Umat Islam dan filsafat
Sikap umat Islam yang
selalu ditampakkan kepada kaum kufar sejak mereka masih dibina oleh Nabi
Muhammad saw di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam hingga mereka ditinggal mati
oleh Khali-fah terakhir dari barisan Khulafa Rasyidun : Imam Ali bin Abi Thalib
ra, adalah hanya satu yakni beru-saha keras merealisir perintah Allah SWT :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى
كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا
نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران :
64)
Bagian ayat اشْهَدُوا
بِأَنَّا مُسْلِمُونَ menunjukkan dua hal yakni :
1.
sikap sejati umat Islam
: أَلَّا نَعْبُدَ
إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ dan ini benar-benar berbeda dari sikap
ahli kitab yang pada faktanya saat itu mereka bersikap diametral dengan sikap
kaum muslim tersebut.
2. realitas
umat Islam yang sangat bangga dengan wadah kehidupan mereka (كِيَانُ
حَيَاتِهِمْ) di dunia: ins-titusi جَمَاعَةُ الْمُسْلِميْنَ
وَاِمَامُهُمْ اَيِ الْخِلاَفَةُ.
Mereka pun selalu dalam
posisi siap taat (اَلسَّاكِنُوْنَ إِلَى الطَّاعَةِ اَوِ
الْخَاضِعُوْنَ لِلطَّاعَةِ) kepada seluruh kete-tapan Islam tanpa
sedikit pun mempertimbangkan kepentingan naluriahnya (suka atau tidak suka,
se-nang atau benci). Hal itu karena mereka menyadari benar bahwa seluruh
ketentuan Allah SWT dalam Islam adalah sangat dapat dipahami oleh aqal bahkan
sangat sesuai dengan keputusan aqal mereka ter-sebut. Inilah yang Allah SWT
gambarkan melalui pernyataan :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور :
51)
Sikap itu memastikan diri
mereka tidak pernah memilih dan memilah (اَلتَّخَيُّرُ اَوِ
الْخِيَرَةُ) peraturan Islam, karena selain hal itu diharamkan oleh Allah
SWT juga bertentangan dengan keputusan aqal mereka sendiri yang mengharuskan
taat kepada semua ketetapan Allah SWT. Mereka memahami dengan benar pernyataan
Allah SWT :
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Mereka
adalah manusia istimewa (هُمُ الْمُفْلِحُونَ الْفَائِزُونَ)
di luar para Nabi dan Rasul dan keistimewaan mereka itu akibat dari sikap
mereka sendiri : إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.
Gamba-ran realitas mereka secara komprehensif adalah :
1. اِيْمَانُهُمْ
kepada Allah SWT adalah عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ
(dari hasil penggunaan aqal dan pembuktian) sesuai dengan ucapan Rasulullah saw
: الْإِيمَانُ
مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن
ماجه). Sehingga aqal mereka puas (قَنَاعَةً)
yakni tidak bertanya-tanya lagi dan perasaan mereka tenteram (طُمَأْنِيْنَةً)
yak-ni tidak gelisah karena seluruhnya telah terjawab tuntas sempurna.
2. mereka
tidak pernah mempersoalkan (dengan bertanya kepada Rasul saw) perkara-perkara
yang menyangkut :
a.
ذَاتُ اللهِ تَعَالَى berikut seluruh
sifat-sifat Allah yang telah diinformasikan dalam Al-Quran. Sikap mereka sangat
jelas terhadap perkara ini yaitu menerimanya sebagai suatu sifat atau
realitas fakta (كَانُوْا سَلَّمُوْهَا وَصْفَ وَاقِعٍ
مُعَيَّنٍ). Sikap demikian sama persis dengan sikap seluruh manusia
terhadap realitas pagi, siang, sore, malam, hujan, kemarau, dingin, panas,
sejuk, warna dan sete-rusnya. Artinya sikap tersebut muncul akibat mereka
sangat memahami pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ لَا
تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ (الأنعام : 201-103)
b.
