Monday, August 27, 2012

HIJRAH ITU MILIK ISLAM, MENGAPA DIBAJAK ?


Hijrah dan Piagam Madinah
Khaeron Sirin (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran/PTIQ) dalam tulisannya berjudul “Sema-ngat Hijrah Melawan Korupsi” (Media Indonesia, Kamis 17 Desember 2009, OPINI, halaman 26) me-nyatakan :
Setelah 13 tahun Nabi Saw membangun landasan tauhid sebagai dasar tatanan masyarakat di Me-kah, Allah Swt memberinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Di sanalah, Nabi Saw beserta kelompok-kelompok masyarakat secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), sebagai upaya membangun sebuah komunitas negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat jahiliah di Mekah. Dalam piagam itu, umat manusia untuk pertama kalinya diper-kenalkan wawasan kebebasan, pluralisme dan toleransi serta keadilan.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak awal me-nata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Di sini, hijrah tidak sekadar dimaknai sebagai pro-ses perpindahan individu atau kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Ada nilai atau wacana yang melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi Saw, yang oleh Umar ibn al-Khattab, ke-mudian ditetapkan sebagai awal Tahun Baru Islam. Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezaliman. Kedua, pembentukan struktur sosial yang egaliter dan beradab. Ketiga, perombakan kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis. Ketiga nilai itulah yang perlu direnungkan sekaligus ‘dihij-rahkan’ (ditransformasikan) ke dalam kehidupan bangsa saat ini.
Jika hijrah di masa Nabi dalam rangka membangun komitmen perjuangan Islam melawan ke-musyrikan dan penindasan, dalam konteks sekarang, hijrah bisa dimaknai untuk membangun komitmen perjuangan melawan korupsi yang membelit negeri ini. Sebab korupsi di negeri ini telah merambah ke hampir semua lini kehidupan.
Oleh karena itu, ketika bangsa ini, khususnya umat Islam, memperingati Tahun Baru Islam (Hij-rah), semestinya kita berusaha membangun komitmen dan arah perjalanan hidupnya ke arah yang le-bih baik. Di sini, hijrah merupakan awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwaan, dari keragu-raguan menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari kezalim-an menuju keadilan. Artinya, kita dituntut menggali semangat esensial di balik ‘eksperimen’ hijrah Na-bi Saw dan para sahabatnya menuju masyarakat madani. Tentunya dengan mentransformasikan sema-ngat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa.
Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru untuk merancang dan meru-muskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Di era yang semuanya dida-sarkan atas realita ilmiah, hijrah Nabi juga penting untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian rea-listis dan kontekstual. Hal itu penting untuk memperkuat keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Luar biasa! Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan (اَلتَّعْبِيْرُ) keberanian seorang bernama Khaeron Sirin dalam :
1.       memposisikan Piagam Madinah sebagai rumusan tentang kebebasan, pluralisme, toleransi dan kea-dilan yang diberlakukan oleh Rasulullah saw di masyarakat madani di Madinah.
2.       melemparkan tuduhan keji kepada Khalifah Umar bin Khaththab bahwa beliau menetapkan peris-tiwa hijrah sebagai awal penanggalan dalam almanak Islam itu dengan pertimbangan : Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezaliman. Kedua, pembentukan struktur sosial yang egaliter dan beradab. Ketiga, peromba-kan kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis.
3.       membajak realitas hijrah dalam Islam lalu dia gunakan sebagai kerangka untuk membangun komit-men perjuangan melawan korupsi. Kemudian setelah dibajak, dia pun menempelkan realitas baru secara paksa kepada hijrah yakni : hijrah merupakan awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwa-an, dari keragu-raguan menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari kezaliman menuju keadilan.
4.       menuding Rasulullah saw telah menjadikan hijrah sebagai ‘eksperimen’ menuju masyarakat mada-ni, lalu dia menempelkan stempel dimensi kuno kepada realitas hijrah tersebut : Tentunya dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan nega-ra bangsa. Lebih dari itu, dia tetapkan makna hijrah sebagai upaya mencari strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi.
5.       menjadikan metode ilmiah (scientific methods alias اَلطَّرِيْقَةُ الْعِلْمِيَّةُ) sebagai penentu sah dan tidaknya suatu konsep, atau benar dan salahnya suatu pemikiran, atau realistis dan tidaknya suatu pengertian, atau apakah yang harus digunakan itu tekstual ataukah kontekstual. Metode tersebut dia gunakan saat melekatkan sejumlah makna, atau pengertian, atau realitas baru, kepada realitas hijrah lalu dia pastikan bahwa hal itu penting dilakukan untuk : memperkuat keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pembe-rantasan korupsi.
