Saturday, November 9, 2013

SHAUM DAN PERDAMAIAN : ADAKAH HUBUNGANNYA?


Shaum pun dikisruhan
Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan/PSIK, Universitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya berjudul “Puasa dan Perdamaian” (Media Indonesia, 21 Agustus 2009, OPINI halaman 4) menyatakan : untuk mengarah ke sana –dominasi takwa (kebai-kan) atas fujur-- ibadah puasa yang akan segera kita (muslim) lakukan pada bulan ini menjadi solusi nyata dalam menangani hal tersebut. Sebab ibadah puasa, sebagaimana Alquran tegaskan dalam su-rah al-Baqarah, ayat 183, yang pengertiannya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini. Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling me-maafkan dan ketiga, berbuat amal kebajikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi funda-men. Poin pertama, kedua dan ketiga sama pentingnya dan tidak mungkin untuk dipisahkan. Puasa Ramadhan sebagai kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia mengandung pesan moral yang sangat luhur. Jika dilihat dari sisi kebahasaan, puasa berarti al-imsak (menahan). Maka, dalam pengertian syariat, puasa adalah menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum dan bersetubuh dengan istri, maupun nafsu negatif seperti ingin mencaci maki, menggunjing dan ghi-bah. Dengan begitu, pengertian puasa bisa ditarik pada pemahaman untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan sesama dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.
Uraian dalam tulisannya tersebut diawali oleh Asrori Mulky dengan kutipan dari :
1.       Ali Shariati, sosiolog asal Iran dalam bukunya On the Sosiology of Islam menjelaskan : sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepen-tingan.
2.       Ibnu Khaldun, sejarawan muslim abad pertengahan dalam karya agungnya Muqaddimah juga me-negaskan : perang dan berbagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah mencipta-kan dunia.
3.       Qabil dan Habil dalam perspektif filsafat sejarah Shariati merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif akan memilih satu peran di an-tara dua tokoh besar itu, Qabil dan Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar dan suka membunuh. Sebaliknya, Habil berkepribadian baik, ramah dan pemaaf.
Dengan demikian ada tiga realitas yang sedang dikawin-silangkan oleh Asrori supaya melahirkan keturunan yang bernama kedamaian di dunia, yaitu : (a) peperangan dan pertikaian, (b) fujur dan taqwa serta (c) shaum dalam Islam. Asrori juga mengklaim bahwa realitas konflik yang terjadi antara dua orang putra Adam as yakni Qabil dan Habil, semakin mentakidkan (memperkuat) fakta ilmiah bah-wa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Oleh karena itulah dia dengan tegas menyatakan : Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling memaafkan dan ketiga, berbuat amal keba-jikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi fundamen. Poin pertama, kedua dan ketiga sama pentingnya dan tidak mungkin untuk dipisahkan.
Lalu, benarkah upaya kawin silang yang dilakukan oleh Asrori Mulky tersebut baik menurut dalil aqliy maupun dalil naqliy? Benarkah thesis dan fakta ilmiah yang menyatakan bahwa kehidupan, ma-nusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan? Benarkah telah terjadi konflik antara dua orang anak laki-laki Nabi Adam as? Apakah dapat dibenarkan menjadikan shaum sebagai antithe-sis untuk thesis peperangan dan pertikaian supaya terlahir sinthesis kedamaian di dunia?

Memahami kisah dua anak laki-laki Nabi Adam as
Terlepas dari persoalan nama dari kedua anak Nabi Adam as tersebut yakni apakah benar Qabil dan Habil ataukah bukan (karena Al-Quran tidak menyebutkannya), yang krusial dalam dan dari kisah mereka berdua adalah : apakah benar telah terjadi konflik kepentingan di antara mereka berdua? Hal ini sangat mendasar dan penting sebab jika memang kejadian pembunuhan untuk pertama kalinya tersebut adalah akibat dari konflik kepentingan, maka memang dapat dibenarkan jika muncul sebuah thesis bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Namun sebaliknya jika kejadian pembunuhan tersebut bukan sebagai akibat konflik kepentingan, maka thesis semacam itu adalah salah, “ngawur”, prematur dan absurd. Oleh karena itu harus ada pemahaman yang jernih, netral dan apa adanya terhadap kisah dua orang putra Adam as tersebut dan karena Al-Quran adalah satu-satunya sumber informasi yang bersifat قَطْعِيًّا جَازِمًا عَنْ دَلِيْلٍ عَقْلِيٍّ (pasti berdasarkan dalil aq-liy), maka kisah tentang kedua anak manusia pertama yang disampaikan oleh Al-Quran dapat dipasti-kan sebagai hujjah bagi keputusan aqal (حُكْمُ الْعَقْلِ). Allah SWT menyatakan :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (المائدة : 27-32)
