanya سُخْطُ اللهِ yang pasti akan mereka dapatkan.
Wal hasil, dapat dipastikan secara mutlak bahwa seluruh ucapan maupun “basa-basi” umat Islam saat ini yang melibatkan istilah ridla Allah adalah hanya angan-angan kosong mereka bahkan seke-dar khayalan yang tidak akan mungkin mereka peroleh kenyataannya. Hal itu akan tetap demikian selama mereka justru merealisir makna سُخْطُ اللهِ dan sama sekali tidak pernah serius untuk mereali-sir makna رِضَى اللهِ dalam kehidupan mereka di dunia.

Memahami dalil-dalil seputar ridla Allah
Sumber-sumber Islam baik itu Al-Quran maupun As-Sunnah sangat sering memposisikan secara perbandingan antara Kaum Muslim dengan Yahudi dan Nashara, yakni dengan ahlul kitab. Hal itu me-mastikan bahwa Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk sepenuhnya hanya mengikuti risalah Islam yang dibawa serta oleh Nabi Muhammad saw, sekaligus mengharamkan mereka mengikuti (walau ha-nya sedikit sekali pun) risalah sebelum Islam baik itu yang bersumber dari Taurah maupun Injil. Bah-kan perjalanan “waktu” juga dijadikan objek perbandingan oleh Allah SWT yakni antara waktu yang sangat begitu panjang yang telah dijalani oleh ahlul kitab dengan waktu yang telah dijalani oleh umat Islam walau baru sebentar saja. Allah SWT menyatakan :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)
Bukankah telah berjalan waktu walau baru sebentar bagi orang-orang yang beriman untuk agar aqal mereka benar-benar khusyu dzikrullah dan agar memahami Islam yang telah Dia (Allah) turunkan dan janganlah mereka (kaum mukmin) menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan ke-pada mereka kitab, lalu telah berjalan atas diri mereka waktu yang sangat panjang namun yang terja-di adalah perasaan mereka menjadi membatu dan sebagian sangat besar mereka bersikap fasiq
Oleh karena itulah Rasulullah saw memberikan informasi penegasan sekaligus peringatan kepada umat Islam bahwa mereka harus bersikap beda dengan ahlul kitab :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Bagian hadits كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ memastikan realitas ahlul kitab yang di-maksudkan oleh pernyataan Allah SWT : فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ, yakni walau mere-ka dipimpin dan diurus oleh para Nabi secara bergantian dalam masa yang sangat panjang namun ak-hirnya mereka memutuskan untuk menolak ketentuan Allah SWT dengan membunuh para Nabi terse-but bahkan kufur kepada Allah SWT. Realitas kehidupan ahlul kitab yang brutal sadis tersebut oleh Islam dijadikan sebagai fakta masa lalu yang haram ditiru dan diikuti oleh umat Islam, yakni walau kaum muslim hanya satu kali dipimpin dan diurus oleh Nabi (Nabi Muhammad saw) namun manusia-manusia biasa (para Khulafa) yang akan meneruskan posisi Nabi Muhammad saw selaku pemimpin dan pengurus mereka, wajib selalu mereka taati sama persis dengan sikap taat mereka kepada Nabi Muhammad saw : فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ. Hal ini pun memastikan bah-wa para Khulafa wajib selalu memberlakukan seluruh ketentuan Islam (syariah Islamiyah) ketika mere-ka memerintah dan berkuasa dalam kehidupan manusia.
