Aksi menyakitkan orang-orang sakit ideologis
Tabloid Republika DIALOG
JUMAT (12 Juni 2009) dalam pengantar tema besar “lebih Religius, Lebih
Produktif Bekerja” menyatakan : ada yang mewajibkan karyawannya berjilbab,
ada pula yang menggiatkan shalat berjamaah dan kultum. Membudayakan praktek
spiritual di tempat kerja kini men-jadi solusi paling efektif dalam mengubah
pola pikir materialistis ke arah yang lebih religius demi me-ningkatkan produktivitas
kerja.
Seluruh karyawan dan
jajaran direksi PT Asuransi Syariah Mubarakah, setiap pagi mulai pukul 07.30
WIB, secara rutin melaksanakan shalat Dhuha serta menggelar doa bersama : Ya
Allah Ya Rahman Ya Rahim. Kami memohon kepada-Mu ya Allah. Lindungilah kami,
seluruh nasabah kami dan umat Islam di permukaan bumi-Mu. Berikanlah kesehatan
kepada kami dan mereka semua. Jadikanlah SDM kami seperti para sahabat Rasul-Mu
yang hati mereka telah tersentuh oleh ayat-ayat-Mu untuk memperjuangkan agama-Mu.
Direktur Utama PT Asuransi Syariah Mubarakah, Dr. Ir. Salim al-Bakry menyatakan
: kondisi dan suasana ini, dapat pula semakin mengakrabkan satu karyawan
dengan yang lainnya, juga dengan pimpinan. Mereka saling menghargai, karena ada
nilai-nilai keislaman di situ. Kebersamaan yang merupakan intisari ibadah, juga
menjadi penekanan dalam pengelolaan perusaha-an. Tak hanya itu, kegiatan
kerohanian juga sebagai bagian upaya menginternalisasi nilai-nilai syari-ah
dalam perilaku. Jadi tidak hanya sebatas slogan. Tujuan dari kegiatan ini
terutama untuk memom-pa semangat para karyawan, bahwa bekerja adalah bagian
dari ibadah. Kalau sudah diikrarkan se-perti itu, maka tidak ada lain kecuali
kita bekerja keras, cerdas tapi dilandasi dengan keikhlasan dan digerakkan dengan
pola berjamaah.
Muhammad Bhakty Kasri
(pendiri dan chairman) PT Pandu Siwi Sentosa yang bergerak di bi-dang
logistik menyatakan : pihaknya menerapkan tujuh sunah Rasul di lingkungan
kerja mereka. Anta-ra lain shalat fardhu berjamaah, shalat Tahajjud dan Witir,
shalat Dhuha, puasa Senin-Kamis, sede-kah, membaca Alquran dan menjaga wudhu.
Hasilnya adalah perusahaan kami terasa makin berkah. Segala urusan Allah
permudah. Produktivitas karyawan pun meningkat, karena mereka bekerja makin
semangat dan yakin bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari ibadah kepada
Allah SWT.
Pemilik Ayam Bakar Wong
Solo Group, Puspo Wardoyo menyatakan : saat rekrutmen karyawa-ti, salah satu
persyaratan yang kami tetapkan adalah berjilbab. Selain itu, setiap calon
karyawan ha-rus bisa membaca Alquran. Khusus para manajer harus bisa memberikan
kultum.
Dwi Wahyono (Public
Relations PT Zahir Internasional) menyatakan : tiap masuk waktu shalat kami
menganjurkan para karyawan untuk shalat berjamaah di masjid dekat kantor.
Hudzaifah Ismail dalam bukunya Kantorku Masjidku menyatakan
: kini mulai tumbuh kesadaran di perusahaan dengan manajemen modern untuk
membangun kultur spiritual, tak hanya menekankan pada aspek materialisme
semata. Dalam lingkungan kerja yang cuma berorientasi keuntungan dunia-wi,
dikhawatirkan dominasi pola pikir yang materialistis begitu kuat menyelimuti
para pekerjanya. Ja-dilah, tujuan mereka hanya untuk mengejar harta, jabatan
dan popularitas. Demi memenangkan per-saingan segala cara pun dilakukan. Dengan
kondisi seperti itu, amat sulit berharap kantor dapat men-jadi tempat yang
nyaman untuk bekerja. Itulah yang kemudian memunculkan gagasan kembali ke
nilai-nilai spiritual. Berbagai metode untuk mengatasi kesulitan manajemen dan
sumber daya manusia, dikembangkan, hingga muncul istilah-istilah Manajemen
Qalbu, Emotional and Spiritual Quation (ESQ), Manajemen Spiritual dan banyak
lagi. Tujuannya jelas, yakni bagaimana mengubah SDM di perusahaan agar memiliki
semangat kerja tinggi, jujur, disiplin, dan kreatif, sehingga mampu membe-rikan
nilai tambah lebih baik.