Dan ceritakanlah kepada mereka informasi tentang dua anak Adam dengan sebenarnya, ketika kedua-nya melakukan qurban, lalu diterima dari salah seorangnya dan tidak diterima dari seorang lainnya. Dia (yang diterima qurbannya) berkata : sesungguhnya Allah hanya akan menerima dari orang-orang muttaqin. Jika kamu mengembangkan tanganmu kepada saya untuk membunuh saya, pastilah saya ti-dak akan mengembangkan tangan saya kepadamu untuk membunuhmu karena saya takut kepada Allah Rabbal alamin. Sungguh saya ingin kamulah yang menanggung dosa saya dan dosamu sendiri lalu ka-mu menjadi bagian dari penghuni neraka dan itulah balasan bagi orang-orang zhalim. Maka dorong-an kepentingannya (yang ditolak qurbannya) telah menguasai dirinya untuk membunuh saudaranya la-lu dia pun membunuhnya, maka jadilah dia bagian dari orang-orang yang rugi. Kemudian Allah me-ngutus seekor burung yang mengais-ngais di atas tanah untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana cara menutupi/mengubur jasad saudaranya, dia berkata : wahai, haruskah saya menjadi seperti bu-rung itu lalu saya kubur jasad saudara saya, maka jadilah dia orang yang sangat menyesal. Oleh kare-na itu, Kami (Allah) tetapkan kepada Bani Israil bahwa siapa saja yang membunuh seseorang bukan karena yang bersangkutan juga membunuh atau karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan dia telah membunuh manusia secara keseluruhan dan siapa saja yang menghidupkannya maka seakan dia telah menghidupkan manusia seluruhnya dan sungguh telah datang kepada mereka para Rasul Kami dengan membawa berbagai penjelasan (peraturan) kemudian setelah itu sungguh sebagian sangat be-sar dari mereka berbuat melampaui batas (peraturan Kami) di bumi.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa :
1.       Allah SWT hanya menerima qurban dari salah satu anak Adam dan menolak dari yang satunya lagi adalah karena dia (yang diterima qurbannya) melakukan qurban itu sebagai bentuk pasti dari sikap taqwanya kepada Allah SWT dan bukan dengan pertimbangan lainnya : إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ. Se-dangkan anak Adam yang qurbannya ditolak dapat dipastikan bahwa dia melakukannya bukan se-bagai bentuk pelaksanaan taqwa tapi semata karena kepentingan dirinya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ). Ini-lah yang dipahami dari bagian ayat إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ dengan metode مَفْهُوْمُ الْمُخَالَفَةِ. Kepentingan sesaat anak Adam yang ditolak qurbannya semakin jelas dengan memahami realitas “penyesalan” yang dia alami (فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ), karena sikap “menyesal” yang muncul segera setelah kesadaran aqliyah kembali adalah ciri khas dari perbuatan yang sepenuhnya didorong oleh kepentingan nalu-riah.
2.       anak Adam yang diterima qurbannya walau mendapat ancaman riil pembunuhan dari saudaranya namun dia tetap mempertahankan kesadaran aqliyahnya, sehingga dia dapat menggunakan aqalnya untuk memutuskan sikap yang benar dengan tidak terpancing untuk melakukan hal yang sama de-ngan saudaranya dan sikap itu dia ambil sepenuhnya karena kesadaran hubungan dirinya dengan Allah SWT : إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ.
3.       kejadian pembunuhan untuk pertama kalinya tersebut oleh Allah SWT dijadikan alasan (اَلْعِلَّةُ) untuk menetapkan peraturan yang diberlakukan kepada Bani Israil berkenaan dengan haramnya pembu-nuhan. Peraturan tersebut disampaikan kepada mereka melalui para Rasul :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Dengan adanya sikap yang berbeda dari kedua putra Nabi Adam tersebut yakni yang membunuh hanya mendasarkan sikapnya kepada kepentingan sesaat dirinya untuk membunuh saudaranya, se-dangkan seluruh sikap yang terbunuh adalah bentuk pelaksanaan taqwanya kepada Allah SWT, maka dapat dipastikan sama sekali tidak ada konflik pribadi di antara mereka berdua. Kejadian pembunuhan tersebut adalah akibat dari sikap si pembunuh yang telah didominasi oleh kepentingan naluriahnya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ) sehingga aqalnya sama sekali tidak berfungsi normal walau dia memperoleh informasi berupa nasihat dari saudaranya :
لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
Peristiwa itu pun tidak dapat dan tidak boleh dikategorikan sebagai konflik kepentingan keduanya, sebab yang memiliki kepentingan diri lalu mendominasi sikap hanyalah si pembunuh sedangkan si korban justru bersikap bertahan saja sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang berlaku saat itu. Ja-di, kejadian pembunuhan tersebut sepenuhnya akibat dari sikap satu pihak (pembunuh) yang tidak bersedia mentaati seluruh ketentuan Allah SWT yang berlaku saat itu alias menolak taqwa kepada Allah SWT.
Wal hasil, klaim Asrori bahwa telah terjadi konflik di antara dua putra Adam as, tentu saja sangat salah alias keliru fatal sebab yang terjadi adalah sikap dari si pembunuh yang hanya memperturut-kan kepentingan naluriahnya, sedangkan sikap atau respon dari si korban justru diametral dan kon-tradiktif dengan sikap si pembunuh yakni seluruh sikap si korban adalah hanya sebagai bentuk pe-laksanaan ketaatan dia kepada Allah SWT (إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ). Oleh karena itu, peristiwa yang diperankan oleh kedua putra Nabi Adam tersebut tidak dapat dan tidak boleh dijadikan thesis atau diposisikan sebagai yang memperkuat sebuah thesis ilmiah bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Artinya thesis ilmiah seperti itu adalah sekedar kha-yalan alias imajinasi sekaligus sebentuk konsep yang “ngawur”, prematur dan absurd, karena tidak sesuai dengan kenyataan apa adanya dari peristiwa pembunuhan pada awal kehidupan manusia itu sendiri.