ayat-ayat اَلْمُتَشَابِهُ
(سُمِيَ
مُتَشَابِهًا ِلإِشْتِبَاهُ مَعْنَاهُ عَلَى السَّامِعِ) yang berhubungan
dengan ذَاتُ
اللهِ تَعَالَى, seper-ti : وَيَبْقَى وَجْهُ
رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (الرحمن : 27) atau فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي (الحجر : 29) atau أَوَلَمْ
يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا (يس : 71)
atau اللَّهُ
يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ (البقرة : 15) atau sebagainya. Mereka mensikapi
ayat-ayat tersebut (dan yang serupa) dengan menempatkannya sebagai sum-ber informasi
berkenaan dengan perbuatan Allah (فِعْلُ اللهِ) dan itu berarti
seluruhnya berada da-lam naungan ayat : لَا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (الأنبياء : 23).
c. sejumlah
realitas yang terkategori sebagai kekhususan Nabi Muhammad saw (خُصُوْصِيَّةُ
النَّبِيِّ), se-perti اَلْوِصَالُ فِيْ صَوْمِهِ
(tidak berbuka shaum saat maghrib), yang tidur hanya mata beliau sedang pikiran
beliau tidak (إِنَّ عَيْنِي تَنَامُ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي (رواه
النسائي)), beristri lebih dari empat orang dalam satu kesempatan,
istri-istri beliau yang masih hidup saat beliau telah wafat haram dinikahi oleh
laki-laki lain dan sebagainya. Aqal para shahabat sangat memahami berbagai
kekhususan Rasul saw tersebut karena Allah SWT sendiri yang menetapkannya,
sehingga tidak pernah mencoba untuk mencari sesuatu (apa pun) di
balik realitas yang ada melainkan mereka hanya bertumpu pada realitas yang
terpampang di hadapan aqal mereka serta aqal mereka dapat menjangkaunya.
3. mereka
sangat menyadari bahwa kehidupan Islami yang tengah mereka jalani di bawah
kepemim-pinan Nabi Muhammad saw selaku رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ الأَوَّلِيَةِ adalah tidak akan bersifat selamanya namun
akan diakhiri dengan wafatnya Nabi saw sendiri. Oleh karena itu, mereka telah
memper-siapkan diri sejak Nabi masih ada di tengah-tengah mereka supaya ketika
saatnya tiba ketetapan Allah atas diri beliau saw tersebut yakni kematiannya
maka mereka dan kehidupan mereka tidak akan mengalami goncangan maupun
kekacauan atau bahkan kehancuran. Hal itu telah mereka buk-tikan saat Rasul saw
wafat yakni dengan segera membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah pertama kalinya
pasca kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Artinya, walaupun posisi dan eksistensi
Nabi Muhammad saw adalah luar biasa, istimewa dan segalanya bagi mereka (secara
pribadi maupun kehidupan) namun mereka tetap sadar sepenuhnya bahwa Rasulullah
saw adalah juga manusia se-hingga pasti akan terkena oleh qadar Allah yang
berlaku atas seluruh manusia yakni kematian. Oleh karena itu, kesedihan
dan kehilangan akibat wafatnya Rasul saw telah berhasil mereka
selesaikan dengan benar dan tepat yakni kembali kepada seruan Allah SWT Sang
Pemilik Muhammad :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران :144)
Pernyataan Allah SWT
tersebut mewajibkan mereka untuk tetap dalam Islam (tidak murtad) serta terus
melanjutkan kehidupan Islami yang telah mereka bangun dengan susah payah
bersama-sama Nabi Muhammad saw : أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ
انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ
يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا. Dengan demikian, mereka telah sangat
berhasil menjaga, memelihara dan melanjutkan kesempurnaan pem-berlakuan Islam
dalam realitas kehidupan manusia pasca Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh, tidak
berapa lama sejak Abu Bakar dibai’at menjadi Khalifah, ternyata dia sudah harus
berhadapan dengan sekelompok umat Islam yang menolak salah satu bagian dari
syariah Islamiyah (zakat). Me-reka menganggap dengan wafatnya Rasul saw maka
kewajiban zakat yang selama ini mereka ba-yarkan kepada beliau saw adalah
otomatis tidak berlaku lagi alias telah berhenti.