Pimpinan Majelis Zikir al-Matsuraat, Ustadz Subki Al-Bughuri
menyatakan : kegiatan keagama-an di kalangan pekerja kantoran di kota-kota
besar merupakan sarana tepat untuk menyeimbangkan gerak kesibukan duniawi yang
setiap hari mereka hadapi. Lebih tepatnya, untuk mengisi dahaga akan
nilai-nilai spiritual di tempat kerja. Adanya siraman rohani itu, tak hanya
memberikan dampak positif terhadap diri, melainkan pula perusahaan tempatnya
mencari nafkah. Kalau suasana rohaninya ba-gus, dia percaya la ilaha illallah,
maka dia akan jadi orang yang amanah dan takut akan akhirat.
Ketua PBNU KH. Said Aqil Siraj menyatakan : masyarakat kelas
menengah perkotaan tersebut terus belajar dan belajar untuk menemukan jati diri
yang sesungguhnya sebagai seorang hamba. Se-mangat keberagamaan kian tumbuh
dengan subur. Diharapkan, nilai-nilai spiritualitas turut memper-baiki sikap
dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, tetangga,
masyarakat, mau-pun kantor.
Dosen Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Dr. Ibdalsyah menilai
: kultur spiritual se-macam itu dapat membuat suasana kerja lebih akrab dan
kondusif. Hasilnya, bekerja jadi lebih efektif serta berkah.
Mereka (seluruh karyawan dan
jajaran direksi PT Asuransi Syariah Mubarakah, Muhammad Bhakty Kasri, Puspo
Wardoyo, Dwi Wahyono) adalah sebagian kecil dari para pelaku usaha alias bis-nis yang
berlangsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipastikan
memberla-kukan sistem perekonomian kapitalisme hingga detik ini. Mereka secara
empirik menyadari (walau ti-dak diakui secara eksplisit) bahwa :
1.
perjalanan mekanisme perusahaan (apa pun) dalam sistem
perekonomian kapitalisme telah dengan pasti mengarahkan semua orang yang
terlibat (langsung maupun tidak) di dalamnya kepada pola pikir materialistis.
2.
adanya tuntutan untuk dapat memenangkan persaingan (free fight
liberalisms) sehingga keluar se-bagai pemenang mutlak (survival of the
fittest), telah mendorong semua pihak menghalalkan segala cara (apa pun dan
dari mana pun). Akibatnya adalah perusahaan menjadi tidak mungkin sebagai
tempat yang nyaman (comfortable) untuk bekerja, juga pola interaksi
antar karyawan maupun anta-ra karyawan dengan jajaran pimpinan sama sekali
tidak manusiawi sebab hanya didasarkan kepada upaya bagaimana agar perusahaan
dapat bertahan dan selalu untung.
3.
pola kerja dalam perusahaan yang tidak manusiawi tersebut secara
pasti memunculkan kejenuhan yang pada gilirannya mengantarkan semua orang untuk
bersikap skeptis yang akhirnya, mau atau pun tidak, akan berimbas kepada
penurunan produktivitas kerja.
Kesadaran terhadap keharusan untuk
menyelamatkan keberlangsungan perusahaan dengan selalu men-jaga produktivitas
kerja tetap tinggi, telah mendorong jajaran direksi untuk memformulasikan “resep”
yang dianggap akan dapat menjadi obat ampuh untuk menyembuhkan penyakit
perusahaan yang ter-nyata bersumber dari sumber daya manusianya (SDM) yang
tengah dilanda sakit parah nan kronis. Re-sep tersebut adalah membudayakan praktek spiritual di tempat kerja seperti doa bersama sebelum mu-lai bekerja, shalat fardlu
berjamaah, kultum, siraman rohani, puasa Senin dan Kamis, shalat Dluha,
khataman Al-Quran, selalu berwudlu dan sebagainya. Bahkan keampuhan resep
tersebut dianggap te-lah terbukti yakni dengan adanya karyawan yang semakin
semangat bekerja sehingga produktivitas kerja mereka semakin tinggi. Inilah
yang dimaksudkan oleh pernyataan :
a.