Lagipula, jika kontradiksi dan pertarungan dianggap sebagai asas kehidupan, manusia dan sejarah maka anggapan tersebut benar-benar bertentangan dengan dan menyalahi perjalanan kehidupan manusia sejak Nabi Adam as hingga saat dunia dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. Nabi Adam memerintahkan kedua puteranya untuk melakukan qurban dan itu beliau tetapkan semata karena adanya perintah Allah SWT yang diberlakukan khusus kepada mereka berdua. Andaikan saja putera Nabi Adam yang menjadi pembunuh saudaranya itu menyadari hubungan dirinya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُهُ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى) persis seperti sikap ayahnya dan saudaranya, maka dapat dipasti-kan tidak akan pernah ada peristiwa pembunuhan itu. Jadi, justru realitas kontradiksi dan pertaru-ngan yang ada dalam peristiwa itu merupakan penyimpangan dari حَكْمُ الأَصْلِ فِيْ الْحَيَاةِ (hukum orisi-nal dalam kehidupan) yakni kesepakatan untuk mentaati peraturan Allah SWT :
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 38-39)
Bagian ayat فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ adalah kepastian tentang hu-kum orisinal dalam kehidupan dunia, sedangkan bagian ayat وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا adalah bentuk pasti dari penyimpangan terhadap hukum orisinal tersebut sehingga adalah wajar dan pantas jika Allah SWT mengancam dengan أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ bagi siapa saja yang melakukannya ketika hidup di dunia. Oleh karena itu yang harus tetap dijadikan thesis adalah hukum orisinal itu dan bukan bentuk penyimpangannya.
Lalu ketika kehidupan manusia di dunia beralih kepada Nabi Nuh as dan beliau memimpin dunia selama 1000 tahun untuk melanjutkan dan memelihara hukum orisinal sepeninggal Nabi Adam, juga nampak terjadinya realitas penyimpangan dari hukum orisinal tersebut bahkan itu dilakukan oleh sebagian sangat besar manusia saat itu. Inilah yang diinformasikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ (هود : 25-26)
Dan sungguh telah Kami (Allah) utus Nuh kepada kaumnya (dan dia berkata) : sungguh aku ada-lah pemberi peringatan yang sejati bagi kalian yakni janganlah kalian mentaati selain Allah, sung-guh aku khawatir akan menimpa kalian adzab di hari yang sangat mengerikan
Bagian ayat إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ memastikan bahwa yang beliau lakukan selama 1000 ta-hun memimpin dan mengurus kaumnya adalah melanjutkan dan memelihara hukum orisinal sepe-ninggal Nabi Adam. Namun sebagian sangat besar manusia saat itu benar-benar telah memutuskan untuk memilih bentuk penyimpangan dari kehidupan mereka dan menolak hukum orisinalnya se-perti yang ditegas-ulangkan oleh Nabi mereka  Nuh as seperti yang ditunjukkan oleh bagian ayat tersebut. Allah SWT menggambarkan sikap sebagian sangat besar kaum Nabi :
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ (هود : 27)
Lalu sekelompok besar orang-orang kafir dari kaumnya berkata : kami tidak melihat apa-apa dari-mu kecuali manusia seperti kami dan kami pun tidak melihat apa-apa dari yang mengikutimu kecu-ali orang-orang yang paling hina di antara kami dan mereka sangat tolol dan kami tidak melihat adanya keunggulan kalian atas kami bahkan kami menduga kalian adalah para pendusta
Nampak sekali bahwa kaum kufar yakni kaum Nabi Nuh yang telah memutuskan untuk menolak hukum orisinal dan pada saat yang sama mereka mengambil hukum penyimpangan, sama sekali ti-dak dapat menggunakan aqal mereka untuk memikirkan lalu memutuskan segala hal maupun infor-masi dari Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi Nuh kepada mereka. Bahkan mereka berusaha keras menutupi kesadaran dirinya dan berbalik menuduh kepada Nabi Nuh berikut kaum mukmin sebagai para pembohong : بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ. Oleh karena itu adalah wajar dan pantas jika kemudian Allah SWT menetapkan untuk memusnahkan mereka dengan menenggelamkannya dalam air bah yang merata menutupi seluruh permukaan bumi saat itu :
وَقِيلَ يَاأَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (هود : 44)
Kemudian ketika kepemimpinan dunia diserahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, maka se-jak beliau diutus hingga menjelang wafat hanya satu hal yang dilakukannya yakni melanjutkan dan memelihara hukum orisinal. Allah SWT menyatakan :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ (الممتحنة : 4)
Sungguh telah ada bagi kalian uswah hasanah pada Ibrahim dan orang-orang yang menyertainya yakni ketika mereka berkata kepada kaumnya : sungguh kami berlepas diri dari kalian dan dari apa pun yang kalian taati selain Allah, kami kufur kepada kalian dan telah nampak permusuhan serta kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya hingga kalian beriman kepada Allah se-mata
Bagian ayat إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ memastikan bahwa justru yang diputuskan oleh orang-orang kafir dari kaumnya itu adalah pola kehidupan yang menyimpang dari hukum orisinal yakni mereka menolak mentaati seluruh ketentuan Allah SWT yang diinformasikan oleh Nabi Ibrahim kepada mereka, seperti yang beliau sampaikan kepada bapaknya sendiri ءَازَرُ :
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (مريم : 41-44)
Bagian ucapan Nabi Ibrahim : يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (wahai bapak saya, sungguh telah datang kepada saya ilmu yang tidak datang kepada engkau maka ikutilah saya pasti saya akan menunjukkan engkau jalan yang lurus) memastikan bahwa sepanjang beliau berada di tengah-tengah kaumnya maka hanya satu perkara atau aktivitas yang dilakukannya yakni berusa-ha keras untuk melanjutkan dan memelihara hukum orisinal : فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا.