Artinya jika pun ada sebagian manusia dari kalangan ahlul kitab yang beriman dan melakukan amal shalih, maka fakta tersebut sama sekali tidaklah istimewa sebab itu adalah sangat wajar terjadi ji-ka menimbang perjalanan kehidupan mereka yang terus menerus dikelola dan dikendalikan secara ber-gantian oleh para Nabi, mulai sejak Nabi Musa as hingga Nabi Isa as. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits berikut :
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولَ إِنَّمَا بَقَاؤُكُمْ فِيمَا سَلَفَ قَبْلَكُمْ مِنْ الْأُمَمِ كَمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ أُعْطِيَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ التَّوْرَاةَ فَعَمِلُوا بِهَا حَتَّى انْتَصَفَ النَّهَارُ ثُمَّ عَجَزُوا فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ثُمَّ أُعْطِيَ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ الْإِنْجِيلَ فَعَمِلُوا بِهِ حَتَّى صَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ عَجَزُوا فَأُعْطُوا قِيرَاطًا قِيرَاطًا ثُمَّ أُعْطِيتُمْ الْقُرْآنَ فَعَمِلْتُمْ بِهِ حَتَّى غُرُوبِ الشَّمْسِ فَأُعْطِيتُمْ قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ قَالَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَقَلُّ عَمَلًا وَأَكْثَرُ أَجْرًا قَالَ هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ أَجْرِكُمْ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَا فَقَالَ فَذَلِكَ فَضْلِي أُوتِيهِ مَنْ أَشَاءُ (رواه البخاري)
Dari Az-Zuhriy telah mengabarkan kepada saya Salim bin Abdillah bahwa Abdullah bin Umar ra telah berkata, saya telah mendengar Rasulullah saw berkata saat beliau berdiri di atas mimbar : hanya se-sungguhnya sisa waktu kalian yang telah kalian terima dari umat-umat sebelum kalian adalah seperti waktu yang ada antara shalat Ashar hingga terbenamnya matahari. Ahlu Taurah telah diberikan kepa-da mereka Taurah lalu mereka mengamalkannya hingga pertengahan hari, setelah itu mereka tidak sanggup lagi (menjadi lemah) lalu diberikan kepada mereka satu unit pahala yang sangat besar. Ahlul Injil telah diberikan kepada mereka Injil lalu mereka mengamalkannya hingga waktu shalat Ashar, setelah itu mereka tidak sanggup lagi (menjadi lemah) lalu diberikan kepada mereka satu unit pahala yang sangat besar. Kemudian diberikan kepada kalian Al-Quran lalu kalian mengamalkannya hingga saat terbenamnya matahari maka diberikan kepada kalian dua unit pahala yang sangat besar. Ahlu Taurah berkata, wahai Rab kami, mereka itu (umat Islam) amalnya sangat sedikit namun pahalanya lebih besar! Dia (Allah) berkata : apakah Aku telah menzhalimi sesuatu dari pahala kalian? Mereka berkata : tidak sama sekali. Lalu Dia (Allah) berkata lagi : maka demikianlah keutamaan Ku akan Aku berikan kepada siapa saja yang Aku kehendaki!
Dalil tersebut menunjukkan sejumlah pemikiran Islami sebagai berikut :
1.       umat Islam dipastikan sebagai pelanjut estafeta pengelolaan kehidupan manusia di dunia pasca di-akhirinya masa berlaku Kitab Taurah dan lalu Kitab Injil. Tugas tersebut wajib dilaksanakan oleh umat Islam dengan hanya memberlakukan syariah Islamiyah yang bersumber dari Al-Quran. Ada-pun Ahlu Taurah maupun Ahlul Injil, mereka memiliki tiga pilihan yakni : (a) masuk ke dalam Is-lam dengan sadar dan sukarela atau (b) membayar jizyah kepada Khilafah Islamiyah sehingga me-reka dapat tetap dalam agamanya atau (c) jika pilihan pertama dan kedua mereka tolak, maka mere-ka akan diperangi hingga hancur.
2.       dipastikan bahwa Kitab Taurah dan Kitab Injil wajib ditinggalkan oleh seluruh manusia karena te-lah tidak berlaku lagi dan telah digantikan bahkan dihapus oleh Al-Quran.
