Saturday, November 9, 2013

SAKIT IDEOLOGIS BEROBAT SPIRITUAL : MUNGKINKAH?


Aksi menyakitkan orang-orang sakit ideologis
Tabloid Republika DIALOG JUMAT (12 Juni 2009) dalam pengantar tema besar “lebih Religius, Lebih Produktif Bekerja” menyatakan : ada yang mewajibkan karyawannya berjilbab, ada pula yang menggiatkan shalat berjamaah dan kultum. Membudayakan praktek spiritual di tempat kerja kini men-jadi solusi paling efektif dalam mengubah pola pikir materialistis ke arah yang lebih religius demi me-ningkatkan produktivitas kerja.
Seluruh karyawan dan jajaran direksi PT Asuransi Syariah Mubarakah, setiap pagi mulai pukul 07.30 WIB, secara rutin melaksanakan shalat Dhuha serta menggelar doa bersama : Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Kami memohon kepada-Mu ya Allah. Lindungilah kami, seluruh nasabah kami dan umat Islam di permukaan bumi-Mu. Berikanlah kesehatan kepada kami dan mereka semua. Jadikanlah SDM kami seperti para sahabat Rasul-Mu yang hati mereka telah tersentuh oleh ayat-ayat-Mu untuk memperjuangkan agama-Mu. Direktur Utama PT Asuransi Syariah Mubarakah, Dr. Ir. Salim al-Bakry menyatakan : kondisi dan suasana ini, dapat pula semakin mengakrabkan satu karyawan dengan yang lainnya, juga dengan pimpinan. Mereka saling menghargai, karena ada nilai-nilai keislaman di situ. Kebersamaan yang merupakan intisari ibadah, juga menjadi penekanan dalam pengelolaan perusaha-an. Tak hanya itu, kegiatan kerohanian juga sebagai bagian upaya menginternalisasi nilai-nilai syari-ah dalam perilaku. Jadi tidak hanya sebatas slogan. Tujuan dari kegiatan ini terutama untuk memom-pa semangat para karyawan, bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Kalau sudah diikrarkan se-perti itu, maka tidak ada lain kecuali kita bekerja keras, cerdas tapi dilandasi dengan keikhlasan dan digerakkan dengan pola berjamaah.
Muhammad Bhakty Kasri (pendiri dan chairman) PT Pandu Siwi Sentosa yang bergerak di bi-dang logistik menyatakan : pihaknya menerapkan tujuh sunah Rasul di lingkungan kerja mereka. Anta-ra lain shalat fardhu berjamaah, shalat Tahajjud dan Witir, shalat Dhuha, puasa Senin-Kamis, sede-kah, membaca Alquran dan menjaga wudhu. Hasilnya adalah perusahaan kami terasa makin berkah. Segala urusan Allah permudah. Produktivitas karyawan pun meningkat, karena mereka bekerja makin semangat dan yakin bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Pemilik Ayam Bakar Wong Solo Group, Puspo Wardoyo menyatakan : saat rekrutmen karyawa-ti, salah satu persyaratan yang kami tetapkan adalah berjilbab. Selain itu, setiap calon karyawan ha-rus bisa membaca Alquran. Khusus para manajer harus bisa memberikan kultum.
Dwi Wahyono (Public Relations PT Zahir Internasional) menyatakan : tiap masuk waktu shalat kami menganjurkan para karyawan untuk shalat berjamaah di masjid dekat kantor.
Hudzaifah Ismail dalam bukunya Kantorku Masjidku menyatakan : kini mulai tumbuh kesadaran di perusahaan dengan manajemen modern untuk membangun kultur spiritual, tak hanya menekankan pada aspek materialisme semata. Dalam lingkungan kerja yang cuma berorientasi keuntungan dunia-wi, dikhawatirkan dominasi pola pikir yang materialistis begitu kuat menyelimuti para pekerjanya. Ja-dilah, tujuan mereka hanya untuk mengejar harta, jabatan dan popularitas. Demi memenangkan per-saingan segala cara pun dilakukan. Dengan kondisi seperti itu, amat sulit berharap kantor dapat men-jadi tempat yang nyaman untuk bekerja. Itulah yang kemudian memunculkan gagasan kembali ke nilai-nilai spiritual. Berbagai metode untuk mengatasi kesulitan manajemen dan sumber daya manusia, dikembangkan, hingga muncul istilah-istilah Manajemen Qalbu, Emotional and Spiritual Quation (ESQ), Manajemen Spiritual dan banyak lagi. Tujuannya jelas, yakni bagaimana mengubah SDM di perusahaan agar memiliki semangat kerja tinggi, jujur, disiplin, dan kreatif, sehingga mampu membe-rikan nilai tambah lebih baik.