Lalu, apakah dapat dibenarkan kelima sikap dari orang tersebut? Benar dan salahnya dari seluruh sikap Khaeron Sirin harus dibahas satu persatu sebagai berikut :
1.       Piagam Madinah adalah :
مَجْمُوْعُ الْقَوَاعِدِ كُلِّيَةً كَانَتْ اَوْ عَامَّةً الَّتِيْ حَدَّدَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَنْظِيْمِ عَلاَقَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ بِغَيْرِهِمْ مِنَ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْكُفَّارِ الَّذِيْنَ يَسْكُنُوْنَ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ اَيْ دَاخِلَهَا وَخَارِجَهَا
Kumpulan ketentuan (aturan main) baik yang kulliyah maupun ammah yang telah Rasulullah saw tetapkan untuk mengatur interaksi kaum muslim dengan lainnya dari kalangan Yahudi dan Nasha-ra maupun selain mereka dari kalangan kaum kufar lainnya yang seluruhnya tinggal di sekitar Madinah yakni di dalam maupun di luar Madinah
antara lain menempatkan kaum muslim sebagai اِنَّهُمْ اُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ (bahwa mereka itu adalah umat yang satu yang berbeda dengan manusia lainnya). Contoh lainnya adalah ketika seorang muslimah dari kalangan Arab datang ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa (بَنِيْ قَيْنُقَاعٍ) dengan mem-bawa perhiasan lalu wanita tersebut duduk di salah satu kios yang ada. Ketika itulah dari arah bela-kang si wanita datang seorang pria Yahudi secara mengendap-ngendap lalu mengaitkan pakaian ba-gian atas hingga punggung wanita itu ke sebuah paku, sehingga ketika wanita itu berdiri maka ter-bukalah auratnya. Melihat hal itu, seluruh Yahudi yang ada mentertawakannya bahkan hingga ber-sorak sorai. Kemudian saat itu seorang pria muslim tiba di kios tersebut dan di sana masih ada si Yahudi maka si pria muslim itu pun membunuhnya. Seketika itu juga, semua Yahudi yang ada sa-ngat marah kepadanya dan lalu membunuhnya. Keluarga pria muslim tadi mengajak kaum muslim untuk mengeroyok Yahudi, lalu menyerang mereka sehingga terjadilah bentrokan antara kaum muslim dengan Yahudi Bani Qainuqa. Rasulullah saw telah meminta kepada Yahudi supaya mere-ka menghentikan aksinya namun malahan mereka semakin menjadi jadi. Akhirnya Rasulullah saw ke luar dari Madinah bersama dengan kaum muslim dan mengepung perkampungan Bani Qainuqa dengan sangat ketat. Lalu setelah melakukan masyurah dengan kaum muslim senior maka beliau memutuskan untuk membunuh mereka seluruhnya. Walaupun tidak jadi melaksanakan keputusan tersebut karena ada permintaan dari Abdullah bin Ubay bin Salul, namun Rasulullah saw tetap memberlakukan aturan main lainnya (yang ada di Piagam Madinah) yakni mengusir mereka dari sekitar Madinah ke arah utara hingga perbatasan Syam sebagai balasan atas perbuatannya itu.
Oleh karena itu, secara realitas Piagam Madinah yang diberlakukan sepanjang kepemimpinan Ra-sulullah saw, juga seluruh syariah Islamiyah yang ditunjukkan oleh dalil (Al-Quran dan As-Sun-nah) memastikan bahwa Islam tidak pernah mengenal apalagi mengakui konsep kebebasan (اَلْحُرِّيَّةُ), pluralisme, toleransi maupun keadilan (dalam makna saat ini). Islam memastikan bahwa seluruh si-kap dan tingkah laku manusia selama hidup di dunia adalah terikat (مُقَيَّدٌ) dengan ketentuan hukum syara’ (اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ), sama sekali tidak bebas. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak sekali dalil antara lain :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Hakikat pluralisme adalah memposisikan ragam agama sebagai sama saja, yakni sama-sama me-ngajarkan manusia untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Artinya, pluralisme me-nentang adanya klaim sebagai paling benar dari agama tertentu atas agama lainnya. Lalu, konsep pluralisme mengalami perkembangan ke arah keragaman lainnya seperti etnis, bangsa, suku bang-sa, bahasa, warna kulit dan sebagainya. Apakah Islam membenarkan konsep pluralisme?