3.       tugas umat Islam untuk memberlakukan syariah Islamiyah dalam arena kehidupan manusia dimulai sejak hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah hingga berakhirnya kehidupan di dunia. Inilah mengapa (menurut aqal) Allah SWT memberikan pahala dua kali lipat (قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ) dari yang di-berikan kepada Ahlu Taurah maupun Ahlul Injil, yakni karena walaupun waktu yang diberikan ke-pada umat Islam untuk memberlakukan Al-Quran jauh lebih singkat namun realitas kesulitan mau-pun permasalahan kehidupan jauh lebih tinggi. Hal itu ditandai dengan adanya jumlah populasi ma-nusia yang jauh lebih banyak sedangkan daya dukung bumi sendiri jauh lebih rendah dan akan se-makin rendah bahkan semakin dekat kepada saat kehancurannya. Inilah yang dapat dipahamkan da-ri protes yang disampaikan oleh Ahlu Taurah (قَالَ أَهْلُ التَّوْرَاةِ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَقَلُّ عَمَلًا وَأَكْثَرُ أَجْرًا) dan lalu dija-wab oleh Allah SWT : هَلْ ظَلَمْتُكُمْ مِنْ أَجْرِكُمْ مِنْ شَيْءٍ. Dialog tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan قِيرَاطَيْنِ قِيرَاطَيْنِ kepada umat Islam adalah عَدْلٌ dan bukan ظُلْمٌ karena sesuai dengan ting-kat kesulitan yang harus dihadapi oleh umat Islam saat mereka melaksanakan tugas tersebut.
4.       bagian hadits فَذَلِكَ فَضْلِي أُوتِيهِ مَنْ أَشَاءُ menjelaskan bahwa tugas sangat berat dan sulit yang wajib di-pikul oleh umat Islam adalah bentuk pasti keutamaan dari Allah SWT kepada mereka, karena akan menjadi wasilah yang dapat mengantarkan mereka kepada ridla Allah SWT. Selain itu, umat Islam dituntut untuk tidak mengenal lelah (لَنْ يُّقْبَلَ عَجْزُهُمْ) dalam melaksanakan tugas tersebut sebab batas berakhirnya adalah bukan mereka masih sanggup atau sudah tidak sanggup lagi melainkan tiba-nya اَلسَّاعَةُ (ثُمَّ أُعْطِيتُمْ الْقُرْآنَ فَعَمِلْتُمْ بِهِ حَتَّى غُرُوبِ الشَّمْسِ). Realitas ini pun memastikan bahwa risalah Is-lam yang bersumber dari Al-Quran akan terus berlaku sejak diutusnya Nabi Muhammad saw hing-ga tibanya اَلسَّاعَةُ tersebut.
Lalu, apakah yang dapat dipahamkan dari pernyataan Rasulullah saw berikut :
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا (رواه البخاري)
Bahwa Allah berkata kepada penghuni الْجَنَّةِ, wahai penghuni الْجَنَّةِ! Maka mereka pun sama-sama men-jawab لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. Lalu Dia (Allah) berkata : apakah kalian semua ridla? Maka me-reka pun menjawab : wahai Rab, bagaimana mungkin kami tidak ridla padahal Engkau telah membe-rikan kepada kami segala hal yang belum pernah Engkau berikan kepada satu pun dari ciptaan Eng-kau! Ingatlah, Aku (Allah) akan memberikan kepada kalian yang lebih utama dari itu semua! Lalu mereka bertanya : wahai Rab, apakah masih ada sesuatu yang lebih utama dari itu semua? Maka Dia berkata : Aku halalkan kepada kalian keridlaan Ku, kemudian Aku tidak akan pernah memurkai kalian setelah itu untuk selamanya!
Harus diingat bahwa informasi hadits tersebut adalah gambaran dialog antara Allah SWT dengan selu-ruh penghuni الْجَنَّةِ, sehingga mereka seluruhnya adalah orang-orang yang telah berhasil menjalani kehi-dupan selama di dunia dengan sepenuhnya taat kepada Allah SWT. Artinya dengan posisi mereka ter-sebut ada satu hal yang telah dapat dipastikan yakni mereka tidak akan pernah dikeluarkan dari الْجَنَّةِ apalagi dijebloskan ke dalam neraka. Tentu saja realitas itu seluruhnya adalah akibat dari kerja keras, keseriusan, jerih payah dan kesabaran mereka dalam menyelenggarakan kehidupan di dunia dengan memberlakukan semua ketentuan Allah SWT tanpa kecuali. Jadi informasi dari Rasulullah saw terse-but dapat dijadikan jawaban terhadap pertanyaan Allah SWT dalam Al-Quran :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (البقرة : 214)
Apakah kalian menyangka bahwa kalian akan dapat masuk الْجَنَّةَ padahal belum menimpa kalian kea-daan seperti orang-orang yang telah berlalu sebelum kalian, telah menimpa mereka kesadisan dan marabahaya dan mereka dipermainkan dengan sangat brutal hingga Rasul dan orang-orang beriman yang menyertainya berkata : kapan datangnya pertolongan Allah itu? Ingatlah, sungguh pertolongan Allah itu sangat dekat!