Sepeninggal Nabi Ibrahim dan para Nabi dari keluarga beliau, Allah SWT mengutus Nabi Musa dan untuk kesekian kalinya ditugaskan mengembalikan kehidupan manusia di dunia kepada jalur hukum orisinalnya semula yakni hanya mentaati Allah SWT. Allah SWT menggambarkan tugas yang wajib dipikul oleh Nabi Musa :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (المائدة : 20)
Dan perhatikanlah ketika Musa berkata kepada kaumnya (Bani Israil) : wahai kaumku ingatlah oleh kalian semua ni’mat Allah yang telah diberikan kepada kalian yakni Dia (Allah) telah menja-dikan di tengah-tengah kalian para Nabi dan menjadikan kalian sebagai kerajaan dan Dia telah memberikan kepada kalian segala hal yang belum pernah diberikan kepada seorang pun dari kala-ngan makhluk
Nampak jelas, Nabi Musa berusaha keras untuk mengembalikan kesadaran aqliyah Bani Israil su-paya mereka kembali kepada pola kehidupan dunia yang sepenuhnya dijalankan berdasarkan hu-kum orisinal yang selama ini telah disampaikan oleh para Nabi dari Allah SWT sebelum beliau sendiri. Inilah yang dengan gamblang disampaikan Nabi Musa kepada kaumnya :
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ (الأعراف : 128)
Bagian ayat وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ memastikan bahwa Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk me-ngembalikan kehidupan manusia di dunia kepada hukum orisinal yakni taqwa kepada Nya. Namun komunitas manusia dominan saat itu (Bani Israil) benar-benar telah memutuskan untuk terus meles-tarikan sikap penolakan mereka terhadap para Nabi sebelum Nabi Musa dengan mengulang sikap serupa kepada Nabi Musa. Allah SWT mengambarkan sikap Bani Israil tersebut dalam sejumlah ayat antara lain :
يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ وَءَاتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُبِينًا (النساء : 153)
Ahlul Kitab (Bani Israil) akan memintamu (Muhammad) supaya engkau menurunkan sebuah kitab dari langit, ingatlah dulu mereka telah meminta kepada Musa yang lebih dahsyat dari itu yakni mereka berkata : perlihatkanlah kepada kami Allah secara nyata! Lalu halilintar besar menyam-bar mati mereka akibat sikap zhalim mereka, kemudian mereka menjadikan patung anak sapi seba-gai Tuhan setelah datang kepada mereka berbagai penjelasan (dari Kami) lalu Kami pun memaaf-kan perbuatan mereka tersebut dan Kami mendatangkan bukti yang sejati kepada Musa
Jadi walau Nabi Musa telah disertai dengan bukti sejati (سُلْطَانًا مُبِينًا) bagi kerasulan beliau supaya Bani Israil dapat menyadari bahwa apa pun yang disampaikan oleh Nabi Musa adalah pasti berasal dari Allah SWT, ternyata tetap saja mereka menolak seruan Nabi Musa dan bersikukuh untuk memilih pola kehidupan menyimpang : أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً atau اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ atau lain-nya yang disampaikan kisahnya dalam Al-Quran. Bahkan sikap mereka untuk tetap memilih kufur kepada Allah SWT (pola kehidupan menyimpang) selalu ditunjukkan meskipun sepanjang kehidu-pan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu dipimpin dan diurus oleh para Nabi. Si-kap mereka tetap saja kufur dan itu dikisahkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran antara lain :
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء : 155)
Lalu karena keputusan mereka untuk membatalkan perjanjian (dengan Allah) dan sikap kufur me-reka terhadap ayat-ayat Allah dan perbuatan mereka yang membunuh para Nabi tanpa alasan yang haq dan ucapan mereka bahwa ingatan kami lupa, bahkan Allah menetapkan ingatan mereka itu dengan kekufuran mereka, maka mereka tidak akan beriman kecuali sebagian sangat kecilnya saja
Ketika Allah SWT mengutus Nabi Isa, maka sikap Bani Israil semakin menggila apalagi mereka mendapati fakta kelahiran bayi Isa tanpa diawali dengan proses pernikahan Maryam dengan seo-rang laki-laki. Mereka pun semakin berani menolak peraturan Allah SWT dengan memutuskan un-tuk membunuh manusia yang menjadi sumbernya yakni Nabi Isa. Allah SWT menggambarkan hal itu dalam ayat :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا (النساء : 157)
Dan ucapan mereka bahwa kami telah membunuh Al-Masih Isa bin Maryam Rasulullah padahal mereka tidak membunuhnya maupun mensalibnya namun ada orang yang diserupakan bagi mere-ka dan sungguh orang-orang yang berselisih dalam hal itu ada dalam keraguan tentang aksi mere-ka itu, mereka sama sekali tidak memiliki kepastian tentang itu kecuali hanya mengikuti sangkaan dan mereka tidak membunuhnya dengan yakin
Walaupun yang mereka bunuh dan salib adalah bukan Nabi Isa, namun sikap mereka itu memasti-kan bahwa keputusan mereka untuk memilih dan memberlakukan pola kehidupan menyimpang (menolak aturan Allah SWT) tidak dapat diganggu gugat lagi oleh siapa pun juga oleh para Nabi termasuk Nabi Isa as. Allah SWT mengkisahkan hal itu sebagai berikut :