Pimpinan Majelis Zikir al-Matsuraat, Ustadz Subki Al-Bughuri menyatakan : kegiatan keagama-an di kalangan pekerja kantoran di kota-kota besar merupakan sarana tepat untuk menyeimbangkan gerak kesibukan duniawi yang setiap hari mereka hadapi. Lebih tepatnya, untuk mengisi dahaga akan nilai-nilai spiritual di tempat kerja. Adanya siraman rohani itu, tak hanya memberikan dampak positif terhadap diri, melainkan pula perusahaan tempatnya mencari nafkah. Kalau suasana rohaninya ba-gus, dia percaya la ilaha illallah, maka dia akan jadi orang yang amanah dan takut akan akhirat.
Ketua PBNU KH. Said Aqil Siraj menyatakan : masyarakat kelas menengah perkotaan tersebut terus belajar dan belajar untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya sebagai seorang hamba. Se-mangat keberagamaan kian tumbuh dengan subur. Diharapkan, nilai-nilai spiritualitas turut memper-baiki sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, tetangga, masyarakat, mau-pun kantor.
Dosen Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Dr. Ibdalsyah menilai : kultur spiritual se-macam itu dapat membuat suasana kerja lebih akrab dan kondusif. Hasilnya, bekerja jadi lebih efektif serta berkah.
Mereka (seluruh karyawan dan jajaran direksi PT Asuransi Syariah Mubarakah, Muhammad Bhakty Kasri, Puspo Wardoyo, Dwi Wahyono) adalah sebagian kecil dari para pelaku usaha alias bis-nis yang berlangsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipastikan memberla-kukan sistem perekonomian kapitalisme hingga detik ini. Mereka secara empirik menyadari (walau ti-dak diakui secara eksplisit) bahwa :
1.       perjalanan mekanisme perusahaan (apa pun) dalam sistem perekonomian kapitalisme telah dengan pasti mengarahkan semua orang yang terlibat (langsung maupun tidak) di dalamnya kepada pola pikir materialistis.
2.       adanya tuntutan untuk dapat memenangkan persaingan (free fight liberalisms) sehingga keluar se-bagai pemenang mutlak (survival of the fittest), telah mendorong semua pihak menghalalkan segala cara (apa pun dan dari mana pun). Akibatnya adalah perusahaan menjadi tidak mungkin sebagai tempat yang nyaman (comfortable) untuk bekerja, juga pola interaksi antar karyawan maupun anta-ra karyawan dengan jajaran pimpinan sama sekali tidak manusiawi sebab hanya didasarkan kepada upaya bagaimana agar perusahaan dapat bertahan dan selalu untung.
3.       pola kerja dalam perusahaan yang tidak manusiawi tersebut secara pasti memunculkan kejenuhan yang pada gilirannya mengantarkan semua orang untuk bersikap skeptis yang akhirnya, mau atau pun tidak, akan berimbas kepada penurunan produktivitas kerja.
