Monday, November 11, 2013

SYARIAH ISLAMIYAH VS FILSAFAT


Umat Islam dan filsafat
Sikap umat Islam yang selalu ditampakkan kepada kaum kufar sejak mereka masih dibina oleh Nabi Muhammad saw di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam hingga mereka ditinggal mati oleh Khali-fah terakhir dari barisan Khulafa Rasyidun : Imam Ali bin Abi Thalib ra, adalah hanya satu yakni beru-saha keras merealisir perintah Allah SWT :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران : 64)
Bagian ayat اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ menunjukkan dua hal yakni :
1.       sikap sejati umat Islam  :  أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ dan ini benar-benar berbeda dari sikap ahli kitab yang pada faktanya saat itu mereka bersikap diametral dengan sikap kaum muslim tersebut.
2.       realitas umat Islam yang sangat bangga dengan wadah kehidupan mereka (كِيَانُ حَيَاتِهِمْ) di dunia: ins-titusi جَمَاعَةُ الْمُسْلِميْنَ وَاِمَامُهُمْ اَيِ الْخِلاَفَةُ.
Mereka pun selalu dalam posisi siap taat (اَلسَّاكِنُوْنَ إِلَى الطَّاعَةِ اَوِ الْخَاضِعُوْنَ لِلطَّاعَةِ) kepada seluruh kete-tapan Islam tanpa sedikit pun mempertimbangkan kepentingan naluriahnya (suka atau tidak suka, se-nang atau benci). Hal itu karena mereka menyadari benar bahwa seluruh ketentuan Allah SWT dalam Islam adalah sangat dapat dipahami oleh aqal bahkan sangat sesuai dengan keputusan aqal mereka ter-sebut. Inilah yang Allah SWT gambarkan melalui pernyataan :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
Sikap itu memastikan diri mereka tidak pernah memilih dan memilah (اَلتَّخَيُّرُ اَوِ الْخِيَرَةُ) peraturan Islam, karena selain hal itu diharamkan oleh Allah SWT juga bertentangan dengan keputusan aqal mereka sendiri yang mengharuskan taat kepada semua ketetapan Allah SWT. Mereka memahami dengan benar pernyataan Allah SWT :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Mereka adalah manusia istimewa (هُمُ الْمُفْلِحُونَ الْفَائِزُونَ) di luar para Nabi dan Rasul dan keistimewaan mereka itu akibat dari sikap mereka sendiri : إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا. Gamba-ran realitas mereka secara komprehensif adalah :
1.       اِيْمَانُهُمْ kepada Allah SWT adalah عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ (dari hasil penggunaan aqal dan pembuktian) sesuai dengan ucapan Rasulullah saw : الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه). Sehingga aqal mereka puas (قَنَاعَةً) yakni tidak bertanya-tanya lagi dan perasaan mereka tenteram (طُمَأْنِيْنَةً) yak-ni tidak gelisah karena seluruhnya telah terjawab tuntas sempurna.
2.       mereka tidak pernah mempersoalkan (dengan bertanya kepada Rasul saw) perkara-perkara yang menyangkut :
a.       ذَاتُ اللهِ تَعَالَى berikut seluruh sifat-sifat Allah yang telah diinformasikan dalam Al-Quran. Sikap mereka sangat jelas terhadap perkara ini yaitu menerimanya sebagai suatu sifat atau realitas fakta (كَانُوْا سَلَّمُوْهَا وَصْفَ وَاقِعٍ مُعَيَّنٍ). Sikap demikian sama persis dengan sikap seluruh manusia terhadap realitas pagi, siang, sore, malam, hujan, kemarau, dingin, panas, sejuk, warna dan sete-rusnya. Artinya sikap tersebut muncul akibat mereka sangat memahami pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (الأنعام : 201-103)
b.       ayat-ayat اَلْمُتَشَابِهُ (سُمِيَ مُتَشَابِهًا ِلإِشْتِبَاهُ مَعْنَاهُ عَلَى السَّامِعِ) yang berhubungan dengan ذَاتُ اللهِ تَعَالَى, seper-ti : وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (الرحمن : 27) atau فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي (الحجر : 29) atau أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا (يس : 71) atau اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ (البقرة : 15) atau sebagainya. Mereka mensikapi ayat-ayat tersebut (dan yang serupa) dengan menempatkannya sebagai sum-ber informasi berkenaan dengan perbuatan Allah (فِعْلُ اللهِ) dan itu berarti seluruhnya berada da-lam naungan ayat :  لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (الأنبياء : 23).
