Monday, November 11, 2013

UMAT ISLAM DAN PEMIMPIN


Umat Islam dan pemimpin di masa kehidupan Islami
Islam diturunkan untuk manusia di dunia disertai kewajiban untuk diberlakukan dalam kehidupan mereka dan tugas ini dibebankan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw oleh Allah SWT. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT saat menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ (المائدة : 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ (المائدة : 49)
Kedua ayat tersebut menunjukkan ada tiga pilihan peraturan (اَلأَنْظِمَةُ) di hadapan manusia saat Islam masih diturunkan yakni :
1.       اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ مَصْدَرُهَا مَاتُرِيْدُهُ اَهْوَاءُ النَّاسِ : peraturan yang sumbernya adalah segala sesuatu yang diingin-kan oleh kepentingan manusia.
2.       اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ تَكُوْنُ مَصْدَرَهَا اَلْكُتُبَ اُنْزِلَتْ قَبْلَ الْقُرْآنِ : peraturan yang sumbernya adalah kitab-kitab yang di-turunkan sebelum Al-Quran.
3.       اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ مَصْدَرُهَا مَا اَنْزَلَهُ اللهُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ : peraturan yang sum-bernya adalah segala sesuatu yang telah Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw berupa Al-Quran dan Al-Hadits.
Berdasarkan bagian ayat فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ atau وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ, memastikan bahwa walau ada tiga pilihan peraturan tersebut, namun Nabi Muhammad saw hanya halal menggunakan peraturan yang murni berasal dari Allah SWT untuk diberlakukan dalam realitas kehidupan manusia di dunia. Pe-raturan lainnya bahkan yang bersumber dari kitab langit sekali pun adalah haram untuk diterapkan oleh beliau dalam kehidupan manusia. Lalu, beliau sangat menyadari posisinya sebagai manusia yang diba-tasi oleh sunnatullah berupa kematian : كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (آل عمران : 185), sehingga sejak awal perja-lanan dakwahnya telah melakukan penyiapan sumberdaya manusia (SDM) yang akan menjadi peng-ganti beliau sebagai pemimpin dalam kehidupan umat Islam di dunia. Inilah aktivitas kaderisasi dalam bentuk pembinaan (اَلتَّثْقِيْفُ) terhadap orang-orang yang telah iman kepada Allah SWT dan risalah kera-sulan beliau sendiri. Adalah para sahabat utama Nabi Muhammad saw yang selalu berkumpul mengi-kuti pembinaan tersebut di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam selama 13 tahun beliau dakwah di Kota Makkah. Barisan Khulafa Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) adalah bagian dari SDM jebolan “sekolah pembinaan” (مَدْرَسَةُ التَّثْقِيْفِ) yang pertama kalinya ada dalam sejarah perjalanan Dunia Islam.
SDM itu jugalah yang menyertai hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke negeri Madinah untuk memberlakukan seluruh syariah Islamiyah secara formal institusional (كِيَانٌ شَكْلِيٌ) dalam kehidup-an manusia yang berpusat di negeri tersebut. Sepuluh tahun Nabi Muhammad saw memberikan contoh riil praktis (أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) dalam menerapkan seluruh ketentuan Allah SWT (Islam) kepada seluruh SDM hasil binaan di rumah Al-Arqam. Tentu saja tidak hanya berupa contoh praktis (اَلأَمْثِلَةُ الْعَمَلِيَّةُ) tapi juga disertai dengan pengkomunikasian seluruh tata aturan (اَلْكَيْفِيَّةُ) penerapan dan pemberlakuan Islam da-lam realitas kehidupan tersebut kepada mereka, baik secara perorangan maupun secara komunal. Con-toh untuk pengkomunikasian itu adalah seperti yang terungkap dalam dua hadits berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Dari Abi Dzar berkata, saya berkata wahai Rasulullah apakah anda tidak akan memberikan jabatan kepada saya? Maka beliau menepuk bahu saya lalu berkata : ‘wahai Aba Dzar sungguh kamu ini le-mah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan di hari kiamah jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi siapa saja yang mengambilnya sesuai dengan peruntukkannya dan melak-sanakan segala sesuatu yang wajib dilakukan di dalamnya’.