Anggapan
orang-orang tersebut tentang kewajiban zakat tentu saja bersifat filosofis
yakni bagi me-reka : (a) pemberlakuan syariah Islam itu (termasuk zakat) hanya
sepanjang Nabi Muhammad saw masih hidup dan (b) hikmah atau sesuatu keadaan di
balik kematian Nabi Muhammad saw adalah diantaranya kewajiban zakat tidak
berlaku lagi atas umat Islam. Sekali lagi, inilah sebentuk gagasan filosofis
(ide hermeneutis alias hermeneutisme) yang untuk pertama kalinya
muncul dalam kehidu-pan umat Islam sepeninggal Rasulullah saw. Gagasan
filosofis itu ditanggapi tegas oleh Khalifah Abu Bakar dengan cara memerangi
mereka karena orang-orang tersebut telah memenuhi realitas yang dibidik (مَنَاطُ
الْحُكْمِ) oleh ucapan Nabi saw : مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ
فَاقْتُلُوهُ (رواه
البخاري). Khalifah Abu Bakar menyatakan :
وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ
مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ (رواه مسلم)
Nampak sekali perbedaan diametral antara pemikiran yang
muncul dari metode aqliyah dengan ga-gasan kosong filosofis. Gagasan
berhentinya kewajiban zakat seiring dengan wafatnya Rasul saw jelas
bertentangan dengan keputusan aqal yang selama ini telah menerima banyak
informasi tentang posisi dan eksistensi Nabi Muhammad saw antara lain :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران :144)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3)
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Bagian pernyataan أَفَإِنْ
مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ dipahami oleh aqal merupakan seruan Allah
SWT yang mewajibkan umat Islam untuk tetap dalam Islam walau Nabi Muhammad saw
telah wafat. Hal itu karena kematian Rasul saw sama sekali tidak berpengaruh
terhadap realitas Islam sebab Allah SWT telah memastikan kesempurnaan Islam
untuk dijadikan asas kehidupan manusia selama di dunia : الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ. Lebih dari itu, aqal memahami walau kehidupan manusia tidak
akan pernah lagi dipimpin oleh para Nabi pasca Nabi Muhammad saw (وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي) tetapi Islam akan tetap wajib diberlakukan dan untuk itu Allah
SWT telah menetapkan para Khalifah (اَلْخُلَفَاءُ) yang akan meneruskan posisi Nabi Muhammad
saw sebagai pemegang otoritas pemberlakuan Islam da-lam kehidupan tersebut.
Inilah keputusan aqal yang jernih dan terbebas dari kepentingan apa pun. Oleh
karena itu, dari mana munculnya gagasan kosong berhentinya
kewajiban zakat tersebut, su-dah dapat dipastikan yakni bukan berasal dari
keputusan aqal melainkan semata muncul dari kepen-tingan naluriah dengan
argumen : اَلْحِكْمَةُ مِنْ وَرَاءِ مَوْتِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (hikmah dari balik
kema-tian Nabi saw).
Dengan demikian, keputusan
Khalifah Abu Bakar untuk menindak mereka dengan cara memberla-kukan perang
riddah adalah sepenuhnya muncul dari keputusan aqal dia yang berbasis seluruh
in-formasi wahyu yang telah dia terima dari Nabi Muhammad saw. Realitas inilah
yang dimaksudkan oleh komentar Umar saat itu :
فَوَاللَّهِ
مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي
بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ (رواه مسلم)
Jadi, gagasan apa pun
yang terkategori filosofis (فَلْسَفِيَّةً خَيَالِيَةً)
tidak pernah mendapat tempat da-lam realitas kehidupan umat Islam sepanjang
dipimpin oleh Khulafa Rasyidin. Ketika gagasan filosofis suatu saat dimunculkan
oleh segelintir orang, maka sangat dengan cepat Khalifah menghancurkannya lalu
mengembalikan lagi pola pikir kaum muslim yang sempat terganggu oleh kemunculan
hal itu ke-pada posisinya semula. Demikianlah seterusnya, Khulafa Rasyidun
telah berhasil sempurna menutup rapat setiap celah yang mungkin ada bagi masuk
dan berkembangnya konsep filsafat dalam pola perja-lanan hidup Islami umat
Islam saat itu. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw
ber-kenaan dengan eksistensi Khulafa Rasyidun :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (saat itu Wali di
wilayah Syam) manusia pertama yang me-munculkan gagasan filosofis dalam
kekuasaan (اَلسُلْطَاتُ) dan pemerintahan (اَلْحُكْمُ)
yakni menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak layak dan dia mewajibkan
dirinya untuk melakukan pemberontakan kepada Khalifah. Selanjutnya dia
merealisir gagasan itu dan terjadilah Perang Shiffin antara Khalifah Ali dengan
Muawiyah sang pemberontak (اَلْمُتَسَلِّطُ). Posisi Khalifah Ali
dalam perkara itu adalah benar menurut Islam yakni melakukan penumpasan
terhadap pemberontakan Muawiyah, sedangkan posisi Muawiyah jelas sekali salah
karena memberontak kepada Khalifah yang sah menurut Islam.