c.       sejumlah realitas yang terkategori sebagai kekhususan Nabi Muhammad saw (خُصُوْصِيَّةُ النَّبِيِّ), se-perti اَلْوِصَالُ فِيْ صَوْمِهِ (tidak berbuka shaum saat maghrib), yang tidur hanya mata beliau sedang pikiran beliau tidak (إِنَّ عَيْنِي تَنَامُ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي (رواه النسائي)), beristri lebih dari empat orang dalam satu kesempatan, istri-istri beliau yang masih hidup saat beliau telah wafat haram dinikahi oleh laki-laki lain dan sebagainya. Aqal para shahabat sangat memahami berbagai kekhususan Rasul saw tersebut karena Allah SWT sendiri yang menetapkannya, sehingga tidak pernah mencoba untuk mencari sesuatu (apa pun) di balik realitas yang ada melainkan mereka hanya bertumpu pada realitas yang terpampang di hadapan aqal mereka serta aqal mereka dapat menjangkaunya.
3.       mereka sangat menyadari bahwa kehidupan Islami yang tengah mereka jalani di bawah kepemim-pinan Nabi Muhammad saw selaku رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الأَوَّلِيَةِ adalah tidak akan bersifat selamanya namun akan diakhiri dengan wafatnya Nabi saw sendiri. Oleh karena itu, mereka telah memper-siapkan diri sejak Nabi masih ada di tengah-tengah mereka supaya ketika saatnya tiba ketetapan Allah atas diri beliau saw tersebut yakni kematiannya maka mereka dan kehidupan mereka tidak akan mengalami goncangan maupun kekacauan atau bahkan kehancuran. Hal itu telah mereka buk-tikan saat Rasul saw wafat yakni dengan segera membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah pertama kalinya pasca kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Artinya, walaupun posisi dan eksistensi Nabi Muhammad saw adalah luar biasa, istimewa dan segalanya bagi mereka (secara pribadi maupun kehidupan) namun mereka tetap sadar sepenuhnya bahwa Rasulullah saw adalah juga manusia se-hingga pasti akan terkena oleh qadar Allah yang berlaku atas seluruh manusia yakni kematian. Oleh karena itu, kesedihan dan kehilangan akibat wafatnya Rasul saw telah berhasil mereka selesaikan dengan benar dan tepat yakni kembali kepada seruan Allah SWT Sang Pemilik Muhammad :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران :144)
Pernyataan Allah SWT tersebut mewajibkan mereka untuk tetap dalam Islam (tidak murtad) serta terus melanjutkan kehidupan Islami yang telah mereka bangun dengan susah payah bersama-sama Nabi Muhammad saw : أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا. Dengan demikian, mereka telah sangat berhasil menjaga, memelihara dan melanjutkan kesempurnaan pem-berlakuan Islam dalam realitas kehidupan manusia pasca Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh, tidak berapa lama sejak Abu Bakar dibai’at menjadi Khalifah, ternyata dia sudah harus berhadapan dengan sekelompok umat Islam yang menolak salah satu bagian dari syariah Islamiyah (zakat). Me-reka menganggap dengan wafatnya Rasul saw maka kewajiban zakat yang selama ini mereka ba-yarkan kepada beliau saw adalah otomatis tidak berlaku lagi alias telah berhenti.
