Shaum pun dikisruhan
Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan/PSIK, Universitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya
berjudul “Puasa dan Perdamaian” (Media Indonesia, 21 Agustus 2009, OPINI
halaman 4) menyatakan : untuk mengarah ke sana –dominasi takwa (kebai-kan)
atas fujur-- ibadah puasa yang akan segera kita (muslim) lakukan pada bulan ini
menjadi solusi nyata dalam menangani hal tersebut. Sebab ibadah puasa,
sebagaimana Alquran tegaskan dalam su-rah al-Baqarah, ayat 183, yang
pengertiannya adalah agar manusia meraih derajat takwa sebagai bentuk
pengabdian kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai wahana yang memediasi
hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga sebagai upaya untuk merajut derajat
takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian bagi sesama manusia di
muka bumi ini. Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa akan
ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling me-maafkan dan ketiga,
berbuat amal kebajikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi
funda-men. Poin pertama, kedua dan ketiga sama pentingnya dan tidak mungkin
untuk dipisahkan. Puasa Ramadhan sebagai kewajiban bagi umat Islam di seluruh
dunia mengandung pesan moral yang sangat luhur. Jika dilihat dari sisi
kebahasaan, puasa berarti al-imsak (menahan). Maka, dalam pengertian syariat,
puasa adalah menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti
makan, minum dan bersetubuh dengan istri, maupun nafsu negatif seperti ingin
mencaci maki, menggunjing dan ghi-bah. Dengan begitu, pengertian puasa bisa
ditarik pada pemahaman untuk menahan diri dari amarah dan murka, memaafkan
sesama dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan kita
untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa peduli
terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan terwujud.
Uraian dalam tulisannya tersebut diawali oleh Asrori Mulky dengan
kutipan dari :
1.
Ali Shariati, sosiolog asal Iran dalam bukunya On the Sosiology
of Islam menjelaskan : sejarah umat manusia adalah sejarah peperangan
dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepen-tingan.
2.
Ibnu Khaldun, sejarawan muslim abad pertengahan dalam karya
agungnya Muqaddimah juga me-negaskan : perang dan berbagai bentuk
pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah mencipta-kan dunia.
3.
Qabil dan Habil dalam perspektif filsafat sejarah Shariati
merupakan aktor utama dalam panggung sejarah dunia. Setiap manusia, baik secara
individu maupun kolektif akan memilih satu peran di an-tara dua tokoh besar
itu, Qabil dan Habil. Secara tipologis, Qabil berperangai jahat, kasar dan suka
membunuh. Sebaliknya, Habil berkepribadian baik, ramah dan pemaaf.
Dengan demikian ada tiga realitas yang sedang dikawin-silangkan
oleh Asrori supaya melahirkan keturunan yang bernama kedamaian di dunia,
yaitu : (a) peperangan dan pertikaian, (b) fujur dan taqwa serta
(c) shaum dalam Islam. Asrori juga mengklaim bahwa realitas konflik yang
terjadi antara dua orang putra Adam as yakni Qabil dan Habil, semakin
mentakidkan (memperkuat) fakta ilmiah bah-wa kehidupan, manusia dan sejarah
didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Oleh karena itulah dia dengan
tegas menyatakan : Kenapa harus dengan puasa? Karena dengan melakukan puasa
akan ditempuh sikap; pertama, menahan amarah; kedua, saling memaafkan dan
ketiga, berbuat amal keba-jikan. Ketiga hal ini bagi kehidupan manusia menjadi
fundamen. Poin pertama, kedua dan ketiga sama pentingnya dan tidak mungkin
untuk dipisahkan.
Lalu, benarkah upaya kawin silang yang dilakukan oleh Asrori Mulky
tersebut baik menurut dalil aqliy maupun dalil naqliy? Benarkah thesis dan
fakta ilmiah yang menyatakan bahwa kehidupan, ma-nusia dan sejarah
didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan? Benarkah telah terjadi konflik
antara dua orang anak laki-laki Nabi Adam as? Apakah dapat dibenarkan
menjadikan shaum sebagai antithe-sis untuk thesis peperangan dan pertikaian
supaya terlahir sinthesis kedamaian di dunia?
Memahami kisah dua anak laki-laki Nabi Adam
as
Terlepas dari persoalan nama dari kedua anak
Nabi Adam as tersebut yakni apakah benar Qabil dan Habil ataukah bukan (karena
Al-Quran tidak menyebutkannya), yang krusial dalam dan dari kisah mereka berdua
adalah : apakah benar telah terjadi konflik kepentingan di antara mereka
berdua? Hal ini sangat mendasar dan penting sebab jika memang kejadian
pembunuhan untuk pertama kalinya tersebut adalah akibat dari konflik
kepentingan, maka memang dapat dibenarkan jika muncul sebuah thesis
bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan
pertarungan. Namun sebaliknya jika kejadian pembunuhan tersebut bukan
sebagai akibat konflik kepentingan, maka thesis semacam itu adalah salah,
“ngawur”, prematur dan absurd. Oleh karena itu harus ada pemahaman yang jernih,
netral dan apa adanya terhadap kisah dua orang putra Adam as tersebut dan
karena Al-Quran adalah satu-satunya sumber informasi yang bersifat قَطْعِيًّا جَازِمًا عَنْ دَلِيْلٍ عَقْلِيٍّ (pasti berdasarkan
dalil aq-liy), maka kisah tentang kedua anak manusia pertama yang
disampaikan oleh Al-Quran dapat dipasti-kan sebagai hujjah bagi keputusan aqal
(حُكْمُ الْعَقْلِ). Allah SWT menyatakan :
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ
لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ لَئِنْ
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ
تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ
الظَّالِمِينَ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ
مِنَ الْخَاسِرِينَ فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ
كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ
مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ
النَّادِمِينَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا
قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ
جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا
مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (المائدة : 27-32)
Dan ceritakanlah kepada mereka informasi tentang dua anak
Adam dengan sebenarnya, ketika kedua-nya melakukan qurban, lalu diterima dari
salah seorangnya dan tidak diterima dari seorang lainnya. Dia (yang diterima
qurbannya) berkata : sesungguhnya Allah hanya akan menerima dari orang-orang
muttaqin. Jika kamu mengembangkan tanganmu kepada saya untuk membunuh saya,
pastilah saya ti-dak akan mengembangkan tangan saya kepadamu untuk membunuhmu
karena saya takut kepada Allah Rabbal alamin. Sungguh saya ingin kamulah yang
menanggung dosa saya dan dosamu sendiri lalu ka-mu menjadi bagian dari penghuni
neraka dan itulah balasan bagi orang-orang zhalim. Maka dorong-an kepentingannya
(yang ditolak qurbannya) telah menguasai dirinya untuk membunuh saudaranya
la-lu dia pun membunuhnya, maka jadilah dia bagian dari orang-orang yang rugi.