Kesadaran terhadap keharusan untuk menyelamatkan keberlangsungan perusahaan dengan selalu men-jaga produktivitas kerja tetap tinggi, telah mendorong jajaran direksi untuk memformulasikan “resep” yang dianggap akan dapat menjadi obat ampuh untuk menyembuhkan penyakit perusahaan yang ter-nyata bersumber dari sumber daya manusianya (SDM) yang tengah dilanda sakit parah nan kronis. Re-sep tersebut adalah membudayakan praktek spiritual di tempat kerja seperti doa bersama sebelum mu-lai bekerja, shalat fardlu berjamaah, kultum, siraman rohani, puasa Senin dan Kamis, shalat Dluha, khataman Al-Quran, selalu berwudlu dan sebagainya. Bahkan keampuhan resep tersebut dianggap te-lah terbukti yakni dengan adanya karyawan yang semakin semangat bekerja sehingga produktivitas kerja mereka semakin tinggi. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan :
a.       Hasilnya adalah perusahaan kami terasa makin berkah. Segala urusan Allah permudah. Produkti-vitas karyawan pun meningkat, karena mereka bekerja makin semangat dan yakin bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT (Muhammad Bhakty Kasri : pendiri dan chairman PT Pandu Siwi Sentosa)
b.       Tujuan dari kegiatan ini terutama untuk memompa semangat para karyawan, bahwa bekerja ada-lah bagian dari ibadah. Kalau sudah diikrarkan seperti itu, maka tidak ada lain kecuali kita beker-ja keras, cerdas tapi dilandasi dengan keikhlasan dan digerakkan dengan pola berjamaah (Direk-tur Utama PT Asuransi Syariah Mubarakah : Dr. Ir. Salim al-Bakry)
Keyakinan para CEO (Chief Executive Officer) terhadap keampuhan resep spiritualistik tersebut sangat disambut setuju dan diamini oleh sejumlah “dokter spiritualis” seperti Hudzaifah Ismail, Ustadz Subki Al-Bughuri, KH. Said Aqil Siraj, Dr. Ibdalsyah dan lainnya. Artinya, baik para CEO maupun pa-ra dokter spiritualis sepakat bahwa obat yang hingga detik ini dianggap paling ampuh untuk menyem-buhkan penyakit tersebut adalah resep spiritualistik.
Wal hasil, itulah gerak gerik orang-orang sakit (سُلُوْكُ الرِّجَالِ الْمَرِيْضِ) yang sangat menyakitkan pi-kiran dan perasaan seluruh umat Islam yang telah menyadari keniscayaan memisahkan Islam dan keku-furan, lalu membedakan keduanya secara hitam putih. Gagasan dan sikap orang-orang tersebut bahkan sedikit atau banyak telah sangat menyulitkan upaya untuk menghadirkan perbedaan hitam putih antara Islam dengan kekufuran ke hadapan penginderaan umat Islam, apalagi seluruh manusia. Bagaimana ti-dak demikian, sebab dengan adanya sikap mereka untuk menggunakan resep spiritualistik (yang mere-ka ambil dari sebagian syariah Islamiyah) sebagai obat mujarab bagi berbagai penyakit “perasaan dan pikiran” (mereka anggap sebagai penyakit “mental atau jiwa”) yang muncul akibat diberlangsungkan-nya mekanisme perusahaan dalam naungan seluruh ketentuan sistem perekonomian kapitalisme, telah menempatkan ideologi kapitalisme sebagai benar yakni sama dengan Islam dan keduanya dapat di-persatukan demi kemanusiaan dan kesejahteraan mereka. Walau sangat menyakiti pikiran dan perasaan namun sikap para CEO tersebut masih dapat dikategorikan wajar dan lumrah sebab realitas mereka adalah sama sekali tidak memiliki pemahaman apa pun baik tentang Islam maupun kekufuran (kapita-lisme). Namun sikap mendukung, apresiatif dan “mengamini” yang diperlihatkan secara vulgar oleh para dokter spiritualis yang notabene adalah para tokoh panutan umat Islam terhadap sikap para CEO, tentu saja sangat lebih menyakitkan lagi. Hal itu karena yang seharusnya (yakni pantas dan layak) di-lakukan oleh para tokoh panutan umat tersebut bukanlah bersikap setuju atau membenarkan realitas salah (menurut Islam) yang dilakukan oleh orang-orang awam, melainkan sebaliknya mereka wajib mengoreksinya sekaligus menjelaskan perkara yang benar dan yang seharusnya dilakukan. Tetapi itu-lah hakikat mereka yang memang hanya dapat melakukan tindakan salah dan salah serta mereka sesat dan menyesatkan orang lain. Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِي فِي النَّاسِ رُءُوسًا جُهَّالًا يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ (رواه مسلم)
Sungguh Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia begitu saja, melainkan Dia akan mengambil para ulama lalu ilmu pun hilang bersama kepergian mereka dan yang akan tersisa di tengah manusia adalah tokoh-tokoh bodoh (رُءُوسًا جُهَّالًا). Mereka akan memberikan fatwa kepada manusia tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.