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah ha-dits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai ba-haya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari ta-ngan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
Oleh karena itu, ketika tiba taqdir Allah SWT atas Nabi Muhammad saw yakni kematian, maka umat Islam yang dipimpin secara opini oleh SDM Al-Arqam sama sekali tidak gamang, kacau, kisruh apalagi hancur berantakan. Mereka begitu siap dalam menghadapi dan menjalani kepastian faktual ter-sebut dan itu dengan sangat gamblang mereka buktikan dengan keberhasilan gemilang membai’at Abu Bakar dalam tempo tidak lebih dari tiga hari sejak Rasulullah saw wafat meninggalkan mereka untuk selamanya. Hal itu semakin nyata tergambarkan dalam ucapan maupun opini mereka :
قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Abu Bakar berkata : ‘sungguh Muhammad telah wafat dan harus ada seseorang yang akan memberla-kukan agama ini (Islam)’.
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah”.
Kesiapan SDM tersebut juga terbukti saat pergantian dari Khalifah Abu Bakar kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, lalu dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kepada Khalifah Uts-man bin Affan dan terakhir dari Khalifah Utsman bin Affan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Seluruh pergantian kekuasaan tersebut berjalan dengan benar dan tepat sehingga keutuhan institusi maupun ja-maah kaum muslim (عَصَى الْمُسْلِمِيْنَ وَجَمَاعَتُهُمْ) dapat terjaga keberlangsungannya.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa seluruh unsur masyarakat Islami telah dan selalu berjalan sesuai dengan ketentuan Islam dan keadaan itu dapat terwujud karena baik rakyat maupun penguasa sama-sama sangat memahami posisinya masing-masing menurut ketetapan Allah SWT dalam syariah Islamiyah. Rakyat (اَلرَّعِيَّةُ) memahami hak (لَهَا) dan kewajibannya (عَلَيْهَا) dalam kedudukan mereka seba-gai bagian tak terpisahkan dari pemberlakuan Islam dalam kehidupan dunia. Penguasa (اَلسُّلْطَانُ) juga sa-ngat memahami hak (dikoreksi oleh rakyat) dan kewajibannya (memberlakukan politik di dalam dan luar negeri). Keutuhan sikap rakyat dan penguasa dalam kehidupan Islami tersebut bukan berlandaskan entitas yang sarat dengan kepentingan naluriah manusia, melainkan keutuhan yang terwujud secara oto-matis akibat adanya kesepakatan kedua pihak untuk selalu hanya loyal kepada ideologi Islam. Artinya seluruh komponen manusia dalam kehidupan Islami sepakat bahwa upaya mereka untuk selalu memeli-hara dan mempertahankan pemberlakuan Islam adalah selain sebagai kewajiban mereka yang paling utama juga akan menjadi penentu tetap terjaganya kemuliaan diri mereka sebagai manusia.
Inilah mengapa, setiap sikap dan aksi apa pun yang akan mengarah sebagai gangguan terhadap keutuhan institusi maupun jamaah kaum muslim wajib segera dicegah (bila belum berupa aksi) dan di-berantas (bila telah menjadi aksi riil) oleh Khalifah, siapa pun pelakunya baik umat Islam maupun ahlu dzimmah. Ketentuan ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain pernyataan Rasulullah saw :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
“siapa saja yang mendatangi kalian dan urusan kalian seluruhnya ada di tangan satu orang, dia (si pendatang) berkeinginan untuk menghancurkan keutuhan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah oleh kalian orang itu”.
إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ (رواه مسلم)
“ingatlah akan ada berbagai ancaman dan ancaman, lalu siapa saja yang berkeinginan untuk meme-cah belah urusah umat ini (umat Islam) yang sedang dalam keadaan utuh, maka bunuhlah oleh kalian dia siapa pun orangnya”.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا (رواه مسلم)
“apabila dibai’at untuk dua orang Khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang kedua dari mereka itu”.
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه مسلم)
“siapa saja yang membenci sesuatu dari Amirnya, maka bersabarlah terhadap hal itu, sebab tidak ada seorang pun dari manusia yang keluar dari kekuasaan penguasa satu jengkal lalu dia mati kecuali dia mati dalam keadaan jahiliyah”.