Hasilnya adalah
perusahaan kami terasa makin berkah. Segala urusan Allah permudah.
Produkti-vitas karyawan pun meningkat, karena mereka bekerja makin semangat dan
yakin bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT (Muhammad Bhakty Kasri : pendiri dan chairman PT
Pandu Siwi Sentosa)
b.
Tujuan dari
kegiatan ini terutama untuk memompa semangat para karyawan, bahwa bekerja
ada-lah bagian dari ibadah. Kalau sudah diikrarkan seperti itu, maka tidak ada
lain kecuali kita beker-ja keras, cerdas tapi dilandasi dengan keikhlasan dan
digerakkan dengan pola berjamaah (Direk-tur
Utama PT Asuransi Syariah Mubarakah : Dr. Ir. Salim al-Bakry)
Keyakinan para CEO (Chief Executive Officer) terhadap
keampuhan resep spiritualistik tersebut sangat disambut setuju dan
diamini oleh sejumlah “dokter spiritualis” seperti Hudzaifah Ismail, Ustadz
Subki Al-Bughuri, KH. Said Aqil Siraj, Dr. Ibdalsyah dan lainnya. Artinya, baik
para CEO maupun pa-ra dokter spiritualis sepakat bahwa obat yang hingga detik
ini dianggap paling ampuh untuk menyem-buhkan penyakit tersebut adalah resep
spiritualistik.
Wal hasil, itulah
gerak gerik orang-orang sakit (سُلُوْكُ
الرِّجَالِ الْمَرِيْضِ) yang sangat menyakitkan pi-kiran dan perasaan seluruh umat
Islam yang telah menyadari keniscayaan memisahkan Islam dan keku-furan, lalu
membedakan keduanya secara hitam putih. Gagasan dan sikap orang-orang tersebut
bahkan sedikit atau banyak telah sangat menyulitkan upaya untuk menghadirkan
perbedaan hitam putih antara Islam dengan kekufuran ke hadapan penginderaan
umat Islam, apalagi seluruh manusia. Bagaimana ti-dak demikian, sebab dengan
adanya sikap mereka untuk menggunakan resep spiritualistik (yang mere-ka
ambil dari sebagian syariah Islamiyah) sebagai obat mujarab bagi berbagai
penyakit “perasaan dan pikiran” (mereka anggap sebagai penyakit “mental atau
jiwa”) yang muncul akibat diberlangsungkan-nya mekanisme perusahaan dalam
naungan seluruh ketentuan sistem perekonomian kapitalisme, telah menempatkan
ideologi kapitalisme sebagai benar yakni sama dengan
Islam dan keduanya dapat di-persatukan demi kemanusiaan dan
kesejahteraan mereka. Walau sangat menyakiti pikiran dan perasaan namun sikap
para CEO tersebut masih dapat dikategorikan wajar dan lumrah
sebab realitas mereka adalah sama sekali tidak memiliki pemahaman apa pun baik
tentang Islam maupun kekufuran (kapita-lisme). Namun sikap mendukung,
apresiatif dan “mengamini” yang diperlihatkan secara vulgar oleh para dokter
spiritualis yang notabene adalah para tokoh panutan umat Islam terhadap sikap
para CEO, tentu saja sangat lebih menyakitkan lagi. Hal itu karena yang
seharusnya (yakni pantas dan layak) di-lakukan oleh para tokoh panutan umat
tersebut bukanlah bersikap setuju atau membenarkan realitas salah
(menurut Islam) yang dilakukan oleh orang-orang awam, melainkan sebaliknya
mereka wajib mengoreksinya sekaligus menjelaskan perkara yang benar dan yang
seharusnya dilakukan. Tetapi itu-lah hakikat mereka yang memang hanya dapat
melakukan tindakan salah dan salah serta mereka sesat dan menyesatkan orang
lain. Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعُلَمَاءَ فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِي فِي النَّاسِ رُءُوسًا
جُهَّالًا يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ (رواه مسلم)
Sungguh
Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia begitu saja, melainkan Dia akan
mengambil para ulama lalu ilmu pun hilang bersama kepergian mereka dan yang
akan tersisa di tengah manusia adalah tokoh-tokoh bodoh (رُءُوسًا جُهَّالًا). Mereka akan
memberikan fatwa kepada manusia tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.