Sejak awal diturunkan, Islam memastikan dirinya sebagai satu-satunya din yang benar dan dituju-kan untuk dimenangkan atas semua agama yang ada sebelumnya termasuk yang bersumber dari Ki-tab Taurah (Yahudi) dan Injil (Nasrani). Klaim Islam sebagai paling benar disertai dengan sejumlah bukti dan hujjah serta diserukan kepada aqal manusia, sehingga sama sekali bukan doktrin maupun dogma imajinatif. Oleh karena itu, jika semua manusia yang ada sejak Islam diturunkan hingga saat ini menggunakan aqal mereka dan mengenyahkan kepentingan distortif naluriahnya maka dapat di-pastikan mereka akan memutuskan dengan benar yakni seluruhnya masuk Islam dan meninggalkan agama-agama masing-masing sebelumnya. Jika itu yang terjadi maka perjalanan waktu dunia sela-ma 1431 tahun hanya akan diwarnai oleh Islam sebagai satu-satunya ideologi dunia serta oleh dua gugus besar manusia yakni umat Islam dan ahlu dzimmah. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyata-an Allah SWT :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (التوبة : 33)
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
Jadi, realitas keragaman agama saat ini sama sekali bukan taqdir Allah SWT apalagi sebuah keten-tuan, melainkan sebagai akibat dari sikap penolakan manusia sendiri terhadap Islam. Sehingga fak-ta tersebut adalah diharamkan oleh Islam dan menjadi kewajiban Khalifah untuk mengembalikan-nya kepada realitas yang diperintahkan oleh Islam, yakni hanya Islam satu-satunya دِينُ الْحَقِّ yang diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia. Lalu, bagaimana Islam menempatkan keragaman etnis, bangsa, suku bangsa, bahasa, warna kulit dan sebagainya?
Secara pasti, Islam tidak menjadikan keragaman tersebut sebagai pertimbangan pemberlakuan ke-tentuan Islam melainkan hanya sebagai realitas sunnatullah alias taqdir Allah SWT atas kehidupan dunia itu sendiri dan tujuannya adalah supaya manusia secara lazim dan lumrah dapat saling me-ngenal lalu berinteraksi. Inilah yang ditunjukkan dengan pasti oleh dalil :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات : 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى (رواه احمد)
Nampak sekali kedua dalil tersebut menyebut realitas keragaman manusiawi : bangsa (Arab dan non Arab), suku bangsa, warna kulit (merah dan hitam), lalu menempatkannya sebagai bagian dari jatidiri manusia sendiri (مِنْ مَاهِيَةِ الإِنْسَانِ). Lalu pernyataan Allah SWT إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ dan bagian hadits أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى, memastikan bahwa yang menjadi faktor penentu mulia dan tidaknya manusia adalah sikap mereka yakni taqwa. Jadi, bagaimana mungkin Piagam Madinah yang merupakan kumpulan aturan main interaksi antara kaum muslim dengan ahlu dzimmah, dituduh oleh Khaeron Sirin sebagai rumusan tentang pluralisme.
Seruan toleransi telah dikumandangkan dari hampir seluruh penjuru dunia : Vatican, Dakar, New York, Jakarta, Makkah. Seruan tersebut seluruhnya selalu dikaitkan dengan pola relasi antara Islam dan agama lainnya (terutama Kristen) atau antara Dunia Islam dan Dunia Barat. Lebih dari itu, diakui atau tidak, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, seruan untuk bersikap toleran atau me-ngembangkan dengan serius pola hubungan yang penuh toleransi, senantiasa dialamatkan, diarah-kan dan ditujukan kepada Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Nampak jelas tengah dicitrakan se-buah opini global bahwa selama ini yang “tidak pandai”, “tidak pernah” dan “tidak bisa” bersikap toleran atau tidak mampu mengembangkan hubungan berbasis toleransi adalah Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Dengan kata lain tengah ada upaya paksa secara internasional untuk melekat-kan sikap toleran atau realitas toleransi kepada Islam. Lalu, mengapa hal tersebut terjadi atau tengah diberlaku-paksakan?