Sakit ideologis berobat dengan spiritual : sungguh menggelikan!
Perjalanan kehidupan manusia di dunia paling tidak sejak berakhirnya Perang Dunia I hingga de-tik ini, memastikan bahwa Kapitalisme adalah satu-satunya ideologi yang masih diberlakukan dan ma-kin diperkokoh pemberlakuannya melalui berbagai istrumen perekonomian yang diterapkan di seluruh negara kebangsaan yang ada. Oleh karena itu, baik itu kemajuan (menurut kualifikasi Ideologi Kapita-lisme) maupun kemunduran termasuk ketimpangan alias “penyakit”, seluruhnya dan seutuhnya adalah akibat dari pemberlakuan ideologi materialistik tersebut.
Kebutuhan pokok manusia : makanan-minuman, pakaian dan rumah, dalam kapitalisme benar-benar dieksploitasi dan dielaborasikan sebagai objek yang dipastikan akan memberikan keuntungan sa-ngat besar dan bersifat sustainable (berkelanjutan) lalu diwujudkan dalam bentuk industri dengan bera-gam jenis maupun penampakkannya. Industri makanan, minuman, pakaian dan perumahan, seluruhnya adalah bagian dari sektor riil yang sangat berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi maupun tingkat inflasi. Ketika mekanisme kapitalistik tersebut berlangsung di negeri-negeri non Islam (Dunia Kristia-ni, Dunia Hindu, Dunia Buddhis dan sejenisnya) maka akan sangat jarang ditemukan atau terjadi perso-alan, baik berhubungan dengan “sebab-sebab kepemilikan” maupun penggunaannya. Artinya, di dunia non Islam tidak akan ditemukan konflik ideologis antara rakyat orang per orang beserta latar belakang agamanya dengan sistem perekonomian kapitalisme yang tengah diberlakukan. Sebaliknya, ketika me-kanisme kapitalistik tersebut berlangsung di negeri-negeri Islam (Dunia Islam) maka hampir akan sela-lu terjadi persoalan sehubungan dengan Islam sebagai agama mayoritas penduduk dengan kapitalisme sebagai sistem perekonomian negara. Haramnya riba dalam Islam vs bunga bank, haramnya judi vs promo produk berhadiah (atau lainnya seperti SMS berhadiah), wajibnya seorang istri minta ijin suami saat akan keluar rumah vs realitas TKW di luar negeri, haramnya babi vs obat atau kosmetik berbahan babi (maupun produk turunannya), presiden vs Khalifah, negara kebangsaan vs Khilafah, pluralisme vs Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan sebagainya.
Kapitalisme hanya memiliki satu pertimbangan nilai (اَلْقِيْمَةُ) yakni nilai materi (اَلْقِيْمَةُ الْمَادِّيَةُ) yang harus menjadi asas seluruh perbuatan manusia di dunia. Nilai materi mengharuskan segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia harus menghasilkan materi (harta alias اَلْمَالُ) atau dipastikan bahwa per-buatan tersebut akan mengantarkan kepada suatu keadaan yang akan mempermudah meraih materi (ke-dudukan, prestise, citra dan sebagainya). Oleh karena itu, dalam negara kebangsaan kapitalistik antara rumah sakit, sekolah, restoran, pabrik mobil, pabrik motor, pabrik tekstil, bengkel mobil, bengkel mo-tor dan sebagainya adalah sama saja yakni sama-sama sebagai money machine (mesin uang). Sebagai contoh, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta yang lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Gatot Subroto adalah mesin uang bagi TNI AD, Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) adalah mesin uang bagi Pertamina, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) adalah mesin uang bagi Pemda Jabar dan seterusnya. Demikian juga antara negara dengan perusahaan adalah sama, yaitu sama-sama mencari ke-untungan, prestise, citra dan tidak pernah mau mengalami kerugian.