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه البخاري)
“siapa saja yang melihat sesuatu dari Amirnya yang membuat dia benci terhadap hal itu, maka bersa-barlah karena tidak ada seorang pun yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, lalu dia mati ke-cuali dia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Pemahamannya adalah :
1.       lafadz مَنْ pada bagian hadits مَنْ أَتَاكُمْ dan مَنْ أَرَادَ memastikan yang dimaksudkan adalah sembarang manusia yakni siapa saja bisa umat Islam maupun kaum kufar dan realitas orang tersebut juga dije-laskan oleh bagian akhir hadits كَائِنًا مَنْ كَانَ (siapa pun orang yang melakukannya).
2.       bagian hadits وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ dan أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ memastikan bahwa umat Islam se-cara pasti memiliki Khalifah dan Khilafah Islamiyah dan ini seperti yang ditunjukkan oleh jawaban Rasulullah saw kepada Hudzaifah : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ (engkau harus menyatukan diri dengan jamaah kaum muslim yakni Khilafah Islamiyah dan imam mereka yakni Khalifah). Oleh karena itu, realitas konstelatif antara Khalifah, Khilafah Islamiyah dan utuhnya umat Islam adalah :
تَكُوْنُ اَمْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الإِسْلاَمِيَّةِ جَمِيْعَةً عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ اِنْ كَانَ لَهَا الْخَلِيْفَةُ وَالْخِلاَفَةُ اَيْ كَانَ لَهَا جَمَاعَةٌ وَاِمَامٌ
“urusan umat Islam akan berada dalam keutuhan di tangan orang yang satu jika mereka memiliki Khalifah dan Khilafah yakni jika mereka memiliki Jamaah dan Imam”
3.       bagian hadits هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ (ancaman dan ancaman) riilnya dalam pentas kehidupan dijelaskan oleh bagian hadits يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ atau أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ.
4.       ketika umat Islam memiliki Khilafah Islamiyah namun ada ancaman lainnya berupa dibai’atnya dua orang Khalifah, maka realitas ini pun wajib segera dicegah dan diberantas yakni dengan membunuh orang yang dibai’at setelah dibai’atnya Khalifah yang pertama (yang sah) : فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا.
5.       bagian hadits مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا dan مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ memastikan bahwa Khalifah sangat mungkin berbuat dan bertindak yang menjadikan umat Islam benci kepada mereka, lalu dalam kon-disi demikian yang wajib dilakukan oleh umat Islam adalah tetap bertahan (فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ) dalam Khila-fah dan haram keluar atau memisahkan diri darinya. Wajibnya umat Islam tetap bertahan dalam Khilafah dan haramnya mereka memisahkan diri darinya, tiada lain adalah untuk menjaga dan memelihara keutuhan institusi Khilafah itu sendiri.
Demikianlah realitas posisi umat Islam dan pemimpin mereka (Khalifah) sepanjang kehidupan Islami terutama ketika mereka dipimpin oleh Khulafa Rasyidun. Nampak sekali bahwa apa pun yang diberlakukan oleh Khalifah baik di dalam maupun luar negeri, seluruhnya adalah untuk menjaga dan memelihara keberlangsungan pemberlakuan syariah Islamiyah secara utuh dalam wadah Khilafah Isla-miyah yang juga utuh yakni tidak direcoki maupun diganggu oleh kaum kufar berikut sistem kufurnya.