Anggapan orang-orang tersebut tentang kewajiban zakat tentu saja bersifat filosofis yakni bagi me-reka : (a) pemberlakuan syariah Islam itu (termasuk zakat) hanya sepanjang Nabi Muhammad saw masih hidup dan (b) hikmah atau sesuatu keadaan di balik kematian Nabi Muhammad saw adalah diantaranya kewajiban zakat tidak berlaku lagi atas umat Islam. Sekali lagi, inilah sebentuk gagasan filosofis (ide hermeneutis alias hermeneutisme) yang untuk pertama kalinya muncul dalam kehidu-pan umat Islam sepeninggal Rasulullah saw. Gagasan filosofis itu ditanggapi tegas oleh Khalifah Abu Bakar dengan cara memerangi mereka karena orang-orang tersebut telah memenuhi realitas yang dibidik (مَنَاطُ الْحُكْمِ) oleh ucapan Nabi saw : مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ (رواه البخاري). Khalifah Abu Bakar menyatakan :
وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ (رواه مسلم)
Nampak sekali perbedaan diametral antara pemikiran yang muncul dari metode aqliyah dengan ga-gasan kosong filosofis. Gagasan berhentinya kewajiban zakat seiring dengan wafatnya Rasul saw jelas bertentangan dengan keputusan aqal yang selama ini telah menerima banyak informasi tentang posisi dan eksistensi Nabi Muhammad saw antara lain :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران :144)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3)
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Bagian pernyataan أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ dipahami oleh aqal merupakan seruan Allah SWT yang mewajibkan umat Islam untuk tetap dalam Islam walau Nabi Muhammad saw telah wafat. Hal itu karena kematian Rasul saw sama sekali tidak berpengaruh terhadap realitas Islam sebab Allah SWT telah memastikan kesempurnaan Islam untuk dijadikan asas kehidupan manusia selama di dunia : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ. Lebih dari itu, aqal memahami walau kehidupan manusia tidak akan pernah lagi dipimpin oleh para Nabi pasca Nabi Muhammad saw (وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي) tetapi Islam akan tetap wajib diberlakukan dan untuk itu Allah SWT telah menetapkan para Khalifah (اَلْخُلَفَاءُ) yang akan meneruskan posisi Nabi Muhammad saw sebagai pemegang otoritas pemberlakuan Islam da-lam kehidupan tersebut. Inilah keputusan aqal yang jernih dan terbebas dari kepentingan apa pun. Oleh karena itu, dari mana munculnya gagasan kosong berhentinya kewajiban zakat tersebut, su-dah dapat dipastikan yakni bukan berasal dari keputusan aqal melainkan semata muncul dari kepen-tingan naluriah dengan argumen : اَلْحِكْمَةُ مِنْ وَرَاءِ مَوْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  (hikmah dari balik kema-tian Nabi saw).
Dengan demikian, keputusan Khalifah Abu Bakar untuk menindak mereka dengan cara memberla-kukan perang riddah adalah sepenuhnya muncul dari keputusan aqal dia yang berbasis seluruh in-formasi wahyu yang telah dia terima dari Nabi Muhammad saw. Realitas inilah yang dimaksudkan oleh komentar Umar saat itu :
فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ (رواه مسلم)
Jadi, gagasan apa pun yang terkategori filosofis (فَلْسَفِيَّةً خَيَالِيَةً) tidak pernah mendapat tempat da-lam realitas kehidupan umat Islam sepanjang dipimpin oleh Khulafa Rasyidin. Ketika gagasan filosofis suatu saat dimunculkan oleh segelintir orang, maka sangat dengan cepat Khalifah menghancurkannya lalu mengembalikan lagi pola pikir kaum muslim yang sempat terganggu oleh kemunculan hal itu ke-pada posisinya semula. Demikianlah seterusnya, Khulafa Rasyidun telah berhasil sempurna menutup rapat setiap celah yang mungkin ada bagi masuk dan berkembangnya konsep filsafat dalam pola perja-lanan hidup Islami umat Islam saat itu. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw ber-kenaan dengan eksistensi Khulafa Rasyidun :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (saat itu Wali di wilayah Syam) manusia pertama yang me-munculkan gagasan filosofis dalam kekuasaan (اَلسُلْطَاتُ) dan pemerintahan (اَلْحُكْمُ) yakni menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak layak dan dia mewajibkan dirinya untuk melakukan pemberontakan kepada Khalifah. Selanjutnya dia merealisir gagasan itu dan terjadilah Perang Shiffin antara Khalifah Ali dengan Muawiyah sang pemberontak (اَلْمُتَسَلِّطُ). Posisi Khalifah Ali dalam perkara itu adalah benar menurut Islam yakni melakukan penumpasan terhadap pemberontakan Muawiyah, sedangkan posisi Muawiyah jelas sekali salah karena memberontak kepada Khalifah yang sah menurut Islam.