Kemudian Allah me-ngutus seekor burung yang mengais-ngais di atas tanah untuk
memperlihatkan kepadanya bagaimana cara menutupi/mengubur jasad saudaranya, dia
berkata : wahai, haruskah saya menjadi seperti bu-rung itu lalu saya kubur
jasad saudara saya, maka jadilah dia orang yang sangat menyesal. Oleh kare-na
itu, Kami (Allah) tetapkan kepada Bani Israil bahwa siapa saja yang membunuh
seseorang bukan karena yang bersangkutan juga membunuh atau karena berbuat
kerusakan di bumi, maka seakan dia telah membunuh manusia secara keseluruhan
dan siapa saja yang menghidupkannya maka seakan dia telah menghidupkan manusia
seluruhnya dan sungguh telah datang kepada mereka para Rasul Kami dengan
membawa berbagai penjelasan (peraturan) kemudian setelah itu sungguh sebagian
sangat be-sar dari mereka berbuat melampaui batas (peraturan Kami) di bumi.
Kisah
tersebut menunjukkan bahwa :
1.
Allah SWT hanya
menerima qurban dari salah satu anak Adam dan menolak dari yang satunya lagi
adalah karena dia (yang diterima qurbannya) melakukan qurban itu sebagai bentuk
pasti dari sikap taqwanya kepada Allah SWT dan bukan dengan pertimbangan
lainnya : إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ. Se-dangkan anak
Adam yang qurbannya ditolak dapat dipastikan bahwa dia melakukannya bukan
se-bagai bentuk pelaksanaan taqwa tapi semata karena kepentingan dirinya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ).
Ini-lah yang dipahami dari bagian ayat إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
dengan metode مَفْهُوْمُ الْمُخَالَفَةِ. Kepentingan sesaat anak Adam yang ditolak qurbannya semakin
jelas dengan memahami realitas “penyesalan” yang dia alami (فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ),
karena sikap “menyesal” yang muncul segera setelah kesadaran aqliyah kembali
adalah ciri khas dari perbuatan yang sepenuhnya didorong oleh kepentingan
nalu-riah.
2.
anak Adam yang
diterima qurbannya walau mendapat ancaman riil pembunuhan dari saudaranya namun
dia tetap mempertahankan kesadaran aqliyahnya, sehingga dia dapat menggunakan
aqalnya untuk memutuskan sikap yang benar dengan tidak terpancing untuk
melakukan hal yang sama de-ngan saudaranya dan sikap itu dia ambil sepenuhnya karena
kesadaran hubungan dirinya dengan Allah SWT : إِنِّي
أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ.
3.
kejadian pembunuhan
untuk pertama kalinya tersebut oleh Allah SWT dijadikan alasan (اَلْعِلَّةُ) untuk
menetapkan peraturan yang diberlakukan kepada Bani Israil berkenaan dengan
haramnya pembu-nuhan. Peraturan tersebut disampaikan kepada mereka melalui para
Rasul :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا
عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ
فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا
فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Dengan adanya sikap yang berbeda dari kedua putra Nabi Adam tersebut
yakni yang membunuh hanya mendasarkan sikapnya kepada kepentingan sesaat
dirinya untuk membunuh saudaranya, se-dangkan seluruh sikap yang terbunuh
adalah bentuk pelaksanaan taqwanya kepada Allah SWT, maka dapat
dipastikan sama sekali tidak ada konflik pribadi di
antara mereka berdua. Kejadian pembunuhan tersebut adalah akibat dari sikap si
pembunuh yang telah didominasi oleh kepentingan naluriahnya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ)
sehingga aqalnya sama sekali tidak berfungsi normal walau dia memperoleh
informasi berupa nasihat dari saudaranya :
لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ
لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ
اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ
فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
Peristiwa itu pun tidak dapat dan tidak
boleh dikategorikan sebagai konflik kepentingan keduanya, sebab yang
memiliki kepentingan diri lalu mendominasi sikap hanyalah si pembunuh sedangkan
si korban justru bersikap bertahan saja sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang
berlaku saat itu. Ja-di, kejadian pembunuhan tersebut sepenuhnya akibat dari
sikap satu pihak (pembunuh) yang tidak bersedia mentaati seluruh ketentuan
Allah SWT yang berlaku saat itu alias menolak taqwa kepada Allah SWT.
