Rivalitas antar lembaga negara : keniscayaan dalam demokrasi!
Trias Politica menggariskan terjadinya separation of power
dalam negara kebangsaan yang me-nganut sistem pemerintahan demokrasi, yakni
eksekutif (pelaksana alias pemerintah), legislatif (pem-buat
perundang-undangan) dan yudikatif (lembaga peradilan alias justice).
Konsep ini dirumuskan se-bagai antithesis terhadap kekuasaan absolut yang
tengah berlangsung di Benua Eropa terutama di Kera-jaan Perancis yang saat itu
ditunjukkan oleh dua simbol yakni guillotine dan Bastille.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu negara
kebangsaan di dunia yang juga menganut serta mempraktikkan Tria Politica, yakni
:
1.
eksekutif yaitu pemerintah : presiden plus para pembantunya
(kabinet menteri, Kejaksaan Agung, Polri, TNI dan sebagainya) beserta
pemerintah daerah (pemprov, pemkab, pemkot)
2.
legislatif yaitu parlemen : Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta
DPRD (DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota)
3.
yudikatif yaitu MA (Nasional), Pengadilan Tinggi (Provinsi) dan
Pengadilan Negeri (Kabupaten)
Walaupun demikian dalam pratiknya sangat
nampak terjadinya daerah persinggungan bahkan daerah pertumpang
tindihan (over lapping) di antara ketiga lembaga kenegaraan
versi Trias Politica tersebut. Sebagai contoh :
a.
eksistensi Kejaksaan Agung, Polri serta menteri yang menangani
persoalan hukum dan perundang-an di eksekutif sangat jelas telah melanggar
batas atau telah bersinggungan dengan atau telah bertumpang
tindih dengan wilayah kekuasaan yudikatif.
b.
adanya kewenangan pihak eksekutif untuk mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) kepada pihak legislatif bahkan untuk kasus di NKRI hampir
sebagian besar undang-undang yang disahkan oleh DPR selalu RUU-nya berasal dari
pemerintah.
c.
kewenangan menyusun anggaran dan pendapatan negara (APBN) adalah
di tangan eksekutif, na-mun demikian pihak DPR memiliki hak untuk menyusun APBN
tersebut yang disebut hak budget.
d.
otoritas penyelidikan dan penyidikan suatu perkara pidana yang
dilakukan oleh pejabat negara ada-lah di tangan Polri dan Kejaksaan Agung,
namun demikian DPR pun memiliki hak yang serupa de-ngan itu yakni hak angket.
Daerah persinggungan atau pertumpang tindihan
ternyata tidak hanya terjadi antar lembaga lintas wila-yah Trias Politica tapi
juga berlangsung antar lembaga intra suatu bagian dari kekuasaan (power)
itu sendiri. Contohnya adalah di eksekutif yakni antara Polisi, Kejaksaan dan
KPK (Komisi Pemberanta-san Korupsi). Polisi, Kejaksaan bersama dengan yudikatif
adalah tiga lembaga negara yang memiliki otoritas penuh dalam penegakkan hukum
di NKRI. Seluruh jenis pelanggaran atau tindak kejahatan ter-masuk korupsi,
suap dan penyalahgunaan wewenang, berada dalam genggaman wewenang ketiga
lem-baga tersebut. Artinya Polisi dan Kejaksaan (bersama yudikatif) memiliki
wilayah otoritas yang sama yakni penegakkan hukum di NKRI.
Namun demikian, pada praktik dan perjalanannya sering terjadi
ketidakberdayaan dua lembaga negara tersebut dalam melaksanakan tugasnya
sehingga memunculkan keinginan banyak pihak teruta-ma para pemangku kepentingan
(stake holder) yang terkait, untuk membentuk atau membangun lemba-ga
setingkat komisi yang direkayasakan dapat mendampingi sekaligus menyempurnakan
kinerja Polisi dan Kejaksaan. Inilah latar belakang yang memicu dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, dulunya adalah Komisi Nasional Pemberantasan
Korupsi/KNKP) termasuk lembaga peradilan tersen-diri di luar yudikatif (ad
hoc) yang dikhususkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi (dikenal
dengan Pengadilan Tipikor).
Realitas Khalifah dan Khilafah Islamiyah
Struktur Khilafah Islamiyah (اَجْهِزَةُ الْخِلاَفَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) : menutup celah
terjadinya rivalitas
Khatimah
No comments:
Post a Comment