Petualangan Muawiyah dalam menumbuh kembangkan gagasan filosofis (hermeneutisme) terus berlanjut saat dia berkeinginan untuk menjadikan anaknya Yazid sebagai putera mahkota yang akan mewarisi kekuasaan dari dirinya. Namun Muawiyah menyadari bahwa Yazid adalah sangat tidak layak untuk menjadi Khalifah, sehingga dia pun merumuskan gagasan filosofis lainnya yakni memaksa para shahabat yang masih hidup saat itu untuk berjanji kepadanya akan memberikan bai’at mereka kepada Yazid kelak ketika Muawiyah mati. Tidak hanya sampai di situ, Muawiyah pun menjadikan janji “ter-paksa” (karena diancam dengan pedang) para shahabat itu sebagai sertifikat kepastian untuk memaksa seluruh umat Islam saat itu berjanji memberikan bai’at mereka kepada Yazid. Demikianlah seterusnya gagasan filosofis dalam kekuasaan dan pemerintahan Islam dipertahankan bahkan dilembagakan sepan-jang Khilafah Amawiy. Memang pernah ada upaya untuk menghentikan pelembagaan ide filosofis ter-sebut yakni saat pergantian Khalifah dari Sulaiman bin Abdil Malik kepada Umar bin Abdil Aziz na-mun hanya satu kali itu saja berhasil, selanjutnya mulai dari Yazid bin Abdil Malik hingga Khalifah terakhir : Marwan bin Muhammad, kembali yang diberlakukan adalah ide filosofis pewarisan kekuasa-an dari bapak kepada anak. Bahkan pada masa Khalifah Ibrahim bin Walid (Khalifah ke 12 dari 13 orang Khalifah Keluarga Amawiy), mulai terjadi pelebaran gagasan filosofis ke arah pemikiran dan aqidah yakni mulai dilakukannya penerjemahan buku-buku Hellenistic (filsafat Yunani) ke dalam Ba-hasa Arab. Hal itu dilakukan akibat munculnya gagasan filosofis lain berkenaan dengan perumusan ca-ra untuk menghadapi gelombang Kristenisasi di Dunia Islam yang dilakukan oleh kaum Salibis yang ternyata menggunakan ide-ide filsafat teologistik untuk menyerang aqidah Islam. Oleh karena itu, umat Islam saat itu mengharuskan diri mereka (ide hermeneutisme) untuk mempersenjatai diri dengan filsa-fat supaya dapat menghadapi gempuran Kristenisasi. Keperluan realisasi ide hermeneutisme itulah yang mendorong umat Islam untuk menerjemahkan buku-buku Hellenistic (filsafat Yunani) dan akhirnya melembaga sehingga terlahir darinya mutakallimin : Jabariah, Muktazilah dan Ahlussunnah.
Keberadaan mutakallimin beserta ide-ide hermeneutisme teologistik-nya semakin menguat dan meluas dalam kehidupan Islam pada masa Khilafah Abasiyah, terutama sejak Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (Khalifah ke 2 dari 55 orang Khalifah Keluarga Abasiy). Bahkan keberadaan Imam Syafi’i (yang lahir tahun 767 M saat Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur) dan wafat tahun 820 M (masa Khalifah Al-Makmun), Imam Ahmad (lahir tahun 781 M saat Khalifah Al-Mahdi dan wafat tahun 856 M saat Khalifah Al-Mutawakkil ‘Alallah) dan lainnya, sama sekali tidak mampu meredam apalagi melenyap-kan penyebarluasan ide-ide hermeneutisme teologistik kaum mutakallimin tersebut.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah yakni saat Khalifah Mahmud II (1808-1839 M) ide-ide herme-neutisme kembali menjalar ke arena pemerintahan yakni dengan munculnya gagasan untuk mengadopsi dan mengkompilasikan perundangan dan hukum Eropa (Inggris dan Perancis) ke dalam peraturan ber-basis syariah Islamiyah. Argumen filosofisnya adalah karena syariah Islamiyah sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan dan perkembangan baru yang terjadi saat itu. Lalu, ide-ide hermeneu-tisme mencapai puncak dominasinya atas Islam dan pemikiran umat Islam saat kaum muslim membiar-kan kekuatan kaum kufar (Kerajaan Inggris) melalui anteknya Mustafa Kamal, meruntuhkan Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M.