Jadi, perusahaan atau industri apa pun baik produknya berupa barang maupun jasa hanya memili-ki satu tujuan yakni meraih keuntungan semaksimal mungkin dengan cara apa pun, termasuk berbuat curang (pemalsuan bahan baku atau produk), penggunaan bahan baku berbahaya asal murah, penyerta-an bahan-bahan tidak layak atau berbahaya untuk manusia dan sebagainya. Seluruhnya dilakukan de-ngan tujuan untuk meminimalisir biaya produksi sehingga otomatis akan semakin memperbesar keun-tungan. Mekanisme inilah juga yang berlaku di industri rumah sakit, transportasi, restoran maupun se-kolah.
Penetapan fasilitas rumah sakit yang berjenjang, yakni ada VVIP, VIP, Kelas Utama, Kelas Satu, Kelas Dua dan Bangsal, tentu saja ditujukan bagi upaya mencapai target keuntungan maksimal tanpa harus kehilangan “citranya” selaku rumah sakit yang sangat dekat dengan nilai kemanusiaan. Demi me-raih keuntungan itu juga, rumah sakit akan melakukan efisiensi pada “faktor produksi” alias pembiaya-an termasuk jumlah tenaga medis misalnya dokter. Akibatnya dapat dipastikan yakni selain kualitas pelayanan kepada pasen akan semakin rendah (berpacu dengan waktu) juga akan semakin memperbe-sar peluang terjadinya kesalahan tindakan medis alias mal praktek. Artinya, kasus-kasus mal praktek yang selalu terjadi setiap saat dan di rumah sakit mana pun, adalah fakta yang tidak mengejutkan sebab hal itu justru “diharuskan” terjadi secara sistemik. Kasus-kasus tersebut akan semakin sering terjadi bila mengingat posisi tawar maupun posisi well knowledge pihak pasen adalah sangat rendah bahkan mungkin sama sekali tidak ada.
Kasus hilangnya pesawat Adam Air di sekitar perairan Majene pada 1 Januari 2007 lalu ternyata akibat adanya strategi perusahaan tersebut untuk mencapai target biaya operasional (bahan bakar) se-minimal mungkin dan itu dilakukan dengan cara merubah rute tempuh selurus mungkin dari kota asal menuju kota tujuan. Penggunaan pesawat bekas dengan usia pakai yang telah lanjut (lebih dari 10 ta-hun) adalah tidak lepas dari strategi yang sama. Tenggelamnya kapal Senopati Nusantara, terbakarnya kapal Levina II, terbakarnya kapal Merpati Nusantara dan lainnya termasuk tenggelamnya kapal Tam-pomas II di masa Orde Baru, seluruhnya adalah akibat penerapan strategi biaya seminimal mungkin untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin. Hal itu dapat dipastikan demikian terlepas dari apakah kecelakaan tersebut akibat human error atau kerusakan alat atau faktor alam maupun lainnya. Demiki-an juga para sopir angkutan umum yang “ugal-ugalan” plus kondisi kendaraan yang sebenarnya tidak laik jalan, semakin menjadi faktor penambah peluang terjadinya kecelakaan di jalan darat.
Restoran dan industri kuliner lainnya juga memberlakukan prinsip ekonomi kapitalistik yang sa-ma. Penggunaan pemanis sintetik, pewarna kimiawi, pengawet, penyedap rasa, pengembang dan seba-gainya yang sama sekali tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia, atau penggunaan daging ayam bangkai, pemalsuan daging sapi dengan daging babi, daging sapi glonggongan (disuntik air) dan seba-gainya, adalah tindakan praktis para pengusaha industri kuliner dalam “mematuhi” garis ketentuan ka-pitalisme. Akibatnya dapat dipastikan yakni tubuh manusia telah menjadi keranjang sampah racun maupun bahan-bahan berbahaya lainnya yang secara otomatis mengkondisikan sistem tubuh sangat mudah terjangkit penyakit induktif, seperti kanker, stroke, gagal ginjal, kelainan jantung, gangguan pencernaan, gangguan sirkulasi darah, radang otak dan sejenisnya. Lalu, setelah tubuh manusia begitu rapuh dan rentan terhadap beragam penyakit tersebut, maka industri rumah sakit dan obat sudah siap “menerkam” sang pasen dengan kualitas layanan medis maupun obat yang sangt rendah kualitasnya namun dengan harga yang sangat mahal. Jadi, ibarat lepas dari mulut buaya lalu masuk mulut harimau.