Petualangan Muawiyah dalam menumbuh kembangkan
gagasan filosofis (hermeneutisme) terus berlanjut saat dia berkeinginan
untuk menjadikan anaknya Yazid sebagai putera mahkota yang akan mewarisi
kekuasaan dari dirinya. Namun Muawiyah menyadari bahwa Yazid adalah sangat
tidak layak untuk menjadi Khalifah, sehingga dia pun merumuskan gagasan
filosofis lainnya yakni memaksa para shahabat yang masih hidup
saat itu untuk berjanji kepadanya akan memberikan bai’at mereka kepada Yazid
kelak ketika Muawiyah mati. Tidak hanya sampai di situ, Muawiyah pun menjadikan
janji “ter-paksa” (karena diancam dengan pedang) para shahabat itu sebagai
sertifikat kepastian untuk memaksa seluruh umat Islam saat itu berjanji
memberikan bai’at mereka kepada Yazid. Demikianlah seterusnya gagasan filosofis
dalam kekuasaan dan pemerintahan Islam dipertahankan bahkan dilembagakan
sepan-jang Khilafah Amawiy. Memang pernah ada upaya untuk menghentikan
pelembagaan ide filosofis ter-sebut yakni saat pergantian Khalifah dari
Sulaiman bin Abdil Malik kepada Umar bin Abdil Aziz na-mun hanya satu kali itu
saja berhasil, selanjutnya mulai dari Yazid bin Abdil Malik hingga Khalifah
terakhir : Marwan bin Muhammad, kembali yang diberlakukan adalah ide filosofis
pewarisan kekuasa-an dari bapak kepada anak. Bahkan pada masa Khalifah Ibrahim
bin Walid (Khalifah ke 12 dari 13 orang Khalifah Keluarga Amawiy), mulai
terjadi pelebaran gagasan filosofis ke arah pemikiran dan aqidah yakni mulai
dilakukannya penerjemahan buku-buku Hellenistic (filsafat Yunani) ke
dalam Ba-hasa Arab. Hal itu dilakukan akibat munculnya gagasan filosofis lain
berkenaan dengan perumusan ca-ra untuk menghadapi gelombang Kristenisasi di
Dunia Islam yang dilakukan oleh kaum Salibis yang ternyata menggunakan ide-ide
filsafat teologistik untuk menyerang aqidah Islam. Oleh karena itu, umat Islam
saat itu mengharuskan diri mereka (ide hermeneutisme) untuk
mempersenjatai diri dengan filsa-fat supaya dapat menghadapi gempuran
Kristenisasi. Keperluan realisasi ide hermeneutisme itulah yang
mendorong umat Islam untuk menerjemahkan buku-buku Hellenistic (filsafat
Yunani) dan akhirnya melembaga sehingga terlahir darinya mutakallimin :
Jabariah, Muktazilah dan Ahlussunnah.
Keberadaan mutakallimin beserta ide-ide hermeneutisme
teologistik-nya semakin menguat dan meluas dalam kehidupan Islam pada masa
Khilafah Abasiyah, terutama sejak Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (Khalifah ke 2
dari 55 orang Khalifah Keluarga Abasiy). Bahkan keberadaan Imam Syafi’i (yang
lahir tahun 767 M saat Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur) dan wafat tahun 820 M
(masa Khalifah Al-Makmun), Imam Ahmad (lahir tahun 781 M saat Khalifah Al-Mahdi
dan wafat tahun 856 M saat Khalifah Al-Mutawakkil ‘Alallah) dan lainnya, sama
sekali tidak mampu meredam apalagi melenyap-kan penyebarluasan ide-ide hermeneutisme
teologistik kaum mutakallimin tersebut.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah yakni saat Khalifah
Mahmud II (1808-1839 M) ide-ide herme-neutisme kembali menjalar ke arena
pemerintahan yakni dengan munculnya gagasan untuk mengadopsi dan
mengkompilasikan perundangan dan hukum Eropa (Inggris dan Perancis) ke dalam
peraturan ber-basis syariah Islamiyah. Argumen filosofisnya adalah karena
syariah Islamiyah sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan dan perkembangan
baru yang terjadi saat itu. Lalu, ide-ide hermeneu-tisme
mencapai puncak dominasinya atas Islam dan pemikiran umat Islam saat kaum
muslim membiar-kan kekuatan kaum kufar (Kerajaan Inggris) melalui anteknya
Mustafa Kamal, meruntuhkan Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M.