Umat Islam dan pemimpin di masa kehidupan sekularistik
Sarasehan Nasional Temu Dai dan Tokoh Nasional yang mengambil tema “Pemimpin Penyela-mat Bangsa : Antara Harapan dan Tantangan” telah dilakukan di Jakarta tanggal 12 Februari 2009 lalu dan salah satu pembicaranya adalah Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ketum IKADI) Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail yang menyatakan : figur pemimpin rabbani adalah mereka yang memang men-dermakan segala amal baktinya untuk umat serta Allah SWT. Mencari pemimpin rabbani perlu men-jadi prioritas umat. Kriteria pemimpin rabbani : pertama, mampu menyatu dan menyatukan umat. Ke-dua, berkeadilan, meyakini tugas dan sasarannya. Ketiga, tawadhu dan disiplin. Keempat, menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kelima, berkemampuan untuk mengambil keputusan benar pada waktu yang tepat. Keenam, berkemauan kuat dan ketabahan. Ketujuh, bertanggungjawab. Kedelapan, berpanda-ngan jauh. Kesembilan, memiliki visi yang jujur. Kesepuluh, mengetahui kejiwaan yang dipimpinnya. Untuk melahirkan pemimpin nasional yang mampu menyelematkan bangsa, harus melibatkan peran ormas Islam, terutama para dai. Saya kira sudah saatnya para dai mengambil peran lebih dalam hal ini. Kalau ini dapat diwujudkan, peluangnya sangat besar. Agar peluang tadi bisa dimaksimalkan, ada syarat yang harus dimiliki umat. Pertama, keimanan dan amal saleh, sesuai QS An-Nur ayat 55. Ke-mudian merealisasikan dengan ibadah. Kalau umat sudah mampu merealisasikan itu, insyaallah akan menang. Cara kedua yakni harus ada upaya memerangi kemusyrikan.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) DPR RI Drs. Lukman Hakim Saefuddin me-nyatakan : sebagai bangsa Indonesia, patut bersyukur karena sistem kenegaraan dan pemerintahan su-dah mengakomodasi agama Islam untuk berkembang. Tidak ada lagi larangan, pemaksaan atau ken-dala dari negara terhadap umat Islam dalam menjalankan keyakinannya dan menyebarluaskan dak-wah. Karena itu, ketika harus menentukan pemimpin nasional, mau tidak mau harus mengacu kepada konstitusi bangsa, UUD 1945. Di situ sebenarnya sudah cukup berkesesuaian dengan nilai-nilai aga-ma, meskipun dibedakan dengan negara, tapi hakikatnya sulit untuk dipisahkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin menyatakan : mencari pemimpin itu sulit, peluangnya juga tidak selalu ada. Jadi, untuk mencari pemimpin yang ideal, memang yang bukan saja memiliki keilmuan tapi juga legitimasi. Karena itu, ketika kita mencoba mencari pemimpin di ka-langan umat Islam, ternyata tidak ketemu, maka saya konsepkan ada imamah institusionaliyah, jadi ke-pemimpinan institusi. Karena imamah syakhsiyah (kepemimpinan individu) itu belum ketemu sampai sekarang. Maka itu, saya tawarkan, kalau kita belum mampu memperoleh pemimpin yang syakhsiyah, mari kita gunakan imamah institusionaliyah itu. Kelembagaan itu bisa jadi imamah juga karena kebu-tuhan kita. Mudah-mudahan Allah nanti mengutus kepada kita pemimpin yang basthatan fil ilmi wal jismi, kuat ilmu dan hebat fisiknya.
Pemikiran ketiga tokoh tersebut dapat dikatakan sangat mewakili realitas umum pemikiran umat Islam di Indonesia berkenaan dengan persoalan pemimpin, terutama dengan semakin dekatnya pelaksa-naan pemilu legislatif maupun pilpres 2009. Ketiganya sepakat ketika umat Islam melakukan pembaha-san seputar pemimpin maka yang dimaksudkan adalah :
1.       seseorang yang akan menjadi Presiden NKRI termasuk wakilnya berikut para menteri. Inilah yang sangat nampak nyata dalam tema Sarasehan Nasional Temu Dai dan Tokoh Nasional : “Pemimpin Penyelamat Bangsa : Antara Harapan dan Tantangan”. Fakta tersebut semakin vulgar dari bagian ucapan :
a.       Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail : untuk melahirkan pemimpin nasional yang mampu menyele-matkan bangsa, harus melibatkan peran ormas Islam, terutama para dai.
b.       Drs. Lukman Hakim Saefuddin : karena itu, ketika harus menentukan pemimpin nasional, mau tidak mau harus mengacu kepada konstitusi bangsa, UUD 1945.
c.       KH. Ma’ruf Amin : saya ingin kalau tampil menguasai kehidupan di Indonesia, memang tidak bisa lepas dari sistem perpolitikan di Indonesia.
2.       sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan dalam Islam (اَلإِمَارَةُ فِيْ الإِسْلاَمِ) yakni Khali-fah dan jika pun membawa sejumlah pemikiran Islam ke dalam arena pembahasan maka itu pun tidak lebih dari sekedar menjadikan pemikiran Islam tersebut sebagai legitimasi, sedangkan yang utama dan pokok tetaplah entitas kepemimpinan nasional Indonesia yang demokratis. Inilah yang terungkap jelas dalam pernyataan :
a.       Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail : saya kira sudah saatnya para dai mengambil peran lebih da-lam hal ini. Kalau ini dapat diwujudkan, peluangnya sangat besar. Agar peluang tadi bisa di-maksimalkan, ada syarat yang harus dimiliki umat. Pertama, keimanan dan amal saleh, sesuai QS An-Nur ayat 55. Kemudian merealisasikan dengan ibadah. Kalau umat sudah mampu me-realisasikan itu, insyaallah akan menang.