Oleh karena itu, bila saat ini (84 tahun lebih sejak Khilafah diruntuhkan) seluruh bentuk pemikir-an umat Islam sepenuhnya berbasis filsafat terutama ide-ide hermeneutisme, adalah keadaan yang wa-jar dan lumrah karena semuanya merupakan akibat dari lenyapnya institusi penjaga utama dan peme-gang otoritas satu-satunya dalam pemberlakuan Islam di dunia : Khilafah dan Khalifah yang memim-pinnya secara tunggal. Artinya, kaum muslim tidak perlu kaget saat mendapati :
1.       Islam diposisikan oleh umat Islam sendiri sebagai agama yang sama, setara dan sejajar dengan aga-ma-agama lainnya dengan argumen filosofis bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, toleransi serta melarang kekerasan, kesewenangan, penindasan dan sete-rusnya.
2.       isyu tentang negara dalam Islam (Khilafah) adalah konsep yang paling ditentang oleh umat Islam saat ini. Mereka berargumen filosofis : (a) yang paling penting dari eksistensi sebuah negara (apa pun) adalah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, berpihak kepada kemanusiaan, keadilan, supre-masi hukum atau (b) lebih baik negara kebangsaan yang Islami daripada negara Islam yang diktato-ris, korup, tidak adil, tidak berpihak kepada rakyat atau (c) yang penting adalah substansi dari Islam itu sendiri dapat dilaksanakan dengan baik, walau dalam negara yang bukan negara Islam atau ar-gumen lainnya yang sejenis dengan itu.
3.       realitas zakat dalam Islam yang sama sekali : (a) tidak ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, (b) tidak boleh (haram) diubah menjadi mekanisme modal bergulir, (c) tidak boleh (haram) didis-tribusikan selain kepada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Islam dan (d) tidak boleh (haram) dijadikan dana abadi, ternyata saat ini justru diperuntukkan bagi pengentasan kemiskinan, sebagai modal bergulir, pendistribusian untuk membangun masjid, jalan, panti asuhan, sekolah bah-kan didepositokan lalu bunganyalah yang digunakan sebagai dana santunan, sumbangan, bantuan, modal kerja dan sebagainya. Argumennya adalah lebih baik memberikan kail daripada ikannya atau jangan membiasakan pola hidup konsumtif melainkan harus menumbuhkan sikap produktif atau akan lebih berguna optimal bila zakat dikelola dengan manajemen yang tepat dan akurat atau lain-nya dari argumen-argumen filosofis hermeneutisme.
4.       realitas kurban (menyembelih  بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ) dalam Islam yang telah ditetapkan jenis hewannya yakni unta, sapi, kerbau, domba, kambing dan haram diganti dengan hewan lainnya apalagi dengan uang, ternyata dimunculkan gagasan hermeneutisme berupa : akan lebih produktif bila dana yang terkum-pul atau ada untuk membeli hewan kurban itu digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, pelatihan kerja, infrastruktur fisik, beasiswa maupun panti rehabilitasi korban bencana alam.
5.       realitas jihad dalam Islam yang tidak memiliki makna lain selain perang baik itu defensif maupun ofensif, ternyata diseolah-olahkan memiliki makna lain semisal sungguh-sungguh. Mereka berar-gumen bahwa perang adalah a-historis, a-humanisme dan merusak peradaban manusia itu sendiri, sehingga jihad dalam Islam tidak boleh dimaknai perang tetapi harus bersungguh-sungguh. Hal itu supaya Islam dapat diterima oleh kemanusiaan dan disenangi oleh manusia di dunia terutama kaum kufar.