Oleh karena itu, bila saat ini (84 tahun lebih sejak
Khilafah diruntuhkan) seluruh bentuk pemikir-an umat Islam sepenuhnya berbasis
filsafat terutama ide-ide hermeneutisme, adalah keadaan yang wa-jar dan
lumrah karena semuanya merupakan akibat dari lenyapnya institusi
penjaga utama dan peme-gang otoritas satu-satunya dalam pemberlakuan Islam di
dunia : Khilafah dan Khalifah yang memim-pinnya secara tunggal. Artinya, kaum
muslim tidak perlu kaget saat mendapati :
1.
Islam diposisikan oleh umat Islam sendiri sebagai agama
yang sama, setara dan sejajar dengan aga-ma-agama lainnya dengan argumen
filosofis bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, keadilan, kesetaraan,
kemanusiaan, toleransi serta melarang kekerasan, kesewenangan, penindasan dan
sete-rusnya.
2.
isyu tentang negara dalam Islam (Khilafah) adalah
konsep yang paling ditentang oleh umat Islam saat ini. Mereka berargumen
filosofis : (a) yang paling penting dari eksistensi sebuah negara (apa pun)
adalah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, berpihak kepada kemanusiaan,
keadilan, supre-masi hukum atau (b) lebih baik negara kebangsaan yang Islami
daripada negara Islam yang diktato-ris, korup, tidak adil, tidak berpihak
kepada rakyat atau (c) yang penting adalah substansi dari Islam itu sendiri
dapat dilaksanakan dengan baik, walau dalam negara yang bukan negara Islam atau
ar-gumen lainnya yang sejenis dengan itu.
3.
realitas zakat dalam Islam yang sama sekali : (a) tidak
ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, (b) tidak boleh (haram) diubah menjadi
mekanisme modal bergulir, (c) tidak boleh (haram) didis-tribusikan selain
kepada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Islam dan (d) tidak boleh
(haram) dijadikan dana abadi, ternyata saat ini justru diperuntukkan bagi
pengentasan kemiskinan, sebagai modal bergulir, pendistribusian untuk membangun
masjid, jalan, panti asuhan, sekolah bah-kan didepositokan lalu bunganyalah
yang digunakan sebagai dana santunan, sumbangan, bantuan, modal kerja dan
sebagainya. Argumennya adalah lebih baik memberikan kail daripada ikannya atau
jangan membiasakan pola hidup konsumtif melainkan harus menumbuhkan sikap
produktif atau akan lebih berguna optimal bila zakat dikelola dengan manajemen
yang tepat dan akurat atau lain-nya dari argumen-argumen filosofis hermeneutisme.
4.
realitas kurban (menyembelih بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ)
dalam Islam yang telah ditetapkan jenis hewannya yakni unta, sapi, kerbau,
domba, kambing dan haram diganti dengan hewan lainnya apalagi
dengan uang, ternyata dimunculkan gagasan hermeneutisme berupa : akan
lebih produktif bila dana yang terkum-pul atau ada untuk membeli hewan kurban
itu digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, pelatihan kerja,
infrastruktur fisik, beasiswa maupun panti rehabilitasi korban bencana alam.
5.
realitas jihad dalam Islam yang tidak memiliki makna
lain selain perang baik itu defensif maupun ofensif, ternyata diseolah-olahkan
memiliki makna lain semisal sungguh-sungguh. Mereka berar-gumen
bahwa perang adalah a-historis, a-humanisme dan merusak peradaban manusia itu
sendiri, sehingga jihad dalam Islam tidak boleh dimaknai perang tetapi harus bersungguh-sungguh.
Hal itu supaya Islam dapat diterima oleh kemanusiaan dan disenangi oleh manusia
di dunia terutama kaum kufar.