Wal hasil, klaim Asrori bahwa telah terjadi
konflik di antara dua putra Adam as, tentu saja sangat salah alias keliru fatal
sebab yang terjadi adalah sikap dari si pembunuh yang hanya memperturut-kan
kepentingan naluriahnya, sedangkan sikap atau respon dari si korban justru
diametral dan kon-tradiktif dengan sikap si pembunuh yakni seluruh sikap si
korban adalah hanya sebagai bentuk pe-laksanaan ketaatan dia kepada Allah SWT (إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ). Oleh karena itu,
peristiwa yang diperankan oleh kedua putra Nabi Adam tersebut tidak dapat
dan tidak boleh dijadikan thesis atau diposisikan sebagai yang
memperkuat sebuah thesis ilmiah bahwa kehidupan, manusia dan sejarah
didasarkan atas kontradiksi dan pertarungan. Artinya thesis ilmiah seperti
itu adalah sekedar kha-yalan alias imajinasi sekaligus sebentuk konsep yang
“ngawur”, prematur dan absurd, karena tidak sesuai dengan kenyataan apa adanya
dari peristiwa pembunuhan pada awal kehidupan manusia itu sendiri.
Lagipula, jika kontradiksi dan pertarungan
dianggap sebagai asas kehidupan, manusia dan sejarah maka anggapan tersebut
benar-benar bertentangan dengan dan menyalahi
perjalanan kehidupan manusia sejak Nabi Adam as hingga saat dunia dipimpin oleh
Nabi Muhammad saw. Nabi Adam memerintahkan kedua puteranya untuk melakukan
qurban dan itu beliau tetapkan semata karena adanya perintah Allah SWT yang
diberlakukan khusus kepada mereka berdua. Andaikan saja putera Nabi Adam yang
menjadi pembunuh saudaranya itu menyadari hubungan dirinya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُهُ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى) persis seperti sikap
ayahnya dan saudaranya, maka dapat dipasti-kan tidak akan pernah
ada peristiwa pembunuhan itu. Jadi, justru realitas kontradiksi dan
pertaru-ngan yang ada dalam peristiwa itu merupakan penyimpangan dari حَكْمُ الأَصْلِ فِيْ الْحَيَاةِ (hukum orisi-nal
dalam kehidupan) yakni kesepakatan untuk mentaati peraturan
Allah SWT :
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا
جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة :
38-39)
Bagian ayat فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
adalah kepastian tentang hu-kum orisinal dalam kehidupan dunia, sedangkan
bagian ayat وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا adalah bentuk pasti
dari penyimpangan terhadap hukum orisinal tersebut sehingga adalah wajar
dan pantas jika Allah SWT mengancam dengan أُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
bagi siapa saja yang melakukannya ketika hidup di dunia. Oleh karena itu
yang harus tetap dijadikan thesis adalah hukum orisinal itu dan bukan bentuk
penyimpangannya.
Lalu ketika kehidupan manusia di dunia
beralih kepada Nabi Nuh as dan beliau memimpin dunia selama 1000 tahun untuk
melanjutkan dan memelihara hukum orisinal sepeninggal Nabi Adam, juga nampak
terjadinya realitas penyimpangan dari hukum orisinal tersebut bahkan itu
dilakukan oleh sebagian sangat besar manusia saat itu. Inilah yang
diinformasikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لَا
تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ (هود
: 25-26)
Dan sungguh telah Kami (Allah) utus Nuh kepada kaumnya (dan
dia berkata) : sungguh aku ada-lah pemberi peringatan yang sejati bagi kalian
yakni janganlah kalian mentaati selain Allah, sung-guh aku khawatir akan
menimpa kalian adzab di hari yang sangat mengerikan
Bagian ayat إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ
أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ
memastikan bahwa yang beliau lakukan selama 1000 ta-hun memimpin dan mengurus
kaumnya adalah melanjutkan dan memelihara hukum orisinal sepe-ninggal Nabi Adam.
Namun sebagian sangat besar manusia saat itu benar-benar telah memutuskan untuk
memilih bentuk penyimpangan dari kehidupan mereka dan menolak hukum orisinalnya
se-perti yang ditegas-ulangkan oleh Nabi mereka
Nuh as seperti yang ditunjukkan oleh bagian ayat tersebut. Allah SWT
menggambarkan sikap sebagian sangat besar kaum Nabi :
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ
اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى
لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ (هود : 27)
Lalu sekelompok besar orang-orang kafir dari kaumnya
berkata : kami tidak melihat apa-apa dari-mu kecuali manusia seperti kami dan
kami pun tidak melihat apa-apa dari yang mengikutimu kecu-ali orang-orang yang
paling hina di antara kami dan mereka sangat tolol dan kami tidak melihat
adanya keunggulan kalian atas kami bahkan kami menduga kalian adalah para
pendusta
Nampak sekali bahwa kaum kufar yakni kaum Nabi Nuh yang telah memutuskan
untuk menolak hukum orisinal dan pada saat yang
sama mereka mengambil hukum penyimpangan, sama sekali ti-dak dapat menggunakan
aqal mereka untuk memikirkan lalu memutuskan segala hal maupun infor-masi dari
Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi Nuh kepada mereka. Bahkan mereka berusaha
keras menutupi kesadaran dirinya dan berbalik menuduh kepada Nabi Nuh berikut
kaum mukmin sebagai para pembohong : بَلْ
نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ. Oleh karena itu
adalah wajar dan pantas jika kemudian Allah SWT menetapkan untuk memusnahkan
mereka dengan menenggelamkannya dalam air bah yang merata menutupi seluruh
permukaan bumi saat itu :
وَقِيلَ
يَاأَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ
الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ (هود : 44)
Kemudian ketika
kepemimpinan dunia diserahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, maka se-jak
beliau diutus hingga menjelang wafat hanya satu hal yang dilakukannya yakni melanjutkan dan
memelihara hukum orisinal. Allah SWT menyatakan :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا
بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى
تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ (الممتحنة : 4)
Sungguh telah ada bagi kalian uswah hasanah pada Ibrahim
dan orang-orang yang menyertainya yakni ketika mereka berkata kepada kaumnya :
sungguh kami berlepas diri dari kalian dan dari apa pun yang kalian taati
selain Allah, kami kufur kepada kalian dan telah nampak permusuhan serta
kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya hingga kalian beriman kepada
Allah se-mata
Bagian ayat إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ memastikan bahwa
justru yang diputuskan oleh orang-orang kafir dari kaumnya itu adalah pola
kehidupan yang menyimpang dari hukum orisinal yakni mereka
menolak mentaati seluruh ketentuan Allah SWT yang diinformasikan oleh Nabi
Ibrahim kepada mereka, seperti yang beliau sampaikan kepada bapaknya sendiri ءَازَرُ :
وَاذْكُرْ
فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا إِذْ قَالَ
لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي
عَنْكَ شَيْئًا يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ
فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ
إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (مريم : 41-44)
Bagian ucapan Nabi Ibrahim : يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ
فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (wahai bapak saya,
sungguh telah datang kepada saya ilmu yang tidak datang kepada engkau maka
ikutilah saya pasti saya akan menunjukkan engkau jalan yang lurus)
memastikan bahwa sepanjang beliau berada di tengah-tengah kaumnya maka hanya
satu perkara atau aktivitas yang dilakukannya yakni berusa-ha keras untuk
melanjutkan dan memelihara hukum orisinal : فَاتَّبِعْنِي
أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا.