Sikap toleran secara umum adalah kebalikan dari sikap hitam putih yakni sikap menolak atau me-nerima sesuatu (اَلشَّيْءُ) berdasarkan realitas benar (صَوَابٌ) atau salah (خَطَأٌ) dari sesuatu tersebut. Apabila sesuatu itu adalah benar maka pasti akan diterima sepenuhnya dan bila sesuatu itu adalah salah maka pasti akan ditolak sepenuhnya. Secara aqliy, realitas benar sesuatu (وَصْفُ صَوَابِ الشَّيْءِ) dipastikan berdasarkan dua kategori, yaitu : (a) sesuai dengan faktanya atau (b) penetapan dari wahyu alias pemberitahuan dari Allah SWT. Sehingga sikap toleran adalah sikap yang tidak pernah memastikan realitas benar atau salahnya sesuatu, melainkan selalu didasarkan kepada pertimbang-an manfaat (useful) atau bahaya (harmful) dari sesuatu itu sendiri. Jika pada realitas sesuatu itu  didapati adanya manfaat yang wajib dipertimbangkan demi untuk merealisir kepentingan terten-tu, maka realitas sesuatu tersebut akan dipastikan untuk diterima walaupun pada kenyataannya adalah salah dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sebaliknya, apa-bila pada realitas sesuatu itu didapati adanya bahaya yang wajib dipertimbangkan supaya tidak mengganggu atau menjadi penghalang dalam upaya merealisir kepentingan tertentu, maka reali-tas sesuatu tersebut akan dipastikan untuk ditolak walaupun pada kenyataannya adalah benar dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sehingga sangat jelas dalam konsep toleransi atau sikap toleran yang menjadi standard adalah sama sekali bukan aspek benar atau salah secara hakiki dari sesuatu, melainkan relevansi realitas sesuatu itu dengan upaya me-realisir kepentingan tertentu. Sebagai contoh : apa pun bagian dari suatu agama atau yang diang-gap sangat kental aroma keagamaannya adalah wajib ditolak atau dijauhkan dari ruang publik mau-pun ranah politik kenegaraan menurut ketentuan yang digariskan oleh sekularisme. Dengan kata lain adalah keputusan yang salah (menurut sekularisme) memasukkan atau menyertakan “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” alias ajaran agama Islam ke dalam penyelenggaraan pereko-nomian negara RI, sebab benar-benar telah menyalahi katentuan sekularisme : agama harus dipi-sahkan dari politik dan negara. Namun, mengapa pada faktanya justru “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” itu akhir-akhir ini (paling tidak sejak memasuki tahun 2000) banyak digu-nakan, baik secara mandiri utuh (misal di Bank Muamalat Indonesia/BMI) maupun sebagai divisi khusus dari bank konvensional tertentu (Mandiri Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Danamon Syariah atau Jakarta Islamic Index/JII alias bursa saham syariah dan lain-lain)? Jawabannya adalah seperti yang telah sejak lama diungkapkan oleh berbagai pihak (pemerintah maupun swasta) dan di antaranya adalah Menkeu NKRI Dr. Sri Mulyani Indrawati : bahwa pada awalnya pembentukan sejumlah instrumen perekonomian berbasis syariah adalah untuk menarik para investor dari ka-wasan Timur Tengah agar mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia. Inilah salah satu ben-tuk implementasi konsep toleransi atau sikap toleran dalam penyelenggaraan negara yang berbasis sekularisme dan hakikat ini tidak hanya berlaku pada lini perekonomian suatu negara melainkan juga pada aspek lainnya : hukum, pendidikan, politik, keagamaan, ketatanegaraan dan sebagainya.
Jadi, konsep toleransi atau sikap toleran adalah sebuah pemikiran yang muncul atau bersumber dari konsep sekularisme yang secara langsung (alias turunan pertamanya) menjadi asas demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme dalam perekonomian. Lalu, karena sekularisme mewajibkan agama dipisahkan sepenuhnya dari ruang publik, politik dan negara, maka secara otomatis entitas agama dan kehidupan keagamaan adalah hanya ada dan berlangsung pada tingkat individu alias menjadi urusan pribadi masing-masing manusia sehubungan dengan Tuhannya (spiritualisme ritua-lisme). Konsep ini pun mengharuskan pemegang otoritas wilayah negara (pemerintah) : (a) untuk tidak mencampuri urusan agama dan keagamaan warga negaranya, baik internal suatu agama mau-pun antar agama, (b) bersikap netral terhadap semua agama yang ada di wilayah kekuasaannya yakni menjaga jarak yang sama terhadap seluruh agama tersebut dan (c) menempatkan semua aga-ma secara sama yakni sama-sama benar serta wajib mencegah segala bentuk gejala ke arah muncul-nya (secara terbuka) klaim sebagai paling benar dengan kata lain negara wajib mengamankan dan mengawal pelaksanaan pluralisme.
Oleh karena itu, bila ada suatu agama (misal Islam) diklaim sebagai paling benar sehingga agama lainnya (Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu) adalah salah atau bila ada upaya dari komunitas pe-meluk agama tertentu (misal umat Islam) untuk melarang atau menghalangi atau memusnahkan ek-sistensi agama tertentu yang lain maupun suatu aliran atau sekte tertentu dari suatu agama (misal Ahmadiyah), maka menjadi kewajiban otoritas penyelenggara negara (pemerintah) untuk mence-gahnya (bila masih dapat dicegah) atau memberlakukan sanksi hukum (law enforcement) bila telah menjadi sebuah insiden (misalnya insiden 1 Juni 2008 di Monas).
Wal hasil, bagaimana mungkin Piagam Madinah dituduh sebagai rumusan tentang toleransi seperti yang diklaim oleh Khaeron Sirin, padahal Islam (sumber pemikiran Piagam Madinah) adalah me-nolak dan mengharamkan dengan pasti realitas tersebut.