Hal dan realitas yang sama persis adalah berlangsung di dunia pendidikan, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta. Seluruhnya yakni “penyakit” di perusahaan, rumah sakit, transportasi, kuliner, sekolah dan lainnya, harus dikembalikan kepada sistema yang mendasari dan menaungi perja-lanan semua jenis industri tersebut : Ideologi Kapitalisme. Jadi, semuanya adalah penyakit ideologis (ideological sickness) yang bersumber dari ideologi buatan tangan manusia yang sangat tidak layak un-tuk mendasari kemanusiaan : Ideologi Kapitalisme.
Wal hasil, semua program pengobatan spiritualistik dengan resep obat yang juga spiritualistik dan dilakukan oleh para dokter spiritualis yang diselenggarakan oleh berbagai perusahaan kelas kakap di kota-kota besar (misal Jakarta), adalah realitas yang sangat menggelikan. Hal itu karena sangatlah mustahil mengobati penyakit dengan cara yang sangat sembrono dan sama sekali tidak mengetahui pe-nyebab munculnya semua penyakit tersebut. Hakikat inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (الزمر : 9)
Katakanlah (olehmu Muhammad) apakah sama antara realitas orang-orang yang memiliki ilmu de-ngan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Hanya sesungguhnya orang-orang yang memiliki aqal sajalah yang dapat meraih pengertian dari peringatan.

Penyakit ideologis vs obat ideologis : keniscayaan dalil aqliy!
Ketika ditanya (oleh Tabloid Republika DIALOG JUMAT) pendapatnya tentang semangat keaga-maan yang semakin tumbuh di lingkungan perkantoran, Ustadz Subki Al-Bughuri menyatakan : ini adalah buah dari kesadaran bahwa di tengah kesibukan mereka, ternyata masih ada satu kekosongan, kekeringan bathin, sehingga mereka perlu thalabul ilmi (menuntut ilmu).
Pendapat Pimpinan Majelis Zikir al-Matsuraat tersebut semakin memastikan posisinya sebagai dokter spiritualis yang setiap saat selalu mencari resep spiritualistik baru yang lebih ampuh lagi untuk mengobati berbagai penyakit “bathin” yang telah lama maupun baru saja muncul dalam diri para pela-ku bisnis mulai dari karyawan biasa hingga CEO. Artinya bagi dia (juga yang setipe dengannya) pe-nyelenggaraan berbagai kegiatan kerohanian alias kebathinan alias keagamaan di lingkungan industri baik itu perusahaan, rumah sakit, sekolah, restoran maupun lainnya, hingga saat merupakan formulasi resep spiritualistik yang sangat tepat dan ampuh untuk mengobati beragam penyakit “bisnis” tersebut (business illness). Bahkan dia mengklaim bahwa kegiatan seperti itu telah dicontohkan oleh paling tidak para sahabat Nabi Muhammad saw : untuk para sahabat, kalau sudah menyangkut urusan akhirat bisa dikatakan mereka sangat ekstreem tawakalnya kepada Allah.
Demikianlah, peta mantapnya pemikiran kisruh yang semakin mengkristal dalam pemikiran dan perasaan sebagian sangat besar umat Islam. Mereka sepakat (secara empirik, namun tanpa pemahaman) bahwa sistem perekonomian kapitalisme yang tengah diberlakukan dalam kehidupan umat Islam telah memunculkan penyakit mental, bathin dan spiritual. Lalu mereka juga sepakat bahwa obat yang paling ampuh untuk penyakit tersebut adalah kegiatan kerohanian alias keagamaan yang isinya diambil dari beberapa bagian pemikiran syariah Islamiyah. Lalu, apakah gagasan atau pemikiran tersebut dapat di-benarkan baik dari sisi realitasnya (dalil aqliy) maupun berdasarkan dalil naqliy.