Sepeninggal Nabi Ibrahim dan para Nabi dari
keluarga beliau, Allah SWT mengutus Nabi Musa dan untuk kesekian kalinya
ditugaskan mengembalikan kehidupan manusia di dunia kepada jalur hukum
orisinalnya semula yakni hanya mentaati Allah SWT. Allah SWT menggambarkan
tugas yang wajib dipikul oleh Nabi Musa :
وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ
أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (المائدة : 20)
Dan perhatikanlah ketika Musa berkata kepada kaumnya (Bani
Israil) : wahai kaumku ingatlah oleh kalian semua ni’mat Allah yang telah
diberikan kepada kalian yakni Dia (Allah) telah menja-dikan di tengah-tengah
kalian para Nabi dan menjadikan kalian sebagai kerajaan dan Dia telah
memberikan kepada kalian segala hal yang belum pernah diberikan kepada seorang
pun dari kala-ngan makhluk
Nampak jelas, Nabi Musa berusaha keras untuk mengembalikan kesadaran
aqliyah Bani Israil su-paya mereka kembali kepada pola kehidupan dunia yang
sepenuhnya dijalankan berdasarkan hu-kum orisinal yang selama ini telah
disampaikan oleh para Nabi dari Allah SWT sebelum beliau sendiri. Inilah yang
dengan gamblang disampaikan Nabi Musa kepada kaumnya :
قَالَ
مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ
يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ (الأعراف :
128)
Bagian ayat وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ memastikan bahwa Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk
me-ngembalikan kehidupan manusia di dunia kepada hukum orisinal
yakni taqwa kepada Nya. Namun komunitas manusia dominan saat itu (Bani Israil)
benar-benar telah memutuskan untuk terus meles-tarikan sikap penolakan mereka
terhadap para Nabi sebelum Nabi Musa dengan mengulang sikap serupa kepada Nabi
Musa. Allah SWT mengambarkan sikap Bani Israil tersebut dalam sejumlah ayat
antara lain :
يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ
تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ
مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ
بِظُلْمِهِمْ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ وَءَاتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُبِينًا (النساء : 153)
Ahlul Kitab (Bani Israil) akan memintamu (Muhammad) supaya
engkau menurunkan sebuah kitab dari langit, ingatlah dulu mereka telah meminta
kepada Musa yang lebih dahsyat dari itu yakni mereka berkata : perlihatkanlah
kepada kami Allah secara nyata! Lalu halilintar besar menyam-bar mati mereka
akibat sikap zhalim mereka, kemudian mereka menjadikan patung anak sapi
seba-gai Tuhan setelah datang kepada mereka berbagai penjelasan (dari Kami)
lalu Kami pun memaaf-kan perbuatan mereka tersebut dan Kami mendatangkan bukti
yang sejati kepada Musa
Jadi walau Nabi Musa telah disertai dengan bukti sejati (سُلْطَانًا مُبِينًا) bagi kerasulan
beliau supaya Bani Israil dapat menyadari bahwa apa pun yang disampaikan oleh
Nabi Musa adalah pasti berasal dari Allah SWT, ternyata tetap saja mereka
menolak seruan Nabi Musa dan bersikukuh untuk memilih pola kehidupan menyimpang
: أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً
atau اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ atau lain-nya
yang disampaikan kisahnya dalam Al-Quran. Bahkan sikap mereka untuk tetap
memilih kufur kepada Allah SWT (pola kehidupan menyimpang) selalu ditunjukkan
meskipun sepanjang kehidu-pan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya
selalu dipimpin dan diurus oleh para Nabi. Si-kap mereka tetap saja kufur dan
itu dikisahkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran antara lain :
فَبِمَا
نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ
اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء : 155)
Lalu karena keputusan mereka untuk membatalkan perjanjian
(dengan Allah) dan sikap kufur me-reka terhadap ayat-ayat Allah dan perbuatan
mereka yang membunuh para Nabi tanpa alasan yang haq dan ucapan mereka bahwa
ingatan kami lupa, bahkan Allah menetapkan ingatan mereka itu dengan kekufuran
mereka, maka mereka tidak akan beriman kecuali sebagian sangat kecilnya saja
Ketika Allah SWT mengutus Nabi Isa, maka sikap Bani Israil semakin
menggila apalagi mereka mendapati fakta kelahiran bayi Isa tanpa diawali dengan
proses pernikahan Maryam dengan seo-rang laki-laki. Mereka pun semakin berani
menolak peraturan Allah SWT dengan memutuskan un-tuk membunuh manusia yang
menjadi sumbernya yakni Nabi Isa. Allah SWT menggambarkan hal itu dalam ayat :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا
الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا
صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي
شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا
قَتَلُوهُ يَقِينًا (النساء : 157)
Dan ucapan mereka bahwa kami
telah membunuh Al-Masih Isa bin Maryam Rasulullah padahal mereka tidak
membunuhnya maupun mensalibnya namun ada orang yang diserupakan bagi mere-ka
dan sungguh orang-orang yang berselisih dalam hal itu ada dalam keraguan
tentang aksi mere-ka itu, mereka sama sekali tidak memiliki kepastian tentang
itu kecuali hanya mengikuti sangkaan dan mereka tidak membunuhnya dengan yakin
Walaupun yang mereka bunuh dan salib adalah bukan Nabi Isa,
namun sikap mereka itu memasti-kan bahwa keputusan mereka untuk memilih dan
memberlakukan pola kehidupan menyimpang (menolak aturan Allah SWT) tidak dapat
diganggu gugat lagi oleh siapa pun juga oleh para Nabi termasuk Nabi Isa as.