Adil (اَلْعَدْلُ) adalah sifat dari Islam sehingga keadilan (اَلْعَدَلَةُ) adalah bagian dari syariah Islamiyah sehingga secara otomatis umat Islam pun adalah umat yang وَسَطًا yakni خِيَارًا عُدُوْلاً atau خِيَارًا وَأَجْوَدًا. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا (البقرة : 143)
Dengan demikian, memang benar Piagam Madinah dapat dipastikan mensifati keadilan Islam sebab dia adalah bagian tak terpisahkan dari pemberlakuan seluruh ketentuan Islam yang dipimpin lang-sung oleh Rasulullah saw selama 10 tahun beliau hidup di Madinah hingga diwafatkan oleh Allah SWT. Namun, apakah realitas keadilan itukah yang dimaksudkan oleh Khaeron Sirin saat dia me-nyatakan bahwa Piagam Madinah adalah rumusan tentang keadilan?
Nampaknya sangat sulit untuk dikatakan bahwa realitas keadilan yang dia maksudkan adalah se-perti yang ditunjukkan oleh Al-Baqarah ayat 143, sebab dia mengelompokkan “keadilan” tersebut dengan “kebebasan, pluralisme dan toleransi”. Sangat mungkin dia memaksudkan dengan “keadil-an” itu adalah secara realitas kekinian, atau yang dituntut oleh pola kehidupan saat ini, atau yang diniscayakan oleh konsep pluralisme itu sendiri. Realitas kekinian memastikan keadilan itu sebagai berdiri di atas semua golongan, atau tidak berpihak secara harga mati kepada golongan tertentu, atau tidak menjadikan golongan mayoritas sebagai diktator yang menindas golongan minoritas. Pola kehidupan saat ini yang berbasis sekularisme menuntut bahwa pemerintahan yang adil atau keadilan suatu pemerintahan adalah sikap mereka yang menempatkan semua golongan masyarakat terutama yang berlatar agama secara sama dan setara, tanpa mempertimbangkan apakah golongan tersebut mayoritas ataukah minoritas. Inilah realitas kehidupan yang diniscayakan oleh pluralisme sendiri, yakni tidak boleh terjadi adanya golongan mayoritas (terutama berbasis agama) yang ber-posisi sebagai penentu dan pengendali pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, pluralisme meniscayakan bahwa pemerintahan dan kekuasaan dilarang berada dalam gengga-man golongan mayoritas berbasis agama tersebut, sebab dipastikan tidak akan pernah dapat mewu-judkan keadilan bahkan sebaliknya hanya akan menimpakkan kekejaman dalam kehidupan. Jadi, keadilan yang dimaksudkan oleh Khaeron Sirin adalah bukan menurut Islam melainkan menurut yang diniscayakan oleh pluralisme.
Khaeron Sirin pun mengklaim bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah saw di Madinah adalah masyarakat madani, benarkah? Masyarakat madani atau civil society adalah antithesis dari masyarakat yang dikendalikan bukan oleh golongan sipil, atau masyarakat yang ditandai oleh tidak adanya supremasi sipil, atau masyarakat yang dikendalikan oleh pemerintahan diktator militeristik (walau tidak selalu harus militer yang melakukannya). Menurut para konseptor masyarakat madani, golongan sipil yakni non militer dan non agamawan alias golongan netral adalah wajib menun-jukkan supremasinya dalam pemerintahan dan politik. Hal itu karena, jika golongan militer yang memegang supremasi dalam pemerintahan dan politik maka dapat dipastikan akan mewujudkan diktator militeristik. Lalu jika golongan agamawan yang memegangnya maka dipastikan akan me-rusak bahkan menghancurkan tatanan yang dituntut harus ada oleh pluralisme. Oleh karena itu, semua realitas masyarakat madani tersebut sama sekali tidak sesuai dengan realitas masyarakat Is-lami yang untuk pertama kalinya terwujud di Madinah di bawah kepemimpinan tunggal Rasulullah saw selaku سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ (penguasa dan kepala negara). Jadi, sekali lagi Khaeron Sirin telah me-nuduh dan menuding Rasulullah saw sebagai telah menyalahi ketentuan Allah SWT yang mewa-jibkan beliau membentuk masyarakat madani, sedangkan yang beliau wujudkan adalah justru bu-kan masyarakat madani melainkan masyarakat berbasis agama (Islam).
