عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ لَنَا
عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ
خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ
أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه ابو داود)
عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّهُ كَانَ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ الْمُسْتَوْرِدُ بْنُ
شَدَّادٍ وَعَمْرُو بْنُ غَيْلَانَ بْنِ سَلَمَةَ فَسَمِعَ الْمُسْتَوْرِدَ
يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
وَلِيَ لَنَا عَمَلًا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةً فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ خَادِمًا
فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا أَوْ دَابَّةً
فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ
سَارِقٌ (رواه احمد)
Kedua dalil (AS-Sunnah) tersebut menunjukkan :
1.
ketika
seorang muslim diangkat menjadi pejabat dalam negara Islam (Khilafah) baik
sebagai pe-nguasa (مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا) maupun pegawai negara biasa (مَنْ وَلِيَ
لَنَا عَمَلًا), maka Khalifah wajib me-nyediakan
baginya fasilitas pemenuhan kebutuhan pokok di luar makanan-minuman, yakni :
(a) is-tri (زَوْجَةً), (b)
pembantu/pelayan (خَادِمًا), (c)
tempat tinggal/rumah (مَسْكَنًا) dan
(d) kendaraan/alat transfortasi (دَابَّةً).
2. bila yang bersangkutan
mengambil harta negara di luar yang dikategorikan fasilitas pemenuhan
ke-butuhan pokok tersebut, maka dia telah berbuat curang (غَالٌّ) atau melakukan pencurian (سَارِقٌ), se-hingga hartanya harus dirampas oleh Khalifah dan dia harus
dikenai sanksi keras bahkan bisa hing-ga dijatuhi sanksi mati.
Lalu ketika Rasulullah saw
menyatakan :
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (البخاري)
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (البخاري)
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه مسلم)
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
(رواه مسلم)
maka keseluruhan dalil tersebut memastikan bahwa :
1.
antara
realitas pria (مَعْشَرُ الشَّبَابِ) dengan
penampakkan utama dorongan naluriahnya untuk memper-tahankan keberlangsungan
ras manusia sendiri (غَرِيْزَةُ النَّوْعِ) yakni
hasrat seksual (اَلْبَاءَةُ اَيِ الْجِمَاعُ) ter-nyata dibatasi oleh syarat (اَلشَّرْطُ) berupa اَلإِسْتِطَاعَةُ. Hubungan antara perintah untuk beristri (فَلْيَتَزَوَّجْ) yang berposisi sebagai اَلْمَشْرُوْطُ dengan اَلإِسْتِطَاعَةُ (مَنْ اسْتَطَاعَ) yang
berposisi sebagai اَلشَّرْطُ adalah
ber-wujud kaidah : وُجُوْدُ الْمَشْرُوْطِ بِوُجُوْدِ الشَّرْطِ atau اَلشَّرْطُ
مُقَدَّمٌ مِنَ الْمَشْرُوْطِ.
2.
realitas
اَلإِسْتِطَاعَةُ ditunjukkan secara gamblang oleh dalil yang mewajibkan Khalifah
menyediakan fasilitas pemenuhan kebutuhan pokok (selain makanan-minuman) bagi
para pejabat baik itu pengu-asa (اَلْحُكَّامُ) maupun pegawai negara biasa (اَلْمُوَظَّفُوْنَ) : (a) istri (زَوْجَةً), (b) pembantu/pelayan (خَادِمًا), (c) tempat tinggal/rumah (مَسْكَنًا) dan (d) kendaraan/alat transfortasi (دَابَّةً). Nampak sekali di sini po-sisi istri disejajarkan dengan
posisi pembantu/pelayan, tempat tinggal/rumah
dan kendaraan/alat transfortasi,
artinya realitas اَلإِسْتِطَاعَةُ yang
wajib dimiliki oleh para pria untuk dapat beristri adalah mereka harus mampu
menyediakan makanan-minuman (مَأْكَلاً وَمَشْرَبًا), pakaian (مَلْبَسًا),
tempat tinggal (مَسْكَنًا),
pelayan (خَادِمًا),
bahkan kendaraan (دَابَّةً), bagi
istri dan keluarganya nanti. Lalu jika kemam-puan (اَلإِسْتِطَاعَةُ) tersebut belum dimiliki maka mereka haram
beristri.
3.
khusus
berkenaan dengan tempat tinggal (rumah), apakah rumah itu tetap menjadi
milik suami ataukah otomatis menjadi milik istri? Jawaban untuk pertanyaan
tersebut dapat digali dari sejumlah dalil berikut :
a. pernyataan Allah SWT :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللَّهُ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ
يُسْرًا (الطلاق : 7-6)
b. hadits
Rasulullah saw :
عَنِ الشَّعْبِيِّ
قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ أَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا
الْبَتَّةَ فَخَاصَمَتْهُ فِي السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ فَلَمْ يَجْعَلْ سُكْنَى وَلَا
نَفَقَةً وَقَالَ يَا بِنْتَ آلِ قَيْسٍ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ عَلَى
مَنْ كَانَتْ لَهُ رَجْعَةٌ (رواه احمد)
عَنِ الشَّعْبِيِّ
قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ قَالَتْ طَلَّقَنِي زَوْجِي ثَلَاثًا
فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَجْعَلْ لِي
سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً وَقَالَ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ
لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ الْأَعْمَى (رواه احمد)
Keseluruhan
dalil tersebut menunjukkan :
a.
bahwa seorang istri yang ditalaq suaminya untuk kali
pertama dan kedua (اَلطَّلاَقُ الرَّجْعِيُ) adalah kewajiban si mantan suami untuk
memberikan tempat tinggal (السُّكْنَى) dan nafaqah atau pem-biayaan hidup (النَّفَقَةُ) selama masa ‘iddah. Sedangkan bila talaq
yang diajtuhkan suami adalah untuk kali ketiga (اَلطَّلاَقُ غَيْرُ
الرَّجْعِيِ), maka tidak
ada kewajiban tersebut, karena Rasul saw me-nyatakan : إِنَّمَا
السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ عَلَى مَنْ كَانَتْ لَهُ رَجْعَةٌ atau إِنَّمَا السُّكْنَى
وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ.
b.
tempat tinggal yang dimaksudkan adalah rumah yang
selama ini bersama-sama ditinggali sela-ma belum terjadinya perceraian (أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ).
c.
dua
keadaan tersebut (a dan b) adalah bila si istri
diceraikan oleh si suami, lalu bagaimana bila si istri ditinggalkan mati oleh
suaminya? Bila keadaan ini terjadi maka si istri akan memperoleh harta
peninggalan suaminya (warisan) sebanyak seperempatnya bila suami tidak punya
anak atau seperdelapannya bila suami punya anak. Lalu tentang rumah dan
seisinya? Ketentuan yang ada adalah bila suami menceraikan istrinya untuk
kali pertama dan kedua, maka wajib bagi sang mantan suami menyediakan tempat
tinggal dan pembiayaan hidup sehari-hari bagi mantan istrinya tersebut.
Lalu dengan menggunakan kaidah مِنْ بَابِ الأَوْلَى
مِنْ دَلاَلَةِ الإِلْتِزَامِ maka
tentu saja dapat dipastikan ketika sang suami meninggal maka rumah dan seisinya
yang selama ini ditinggali bersama-sama adalah otomatis menjadi milik si istri
dan bukan menjadi bagian dari harta peninggalan si suami yang harus dibagikan
kepada ahli waris sesuai dengan ketentu-an Islam tentang hukum waris.
No comments:
Post a Comment