Allah SWT mengkisahkan hal itu sebagai berikut :
وَلَقَدْ
ءَاتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ
وَءَاتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ
الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ
اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ (البقرة : 87)
Dan sungguh telah Kami datangkan kitab kepada Musa dan
telah Kami kokohkan setelahnya de-ngan sejumlah Rasul dan Kami telah datangkan
berbagai penjelasan kepada Isa bin Maryam serta telah Kami perkuat dia dengan
Ruhul Qudus (Jibril). Apakah setiap datang kepada kalian seorang Rasul yang
tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian bersikap istikbar lalu
sebagian dari kalian bersikap mendustakan dan sebagian lainnya membunuh para
Rasul itu
Hingga diutusnya Nabi Muhammad saw di negeri Makkah, maka sikap Bani
Israil tidak pernah be-rubah bahkan semakin menggila akibat mereka mendapati
kenyataan bahwa Nabi penutup yang se-lama ini mereka tunggu-tunggu itu ternyata
bukan dari etnis mereka melainkan dari etnis yang sela-lu mereka pandang
sebagai kaum barbarian alias primitif (Bangsa Arab). Oleh karena itulah mereka
langsung menolak eksistensi Nabi Muhammad saw berikut risalah Islam yang beliau
bawa :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ
نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Dan orang-orang kafir itu berkata : kami tidak akan pernah
beriman kepada Al-Quran ini dan tidak juga kepada orang yang membawanya
Walaupun sikap mereka demikian, Allah SWT tetap menugaskan Nabi Muhammad
saw untuk me-nyerukan kepada mereka pola kehidupan orisinal yang telah pernah
mereka dengar, lihat serta sak-sikan dari para Nabi mereka sendiri :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ
تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا
اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا
مُسْلِمُونَ (آل عمران : 64)
Bagian ayat فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ merupakan
penegasan kepada ahlil kitab (Bani Israil) bahwa jika mereka tetap bersikukuh
untuk tetap berada dalam pola kehidupan menyimpang yang mereka klaim berasal
dari para Nabi mereka, maka sikap mereka tersebut tidak berarti dan tidak
berpengaruh apa pun terhadap keputusan beliau berikut kaum muslim untuk
bersikap sebaliknya yakni sepenuhnya hanya akan memberlakukan pola kehidupan
berasas hukum orisinal yang telah Allah
SWT turunkan melalui Al-Quran. Inilah mengapa dalam strategi dakwah Islamiyah
yang te-lah Rasulullah saw lakukan secara riil selalu diarahkan kepada upaya
serius untuk mengembalikan kesadaran aqliyah ahlil kitab supaya mereka segera
saja meninggalkan pola kehidupan menyim-pang yang selama ini mereka berlakukan
dan kembali kepada hukum orisinal yang beliau bawa
(Islam). Sebagai contoh dakwah Rasulullah saw yang selalu membidik aqal manusia
adalah :
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا
هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ
مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
Bagian ayat قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ
اللَّهُ yang diikuti
oleh bagian وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ
شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ memastikan
sebuah tantangan terbuka dan sangat berani dari Nabi Muhammad saw kepada ahlil
kitab untuk membuktikan kebenaran klaim mereka yang menganggap Nabi Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucu mereka sebagai Yahudi atau Nashara.
Tantangan terbuka dan sangat berani itu jika dite-rima oleh aqal yang berfungsi
normal dan terlepas dari gangguan kepentingan sesaat naluriah, ma-ka akan
mendorong aqal untuk memutuskan bahwa orang yang melakukannya pastilah memiliki
hujjah maupun bukti yang nyata serta otentik dan orangnya
pastilah bukan manusia biasa melain-kan manusia yang memperoleh informasi wahyu
dari Allah SWT alias Rasulullah.
Contoh lainnya dalam Al-Quran adalah bagaimana Allah SWT memberikan informasi
yang sangat lengkap dan rinci seputar Nabi Isa dan Maryam ibunya yang keduanya
diklaim oleh kaum Nashara sebagai Tuhan selain Allah yang kemudian mereka
rancang secara imajinatif dalam konsep Trinity atau ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ sebagai asas
bagi pola kehidupan menyimpang yang mereka jalankan :
وَإِذْ
قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي
وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ
أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ
مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ
الْغُيُوبِ مَا
قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي
وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
شَهِيدٌ (المائدة : 116-117)
Dan ingatlah ketika Allah berkata kepada Isa bin Maryam :
apakah kamu berkata kepada manusia ‘jadikanlah oleh kalian diriku dan ibuku
sebagai dua Tuhan selain Allah’? Dia (Isa) menjawab : Maha Suci Engkau, adalah
tidak layak bagi saya untuk mengatakan sesuatu yang saya sendiri ti-dak
memiliki haq untuk melakukannya, jika pun saya telah mengatakannya pastilah
Engkau me-ngetahuinya, karena Engkau mengetahui segala sesuatu yang ada dalam
diri saya sedangkan saya tidak mengetahui sedikit pun yang ada pada Engkau,
karena sungguh Engkau Maha mengetahui yang ghaib. Saya tidak mengatakan apa pun
kepada mereka kecuali segala hal yang telah Engkau perintahkan kepada saya
yakni ‘taatlah kalian semua kepada Allah Rab saya dan Rab kalian! Saya memang
menjadi saksi atas mereka selama saya ada di tengah-tengah mereka, lalu ketika
Engkau telah mewafatkan saya, maka Engkaulah yang sangat dekat kepada mereka
dan Engkau Maha me-nyaksikan terhadap segala sesuatu.