Wal hasil, sikap penyimpangan dari Islam yang merupakan awal dari kehancuran tatanan kehidu-pan Islami di dunia dalam wadah Khilafah, adalah sikap yang lahir dari adanya gagasan kosong filoso-fis hermeneutisme, baik dalam arena teologis, kekuasaan dan pemerintahan, kebudayaan dan lainnya. Tentu saja hal ini diharamkan oleh Islam dan itu ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT maupun Nabi Muhammad saw :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)


Khatimah
Ketika Iblis berusaha keras menyesatkan Adam dan istrinya, ternyata yang digunakan oleh Iblis dalam upayanya tersebut adalah dengan menyodorkan gagasan filosofis hermeneutisme kepada kedua manusia pertama itu. Al-Quran menunjukkan realitas tersebut (دَلاَلَةً) sebagai berikut :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى (طه : 120)
Ucapan Iblis kepada Adam : (a) مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ dan (b) يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى jelas merupakan dua gagasan filosofis hermeneutisme, karena kedua ide itu nyata-nyata tidak mungkin bertemu dengan faktanya. Seolah Iblis memastikan bahwa hik-mah dibalik larangan Allah SWT terhadap هَذِهِ الشَّجَرَةِ adalah bila larangan tersebut dilanggar maka Adam dan istrinya akan menjadi dua malaikat atau akan kekal di surga atau Adam akan tetap meng-genggam kerajaan yang tak akan pernah sirna (surga). Padahal Iblis sendiri sama sekali tidak memi-liki daya apa pun untuk dapat merealisir kata-katanya tersebut (فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ (الأعراف : 22)) dan kenyata-an itu diakui oleh Iblis sendiri, seperti yang digambarkan oleh Al-Quran dalam ayat :

وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (ابراهيم : 22)
Inilah kenyataan Iblis yang penuh dusta dan kepalsuan yang diingatkan kembali oleh Allah SWT kepa-da Adam dan istrinya :
فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 22)
Artinya, bila Adam dan istrinya tetap berpegang teguh kepada informasi dari Allah SWT tentang pohon maupun jatidiri Iblis (أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ), maka dapat dipastikan mereka berdua tidak akan keluar dari surga dalam keadaan maksiat kepada Allah SWT melainkan da-lam kondisi mulia. Allah SWT menyatakan berkenaan dengan terusirnya Adam dan istrinya dari surga dalam keadaan terhina :
يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 27)
Realitas yang tipikal dengan Iblis juga ditunjukkan oleh Bani Israil yang baru saja dibebaskan oleh Allah SWT dari cengkeraman penindasan sadis brutal Fir’aun, lalu saat mereka mendapati adanya komunitas manusia yang tengah menyembah berhala maka mereka pun minta kepada Musa untuk agar Musa membuatkan berhala yang serupa. Al-Quran menggambarkan hal itu dalam ayat :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (الأعراف : 138)
Mendengar sodoran permintaan filosofis hermeneutisme tersebut segera saja Nabi Musa as mengingat-kan mereka kepada fakta yang baru saja mereka indera bahkan alami dengan tujuan supaya mereka kembali kepada keputusan aqal dan meninggalkan keinginan naluriah filosofis tersebut. Al-Quran telah mengkisahkan hal itu dalam ayat :
قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ وَإِذْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (الأعراف : 140-141)

Wal hasil, baik itu secara : (a) dalil aqliy (ide filosofis hermeneutisme hanya bualan dan khayalan serta tidak akan pernah bertemu dengan kenyataannya maupun (b) dalil naqliy (diharamkan oleh ba-nyak dalil, baik Al-Quran maupun As-Sunnah), filsafat baik itu gaya hermeneutisme maupun lainnya adalah selain haram digunakan oleh umat Islam, melainkan juga sangat tidak layak untuk dijadi-kan pemutus oleh manusia dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan apa pun selama me-reka hidup di dunia. Allah SWT menyatakan :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (المائدة : 50)

No comments:

Post a Comment