Sakit ideologis berobat dengan spiritual : sungguh
menggelikan!
Perjalanan kehidupan manusia di dunia paling tidak sejak
berakhirnya Perang Dunia I hingga de-tik ini, memastikan bahwa Kapitalisme
adalah satu-satunya ideologi yang masih diberlakukan dan ma-kin diperkokoh
pemberlakuannya melalui berbagai istrumen perekonomian yang diterapkan di
seluruh negara kebangsaan yang ada. Oleh karena itu, baik itu kemajuan (menurut
kualifikasi Ideologi Kapita-lisme) maupun kemunduran termasuk ketimpangan alias
“penyakit”, seluruhnya dan seutuhnya adalah akibat dari pemberlakuan ideologi
materialistik tersebut.
Kebutuhan pokok manusia : makanan-minuman, pakaian dan rumah,
dalam kapitalisme benar-benar dieksploitasi dan dielaborasikan sebagai objek
yang dipastikan akan memberikan keuntungan sa-ngat besar dan bersifat sustainable
(berkelanjutan) lalu diwujudkan dalam bentuk industri dengan bera-gam jenis
maupun penampakkannya. Industri makanan, minuman, pakaian dan perumahan,
seluruhnya adalah bagian dari sektor riil yang sangat berkontribusi kepada
pertumbuhan ekonomi maupun tingkat inflasi. Ketika mekanisme kapitalistik
tersebut berlangsung di negeri-negeri non Islam (Dunia Kristia-ni, Dunia Hindu,
Dunia Buddhis dan sejenisnya) maka akan sangat jarang ditemukan atau terjadi
perso-alan, baik berhubungan dengan “sebab-sebab kepemilikan” maupun
penggunaannya. Artinya, di dunia non Islam tidak akan ditemukan konflik
ideologis antara rakyat orang per orang beserta latar belakang agamanya dengan
sistem perekonomian kapitalisme yang tengah diberlakukan. Sebaliknya, ketika
me-kanisme kapitalistik tersebut berlangsung di negeri-negeri Islam (Dunia
Islam) maka hampir akan sela-lu terjadi persoalan sehubungan dengan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk dengan kapitalisme sebagai sistem perekonomian
negara. Haramnya riba dalam Islam vs bunga bank, haramnya judi vs promo produk
berhadiah (atau lainnya seperti SMS berhadiah), wajibnya seorang istri minta
ijin suami saat akan keluar rumah vs realitas TKW di luar negeri, haramnya babi
vs obat atau kosmetik berbahan babi (maupun produk turunannya), presiden vs
Khalifah, negara kebangsaan vs Khilafah, pluralisme vs Islam sebagai
satu-satunya agama yang benar dan sebagainya.
Kapitalisme hanya memiliki
satu pertimbangan nilai (اَلْقِيْمَةُ) yakni nilai materi (اَلْقِيْمَةُ
الْمَادِّيَةُ) yang harus
menjadi asas seluruh perbuatan manusia di dunia. Nilai materi mengharuskan
segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia harus menghasilkan materi (harta
alias اَلْمَالُ)
atau dipastikan bahwa per-buatan tersebut akan mengantarkan kepada suatu
keadaan yang akan mempermudah meraih materi (ke-dudukan, prestise, citra dan
sebagainya). Oleh karena itu, dalam negara kebangsaan kapitalistik antara rumah
sakit, sekolah, restoran, pabrik mobil, pabrik motor, pabrik tekstil, bengkel
mobil, bengkel mo-tor dan sebagainya adalah sama saja yakni sama-sama sebagai money
machine (mesin uang). Sebagai contoh, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Jakarta yang lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Gatot Subroto adalah
mesin uang bagi TNI AD, Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) adalah mesin uang
bagi Pertamina, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) adalah mesin uang bagi Pemda
Jabar dan seterusnya. Demikian juga antara negara dengan perusahaan adalah
sama, yaitu sama-sama mencari ke-untungan, prestise, citra dan tidak pernah mau
mengalami kerugian.