Berdasarkan informasi wahyu yang sangat lengkap dan rinci tersebut
ditambah lagi sebuah kepas-tian dari Allah SWT sendiri yakni :
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ
إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (المائدة: 73)
Sungguh telah kufur orang-orang yang berkata bahwa Allah
itu adalah ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ (Trinity alias Tri Tunggal), padahal tidak ada Tuhan kecuali
Tuhan Yang Satu dan jika mereka tidak menghentikan seluruh perkara yang mereka
ucapkan tersebut, pastilah adzab yang sangat pedih akan menimpa orang-orang
kafir itu
maka Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad saw untuk menyeru tegas mereka
untuk tidak lagi mempertahankan klaim tersebut :
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا
فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ
وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ
انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ
يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى
بِاللَّهِ وَكِيلًا (النساء : 171)
Wahai ahlul kitab, janganlah kalian melampaui batas (اَلتَّجَاوُزُ فِيْ الْحَدِّ) dalam din kalian dan jangan-lah kalian berkata-kata kepada
Allah kecuali yang haq, hanya sesungguhnya Al-Masih Isa bin Maryam itu adalah
Rasulullah dan Kalimah Nya yang telah Dia sampaikan kepada Maryam dan dia
adalah Ruh dari Nya, oleh karena itu berimanlah kalian kepada Allah dan para
Rasul Nya dan janganlah kalian berkata Trinity, jika kalian menghentikan ucapan
tersebut maka itu adalah yang baik bagi kalian. Hanya sesungguhnya Allah itu
adalah Tuhan Yang Satu, Maha Suci Dia untuk memiliki anak, milik Dialah semua
yang ada di langit dan di bumi dan cukuplah Allah sebagai Pe-nolong
Bagian ayat إِنَّمَا
اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا jika dite-rima oleh aqal yang jernih dan terlepas dari gangguan
kepentingan sesaat untuk mempertahankan pola kehidupan menyimpang, maka dapat
dipastikan kaum Nashara akan berubah seluruhnya men-jadi umat Islam sekaligus
mereka akan kembali kepada hukum orisinal untuk kehidupan
dunia.
Seluruh seruan Allah SWT dalam Al-Quran yang berhubungan dengan ahlil
kitab merupakan seru-an aqliyah yakni menyeru aqal mereka supaya kembali sadar
bahwa pola kehidupan mereka selama ini adalah salah dan menyimpang dari hukum orisinal yang telah disampaikan oleh dua orang Ra-sulullah sebelum
Nabi Muhammad saw : Musa dan Isa عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ.
Walaupun seluruh seruan Al-Quran itu adalah حُجَّةً
بَالِغَةً دِمَاغَةً اَيْ بُرْهَانًا عَقْلِيًّا
(hujjah yang gamblang bagi aqal atau bukti aqliy) namun karena aqal
mereka telah didominasi oleh kepentingan sesaat naluriah maka seolah semua-nya tidak
berguna dan tidak berarti sama sekali dan itu ditunjukkan
oleh realitas perjalanan hidup mereka hingga kini yang masih tetap bercokol
dalam keyahudiannya atau kenasharaannya. Oleh karena sikap mereka itulah
akhirnya Allah SWT menyatakan kepada Nabi Muhammad saw :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ (البقرة : 6)
Akibatnya adalah
Allah SWT menugaskan Nabi Muhammad saw untuk memberlakukan aksi pe-rang (yang
diklaim oleh Asrori Mulky sebagai realitas kontradiksi dan pertarungan serta
kontra perdamaian) untuk memusnahkan eksistensi mereka hingga mereka bersedia
tunduk patuh kepada kekuasaan Islam dengan membayar jizyah sebagai bukti
kesediaan mereka untuk mentaati pola ke-hidupan berbasis hukum orisinal walau
mereka tetap dalam keyahudiannya atau
kenasharaannya. Allah SWT menyatakan :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
Wal hasil, kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh salah seorang putra Nabi Adam terhadap saudaranya sendiri
adalah tidak dapat dan tidak boleh dijadikan argumen pembenar
maupun argumen penguat bagi thesis ilmiah “ngawur dan imajinatif” yang
menyatakan bahwa kehidupan, manusia dan sejarah didasarkan atas kontradiksi dan
pertarungan. Hal itu karena realitas kontradiksi dan pertaru-ngan pada
hakikatnya tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sepanjang kehidupan
manusia di dunia mulai dari kedua putra Nabi Adam hingga saat ini (Yahudi,
Nashara dan umat Islam). Realitas yang nyata terjadi bahkan tengah
berlangsung hingga kini adalah keputusan sebagian besar
manusia (teru-tama yang diwakili oleh kaum Yahudi dan Nashara) untuk tetap
bersikukuh memberlakukan pola kehi-dupan menyimpang berbasis kepentingan sesaat
naluriah manusiawi mereka (اَهْوَاءُهُمْ), sekaligus meno-lak
mentah-mentah seluruh seruan aqliy dari Islam yang berusaha keras menyadarkan
mereka untuk kembali kepada pola kehidupan di dunia berbasis hukum orisinal
yakni Islam. Keputusan mereka itulah yang secara pasti menimbulkan kenyataan
hidup yang dianggap dan diklaim oleh sebagian besar ilmu-wan Barat berikut para
pengekornya dari kalangan umat Islam termasuk Mohamad Asrori Mulky, se-bagai
realitas kontradiksi dan pertarungan. Sangat disayangkan sekaligus
memprihatinkan (jika benar) ternyata seorang muslim sekaliber Ibnu Khaldun pun
telah terjebak dalam kekisruhan pemikiran ten-tang realitas
tersebut sehingga konon kabarnya (menurut Asrori Mulky) menyatakan : perang
dan ber-bagai bentuk pertarungannya selalu akan terjadi sejak Allah menciptakan
dunia atau Ali Shariati yang menyatakan : sejarah umat manusia adalah
sejarah peperangan dan pertikaian antara dua kubu yang saling berkepentingan.
