Saturday, November 9, 2013

SEPUTAR MAKNA اَلإِسْتِطَاعَةُ


 
عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه ابو داود)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّهُ كَانَ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ الْمُسْتَوْرِدُ بْنُ شَدَّادٍ وَعَمْرُو بْنُ غَيْلَانَ بْنِ سَلَمَةَ فَسَمِعَ الْمُسْتَوْرِدَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةً فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ خَادِمًا فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا أَوْ دَابَّةً فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه احمد)
Kedua dalil (AS-Sunnah) tersebut menunjukkan :
1.       ketika seorang muslim diangkat menjadi pejabat dalam negara Islam (Khilafah) baik sebagai pe-nguasa (مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا) maupun pegawai negara biasa (مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا), maka Khalifah wajib me-nyediakan baginya fasilitas pemenuhan kebutuhan pokok di luar makanan-minuman, yakni : (a) is-tri (زَوْجَةً), (b) pembantu/pelayan (خَادِمًا), (c) tempat tinggal/rumah (مَسْكَنًا) dan (d) kendaraan/alat transfortasi (دَابَّةً).
2.       bila yang bersangkutan mengambil harta negara di luar yang dikategorikan fasilitas pemenuhan ke-butuhan pokok tersebut, maka dia telah berbuat curang (غَالٌّ) atau melakukan pencurian (سَارِقٌ), se-hingga hartanya harus dirampas oleh Khalifah dan dia harus dikenai sanksi keras bahkan bisa hing-ga dijatuhi sanksi mati.
Lalu ketika Rasulullah saw menyatakan :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (البخاري)
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (البخاري)
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه مسلم)
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه مسلم)
maka keseluruhan dalil tersebut memastikan bahwa :
1.       antara realitas pria (مَعْشَرُ الشَّبَابِ) dengan penampakkan utama dorongan naluriahnya untuk memper-tahankan keberlangsungan ras manusia sendiri (غَرِيْزَةُ النَّوْعِ) yakni hasrat seksual (اَلْبَاءَةُ اَيِ الْجِمَاعُ) ter-nyata dibatasi oleh syarat (اَلشَّرْطُ) berupa اَلإِسْتِطَاعَةُ. Hubungan antara perintah untuk beristri (فَلْيَتَزَوَّجْ) yang berposisi sebagai اَلْمَشْرُوْطُ dengan اَلإِسْتِطَاعَةُ (مَنْ اسْتَطَاعَ) yang berposisi sebagai اَلشَّرْطُ adalah ber-wujud kaidah : وُجُوْدُ الْمَشْرُوْطِ بِوُجُوْدِ الشَّرْطِ atau  اَلشَّرْطُ مُقَدَّمٌ مِنَ الْمَشْرُوْطِ.
2.       realitas اَلإِسْتِطَاعَةُ ditunjukkan secara gamblang oleh dalil yang mewajibkan Khalifah menyediakan fasilitas pemenuhan kebutuhan pokok (selain makanan-minuman) bagi para pejabat baik itu pengu-asa (اَلْحُكَّامُ) maupun pegawai negara biasa (اَلْمُوَظَّفُوْنَ) : (a) istri (زَوْجَةً), (b) pembantu/pelayan (خَادِمًا), (c) tempat tinggal/rumah (مَسْكَنًا) dan (d) kendaraan/alat transfortasi (دَابَّةً). Nampak sekali di sini po-sisi istri disejajarkan dengan posisi pembantu/pelayan, tempat tinggal/rumah  dan  kendaraan/alat transfortasi, artinya realitas اَلإِسْتِطَاعَةُ yang wajib dimiliki oleh para pria untuk dapat beristri adalah mereka harus mampu menyediakan makanan-minuman (مَأْكَلاً وَمَشْرَبًا), pakaian (مَلْبَسًا), tempat tinggal (مَسْكَنًا), pelayan (خَادِمًا), bahkan kendaraan (دَابَّةً), bagi istri dan keluarganya nanti. Lalu jika kemam-puan (اَلإِسْتِطَاعَةُ) tersebut belum dimiliki maka mereka haram beristri.
3.       khusus berkenaan dengan tempat tinggal (rumah), apakah rumah itu tetap menjadi milik suami ataukah otomatis menjadi milik istri? Jawaban untuk pertanyaan tersebut dapat digali dari sejumlah dalil berikut :
a.       pernyataan Allah SWT :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (الطلاق : 7-6)
b.       hadits Rasulullah saw :
عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ أَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ فَخَاصَمَتْهُ فِي السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ فَلَمْ يَجْعَلْ سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً وَقَالَ يَا بِنْتَ آلِ قَيْسٍ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ عَلَى مَنْ كَانَتْ لَهُ رَجْعَةٌ (رواه احمد)

عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ قَالَتْ طَلَّقَنِي زَوْجِي ثَلَاثًا فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَجْعَلْ لِي سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً وَقَالَ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى (رواه احمد)

Keseluruhan dalil tersebut menunjukkan :
a.       bahwa seorang istri yang ditalaq suaminya untuk kali pertama dan kedua (اَلطَّلاَقُ الرَّجْعِيُ) adalah kewajiban si mantan suami untuk memberikan tempat tinggal (السُّكْنَى) dan nafaqah atau pem-biayaan hidup (النَّفَقَةُ) selama masa ‘iddah. Sedangkan bila talaq yang diajtuhkan suami adalah untuk kali ketiga (اَلطَّلاَقُ غَيْرُ الرَّجْعِيِ), maka tidak ada kewajiban tersebut, karena Rasul saw me-nyatakan : إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ عَلَى مَنْ كَانَتْ لَهُ رَجْعَةٌ atau إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ.
b.      tempat tinggal yang dimaksudkan adalah rumah yang selama ini bersama-sama ditinggali sela-ma belum terjadinya perceraian (أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ).
c.       dua keadaan tersebut (a dan b) adalah bila si istri diceraikan oleh si suami, lalu bagaimana bila si istri ditinggalkan mati oleh suaminya? Bila keadaan ini terjadi maka si istri akan memperoleh harta peninggalan suaminya (warisan) sebanyak seperempatnya bila suami tidak punya anak atau seperdelapannya bila suami punya anak. Lalu tentang rumah dan seisinya? Ketentuan yang ada adalah bila suami menceraikan istrinya untuk kali pertama dan kedua, maka wajib bagi sang mantan suami menyediakan tempat tinggal dan pembiayaan hidup sehari-hari bagi mantan istrinya tersebut. Lalu dengan menggunakan kaidah مِنْ بَابِ الأَوْلَى مِنْ دَلاَلَةِ الإِلْتِزَامِ maka tentu saja dapat dipastikan ketika sang suami meninggal maka rumah dan seisinya yang selama ini ditinggali bersama-sama adalah otomatis menjadi milik si istri dan bukan menjadi bagian dari harta peninggalan si suami yang harus dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentu-an Islam tentang hukum waris.

No comments:

Post a Comment