Jadi, perusahaan atau
industri apa pun baik produknya berupa barang maupun jasa hanya memili-ki satu
tujuan yakni meraih keuntungan semaksimal mungkin dengan cara apa pun, termasuk
berbuat curang (pemalsuan bahan baku atau produk), penggunaan bahan baku
berbahaya asal murah, penyerta-an bahan-bahan tidak layak atau berbahaya untuk
manusia dan sebagainya. Seluruhnya dilakukan de-ngan tujuan untuk meminimalisir
biaya produksi sehingga otomatis akan semakin memperbesar keun-tungan.
Mekanisme inilah juga yang berlaku di industri rumah sakit, transportasi,
restoran maupun se-kolah.
Penetapan fasilitas rumah
sakit yang berjenjang, yakni ada VVIP, VIP, Kelas Utama, Kelas Satu, Kelas Dua
dan Bangsal, tentu saja ditujukan bagi upaya mencapai target keuntungan
maksimal tanpa harus kehilangan “citranya” selaku rumah sakit yang sangat dekat
dengan nilai kemanusiaan. Demi me-raih keuntungan itu juga, rumah sakit akan
melakukan efisiensi pada “faktor produksi” alias pembiaya-an termasuk jumlah
tenaga medis misalnya dokter. Akibatnya dapat dipastikan yakni selain kualitas
pelayanan kepada pasen akan semakin rendah (berpacu dengan waktu) juga akan
semakin memperbe-sar peluang terjadinya kesalahan tindakan medis alias mal
praktek. Artinya, kasus-kasus mal praktek yang selalu terjadi setiap saat dan
di rumah sakit mana pun, adalah fakta yang tidak mengejutkan sebab hal itu
justru “diharuskan” terjadi secara sistemik. Kasus-kasus tersebut akan semakin
sering terjadi bila mengingat posisi tawar maupun posisi well knowledge
pihak pasen adalah sangat rendah bahkan mungkin sama sekali tidak ada.
Kasus hilangnya pesawat Adam Air di sekitar perairan Majene pada 1
Januari 2007 lalu ternyata akibat adanya strategi perusahaan tersebut untuk
mencapai target biaya operasional (bahan bakar) se-minimal mungkin dan itu
dilakukan dengan cara merubah rute tempuh selurus mungkin dari kota asal menuju
kota tujuan. Penggunaan pesawat bekas dengan usia pakai yang telah lanjut
(lebih dari 10 ta-hun) adalah tidak lepas dari strategi yang sama. Tenggelamnya
kapal Senopati Nusantara, terbakarnya kapal Levina II, terbakarnya kapal
Merpati Nusantara dan lainnya termasuk tenggelamnya kapal Tam-pomas II di masa
Orde Baru, seluruhnya adalah akibat penerapan strategi biaya seminimal mungkin
untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin. Hal itu dapat dipastikan demikian
terlepas dari apakah kecelakaan tersebut akibat human error atau
kerusakan alat atau faktor alam maupun lainnya. Demiki-an juga para sopir
angkutan umum yang “ugal-ugalan” plus kondisi kendaraan yang sebenarnya tidak
laik jalan, semakin menjadi faktor penambah peluang terjadinya kecelakaan di
jalan darat.
Restoran dan industri kuliner lainnya juga memberlakukan prinsip
ekonomi kapitalistik yang sa-ma. Penggunaan pemanis sintetik, pewarna kimiawi,
pengawet, penyedap rasa, pengembang dan seba-gainya yang sama sekali tidak
layak untuk dikonsumsi oleh manusia, atau penggunaan daging ayam bangkai,
pemalsuan daging sapi dengan daging babi, daging sapi glonggongan (disuntik
air) dan seba-gainya, adalah tindakan praktis para pengusaha industri kuliner
dalam “mematuhi” garis ketentuan ka-pitalisme. Akibatnya dapat dipastikan yakni
tubuh manusia telah menjadi keranjang sampah racun maupun bahan-bahan berbahaya
lainnya yang secara otomatis mengkondisikan sistem tubuh sangat mudah
terjangkit penyakit induktif, seperti kanker, stroke, gagal ginjal, kelainan
jantung, gangguan pencernaan, gangguan sirkulasi darah, radang otak dan
sejenisnya. Lalu, setelah tubuh manusia begitu rapuh dan rentan terhadap
beragam penyakit tersebut, maka industri rumah sakit dan obat sudah siap
“menerkam” sang pasen dengan kualitas layanan medis maupun obat yang sangt
rendah kualitasnya namun dengan harga yang sangat mahal. Jadi, ibarat lepas
dari mulut buaya lalu masuk mulut harimau.