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ (آل عمران : 142)
Apakah kalian menyangka bahwa kalian akan dapat masuk الْجَنَّةَ padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kalian dan Dia pun belum mengetahui orang-orang yang shabar.
Dengan demikian, telah dapat dipastikan bahwa penghuni الْجَنَّةَ yang diajak dialog oleh Allah SWT da-lam pernyataan Rasulullah saw tersebut, adalah orang-orang yang sepenuhnya telah memenuhi kualifi-kasi yang ditetapkan dalam Al-Baqarah : 214 dan Ali Imran : 142. Sehingga maksud dari pernyataan Allah SWT kepada penghuni الْجَنَّةَ dalam bagian hadits : أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا adalah sebuah tuntutan bahwa :
لِكَيْ يَكُوْنَ الْمُسْلِمُوْنَ يَنَالُوْنَ رِضْوَانَ اللهِ فَعَلَيْهِمْ اَنْ يُّطِيْعُوْا اللهَ بِالْقِيَامِ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِيْ شَرَّعَهُ اللهُ فِيْ الإِسْلاَمِ
Supaya kaum muslim dapat meraih ridla Allah, maka wajib atas mereka untuk mentaati Allah dengan melaksanakan amal shalih yang telah Allah tetapkan dalam Islam
Oleh karena itu, seluruh dalil yang membahas realitas ridla Allah SWT memastikan bahwa supa-ya umat Islam dapat meraih ridla Allah tersebut, maka satu-satunya cara yang wajib mereka lakukan adalah menyadari tujuan Allah SWT sendiri dalam menciptakan mereka yakni untuk mentaati Nya. Allah SWT menyatakan :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
Dan Aku tidak menciptakan jin maupun manusia kecuali supaya mereka semua mentaati Aku
Harus diingat kesalahan satu-satunya yang telah diperbuat oleh Iblis sehingga dia tidak akan pernah di-beri ampunan oleh Allah SWT bahkan pasti akan dilaknat hingga hari qiyamah dan pasti akan kekal dalam jahannam, adalah karena dia tidak taat kepada Allah SWT saat memerintahkan sujud kepada manusia pertama yakni Adam :
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ (ص : 75)
Dia (Allah SWT) berkata : wahai iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan tangan Aku sendiri, apakah kamu bersikap istikbar ataukah kamu ingin mening-gikan diri sendiri?
Tidak diragukan lagi sikap iblis yang menolak sujud kepada Adam adalah ekspresi nyata dari sikap is-tikbar dan meninggikan diri di hadapan Allah SWT dan tentu saja itu bertentangan dengan sikap taat. Sehingga sangat pantas dan layak Allah SWT tidak akan pernah memberikan ampunan kepada makh-luk terkutuk tersebut untuk selamanya.

Umat Islam saat ini : mungkinkah mereka meraih ridla Allah?