Sekali lagi, pemberlakuan Ideologi Kapitalisme secara global selama hampir satu abad, telah me-nyebabkan tidak hanya penyakit kemanusiaan (humanity sickness) bahkan lebih mengerikan lagi dari itu yakni kebinasaan kehidupan kemanusiaan itu sendiri. Realitas ini dapat diindera oleh seluruh manu-sia karena terpampang sangat nyata di hadapan mereka, baik itu dalam kondisi normal (tidak ada krisis atau gejolak) maupun apalagi saat terjadinya krisis seperti resesi ekonomi sekarang yang telah mema-suki tahun kedua. Jadi secara dalil aqliy, telah diketahui dengan pasti bahwa penyebab seluruh persoa-lan, ketimpangan hidup dan kebinasaan kemanusiaan di dunia adalah diberlakukannya Ideologi Kapita-lisme sekularistik dalam kehidupan mereka. Sehingga upaya satu-satunya yang paling tepat serta dipas-tikan akan berhasil adalah menghentikan pemberlakuan ideologi tersebut dan langkah awal yang sangat menentukan untuk upaya itu adalah memutus keberpihakan dan loyalitas umat Islam yang selama ham-pir satu abad telah berperan sangat aktif dan berkontribusi sangat besar dalam mengokohkan sekaligus melestarikan penerapan ideologi sekularistik tersebut dalam realitas kehidupan dunia. Tentu saja lang-kah awal yang sangat menentukan ini wajib didahului oleh upaya serius, terencana dan terstruktur un-tuk mengganti asas pemikiran dan sikap umat Islam selama ini yakni aqidah sekularisme menjadi sepe-nuhnya dan seutuhnya kembali hanya Islam.
Seandainya tidak ada komunitas dokter spiritualis yang berbaju intelektual, tokoh agama, pelaku bisnis dan sejenisnya, tentu saja upaya untuk mencerabut aqidah sekularisme sebagai asas pemikiran kaum muslim saat ini untuk kemudian diposisikan kembali Islam sebagai penggantinya secara utuh, akan sangat mudah, sederhana dan mungkin saja akan berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, wajib dirumuskan langkah-langkah untuk mengeliminir realitas dokter spiritualis tersebut dengan cara me-mutus kepercayaan umat Islam terhadap mereka. Harus diingat bahwa keberadaan para dokter spiritu-alis tersebut sangat disengaja oleh kaum kufar maupun para penguasa negeri-negeri Islam yang tiada lain adalah antek-antek mereka yang paling loyal. Oleh karena itu, para pengusung kekufuran tersebut dipastikan akan selalu dengan sekuat tenaga menjaga eksistensi dokter spiritualis sekaligus akan me-masang badan, jebakan dan sebagainya bagi siapa pun yang dianggap akan mengeliminirnya. Realitas inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (النساء : 76)
Orang-orang yang beriman akan selalu berperang fi sabiilillah (Islam) dan orang-orang kufur akan selalu berperang di jalan thaghut (kekufuran). Oleh karena itu, perangilah oleh kalian (umat Islam) para wali syetan itu (kaum kufar), sungguh tipudaya syetan itu (kekufuran) sangatlah lemah.
Allah SWT memastikan bahwa kekufuran yang diungkap dengan istilah كَيْدُ الشَّيْطَانِ adalah sama sekali tidak akan pernah membahayakan umat Islam atau seluruh manusia, jika umat Islam selalu istiqamah dalam Islam dan sikap itu akan selalu dapat dilakukan dan dipertahankan oleh kaum muslim jika mere-ka tetap bertahan dalam Islam : الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. Sebaliknya, jika sikap umat Islam seperti saat ini yakni berperan menjadi loyalis sejati kekufuran (كَيْدُ الشَّيْطَانِ) maupun kaum kufar (أَوْلِيَاءُ الشَّيْطَانِ) maka tidak hanya umat Islam yang akan tertindas, terlindas dan terhinakan, melainkan seluruh kema-nusiaan di dunia akan serta merta juga binasa. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (آل عمران : 149)
Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mentaati orang-orang kufur, pastilah mereka akan beru-saha keras mengembalikan kalian kepada masa lalu kalian (kekufuran) sehingga kalian pasti akan kembali kepada kerugian.