Wal hasil, sikap
penyimpangan dari Islam yang merupakan awal dari kehancuran tatanan kehidu-pan
Islami di dunia dalam wadah Khilafah, adalah sikap yang lahir dari adanya
gagasan kosong filoso-fis hermeneutisme, baik dalam arena teologis,
kekuasaan dan pemerintahan, kebudayaan dan lainnya. Tentu saja hal ini
diharamkan oleh Islam dan itu ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT maupun Nabi
Muhammad saw :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً
فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا
وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Khatimah
Ketika Iblis berusaha
keras menyesatkan Adam dan istrinya, ternyata yang digunakan oleh Iblis dalam
upayanya tersebut adalah dengan menyodorkan gagasan filosofis hermeneutisme
kepada kedua manusia pertama itu. Al-Quran menunjukkan realitas tersebut (دَلاَلَةً)
sebagai berikut :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا
الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ
مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا
مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ
الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ
لَا يَبْلَى (طه : 120)
Ucapan Iblis kepada Adam :
(a) مَا
نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ
أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ dan (b) يَاآدَمُ هَلْ
أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
jelas merupakan dua gagasan filosofis hermeneutisme, karena kedua ide
itu nyata-nyata tidak mungkin bertemu dengan faktanya. Seolah Iblis memastikan
bahwa hik-mah dibalik larangan Allah SWT terhadap هَذِهِ الشَّجَرَةِ
adalah bila larangan tersebut dilanggar maka Adam dan istrinya akan menjadi
dua malaikat atau akan kekal di surga atau Adam akan tetap meng-genggam
kerajaan yang tak akan pernah sirna (surga). Padahal Iblis sendiri
sama sekali tidak memi-liki daya apa pun untuk dapat merealisir kata-katanya
tersebut (فَدَلَّاهُمَا
بِغُرُورٍ (الأعراف : 22)) dan kenyata-an itu diakui oleh Iblis
sendiri, seperti yang digambarkan oleh Al-Quran dalam ayat :
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ
إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا
كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ
لِي فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا
أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ
الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (ابراهيم : 22)
Inilah kenyataan Iblis yang
penuh dusta dan kepalsuan yang diingatkan kembali oleh Allah SWT kepa-da Adam
dan istrinya :
فَلَمَّا ذَاقَا
الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ
وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا
الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
(الأعراف : 22)
Artinya,
bila Adam dan istrinya tetap berpegang teguh kepada informasi dari Allah SWT
tentang pohon maupun jatidiri Iblis (أَلَمْ أَنْهَكُمَا
عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ
مُبِينٌ), maka dapat dipastikan mereka berdua tidak akan keluar dari
surga dalam keadaan maksiat kepada Allah SWT melainkan da-lam kondisi mulia.
Allah SWT menyatakan berkenaan dengan terusirnya Adam dan istrinya dari surga
dalam keadaan terhina :
يَابَنِي ءَادَمَ لَا
يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ
هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ
أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 27)
Realitas yang tipikal
dengan Iblis juga ditunjukkan oleh Bani Israil yang baru saja dibebaskan oleh Allah
SWT dari cengkeraman penindasan sadis brutal Fir’aun, lalu saat mereka
mendapati adanya komunitas manusia yang tengah menyembah berhala maka mereka
pun minta kepada Musa untuk agar Musa membuatkan berhala yang serupa. Al-Quran
menggambarkan hal itu dalam ayat :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ
فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
(الأعراف : 138)
Mendengar
sodoran permintaan filosofis hermeneutisme tersebut segera saja Nabi
Musa as mengingat-kan mereka kepada
fakta yang baru saja mereka indera bahkan alami dengan tujuan supaya mereka
kembali kepada keputusan aqal dan meninggalkan keinginan naluriah filosofis
tersebut. Al-Quran telah mengkisahkan hal itu dalam ayat :
قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا
وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ وَإِذْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ
فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءَكُمْ
وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
(الأعراف : 140-141)
Wal hasil, baik itu secara : (a) dalil
aqliy (ide filosofis hermeneutisme hanya bualan dan khayalan serta tidak
akan pernah bertemu dengan kenyataannya maupun (b) dalil naqliy (diharamkan
oleh ba-nyak dalil, baik Al-Quran maupun As-Sunnah), filsafat baik itu
gaya hermeneutisme maupun lainnya adalah selain haram digunakan oleh umat
Islam, melainkan juga sangat tidak layak untuk dijadi-kan pemutus oleh manusia
dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan apa pun selama me-reka hidup di
dunia. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ (المائدة : 50)
No comments:
Post a Comment