b.       Drs. Lukman Hakim Saefuddin : di situ sebenarnya sudah cukup berkesesuaian dengan nilai-nilai agama, meskipun dibedakan dengan negara, tapi hakikatnya sulit untuk dipisahkan.
c.       KH. Ma’ruf Amin : kelembagaan itu bisa jadi imamah juga karena kebutuhan kita. Mudah-mudahan Allah nanti mengutus kepada kita pemimpin yang basthatan fil ilmi wal jismi, kuat ilmu dan hebat fisiknya.
Lalu, gagasan Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail tentang sepuluh kriteria pemimpin rabbani yakni : mampu menyatu dan menyatukan umat, berkeadilan, meyakini tugas dan sasarannya, tawadhu dan disiplin, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, berkemampuan untuk mengambil keputusan benar pada waktu yang tepat, berkemauan kuat dan ketabahan, bertanggungjawab, berpandangan jauh, memiliki visi yang jujur, mengetahui kejiwaan yang dipimpinnya, seluruhnya sama sekali tidak berharga karena tidak digali dari sumber-sumber Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) yang mengandung dan memuat pemikiran tentang syarat kepemimpinan dalam Islam (شُرُوْطُ الإِنْعِقَادِ لِلْإِمَارَةِ فِيْ الإِسْلاَمِ). Kesepuluh kriteria sodoran Sa-tori Ismail tersebut hanyalah bentuk nyata dari upaya yang bersangkutan dalam mengelaborasikan se-mua fakta perpolitikan mutakhir di Indonesia yang ada di hadapannya. Hal ini semakin tegas terungkap saat Satori Ismail mencoba menjadikan pernyataan Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 55 sebagai syarat agar umat Islam memperoleh kemenangan dalam pemilu tahun 2009.
Padahal pernyataan Allah SWT tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan klaim Satori Is-mail tersebut. Allah SWT menyatakan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
1.       janji Allah SWT (وَعْدُ اللَّهِ) yang dimaksudkan oleh ayat adalah : (a) اِسْتِخْلاَفُ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ الأَرْضِ, (b) تَمْكِيْنُ دِيْنِ الإِسْلاَمِ لِلْمُسلِمِيْنَ dan (c) تَبْدِيْلُ خَوْفِ الْمُسْلِمِيْنَ بِالأَمْنِ. Seluruh janji Allah SWT ini menuntut di-laksanakannya perintah yang menyertai janji itu sendiri yakni umat Islam wajib mengaktualisasikan diri mereka sebagai ءَامَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ.
2.       realitas عَمَلٌ صَالِحٌ yang dimaksudkan adalah يَعْبُدُوْنَ اللهَ لَا يُشْرِكُوْنَ بِهِ شَيْئًا اَيْ يُطِيْعُوْنَ اللهَ عَلَى الإِطْلاَقِ (mereka mentaati Allah SWT secara mutlak).
3.       selama umat Islam tetap melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ tersebut, maka itu adalah jaminan untuk tetapnya me-reka dalam realitas janji Allah SWT (a,b,c) dan sebaliknya sedikit saja mereka menyimpang dalam pelaksanaan عَمَلٌ صَالِحٌ itu, maka seketika itu juga mereka akan terpisahkan dari realitas janji Allah SWT. Apalagi bila mereka sudah menyertakan ketaatan kepada makhluq di samping ketaatan mere-ka kepada Allah SWT, maka itu telah mengantarkan mereka kepada realitas yang diharamkan yakni وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. Akibatnya tidak hanya janji Allah SWT akan meninggalkan mere-ka melainkan juga kehidupan mereka akan dikendalikan oleh kaum kufar berikut sistem kufurnya.