2.       Islam mengharamkan sikap syirik (اَلإِشْرَاكُ) dan zhalim (اَلظُّلْمُ) dan itu ditunjukkan oleh banyak dalil antara lain pernyataan Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء : 48)
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ (الأنعام : 21)
Oleh karena itu, tuduhan Khaeron Sirin kepada Khalifah Umar bin Khaththab bahwa beliau mene-tapkan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan dalam almanak Islam itu dengan pertimbangan : Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk ke-musyrikan dan kezaliman, adalah tidak benar karena tidak sesuai dengan fakta dari hijrah itu sen-diri. Hijrah dilakukan oleh Rasulullah saw semata karena adanya perintah Allah SWT dan itu sei-ring dengan adanya اَلسَّبَبُ yang menjadikan kewajiban hijrah harus dilaksanakan. Allah SWT me-nyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء : 97)
Fakta كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ (keadaan kami adalah tertindas di bumi itu) adalah اَلسَّبَبُ wajib dilakukan-nya hijrah : فَتُهَاجِرُوا فِيهَا. Jika aspek اَلسَّبَبُ telah wujud di suatu negeri namun penduduk negeri itu tetap bertahan dan tidak hijrah ke negeri lain, maka mereka telah berdosa (ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ) karena tidak melaksanakan kewajiban yang ada saat itu yakni hijrah. Inilah yang dipastikan oleh bagian akhir dari ayat yakni : فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. Harus diingat bahwa selama di Makkah hingga mencapai puncaknya pada tahun ke-13 dari اَلْبِعْثَةُ, fakta kehidupan umat Islam yang menjadi اَلسَّبَبُ bagi mereka wajib melaksanakan hijrah selalu melekat pada mereka yakni ketidak berdayaan (كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ) untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidupan mere-ka. Lalu saat Nabi Muhammad saw beserta Muhajirin tiba di Madinah maka seketika itu juga fakta kehidupan mereka berubah total 100 persen yakni dari كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ menjadi masyarakat Is-lami dengan wadah دَارُ الإِسْلاَمِ yang berada dalam realitas عِزٌّ وَمَنْعَةٌ. Akibat berikutnya adalah sejak itu hijrah haram dilakukan lagi oleh umat Islam mana pun yang telah berada sekaligus hidup dalam wadah tersebut (دَارُ الإِسْلاَمِ) dan inilah maksud yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ وَلَكِنْ أُبَايِعُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ (رواه البخاري)
Peristiwa فَتْحُ مَكَّةَ (penaklukan Negeri Makkah) terjadi setelah terbentuknya دَارُ الإِسْلاَمِ yang berpusat di Madinah Al-Munawwarah dan dengan demikian secara otomatis Makkah adalah bagian tak ter-pisahkan dari دَارُ الإِسْلاَمِ yakni menjadi salah satu wilayah dari wilayah دَارُ الإِسْلاَمِ. Oleh karena itu adalah benar (sesuai dengan faktanya) ketika Makkah telah ditaklukkan maka seluruh realitas hij-rah tidak berlaku lagi dan haram diberlakukan. Hal itu karena realitas hijrah adalah :
اَلْخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ اِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
Makkah adalah دَارُ الْكُفْرِ saat hijrah dilaksanakan dan Madinah yang menjadi tujuan hijrah dipasti-kan adalah دَارُ الإِسْلاَمِ, hanya saja سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ (penguasa dan kepala negara) yakni Nabi Mu-hammad saw masih dalam perjalanan dan belum tiba di sana. Lalu, apakah ketentuan itu hanya ber-laku bagi Makkah ataukah juga berlaku bagi negeri mana pun yang telah ditaklukkan? Tentu saja tidak hanya berkenaan dengan status Negeri Makkah melainkan termasuk negeri mana pun (اَيُّ بَلَدٍ) yang telah ditaklukkan baik secara perang (عُنْوَةً) maupun secara damai (صُلْحًا). Inilah yang dimak-sudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا (رواه البخاري)
Jadi, hijrah saat itu dilakukan adalah supaya umat Islam yang dipimpin oleh Rasulullah saw dapat melaksanakan seluruh ketentuan Islam (syariah Islamiyah) dalam wadah دَارُ الإِسْلاَمِ yang telah ter-bentuk secara riil pada peristiwa Bai’at Aqabah II. Realitas inilah yang dijadikan pertimbangan asa-si dan utama (اَسَاسِيًّا وَرَئِيْسِيًّا) oleh Khalifah Umar bin Khaththab dalam memutuskan untuk menjadi-kan peristiwa hijrah sebagai awal penghitungan almanak dalam pola kehidupan Islami. Khalifah Umar tidak diragukan lagi sangat memahami realitas tersebut, karena beliau sendiri adalah salah satu pelakunya. Apalagi keputusan tersebut ditetapkan oleh khalifah tidak secara tertutup melain-kan dilihat dan didengar oleh seluruh sahabat yang hadir di Madinah saat itu dan siapa pun dari me-reka dapat dengan leluasa menunjukkan penolakannya. Namun ternyata tidak ada seorang pun yang melakukan sikap itu, sehingga keputusan tersebut otomatis menjadi Ijma Sahabat (دَلِيْلاً شَرْعِيًّا).