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَءَاتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ (البقرة : 87)
Dan sungguh telah Kami datangkan kitab kepada Musa dan telah Kami kokohkan setelahnya de-ngan sejumlah Rasul dan Kami telah datangkan berbagai penjelasan kepada Isa bin Maryam serta telah Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus (Jibril). Apakah setiap datang kepada kalian seorang Rasul yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian bersikap istikbar lalu sebagian dari kalian bersikap mendustakan dan sebagian lainnya membunuh para Rasul itu
Hingga diutusnya Nabi Muhammad saw di negeri Makkah, maka sikap Bani Israil tidak pernah be-rubah bahkan semakin menggila akibat mereka mendapati kenyataan bahwa Nabi penutup yang se-lama ini mereka tunggu-tunggu itu ternyata bukan dari etnis mereka melainkan dari etnis yang sela-lu mereka pandang sebagai kaum barbarian alias primitif (Bangsa Arab). Oleh karena itulah mereka langsung menolak eksistensi Nabi Muhammad saw berikut risalah Islam yang beliau bawa :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Dan orang-orang kafir itu berkata : kami tidak akan pernah beriman kepada Al-Quran ini dan tidak juga kepada orang yang membawanya
Walaupun sikap mereka demikian, Allah SWT tetap menugaskan Nabi Muhammad saw untuk me-nyerukan kepada mereka pola kehidupan orisinal yang telah pernah mereka dengar, lihat serta sak-sikan dari para Nabi mereka sendiri :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران : 64)
Bagian ayat فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ merupakan penegasan kepada ahlil kitab (Bani Israil) bahwa jika mereka tetap bersikukuh untuk tetap berada dalam pola kehidupan menyimpang yang mereka klaim berasal dari para Nabi mereka, maka sikap mereka tersebut tidak berarti dan tidak berpengaruh apa pun terhadap keputusan beliau berikut kaum muslim untuk bersikap sebaliknya yakni sepenuhnya hanya akan memberlakukan pola kehidupan berasas hukum orisinal yang telah Allah SWT turunkan melalui Al-Quran. Inilah mengapa dalam strategi dakwah Islamiyah yang te-lah Rasulullah saw lakukan secara riil selalu diarahkan kepada upaya serius untuk mengembalikan kesadaran aqliyah ahlil kitab supaya mereka segera saja meninggalkan pola kehidupan menyim-pang yang selama ini mereka berlakukan dan kembali kepada hukum orisinal yang beliau bawa (Islam). Sebagai contoh dakwah Rasulullah saw yang selalu membidik aqal manusia adalah :
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
Bagian ayat قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ yang diikuti oleh bagian وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ memastikan sebuah tantangan terbuka dan sangat berani dari Nabi Muhammad saw kepada ahlil kitab untuk membuktikan kebenaran klaim mereka yang menganggap Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucu mereka sebagai Yahudi atau Nashara. Tantangan terbuka dan sangat berani itu jika dite-rima oleh aqal yang berfungsi normal dan terlepas dari gangguan kepentingan sesaat naluriah, ma-ka akan mendorong aqal untuk memutuskan bahwa orang yang melakukannya pastilah memiliki hujjah maupun bukti yang nyata serta otentik dan orangnya pastilah bukan manusia biasa melain-kan manusia yang memperoleh informasi wahyu dari Allah SWT alias Rasulullah.
Contoh lainnya dalam Al-Quran adalah bagaimana Allah SWT memberikan informasi yang sangat lengkap dan rinci seputar Nabi Isa dan Maryam ibunya yang keduanya diklaim oleh kaum Nashara sebagai Tuhan selain Allah yang kemudian mereka rancang secara imajinatif dalam konsep Trinity atau ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ sebagai asas bagi pola kehidupan menyimpang yang mereka jalankan :
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (المائدة : 116-117)
Dan ingatlah ketika Allah berkata kepada Isa bin Maryam : apakah kamu berkata kepada manusia ‘jadikanlah oleh kalian diriku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah’? Dia (Isa) menjawab : Maha Suci Engkau, adalah tidak layak bagi saya untuk mengatakan sesuatu yang saya sendiri ti-dak memiliki haq untuk melakukannya, jika pun saya telah mengatakannya pastilah Engkau me-ngetahuinya, karena Engkau mengetahui segala sesuatu yang ada dalam diri saya sedangkan saya tidak mengetahui sedikit pun yang ada pada Engkau, karena sungguh Engkau Maha mengetahui yang ghaib. Saya tidak mengatakan apa pun kepada mereka kecuali segala hal yang telah Engkau perintahkan kepada saya yakni ‘taatlah kalian semua kepada Allah Rab saya dan Rab kalian! Saya memang menjadi saksi atas mereka selama saya ada di tengah-tengah mereka, lalu ketika Engkau telah mewafatkan saya, maka Engkaulah yang sangat dekat kepada mereka dan Engkau Maha me-nyaksikan terhadap segala sesuatu.