Hal dan realitas yang sama persis adalah berlangsung di dunia
pendidikan, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta. Seluruhnya yakni
“penyakit” di perusahaan, rumah sakit, transportasi, kuliner, sekolah dan
lainnya, harus dikembalikan kepada sistema yang mendasari dan menaungi
perja-lanan semua jenis industri tersebut : Ideologi Kapitalisme. Jadi,
semuanya adalah penyakit ideologis (ideological sickness) yang bersumber
dari ideologi buatan tangan manusia yang sangat tidak layak un-tuk mendasari
kemanusiaan : Ideologi Kapitalisme.
Wal hasil, semua program pengobatan spiritualistik dengan resep
obat yang juga spiritualistik dan dilakukan oleh para dokter spiritualis
yang diselenggarakan oleh berbagai perusahaan kelas kakap di kota-kota besar
(misal Jakarta), adalah realitas yang sangat menggelikan. Hal itu
karena sangatlah mustahil mengobati penyakit dengan cara yang sangat
sembrono dan sama sekali tidak mengetahui pe-nyebab
munculnya semua penyakit tersebut. Hakikat inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Allah SWT :
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (الزمر : 9)
Katakanlah
(olehmu Muhammad) apakah sama antara realitas orang-orang yang memiliki ilmu
de-ngan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Hanya sesungguhnya orang-orang
yang memiliki aqal sajalah yang dapat meraih pengertian dari peringatan.
Penyakit ideologis vs obat ideologis : keniscayaan
dalil aqliy!
Ketika ditanya (oleh Tabloid
Republika DIALOG JUMAT) pendapatnya tentang semangat keaga-maan yang semakin tumbuh di
lingkungan perkantoran, Ustadz Subki Al-Bughuri menyatakan : ini adalah buah
dari kesadaran bahwa di tengah kesibukan mereka, ternyata masih ada satu
kekosongan, kekeringan bathin, sehingga mereka perlu thalabul ilmi (menuntut
ilmu).
Pendapat Pimpinan Majelis Zikir al-Matsuraat tersebut semakin
memastikan posisinya sebagai dokter spiritualis yang setiap saat selalu
mencari resep spiritualistik baru yang lebih ampuh lagi untuk mengobati
berbagai penyakit “bathin” yang telah lama maupun baru saja muncul dalam diri
para pela-ku bisnis mulai dari karyawan biasa hingga CEO. Artinya bagi dia
(juga yang setipe dengannya) pe-nyelenggaraan berbagai kegiatan kerohanian
alias kebathinan alias keagamaan di lingkungan industri baik itu perusahaan,
rumah sakit, sekolah, restoran maupun lainnya, hingga saat merupakan formulasi resep
spiritualistik yang sangat tepat dan ampuh untuk mengobati beragam penyakit
“bisnis” tersebut (business illness). Bahkan dia mengklaim bahwa
kegiatan seperti itu telah dicontohkan oleh paling tidak para sahabat Nabi
Muhammad saw : untuk para sahabat, kalau sudah menyangkut urusan akhirat
bisa dikatakan mereka sangat ekstreem tawakalnya kepada Allah.
Demikianlah, peta mantapnya pemikiran kisruh yang semakin
mengkristal dalam pemikiran dan perasaan sebagian sangat besar umat Islam.
Mereka sepakat (secara empirik, namun tanpa pemahaman) bahwa sistem
perekonomian kapitalisme yang tengah diberlakukan dalam kehidupan umat Islam
telah memunculkan penyakit mental, bathin dan spiritual. Lalu mereka juga
sepakat bahwa obat yang paling ampuh untuk penyakit tersebut adalah kegiatan
kerohanian alias keagamaan yang isinya diambil dari beberapa bagian pemikiran
syariah Islamiyah. Lalu, apakah gagasan atau pemikiran tersebut dapat
di-benarkan baik dari sisi realitasnya (dalil aqliy) maupun berdasarkan dalil
naqliy.