Apabila kualifikasi penghuni الْجَنَّةَ dipetakan kepada realitas umat Islam saat ini maka ternyata ti-dak satu pun dari kualifikasi tersebut yang ditemukan dalam diri mereka, yakni seluruh sikap mereka sama sekali tidak memenuhi kualifikasi tersebut. Hal itu karena kualifikasi tersebut seluruhnya adalah kualifikasi Islami (اَلْقِيَمُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang tiada lain adalah pemikiran-pemikiran Islami yang digali dari dalil-dalil syara dan telah pernah diberlakukan selama lebih dari 1.300 tahun dalam realitas kehidupan manusia di dunia. Artinya kualifikasi tersebut ada dan berlaku saat realitas kehidupan manusia meme-nuhi kategori yang ditetapkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ (رواه الترمذي)
Pokok segala urusan itu adalah Islam dan pilarnya adalah shalat dan perkara yang paling tinggi ni-lainya adalah jihad
Sedangkan saat ini ketiga kategori kehidupan Islami tersebut sepenuhnya telah berubah yakni :
رَأْسُ الْأَمْرِ الْكُفْرُ وَعَمُودُهُ الرَّأْسُمَالِيَّةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الإِسْتِعْمَارِيَّةُ
Pokok segala urusan itu adalah kekufuran dan pilarnya adalah kapitalisme dan perkara yang paling tinggi nilainya adalah penjajahan
Dengan demikian apa pun alasannya dan argumentasinya adalah tidak mungkin umat Islam saat ini dapat memenuhi kualifikasi penghuni الْجَنَّةَ tersebut alias sulit bahkan mustahil bagi mereka untuk berharap menjadi penghuninya. Tapi bukankah ada dalil yang memastikan bahwa umat Islam akan ma-suk الْجَنَّةَ walau mereka melakukan maksiat (zina, mencuri)? Memang benar Rasulullah saw menyata-kan hal tersebut seperti yang terungkap dalam hadits berikut :
أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ (رواه البخاري)
Telah mendatangiku seseorang dari Rabku lalu dia mengabarkan kepadaku, atau beliau berkata, dia menyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa siapa saja yang mati dari umatku dalam keadaan tidak sedikit pun bersikap syirik kepada Allah pastilah masuk الْجَنَّةَ. Saya (Abu Dzar) berkata : dan wa-laupun dia zina, walaupun dia mencuri! Beliau menjawab : walau dia zina dan walau dia mencuri.
Perbuatan zina dan mencuri adalah masuk kategori hudud, sehingga pelakunya akan dijatuhi sanksi se-suai ketetapan dalil tentang sanksi bagi pelakunya tersebut. Pelaku zina jika dia belum pernah menikah maka hadnya adalah 100 kali jilid dan jika dia beristri atau bersuami atau pernah menikah maka hadnya adalah dirajam hingga mati. Pencuri baik pria maupun wanita jika pencurian itu dilakukannya dalam keadaan normal (bukan masa paceklik atau kelaparan atau bencana) dan melebihi nishab seperempat dinar, maka tangannya hingga pergelangan harus dipotong. Lalu setelah pelaku zina menjalani had zina dan pencuri menjalani had pencurian, maka dia akan dibebaskan dari adzab di akhirat nanti, sehingga pastilah دَخَلَ الْجَنَّةَ, asalkan dia memenuhi kualifikasi لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا. Apa realitas sikap syirik itu? Sikap syirik kepada Allah SWT (اَلإِشْرَاكُ بِاللهِ تَعَالَى) adalah sikap yang bertolak belakang dengan realitas ikrar yang ada dalam ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ, yakni لاَ خَالِقَ (tidak ada pencipta), لاَ مَعْبُوْدَ (tidak ada yang wajib dita-ati) dan لاَ مُشَرِّعَ (tidak ada yang menetapkan syariah). Jadi, jika seorang muslim bersikap yang sebalik-nya dari salah satu makna لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ itu maka dia telah bersikap syirik kepada Allah SWT. Jika dia me-yakini ada pencipta selain Allah maka dia bersikap syirik, atau jika dia bersikap taat kepada selain Allah maka dia bersikap syirik, atau jika dia memposisikan selain Allah sebagai berwewenang mene-tapkan syariah maka dia bersikap syirik. Perbuatan syirik tersebut dipastikan tidak akan diampuni oleh Allah SWT, kecuali si pelaku segera bertaubat kepada Allah SWT dan berusaha kembali menjelma se-bagai mukmin yang ikhlas yakni mengembalikan seluruh aspek لاَ اِلَهَ hanya kepada Allah SWT.