Dengan demikian, dalil aqliy meniscayakan bahwa untuk mengobati sekaligus menghilangkan secara permanen seluruh penyakit ideologis saat ini wajib dilakukan dengan cara mencerabut penye-babnya yakni kapitalisme dari pemikiran dan relung-relung keberpihakan perasaan umat Islam, lalu mengembalikan Islam sebagai asas hakiki (اَسَاسٌ حَقِيْقِيٌّ) untuk pemikiran dan perasaan mereka seperti sediakala. Lalu, bagaimana halnya menurut ketentuan dalil naqliy?
Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (يونس : 57)
Wahai manusia sungguh telah datang kepada kalian panduan dari Rab kalian dan juga syifa untuk pe-nyakit yang ada dalam dada sekaligus hudan dan rahmah bagi kaum mukmin.
Dalil tersebut menunjukkan bahwa :
1.       realitas Islam adalah panduan (مَوْعِظَةٌ), obat untuk perasaan (شِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ), hidayah (هُدًى) dan rahmah (رَحْمَةٌ).
2.       ketika manusia untuk pertama kalinya berhadapan dengan Islam, maka Islam akan menjadi pandu-an (مَوْعِظَةٌ) bagi aqal mereka untuk segera iman kepada Allah SWT dengan melakukan pembuktian aqliyah terhadap wujudullah. Lalu karena manusia memiliki perasaan (مَا فِي الصُّدُورِ) yang adalah penampakkan dari tuntutan naluriah mereka dan mungkin saja menjadi penghalang dilakukannya pembuktian aqliyah tersebut, maka Islam juga memberikan penjelasan dan solusi (شِفَاءٌ) bagi mere-ka untuk mengelola dan menempatkan perasaan tersebut sesuai dengan maksud Allah SWT men-ciptakan hal itu dalam diri manusia, yakni sebagai fitrah (كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ) yang seharusnya ikut serta mengantarkan mereka kepada iman terhadap wujudullah.
3.       ketika manusia telah iman kepada Allah SWT, maka posisi Islam sudah pasti sebagai sumber hida-yah (هُدًى) dan rahmah (رَحْمَةٌ) bagi mereka yang wajib mereka berlakukan sepanjang kehidupannya di dunia. Jika mereka istiqamah dalam memberlakukan Islam dalam kehidupan mereka, maka pasti akan berlaku secara otomatis realitas yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا (الإسراء : 81-82)
Dan katakanlah (olehmu Muhammad) telah datang Al-Haq (Islam) dan telah binasa al-bathil (ke-kufuran), sungguh al-bathil itu pasti binasa. Dan Kami (Allah) menurunkan Al-Quran itu sebagai syifa dan rahmah bagi kaum mukmin dan tidak ada yang bertambah bagi orang-orang zhalim itu (kaum kufar) kecuali kerugian saja.
Itulah Ideologi Islam yang terhimpun di dalamnya aqidah aqliyah (اَلْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang memancarkan peraturan (اَلنِّظَامُ) yakni syariah Islamiyah yang bila diberlakukan dalam arena kehidupan dunia dengan wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah, maka dipastikan akan terwujud rahmah bagi seluruh manusia sekaligus mereka akan terhindar dari kebinasaan kemanusiaan (اَلْفَسَادُ اَيِ الْمَفْسَدَةُ). Sebaliknya jika manu-sia justru lebih memperturutkan tuntutan kepentingan naluriah mereka (مَا فِي الصُّدُورِ), maka dipastikan realitas kehidupan mereka di dunia pasti akan binasa. Allah SWT menyatakan :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah nampak kebinasaan di daratan dan lautan akibat peraturan yang dibuat oleh tangan manusia. Hal itu supaya mereka rasakan sendiri sebagian akibat dari yang telah mereka perbuat agar mereka kembali kepada peraturan Allah.

Jadi, baik dalil aqliy maupun dalil naqliy sepakat bahwa ideologi buatan manusia hanya akan mengan-tarkan manusia kepada kebinasaan kemanusiaannya dan hanya Ideologi Islam yang berasal dari Allah SWT yang akan mengantarkan mereka kepada kemaslahatan hidup di dunia.

No comments:

Post a Comment