Lalu, apakah realitas kehidupan umat Islam saat ini (yang tengah mereka perbincangkan) berada dalam naungan kemuliaan janji Allah SWT, ataukah sebaliknya umat Islam tengah dikendalikan oleh kaum kufar berikut sistema kufurnya? Bila jawaban mereka (Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, Drs. Lukman Hakim Saefuddin, KH. Ma’ruf Amin) adalah umat Islam tengah berada dalam naungan kemuliaan janji Allah SWT, maka betapa bodohnya mereka sehingga tidak mampu membedakan mana yang berupa hakikat dan mana yang berupa khayalan. Bila jawaban mereka adalah umat Islam tengah dikendalikan oleh kaum kufar berikut sistema kufurnya, maka hal ini pun tetap mempertelakan kebodohan mereka yang sangat parah, sebab telah terjadi kekisruhan pemikiran antara saat mereka menghukumi fakta ke-kinian kehidupan kaum muslim dengan saat mereka membahas realitas kepemimpinan untuk umat Is-lam lalu mereka putuskan seolah institusi yang mewadahi kehidupan kaum muslim tersebut adalah se-suai dengan ketentuan Islam itu sendiri. Jadi, inilah fakta ketidakberdayaan orang-orang tersebut dalam merumuskan realitas kehidupan umat Islam, padahal mereka mengklaim diri atau diposisikan sebagai kaum intelektual yang diberi kepercayaan untuk menyusun konsep kepemimpinan bagi umat Islam.
KH. Ma’ruf Amin menyatakan : mudah-mudahan Allah nanti mengutus kepada kita pemimpin yang basthatan fil ilmi wal jismi, kuat ilmu dan hebat fisiknya. Apakah pemikiran dan harapan sang ki-yai tersebut dapat dibenarkan?
Ungkapan وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ adalah ucapan salah seorang Nabi (pasca Nabi Musa as) yang tengah memimpin sekelompok Bani Israil dan itu merupakan jawaban Nabi tersebut terhadap perminta-an Bani Israil sendiri :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (البقرة : 246)
“tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan sekelompok Bani Israil sepeninggal Musa yakni saat mereka berkata kepada Nabi mereka : ‘angkatlah seorang Raja bagi kami yang kami akan berperang fi sabilillah bersamanya’. Sang Nabi berkata : ‘bukankah sangat mungkin kalian itu saat diwajibkan atas kalian perang lalu kalian tidak mau berperang’. Mereka berkata : ‘bagaimana mungkin kami ti-dak mau berperang fi sabilillah padahal kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak cucu kami’. Lalu ketika telah diwajibkan atas mereka perang maka mereka berpaling dari perintah itu kecuali sebagian sangat kecil dari mereka dan Allah sangat mengetahui kaum yang zhalim’
Kemudian sang Nabi memberikan informasi kepada Bani Israil berkenaan dengan permintaan mereka tersebut dan selengkapnya ditunjukkan oleh Al-Quran berikut :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (البقرة : 247)
“Dan Nabi mereka berkata kepada mereka : ‘sungguh Allah telah mengangkat Thalut sebagai Raja bagi kalian’. Mereka berkata : ‘bagaimana mungkin dia memegang kerajaan atas kami, padahal kami lebih berhak atas kerajaan itu daripada dia. Dia sama sekali tidak memiliki harta yang banyak’. Sang Nabi berkata : ‘sungguh Allah telah memilih dia bagi kalian dan Allah telah memberikan tambahan keluasan ilmu dan kehebatan fisik tubuh kepadanya. Dan Allah akan memberikan kerajaan-Nya kepa-da siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas Maha Mengetahui”.
Oleh karena itu, sifat atau realitas yang terungkap dengan فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ بَسْطَةً adalah telah terjadi ribuan tahun yang lalu yakni melekat pada sosok Raja Thalut dan itu hanya berlaku atau diberikan kepada dia saja dan tidak kepada yang lain, termasuk kepada para Nabi yang ada secara bergantian saat itu. Se-hingga bagaimana mungkin sifat atau realitas tersebut masih diharapkan akan diberikan kembali oleh Allah SWT kepada umat Islam saat ini, seperti yang dinyatakan oleh KH. Ma’ruf Amin tersebut. Pada-hal faktanya memastikan Nabi Muhammad saw sendiri tidak memiliki sifat khas tersebut, demikian ju-ga Khulafa Rasyidun maupun para sahabat lainnya. Lebih dari itu, tidak didapati satu riwayat pun (bah-kan yang dlaif sekali pun) yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw dan para sahabat berdu’a kepada Allah SWT supaya mereka diberi sifat khas seperti yang telah Allah SWT berikan kepada Raja Thalut tersebut, ketika kisah tentang itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Lagipula, Thalut adalah seorang Raja (اَلْمَالِكُ) yang memimpin sebuah Kerajaan (اَلْمُلْكُ اَوِ الْمَمْلَكَةُ) dan itu memang aturan Allah SWT yang berlaku bagi kehidupan Bani Israil sejak Nabi Daud dan Sulai-man as yang keduanya memang diangkat oleh Allah SWT sebagai Raja :
فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ (البقرة : 251)
“lalu mereka (Thalut dan pasukannya) menggempur mereka (Jalut dan tentaranya) berdasarkan pe-rintah Allah dan Dawud berhasil membunuh Jalut dan Allah memberikan kerajaan dan hikmah kepada dia (Dawud) dan mengajarkan kepadanya segala perkara yang Allah kehendaki”.