Selain itu, karena yang dipastikan tidak akan masuk الْجَنَّةَ adalah yang bersikap اَلإِشْرَاكُ بِاللهِ تَعَالَى, se-dangkan ada pernyataan Rasulullah saw berikut :
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى (رواه البخاري)
Setiap umatku pasti akan masuk الْجَنَّةَ kecuali seseorang yang bersikap أَبَى. Mereka (para sahabat) ber-tanya : dan siapakah yang bersikap أَبَى itu? Beliau menjawab : siapa saja yang mentaatiku pastilah dia masuk الْجَنَّةَ dan siapa saja yang membangkangku maka sungguh dia telah bersikap أَبَى.
maka sikap اَلإِشْرَاكُ بِاللهِ تَعَالَى adalah sama realitasnya dengan sikap أَبَى. Sikap أَبَى manusia kepada Allah SWT maupun Rasulullah saw adalah muncul dari keyakinan tentang adanya pihak lain (dirinya mau-pun selain dirinya) yang layak dan pantas untuk ditaati serta berwewenang untuk menetapkan peraturan (syariah). Inilah sikap yang untuk pertama kalinya sejak Allah SWT menciptakan manusia diperlihat-kan oleh Iblis yakni saat dia menolak perintah sujud kepada Adam :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (البقرة : 34)
Dan ingatlah ketika Kami (Allah) berkata kepada malaikat : sujudlah kalian semua kepada Adam! La-lu mereka semua pada sujud kecuali iblis, dia (iblis) bersikap أَبَى dan istikbar dan dia adalah bersikap kufur.
Sikap أَبَى dan istikbar adalah sikap orisinal dan pasti yang ada dalam diri kaum kufar (termasuk iblis), sehingga mereka (termasuk iblis) dipastikan tidak akan pernah masuk الْجَنَّةَ. Sikap kaum musyrik pada hakikatnya identik dengan sikap kaum kufar yakni sama-sama bersikap أَبَى dan istikbar, sehingga mere-ka pun dipastikan tidak akan pernah masuk الْجَنَّةَ. Lalu, apakah umat Islam saat ini telah memperlihat-kan sikap أَبَى dan istikbar tersebut?
Kepastiannya adalah ditunjukkan oleh realitas perjalanan umat Islam sendiri paling tidak sejak tanggal 3 Maret 1924 yakni telah berlangsung lebih dari 85 tahun. Selama itu hingga detik ini, mereka (sebagian sangat besarnya) tidak peduli terhadap fakta kehidupan yang telah, tengah atau bahkan akan dijalani, apakah Islami (رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ) ataukah sebaliknya yakni sama se-kali tidak Islami (رَأْسُ الْأَمْرِ الْكُفْرُ وَعَمُودُهُ الرَّأْسُمَالِيَّةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الإِسْتِعْمَارِيَّةُ)? Kesediaan dan kerelaan mereka untuk hidup di dunia berbasis aqidah kufur sekularisme beserta sistema turunannya yakni demokrasi dan kapitalisme, tidak dapat disangkal lagi merupakan bukti pasti dari sikap أَبَى dan istikbar. Tapi, bu-kankah tidak semua umat Islam memahami realitas aqidah kufur beserta sistema turunannya itu, se-hingga tidak dapat semuanya dikategorikan sebagai bersikap أَبَى dan istikbar?
Memang benar tidak semua umat Islam demikian bahkan sebagian besarnya adalah sama sekali tidak memahami realitas kekufuran (begitu juga tentang realitas Islam). Namun, hal itu tidak boleh di-jadikan alasan pembenar, sebab pada faktanya mereka dapat dengan mudah mengakses secara aktif se-luruh informasi tentang sistema kufur tersebut, bahkan seandainya mereka diam pasif sekali pun dapat dipastikan informasi yang dimaksudkan akan secara otomatis menghampiri mereka. Hal itu karena sei-ring dengan semakin loyalnya umat Islam kepada sistema kufur tersebut, maka propaganda maupun ak-tivitas penyampaian informasi sistem kufur itu semakin gencar dan nyaring bagai membelah langit dan itu ditujukan terutama kepada kaum muslim yang masih belum atau masih enggan atau masih malu-malu untuk berpihak kepada sistem kufur tersebut. Jadi, masih adakah alasan ضَرُوْرِيٌّ yang dapat digu-nakan oleh umat Islam saat ini untuk membenarkan sikap mereka selama ini? Tidak ada.