Padahal realitas yang sebenarnya (اَلْحَقِيْقَةُ) adalah perang (اَلْجِهَادُ
اَوِ الْقِتَالُ) yang merupakan bagian dari syariah Islamiyah dan telah
diberlakukan secara riil sejak masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw hingga
sepanjang kepemimpinan para Khalifah itu menjadi jalan terakhir (ketiga) untuk
mengem-balikan kesadaran aqliy manusia supaya segera meninggalkan pola
kehidupan menyimpang yang sela-ma ini mereka berlakukan dan segera
menggantikannya dengan pola kehidupan berbasis hukum orisi-nal (Islam). Hal itu
pun dilakukan setelah dakwah (jalan pertama) dan kesediaan membayar jizyah
(ja-lan kedua) ditolak oleh mereka sehingga berakibat hakikat diri mereka
adalah kaum kufar harbiyah se-bagai pengusung utama kekufuran (فِتْنَةٌ). Inilah yang dimaksudkan oleh sejumlah pernyataan Rasulullah
saw antara lain :
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا
بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا
قُوتِلَ الْكُفَّارُ (رواه النسائي)
Realitas shaum dalam Islam
Para fuqaha dan mujtahidin sepakat tentang
realitas shaum dalam syariah Islamiyah yakni :
اَلإِمْسَاكُ
عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْجِمَاعِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ اِلَى
الْمَغْرِبِ
Menahan dari makan, minum dan jima’ sejak terbit fajar
hingga maghrib
Realitas tersebut mereka rumuskan berdasarkan pernyataan
Allah SWT :
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (البقرة : 187)
Adapun dalil yang mewajibkan shaum selama Bulan Ramadlan
adalah pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 183)
Ayat
tersebut menunjukkan hubungan wajibnya shaum Ramadlan (كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ)
dengan taqwa ke-pada Allah SWT (لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ) dengan titik
awal adalah اَلإِيْمَانُ بِاللهِ (يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا). Artinya, kewajiban shaum Ramadlan adalah perkara (اَلْعَمَلُ) yang dituntut
oleh iman (يَقْتَضِيْهِ الإِيْمَانُ) dan jika kaum mukmin berhasil sempurna melaksanakannya maka
dapat dipastikan itu adalah realisasi taqwa mereka kepada Allah SWT. Hal itu
karena lafadz لَعَلَّ
dalam ayat ini bukan hanya لِلتَّرَجِيِّ (harapan terlaksana) melain-kan لِلتَّحْقِيْقِ (merealisir),
yakni : كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ ِلأَنْ
تُحَقِّقُوْا تَقْوَاكُمْ لَهُ (Allah mewajibkan shaum kepada kalian supaya kalian dapat
merealisir taqwa kalian kepada Nya). Lalu realitas taqwa telah lama
diru-muskan oleh para fuqaha dan mujtahidin sebagai : اَلإِمْتِثَالُ بِأَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ, sehingga semakin jelas bahwa kewajiban shaum Ramadlan itu
adalah جَزْءٌ مِنْ تَقْوَى اللهِ (bagian dari taqwa kepada Allah).
Adakah sifat shaum lainnya yang ditetapkan
oleh Islam? Rasulullah saw menyatakan :
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي
بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (وراه البخاري)
قَالَ
اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا
يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي
امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
(وراه البخاري)
Kedua
hadits tersebut menunjukkan sejumlah realitas :
1.
الصِّيَامُ جُنَّةٌ dan makna جُنَّةٌ adalah وِقَايَةٌ وَحِمَايَةٌ وَسِتْرٌ (perisai, pelindung, penghalang). Sehingga ketika
seorang sedang shaum maka haram baginya melakukan semua perbuatan yang akan
merusak reali-tas الصِّيَامُ جُنَّةٌ, seperti اَلرَّفَثُ (يُطْلَقُ عَلَى الْجِمَاعِ وَعَلَى
مُقَدِّمَاتِهِ وَعَلَى ذِكْرِهِ مَعَ النِّسَاءِ : digunakan untuk jima dan segala hal yang menjadi muqaddimah
jima serta menyebut-nyebutnya bersama wanita),
melaku-kan sesuatu dari perbuatan أَهْلُ
الْجَهْلِ semisal
berteriak-teriak, bersikap dungu dan lainnya serta me-lakukan tindakan اَلصَّخْبُ yakni berselisih
disertai teriakan. Oleh karena itu ketika ada orang lain mencaci maki (اَلسَّبُّ) dan mengutuk (لِأَنَّ الْقَتْلَ يُطْلَقُ عَلَى اللِّعَنِ) dirinya maka haram dia membalasnya dengan hal yang serupa dan
cukup menjawab إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ (sungguh saya adalah orang yang se-dang shaum)
2.
shaum Ramadlan wajib dilakukan semata demi melaksanakan perintah
Allah SWT dan hanya de-ngan itulah orang yang melakukannya dipastikan akan
memperoleh اَلثَّوَابُ الْعَظِيْمُ yang ditunjukkan oleh الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. Inilah yang
dimaksudkan oleh bagian hadits يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي (dia meninggalkan
makanannya, minumannya dan syahwatnya demi Aku).