Sekali lagi, pemberlakuan Ideologi Kapitalisme secara global
selama hampir satu abad, telah me-nyebabkan tidak hanya penyakit kemanusiaan (humanity
sickness) bahkan lebih mengerikan lagi dari itu yakni kebinasaan kehidupan
kemanusiaan itu sendiri. Realitas ini dapat diindera oleh seluruh manu-sia
karena terpampang sangat nyata di hadapan mereka, baik itu dalam kondisi normal
(tidak ada krisis atau gejolak) maupun apalagi saat terjadinya krisis seperti
resesi ekonomi sekarang yang telah mema-suki tahun kedua. Jadi secara dalil
aqliy, telah diketahui dengan pasti bahwa penyebab seluruh persoa-lan,
ketimpangan hidup dan kebinasaan kemanusiaan di dunia adalah diberlakukannya
Ideologi Kapita-lisme sekularistik dalam kehidupan mereka. Sehingga upaya
satu-satunya yang paling tepat serta dipas-tikan akan berhasil adalah
menghentikan pemberlakuan ideologi tersebut dan langkah awal yang sangat
menentukan untuk upaya itu adalah memutus keberpihakan dan loyalitas umat Islam
yang selama ham-pir satu abad telah berperan sangat aktif dan
berkontribusi sangat besar dalam mengokohkan sekaligus
melestarikan penerapan ideologi sekularistik tersebut dalam realitas kehidupan
dunia. Tentu saja lang-kah awal yang sangat menentukan ini wajib didahului oleh
upaya serius, terencana dan terstruktur un-tuk mengganti asas pemikiran dan
sikap umat Islam selama ini yakni aqidah sekularisme menjadi sepe-nuhnya dan
seutuhnya kembali hanya Islam.
Seandainya tidak ada komunitas dokter
spiritualis yang berbaju intelektual, tokoh agama, pelaku bisnis dan
sejenisnya, tentu saja upaya untuk mencerabut aqidah sekularisme sebagai asas
pemikiran kaum muslim saat ini untuk kemudian diposisikan kembali Islam sebagai
penggantinya secara utuh, akan sangat mudah, sederhana dan mungkin saja akan
berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, wajib dirumuskan langkah-langkah
untuk mengeliminir realitas dokter spiritualis tersebut dengan cara
me-mutus kepercayaan umat Islam terhadap mereka. Harus diingat bahwa keberadaan
para dokter spiritu-alis tersebut sangat disengaja oleh
kaum kufar maupun para penguasa negeri-negeri Islam yang tiada lain adalah
antek-antek mereka yang paling loyal. Oleh karena itu, para pengusung kekufuran
tersebut dipastikan akan selalu dengan sekuat tenaga menjaga eksistensi dokter
spiritualis sekaligus akan me-masang badan, jebakan dan sebagainya bagi
siapa pun yang dianggap akan mengeliminirnya. Realitas inilah yang dimaksudkan
oleh pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
(النساء : 76)
Orang-orang yang beriman akan selalu berperang fi
sabiilillah (Islam) dan orang-orang kufur akan selalu berperang di jalan
thaghut (kekufuran). Oleh karena itu, perangilah oleh kalian (umat Islam) para
wali syetan itu (kaum kufar), sungguh tipudaya syetan itu (kekufuran) sangatlah
lemah.
Allah SWT memastikan bahwa kekufuran yang diungkap dengan
istilah كَيْدُ الشَّيْطَانِ
adalah sama sekali tidak akan pernah membahayakan umat Islam atau seluruh
manusia, jika umat Islam selalu istiqamah dalam Islam dan sikap itu akan selalu
dapat dilakukan dan dipertahankan oleh kaum muslim jika mere-ka tetap bertahan
dalam Islam : الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ. Sebaliknya,
jika sikap umat Islam seperti saat ini yakni berperan menjadi loyalis sejati
kekufuran (كَيْدُ الشَّيْطَانِ) maupun kaum kufar (أَوْلِيَاءُ
الشَّيْطَانِ) maka tidak
hanya umat Islam yang akan tertindas, terlindas dan terhinakan, melainkan
seluruh kema-nusiaan di dunia akan serta merta juga binasa. Allah SWT
menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (آل عمران : 149)
Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mentaati
orang-orang kufur, pastilah mereka akan beru-saha keras mengembalikan kalian
kepada masa lalu kalian (kekufuran) sehingga kalian pasti akan kembali kepada
kerugian.