Sebagai tambahan pemikiran yang semakin memastikan bahwa sebagian sangat besar umat Islam saat ini telah dan selalu memperlihatkan keberpihakannya kepada sistem kufur sekaligus sangat mem-benci Islam, adalah pernyataan Rasulullah saw dalam bentuk du’a berikut :
اَللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنْ الرَّاشِدِينَ اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِينَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِينَ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا مَفْتُونِينَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَهَ الْحَقِّ (رواه احمد)
Ya Allah, jadikanlah bagi kami kecintaan kepada iman dan jadikanlah iman itu hiasan dalam pikiran kami. Jadikanlah bagi kami kebencian kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang cerdas. Ya Allah, matikanlah kami sebagai muslimin dan hidupkanlah kami sebagai muslimin dan tetapkanlah kami bersama-sama dengan kaum shalihin dan bukan dengan kaum yang terkena kehinaan maupun tertimpa kekufuran. Ya Allah, binasakanlah kaum kufar yang se-lalu mendustakan para Rasul Mu dan selalu menghalangi manusia dari jalan Mu dan jadikanlah kehi-naan dan adzab dari Mu hanya bagi mereka. Ya Allah, binasakanlah kaum kufar yang telah diberikan kepada mereka kitab yang menginformasikan tentang Tuhan yang sebenarnya.
Seluruh isi du’a Rasulullah saw tersebut adalah tuntutan wajib kepada umat Islam untuk mengaktuali-sasikan seluruh realitas yang diminta kepada Allah SWT itu dalam diri mereka (pikiran, perasaan dan sikap). Lalu, apakah umat Islam saat ini telah mensifati dirinya dengan semua perkara yang disampai-kan dalam du’a Rasulullah saw tersebut, atau paling tidak apakah mereka telah berusaha keras dan seri-us untuk mensifatinya? Tidak sama sekali.

Khatimah
Umat Islam generasi السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ maupun tabi’in yang telah mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya secara pasti berhasil meraih ridla Allah SWT. Tentu saja keutamaan yang paling tinggi dari Allah SWT tersebut merupakan akibat dari sikap mereka selama hidup di dunia yang sepenuhnya taat kepada Allah SWT dan Rasulullah saw.
Umat Islam generasi pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah maupun generasi berikutnya yang akan terlahir selama Khilafah Islamiyah belum tegak kembali, dipastikan mustahil dapat meraih ridla Allah SWT dengan cara apa pun. Hal itu karena pola kehidupan mereka selama ini sama sekali tidak akan pernah mengantarkan mereka kepada ridla Allah SWT dan yang pasti realitas kehidupan mereka saat ini dipastikan akan mengantarkan mereka kepada سُخْطُ اللهِ. Hal itu pasti demikian walau mereka selalu berdu’a kepada Allah SWT dengan lafadz du’a :
اَللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنْ الرَّاشِدِينَ اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِينَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِينَ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا مَفْتُونِينَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَهَ الْحَقِّ (رواه احمد)
Ya Allah, jadikanlah bagi kami kecintaan kepada iman dan jadikanlah iman itu hiasan dalam pikiran kami. Jadikanlah bagi kami kebencian kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang cerdas. Ya Allah, matikanlah kami sebagai muslimin dan hidupkanlah kami sebagai muslimin dan tetapkanlah kami bersama-sama dengan kaum shalihin dan bukan dengan kaum yang terkena kehinaan maupun tertimpa kekufuran. Ya Allah, binasakanlah kaum kufar yang se-lalu mendustakan para Rasul Mu dan selalu menghalangi manusia dari jalan Mu dan jadikanlah kehi-naan dan adzab dari Mu hanya bagi mereka. Ya Allah, binasakanlah kaum kufar yang telah diberikan kepada mereka kitab yang menginformasikan tentang Tuhan yang sebenarnya.

1 comment:

  1. 10 Best Titanium Damascus Blades For Gendev - TITanium-arts
    10 Best Titanium Damascus Blades For Gendev titanium automatic watch - TITanium-arts. · 10 Best titanium sheet metal Titanium raft titanium Damascus Blades titanium helix earrings For Gendev - TITanium-arts. · 10 2018 ford ecosport titanium Best Titanium Damascus Blades For Gendev - TITanium-arts.

    ReplyDelete