Konsep masyarakat Islami (اَلْمُجْتَمَعُ الإِسْلاَمِيُّ) tidak mengenal adanya struktur sosial sekaligus tidak menunjukkan hal tersebut dalam perjalanannya, sejak masa Nabi Muhammad saw hingga era Kha-lifah terakhir dari barisan Khulafa Rasyidun : Ali bin Abi Thalib. Realitas masyarakat Islami hanya mengenal adanya penguasa (اَلْحَاكِمُ اَوِ السُّلْطَانُ) dan rakyat (اَلْمَحْكُوْمُ اَوِ الرَّعِيَّةُ ) berikut seluruh aturan yang mengatur interaksi antara para penguasa tersebut dengan rakyatnya. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh banyak dalil antara lain :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
tidak ada seorang Imam atau Wali pun yang menutup pintu rumahnya untuk menghalangi orang-orang yang memiliki kebutuhan, mengusir orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin, kecuali pastilah Allah ‘Azza wa-jalla akan menutup seluruh pintu langit untuk menghalangi selu-ruh kebutuhannya
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْجِهَادِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ لِإِمَامٍ جَائِرٍ (رواه احمد)
Wahai Rasulullah, jihad manakah yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wajalla? Beliau berkata : ucapan yang benar yang ditujukan kepada Imam Jair
Inilah bagian dari peradaban Islami alias Islamic Civilization (اَلْحَضَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang berkenaan de-ngan masyarakat dan aturan main bagi interaksi rakyat dan penguasa.
Mungkin yang dimaksudkan oleh Khaeron Sirin dengan ucapannya : kekuasaan yang otoritatif dan absolut adalah gambaran pasti dari Negara Kufur Makkah yang dikendalikan oleh kaum kufar Qu-raisy. Bila itu yang dimaksudkan maka ucapan dia adalah benar karena sesuai dengan realitas nega-ra kufur tersebut. Lalu, mungkin yang dia maksudkan dengan ungkapan : sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis adalah Negara Islam Madinah yang dikendalikan oleh Rasulullah saw. Jika itu yang dimaksudkan maka Khaeron Sirin telah salah dalam mengindera realitas Negara Ma-dinah sehingga dia simpulkan secara keliru, sangat sembarangan dan sangat sembrono sebagai se-buah negara yang memiliki sifat transparan dan demokratis. Hal itu karena, tidak diragukan lagi bahwa antara Islam dan demokrasi tidak memiliki hubungan apa pun dan lebih dari itu Islam dan demokrasi bertentangan mulai dari aqidah hingga rincian seluruh peraturan (sistema) yang ada di dalamnya. Bahkan Islam adalah diametral dari demokrasi dan itu dipastikan oleh konsep dasar da-lam demokrasi yakni : (a) kedaulatan di tengan rakyat dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
3.       sekali lagi, hijrah adalah اَلْخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْكُفْرِ اِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ dan  اَلسَّبَبُ dalam melaksanakannya adalah كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ (ketidak berdayaan umat Islam untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidupan mereka). Inilah realitas hijrah yang ditetapkan secara gamblang oleh seluruh dalil yang ada dalam sumber Islam : Al-Quran dan As-Sunnah, sekaligus menolak gagasan kisruh yang disodorkan oleh Khaeron Sirin untuk dilekatkan kepada hijrah : awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwaan, dari keragu-raguan menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari kezaliman menuju keadilan. Apakah dalam pola kehidupan berbasis kekufuran seperti yang berlaku di NKRI, umat Islam dapat bersikap taqwa, teguh, memi-liki kekuatan untuk memperjuangkan kebenaran dan memperoleh keadilan? Jawabannya adalah pasti tidak dapat bahkan tidak mungkin.
4.       bagaimana mungkin Khaeron Sirin menuding Rasulullah saw telah menjadikan hijrah sebagai eks-perimen alias percobaan menuju masyarakat madani, padahal hijrah adalah perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan ketika faktor اَلسَّبَبُ telah terwujud melekat dalam realitas kehidupan umat Islam. Lagipula, jika Rasulullah saw menjadikan hijrah sebagai eksperimen, maka tentu beliau ada-lah manusia yang paling berani dalam menentang dan menolak perintah allah SWT. Hal itu karena hijrah dalam perintah Allah SWT adalah ibadah yang telah ditetapkan tatacara pelaksanaan, waktu maupun tempat yang menjadi tujuannya. Sehingga ketika dikatakan bahwa Rasulullah saw telah bereksperimen dengan hijrah, maka itu berarti beliau saw telah 100 persen melanggar ketentuan Allah SWT tentang perintah hijrah berikut cara pelaksanaannya. Jika Rasulullah saw telah bersikap seperti itu dalam satu perintah (hijrah), maka sulit untuk dipastikan aturan Islam mana yang masih orisinil berasal dari seruan Allah SWT dan mana yang sudah berupa hasil eksperimen Nabi Mu-hammad saw sendiri. Akibatnya adalah realitas Islam sama sekali tidak berbeda dari realitas penda-hulunya yakni Agama Taurah dan Agama Injil. Inilah konsekuensi pasti dari tuduhan dan tudingan kepada Rasulullah saw bahwa beliau telah menjadikan hijrah sebagai ‘eksperimen’ menuju masya-rakat madani. Artinya, tidak hanya syariah hijrah yang diragukan yakni apakah benar dari Allah SWT ataukah hanya rekayasa Nabi Muhammad saw, melainkan seluruh syariah Islamiyah juga be-rada dalam posisi yang serupa.