Dengan demikian, dalil aqliy meniscayakan bahwa untuk mengobati
sekaligus menghilangkan secara permanen seluruh penyakit
ideologis saat ini wajib dilakukan dengan cara mencerabut
penye-babnya yakni kapitalisme dari pemikiran dan relung-relung keberpihakan
perasaan umat Islam, lalu mengembalikan Islam sebagai asas hakiki
(اَسَاسٌ حَقِيْقِيٌّ) untuk pemikiran dan perasaan mereka seperti sediakala. Lalu,
bagaimana halnya menurut ketentuan dalil naqliy?
Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (يونس : 57)
Wahai manusia sungguh telah datang kepada kalian panduan
dari Rab kalian dan juga syifa untuk pe-nyakit yang ada dalam dada sekaligus
hudan dan rahmah bagi kaum mukmin.
Dalil
tersebut menunjukkan bahwa :
1.
realitas Islam adalah
panduan (مَوْعِظَةٌ),
obat untuk perasaan (شِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ), hidayah (هُدًى) dan rahmah (رَحْمَةٌ).
2.
ketika manusia untuk
pertama kalinya berhadapan dengan Islam, maka Islam akan menjadi pandu-an (مَوْعِظَةٌ) bagi aqal
mereka untuk segera iman kepada Allah SWT dengan melakukan pembuktian aqliyah
terhadap wujudullah. Lalu karena manusia memiliki perasaan (مَا فِي الصُّدُورِ) yang adalah
penampakkan dari tuntutan naluriah mereka dan mungkin saja menjadi penghalang
dilakukannya pembuktian aqliyah tersebut, maka Islam juga memberikan penjelasan
dan solusi (شِفَاءٌ)
bagi mere-ka untuk mengelola dan menempatkan perasaan tersebut sesuai dengan
maksud Allah SWT men-ciptakan hal itu dalam diri manusia, yakni sebagai fitrah
(كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ)
yang seharusnya ikut serta mengantarkan mereka kepada iman terhadap wujudullah.
3.
ketika manusia telah
iman kepada Allah SWT, maka posisi Islam sudah pasti sebagai sumber hida-yah (هُدًى) dan rahmah (رَحْمَةٌ) bagi mereka
yang wajib mereka berlakukan sepanjang kehidupannya di dunia. Jika mereka
istiqamah dalam memberlakukan Islam dalam kehidupan mereka, maka pasti akan
berlaku secara otomatis realitas yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَقُلْ
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا (الإسراء : 81-82)
Dan katakanlah (olehmu Muhammad) telah datang
Al-Haq (Islam) dan telah binasa al-bathil (ke-kufuran), sungguh al-bathil itu
pasti binasa. Dan Kami (Allah) menurunkan Al-Quran itu sebagai syifa dan rahmah
bagi kaum mukmin dan tidak ada yang bertambah bagi orang-orang zhalim itu (kaum
kufar) kecuali kerugian saja.
Itulah Ideologi
Islam yang terhimpun di dalamnya aqidah aqliyah (اَلْعَقِيْدَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) yang memancarkan peraturan (اَلنِّظَامُ) yakni syariah
Islamiyah yang bila diberlakukan dalam arena kehidupan dunia dengan wadah
pelaksanaan Khilafah Islamiyah, maka dipastikan akan terwujud rahmah bagi
seluruh manusia sekaligus mereka akan terhindar dari kebinasaan kemanusiaan (اَلْفَسَادُ اَيِ الْمَفْسَدَةُ). Sebaliknya jika
manu-sia justru lebih memperturutkan tuntutan kepentingan naluriah mereka (مَا فِي الصُّدُورِ), maka dipastikan realitas kehidupan mereka di dunia pasti akan
binasa. Allah SWT menyatakan :
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah
nampak kebinasaan di daratan dan lautan akibat peraturan yang dibuat oleh
tangan manusia. Hal itu supaya mereka rasakan sendiri sebagian akibat dari yang
telah mereka perbuat agar mereka kembali kepada peraturan Allah.
Jadi, baik dalil
aqliy maupun dalil naqliy sepakat bahwa ideologi buatan manusia hanya akan
mengan-tarkan manusia kepada kebinasaan kemanusiaannya dan hanya Ideologi Islam
yang berasal dari Allah SWT yang akan mengantarkan mereka kepada kemaslahatan
hidup di dunia.
No comments:
Post a Comment