Berdasarkan informasi wahyu yang sangat lengkap dan rinci tersebut ditambah lagi sebuah kepas-tian dari Allah SWT sendiri yakni :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (المائدة: 73)
Sungguh telah kufur orang-orang yang berkata bahwa Allah itu adalah ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ (Trinity alias Tri Tunggal), padahal tidak ada Tuhan kecuali Tuhan Yang Satu dan jika mereka tidak menghentikan seluruh perkara yang mereka ucapkan tersebut, pastilah adzab yang sangat pedih akan menimpa orang-orang kafir itu
maka Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad saw untuk menyeru tegas mereka untuk tidak lagi mempertahankan klaim tersebut :
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (النساء : 171)
Wahai ahlul kitab, janganlah kalian melampaui batas (اَلتَّجَاوُزُ فِيْ الْحَدِّ) dalam din kalian dan jangan-lah kalian berkata-kata kepada Allah kecuali yang haq, hanya sesungguhnya Al-Masih Isa bin Maryam itu adalah Rasulullah dan Kalimah Nya yang telah Dia sampaikan kepada Maryam dan dia adalah Ruh dari Nya, oleh karena itu berimanlah kalian kepada Allah dan para Rasul Nya dan janganlah kalian berkata Trinity, jika kalian menghentikan ucapan tersebut maka itu adalah yang baik bagi kalian. Hanya sesungguhnya Allah itu adalah Tuhan Yang Satu, Maha Suci Dia untuk memiliki anak, milik Dialah semua yang ada di langit dan di bumi dan cukuplah Allah sebagai Pe-nolong
Bagian ayat إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا jika dite-rima oleh aqal yang jernih dan terlepas dari gangguan kepentingan sesaat untuk mempertahankan pola kehidupan menyimpang, maka dapat dipastikan kaum Nashara akan berubah seluruhnya men-jadi umat Islam sekaligus mereka akan kembali kepada hukum orisinal untuk kehidupan dunia.
Seluruh seruan Allah SWT dalam Al-Quran yang berhubungan dengan ahlil kitab merupakan seru-an aqliyah yakni menyeru aqal mereka supaya kembali sadar bahwa pola kehidupan mereka selama ini adalah salah dan menyimpang dari hukum orisinal yang telah disampaikan oleh dua orang Ra-sulullah sebelum Nabi Muhammad saw : Musa dan Isa  عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ. Walaupun seluruh seruan Al-Quran itu adalah حُجَّةً بَالِغَةً دِمَاغَةً اَيْ بُرْهَانًا عَقْلِيًّا (hujjah yang gamblang bagi aqal atau bukti aqliy) namun karena aqal mereka telah didominasi oleh kepentingan sesaat naluriah maka seolah semua-nya tidak berguna dan tidak berarti sama sekali dan itu ditunjukkan oleh realitas perjalanan hidup mereka hingga kini yang masih tetap bercokol dalam keyahudiannya atau kenasharaannya. Oleh karena sikap mereka itulah akhirnya Allah SWT menyatakan kepada Nabi Muhammad saw :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (البقرة : 6)
Akibatnya adalah Allah SWT menugaskan Nabi Muhammad saw untuk memberlakukan aksi pe-rang (yang diklaim oleh Asrori Mulky sebagai realitas kontradiksi dan pertarungan serta kontra perdamaian) untuk memusnahkan eksistensi mereka hingga mereka bersedia tunduk patuh kepada kekuasaan Islam dengan membayar jizyah sebagai bukti kesediaan mereka untuk mentaati pola ke-hidupan berbasis hukum orisinal walau mereka tetap dalam keyahudiannya atau kenasharaannya. Allah SWT menyatakan :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
Wal hasil, kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh salah seorang putra Nabi Adam terhadap saudaranya sendiri adalah tidak dapat dan tidak boleh dijadikan argumen pembenar maupun argumen penguat bagi thesis ilmiah “ngawur dan imajinatif” yang menyatakan bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Hal itu karena realitas kontradiksi dan pertaru-ngan pada hakikatnya tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sepanjang kehidupan manusia di dunia mulai dari kedua putra Nabi Adam hingga saat ini (Yahudi, Nashara dan umat Islam). Realitas yang nyata terjadi bahkan tengah berlangsung hingga kini adalah keputusan sebagian besar manusia (teru-tama yang diwakili oleh kaum Yahudi dan Nashara) untuk tetap bersikukuh memberlakukan pola kehi-dupan menyimpang berbasis kepentingan sesaat naluriah manusiawi mereka (اَهْوَاءُهُمْ), sekaligus meno-lak mentah-mentah seluruh seruan aqliy dari Islam yang berusaha keras menyadarkan mereka untuk kembali kepada pola kehidupan di dunia berbasis hukum orisinal yakni Islam. Keputusan mereka itulah yang secara pasti menimbulkan kenyataan hidup yang dianggap dan diklaim oleh sebagian besar ilmu-wan Barat berikut para pengekornya dari kalangan umat Islam termasuk Mohamad Asrori Mulky, se-bagai realitas kontradiksi dan pertarungan. Sangat disayangkan sekaligus memprihatinkan (jika benar) ternyata seorang muslim sekaliber Ibnu Khaldun pun telah terjebak dalam kekisruhan pemikiran ten-tang realitas tersebut sehingga konon kabarnya (menurut Asrori Mulky) menyatakan : perang dan ber-bagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah menciptakan dunia atau Ali Shariati yang menyatakan : sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan.