Dengan
demikian, shaum Ramadlan wajib dilakukan oleh umat Islam bukan supaya mereka
dapat me-raih atau sampai kepada taqwa, melainkan sebaliknya keberhasilan
mereka melaksanakan shaum ter-sebut dengan sempurna adalah bukti pasti
dari upaya mereka dalam merealisir sikap taqwa kepada Allah SWT (كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ ِلأَنْ تُحَقِّقُوْا تَقْوَاكُمْ
لَهُ). Artinya,
Asrori Mulky telah dengan sengaja menga-burkan dan mengkisruhkan realitas shaum
saat dia menyatakan : Sebab ibadah puasa, sebagaimana Al-quran tegaskan dalam surah
al-Baqarah, ayat 183, yang pengertiannya adalah agar manusia meraih derajat
takwa sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sebagai
wahana yang memediasi hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga sebagai upaya
untuk merajut derajat takwa yang termanifestasi dalam kebaikan dan kedamaian
bagi sesama manusia di muka bumi ini.
Shaum Ramadlan adalah perbuatan yang wajib
dilakukan oleh umat Islam yang tidak berkaitan sama sekali dengan segala hal,
perkara maupun keadaan yang diklaim oleh Asori Mulky sebagai kebai-kan dan
kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini. Shaum Ramadlan dilakukan
sepenuhnya dengan dasar kesadaran aqliy umat Islam dalam rangka mentaati
perintah Allah SWT dan realitas ini-lah yang dimaksudkan oleh sejumlah
pernyataan Rasulullah saw, antara lain :
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(رواه البخاري)
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي
بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (وراه البخاري)
Bagian ucapan
Rasulullah saw : إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا pada hadits pertama dan يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
pada hadits kedua, memastikan bahwa shaum itu wajib dilakukan oleh umat Islam
dengan diawali oleh kesa-daran hubungan mereka dengan Allah SWT, yakni mereka
wajib menyadari bahwa shaum tersebut di-lakukan bukan dengan pertimbangan
naluriah apa pun (suka, senang, menurunkan berat bedan, meng-hemat, menyehatkan
badan dan lainnya) melainkan hanya karena Allah SWT mewajibkannya sehingga
mereka harus mentaati perintah wajib tersebut. Lagipula, pertimbangan naluriah
semacam itu hanya terjadi saat ini akibat dari telah lamanya (lebih dari 85
tahun) umat Islam menjalani pola kehidupan ka-pitalisme sekularistik. Hal yang
serupa juga terjadi atas pemikiran dan sikap Mohamad Asrori Mulky yang
benar-benar telah putus asa bahkan skeptis terhadap
realitas kontradiksi dan pertarungan alias realitas tidak adanya kebaikan dan
kedamaian bagi sesama manusia di muka bumi ini, sehingga dia
menggeret paksa realitas shaum Ramadlan dalam syariah Islamiyah untuk dia
jadikan sebagai pemaha-man untuk menahan diri dari amarah dan murka,
memaafkan sesama dan berbuat kebajikan sosial. Puasa akan meningkatkan kepekaan
kita untuk membantu orang lain dan melatih jiwa sosial kita untuk senantiasa
peduli terhadap penderitaan orang. Dengan begitu, kedamaian di dunia akan
terwujud.
Padahal semua orang juga sangat memahami bahwa fakta kehidupan
saat ini yang telah berlang-sung paling tidak sejak runtuhnya Khilafah
Islamiyah di Istambul Turki (lebih dari 85 tahun) termasuk adanya kontradiksi
dan pertarungan, adalah pola kehidupan tidak Islami karena dijalankan
sepenuhnya berbasis sekularisme yang disertai pemberlakuan demokrasi dalam
pemerintahan dan kapitalisme da-lam perekonomian seluruh negara kebangsaan yang
ada sekarang. Jadi, mengapa harus meminta per-tanggungjawaban kepada Islam atas
munculnya akibat dari diberlakukannya kekufuran tersebut dalam kehidupan
manusia di dunia? Atau mengapa harus mencari-cari sesuatu dari Islam yang
diduga kuat dapat menjadi solusi untuk hal itu?
Tentu saja pemikiran dan sikap seperti Asrori Mulky dan yang
sejenis dengan dia, adalah ekspre-si pasti dari inkonsistensi mereka dalam
menjalankan keputusan mereka sendiri yakni memberlakukan dengan ketat kekufuran
dalam kehidupan dan meninggalkan Islam sepenuhnya. Jika mereka konsisten
terhadap pilihannya sendiri, maka tentu saja pemikiran dan sikap yang akan
mereka tunjukkan adalah meminta pertanggungjawaban kepada kekufuran atas
munculnya akibat dari diberlakukannya sistem buatan tangan manusia tersebut
dalam kehidupan manusia di dunia. Mereka pun (jika konsisten) hanya akan
mengharuskan dirinya untuk mencari sesuatu dari kekufuran itu sendiri yang
diduga kuat dapat menjadi solusi untuk seluruh kenyataan hidup menyimpang saat
ini. Mengapa mereka bersikap inkon-sisten?
Jawabannya adalah karena mereka (sadar maupun
tidak) mendapati sistema kufur yang selama ini digenggam erat, dipertahankan
dan dibela mati-matian tersebut sama sekali tidak layak, tidak pantas bagi
kehidupan manusia di dunia. Mereka pun mendapati kenyataan bahwa sistema
tersebut memang secara jatidiri orisinalnya adalah the trouble maker
alias biang keladi segala permasalahan kehidupan manusia di dunia. Inilah yang
telah sejak lama diinformasikan oleh Allah SWT bahwa kaum kufar berikut siapa
pun yang mengekor mereka adalah manusia-manusia yang sama sekali tidak berpikir
:
وَمَثَلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً
وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
No comments:
Post a Comment