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ (النمل : 16)
“dan Sulaiman mewarisi Dawud dan dia berkata wahai manusia telah diajarkan kepada kami perca-kapan burung dan telah diberikan kepada kami segala sesuatu. Sungguh ini adalah keutamaan yang sangat riil”.
Jadi, jika saat ini umat Islam masih mengharapkan diberi kekuatan seperti yang diberikan kepada Tha-lut maka itu secara aqliy (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) sama saja dengan menolak syariah Islamiyah tentang Khilafah dan meminta kepada Allah SWT agar menggantinya dengan syariah Kerajaan. Jelas sekali pemikiran dan harapan seperti ini adalah sebentuk penyimpangan secara sadar (اِنْحِرَافٌ اِدْرَاكِيٌ) terhadap ketentuan sis-tema pemerintahan yang telah Allah SWT tetapkan dalam Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Lebih dari itu, Islam telah mewajibkan kaum muslim untuk melakukan perubahan terhadap reali-tas kehidupan mereka yang bertentangan dan menyalahi Islam supaya kembali sepenuhnya sesuai de-ngan Islam. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد : 11)
Artinya menurut ayat ini terjadi atau tidaknya perubahan mendasar (اَلتَّغْيِيْرُ) pada suatu kaum sepenuhnya tergantung mereka sendiri, yakni apakah mereka melaksanakan perintah Allah SWT untuk merubah ke-adaan mereka itu ataukah tidak. Jadi, sikap menunggu (seperti yang digagas oleh KH. Ma’ruf Amin) adalah haram dilakukan oleh umat Islam, apalagi dalam keadaan menunggu tersebut dibarengi dengan tindakan lainnya yang melanggar segala hal yang telah diharamkan oleh Islam terutama berkolaborasi dan berkoalisi dengan pengusung sistema kufur dalam pemerintahan negara kufur, seperti NKRI. Tidak diragukan lagi sedikit pun, sikap seperti umat Islam ini akan secara pasti mengakibatkan Islam beserta seluruh syariahnya semakin jauh dari arena pemberlakuannya dalam realitas kehidupan manusia dan pada saat yang sama sistema kufur akan semakin lebih terkokohkan lagi sehingga semakin leluasa bagi kaum kufar untuk memantapkan cengkeraman kuku hegemoni mereka atas Islam dan Dunia Islam. Ini-lah perbedaan diametral antara pemikiran dan sikap umat Islam di masa lalu (sepanjang kehidupan Khi-lafah Islamiyah masih ada) dengan pemikiran dan sikap umat Islam di masa kini (sejak kehidupan Khi-lafah Islamiyah lenyap hampir 85 tahun yang lalu).


Khatimah
Persoalan yang harus segera diselesaikan (اَلْقَضِيَّةُ الْمَصِيْرِيَّةُ) oleh umat Islam saat ini adalah hilang-nya Khilafah Islamiyah dari arena kehidupan dunia, padahal Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya wadah penerapan politik yang disyariahkan oleh Islam dan telah diberlakukan secara riil praktis dalam realitas kehidupan dunia selama lebih dari 1300 tahun, yakni sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 miladiyah. Namun bila umat Islam tidak pernah memfokuskan segenap pemikiran dan upaya mereka untuk mengembali-tegakkan Khilafah tersebut, malahan tersibukkan oleh pemikiran, gagasan, upaya yang aneh-aneh serta diharamkan oleh Islam, maka jangankan 85 tahun, nampaknya beribu tahun se-kali pun, Khilafah Islamiyah tidak akan pernah kembali lagi dalam kehidupan mereka.



وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)

No comments:

Post a Comment