Padahal realitas yang sebenarnya (اَلْحَقِيْقَةُ) adalah perang (اَلْجِهَادُ اَوِ الْقِتَالُ) yang merupakan bagian dari syariah Islamiyah dan telah diberlakukan secara riil sejak masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw hingga sepanjang kepemimpinan para Khalifah itu menjadi jalan terakhir (ketiga) untuk mengem-balikan kesadaran aqliy manusia supaya segera meninggalkan pola kehidupan menyimpang yang sela-ma ini mereka berlakukan dan segera menggantikannya dengan pola kehidupan berbasis hukum orisi-nal (Islam). Hal itu pun dilakukan setelah dakwah (jalan pertama) dan kesediaan membayar jizyah (ja-lan kedua) ditolak oleh mereka sehingga berakibat hakikat diri mereka adalah kaum kufar harbiyah se-bagai pengusung utama kekufuran (فِتْنَةٌ). Inilah yang dimaksudkan oleh sejumlah pernyataan Rasulullah saw antara lain :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا قُوتِلَ الْكُفَّارُ (رواه النسائي)
Realitas shaum dalam Islam
Para fuqaha dan mujtahidin sepakat tentang realitas shaum dalam syariah Islamiyah yakni :
اَلإِمْسَاكُ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْجِمَاعِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ اِلَى الْمَغْرِبِ
Menahan dari makan, minum dan jima’ sejak terbit fajar hingga maghrib
Realitas tersebut mereka rumuskan berdasarkan pernyataan Allah SWT :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (البقرة : 187)
Adapun dalil yang mewajibkan shaum selama Bulan Ramadlan adalah pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 183)
Ayat tersebut menunjukkan hubungan wajibnya shaum Ramadlan (كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ) dengan taqwa ke-pada Allah SWT (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) dengan titik awal adalah اَلإِيْمَانُ بِاللهِ (يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا). Artinya, kewajiban shaum Ramadlan adalah perkara (اَلْعَمَلُ) yang dituntut oleh iman (يَقْتَضِيْهِ الإِيْمَانُ) dan jika kaum mukmin berhasil sempurna melaksanakannya maka dapat dipastikan itu adalah realisasi taqwa mereka kepada Allah SWT. Hal itu karena lafadz لَعَلَّ dalam ayat ini bukan hanya لِلتَّرَجِيِّ (harapan terlaksana) melain-kan لِلتَّحْقِيْقِ (merealisir), yakni : كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ ِلأَنْ تُحَقِّقُوْا تَقْوَاكُمْ لَهُ (Allah mewajibkan shaum kepada kalian supaya kalian dapat merealisir taqwa kalian kepada Nya). Lalu realitas taqwa telah lama diru-muskan oleh para fuqaha dan mujtahidin sebagai : اَلإِمْتِثَالُ بِأَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ, sehingga semakin jelas bahwa kewajiban shaum Ramadlan itu adalah جَزْءٌ مِنْ تَقْوَى اللهِ (bagian dari taqwa kepada Allah).
Adakah sifat shaum lainnya yang ditetapkan oleh Islam? Rasulullah saw menyatakan :
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (وراه البخاري)
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ (وراه البخاري)
Kedua hadits tersebut menunjukkan sejumlah realitas :
1.       الصِّيَامُ جُنَّةٌ dan makna جُنَّةٌ adalah وِقَايَةٌ وَحِمَايَةٌ وَسِتْرٌ (perisai, pelindung, penghalang). Sehingga ketika seorang sedang shaum maka haram baginya melakukan semua perbuatan yang akan merusak reali-tas الصِّيَامُ جُنَّةٌ, seperti اَلرَّفَثُ (يُطْلَقُ عَلَى الْجِمَاعِ وَعَلَى مُقَدِّمَاتِهِ وَعَلَى ذِكْرِهِ مَعَ النِّسَاءِ : digunakan untuk jima dan segala hal yang menjadi muqaddimah jima serta menyebut-nyebutnya bersama wanita), melaku-kan sesuatu dari perbuatan أَهْلُ الْجَهْلِ semisal berteriak-teriak, bersikap dungu dan lainnya serta me-lakukan tindakan اَلصَّخْبُ yakni berselisih disertai teriakan. Oleh karena itu ketika ada orang lain mencaci maki (اَلسَّبُّ) dan mengutuk (لِأَنَّ الْقَتْلَ يُطْلَقُ عَلَى اللِّعَنِ) dirinya maka haram dia membalasnya dengan hal yang serupa dan cukup menjawab إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ (sungguh saya adalah orang yang se-dang shaum)
2.       shaum Ramadlan wajib dilakukan semata demi melaksanakan perintah Allah SWT dan hanya de-ngan itulah orang yang melakukannya dipastikan akan memperoleh اَلثَّوَابُ الْعَظِيْمُ yang ditunjukkan oleh الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. Inilah yang dimaksudkan oleh bagian hadits يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي (dia meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya demi Aku).
Dengan demikian, shaum Ramadlan wajib dilakukan oleh umat Islam bukan supaya mereka dapat me-raih atau sampai kepada taqwa, melainkan sebaliknya keberhasilan mereka melaksanakan shaum ter-sebut dengan sempurna adalah bukti pasti dari upaya mereka dalam merealisir sikap taqwa kepada Allah SWT (كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ ِلأَنْ تُحَقِّقُوْا تَقْوَاكُمْ لَهُ). Artinya, Asrori Mulky telah dengan sengaja menga-burkan dan mengkisruhkan realitas shaum saat dia menyatakan : Sebab ibadah puasa, sebagaimana Al-quran tegaskan dalam surah al-Baqarah, ayat 183, yang pengertiannya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini.
Shaum Ramadlan adalah perbuatan yang wajib dilakukan oleh umat Islam yang tidak berkaitan sama sekali dengan segala hal, perkara maupun keadaan yang diklaim oleh Asori Mulky sebagai kebai-kan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini. Shaum Ramadlan dilakukan sepenuhnya dengan dasar kesadaran aqliy umat Islam dalam rangka mentaati perintah Allah SWT dan realitas ini-lah yang dimaksudkan oleh sejumlah pernyataan Rasulullah saw, antara lain :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري)
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (وراه البخاري)
Bagian ucapan Rasulullah saw : إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا pada hadits pertama dan يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي pada hadits kedua, memastikan bahwa shaum itu wajib dilakukan oleh umat Islam dengan diawali oleh kesa-daran hubungan mereka dengan Allah SWT, yakni mereka wajib menyadari bahwa shaum tersebut di-lakukan bukan dengan pertimbangan naluriah apa pun (suka, senang, menurunkan berat bedan, meng-hemat, menyehatkan badan dan lainnya) melainkan hanya karena Allah SWT mewajibkannya sehingga mereka harus mentaati perintah wajib tersebut. Lagipula, pertimbangan naluriah semacam itu hanya terjadi saat ini akibat dari telah lamanya (lebih dari 85 tahun) umat Islam menjalani pola kehidupan ka-pitalisme sekularistik. Hal yang serupa juga terjadi atas pemikiran dan sikap Mohamad Asrori Mulky yang benar-benar telah putus asa bahkan skeptis terhadap realitas kontradiksi dan pertarungan alias realitas tidak adanya kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini, sehingga dia menggeret paksa realitas shaum Ramadlan dalam syariah Islamiyah untuk dia jadikan sebagai pemaha-man untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan sesama dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.
Padahal semua orang juga sangat memahami bahwa fakta kehidupan saat ini yang telah berlang-sung paling tidak sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah di Istambul Turki (lebih dari 85 tahun) termasuk adanya kontradiksi dan pertarungan, adalah pola kehidupan tidak Islami karena dijalankan sepenuhnya berbasis sekularisme yang disertai pemberlakuan demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme da-lam perekonomian seluruh negara kebangsaan yang ada sekarang. Jadi, mengapa harus meminta per-tanggungjawaban kepada Islam atas munculnya akibat dari diberlakukannya kekufuran tersebut dalam kehidupan manusia di dunia? Atau mengapa harus mencari-cari sesuatu dari Islam yang diduga kuat dapat menjadi solusi untuk hal itu?
Tentu saja pemikiran dan sikap seperti Asrori Mulky dan yang sejenis dengan dia, adalah ekspre-si pasti dari inkonsistensi mereka dalam menjalankan keputusan mereka sendiri yakni memberlakukan dengan ketat kekufuran dalam kehidupan dan meninggalkan Islam sepenuhnya. Jika mereka konsisten terhadap pilihannya sendiri, maka tentu saja pemikiran dan sikap yang akan mereka tunjukkan adalah meminta pertanggungjawaban kepada kekufuran atas munculnya akibat dari diberlakukannya sistem buatan tangan manusia tersebut dalam kehidupan manusia di dunia. Mereka pun (jika konsisten) hanya akan mengharuskan dirinya untuk mencari sesuatu dari kekufuran itu sendiri yang diduga kuat dapat menjadi solusi untuk seluruh kenyataan hidup menyimpang saat ini. Mengapa mereka bersikap inkon-sisten?
Jawabannya adalah karena mereka (sadar maupun tidak) mendapati sistema kufur yang selama ini digenggam erat, dipertahankan dan dibela mati-matian tersebut sama sekali tidak layak, tidak pantas bagi kehidupan manusia di dunia. Mereka pun mendapati kenyataan bahwa sistema tersebut memang secara jatidiri orisinalnya adalah the trouble maker alias biang keladi segala permasalahan kehidupan manusia di dunia. Inilah yang telah sejak lama diinformasikan oleh Allah SWT bahwa kaum kufar berikut siapa pun yang mengekor mereka adalah manusia-manusia yang sama sekali tidak berpikir :
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)

No comments:

Post a Comment