Ungkapan Khaeron Sirin yakni : Tentunya dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa, memastikan bahwa dirinya tengah berusaha keras untuk :
a.       menggeret paksa realitas hijrah atau paling tidak semangat hijrah ke dalam pola kehidupan ne-gara kebangsaan. Artinya, dia memutuskan untuk mempertahankan negara kebangsaan supaya tetap berlaku dan salah satu caranya adalah dengan mengimbuhkan Islam kepada fakta perja-lanan negara kebangsaan tersebut. Dia memberikan contoh bentuk implementasi cara tersebut yakni melalui gagasan : Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan ko-rupsi.
b.       menggiring opini umat Islam untuk menjadikan negara kebangsaan sebagai satu-satunya wadah kehidupan mereka di dunia, sedangkan Islam (secara menyeluruh maupun bagian per bagian) hanya sebagai pelengkap dari perjalanan negara kebangsaan tersebut, atau Islam itu dapat di-transformasikan pemberlakuannya dalam wadah negara kebangsaan.
5.       ungkapan : Di era yang semuanya didasarkan atas realita ilmiah, hijrah Nabi juga penting untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis dan kontekstual, memastikan Khaeron Sirin seba-gai muslim yang kesekian juta atau bahkan ratus juta yang berhasil dijerat oleh metode ilmiah, lalu dia (juga mereka) memposisikan metode tersebut pada kedudukan sakral dan menentukan keabsa-han segala sesuatu, baik yang bersifat materi fisik (مَادِّيَةً) maupun bukan (غَيْرَ مَادِّيَةٍ). Inilah mengapa dia gunakan metode ilmiah untuk menetapkan makna-makna baru bagi hijrah dan itu dilakukan de-ngan anggapan bahwa hal itu penting untuk memperkuat keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pemberantas-an korupsi.
Anggapan tersebut menunjukkan bahwa realitas hijrah yang ditetapkan oleh banyak dalil dalam sumber Islam adalah tidak cukup, atau tidak sesuai, atau bahkan tidak tepat untuk memaknai hijrah di masa kini. Menurut dia, makna hijrah saat itu harus diatur, dirancang dan dirumuskan sedemi-kian rupa sehingga relevan dengan realitas kekinian, sebagai contoh dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dia nyatakan hijrah adalah upaya mencari strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Setelah itu dia katakan secara mantiq (مَنْطِقِيًّا) atau silogisma (jika begini maka begitu) atau filosofis, bahwa jika hi-jrah tidak dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis dan kontekstual maka keyakinan umat Islam akan tergerus karena mereka sama sekali tidak menemukan relevansi hijrah dengan realitas kekinian sebagai contoh dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Anggapan tersebut dapat dipastikan muncul dari digunakannya metode ilmiah untuk menetapkan realitas atau hakikat atau sifat sesuatu di luar benda-benda materi fisik (اَلأَشْيَاءُ الْمَادِّيَّةُ), misalnya rea-litas suatu peristiwa, atau persoalan, atau perjalanan kehidupan, atau peradaban, atau perbuatan ma-nusia, atau suatu pemikiran dan sebagainya. Inilah biang keladi munculnya berbagai gagasan kha-yali yang ditujukan atau dilekatkan kepada sejumlah bagian dari syariah Islamiyah, misalnya :
a.       harta zakat harus digunakan seoptimal mungkin untuk mengentaskan kemiskinan, atau harta za-kat itu tidak boleh diberikan kepada mustahiq secara gratisan dan untuk tujuan konsumtif mela-inkan harus dijadikan modal bergulir serta untuk tujuan produktif, atau mengapa petani yang panen hanya satu musim sekali (hampir 5 bulan) wajib zakat sedangkan para CEO yang gaji per bulannya lebih dari 10 kali lipat pendapatan petani dalam satu musim panen, ternyata tidak wajib zakat dan sebagainya.
b.       seorang muslim yang hajinya mabrur akan tampak dari tingkah lakunya ketika telah kembali ke kampung halamannya masing-masing, yakni akan lebih shaleh, lebih santun, lebih tawadlu, le-bih sayang kepada keluarga dan sebagainya. Dengan kata lain, dia akan semakin meningkat ka-dar kesalehan sosialnya seiring dengan kesalehan individualnya.
c.       seluruh bagian shalat itu baik ucapan maupun gerakan harus berdampak sosial tidak hanya ritu-al, sesuai dengan gambaran shalat berjamaah, atau shalat berjamaah itu adalah gambaran struk-tur kehidupan demokratis dalam Islam.
d.      shaum adalah upaya Allah SWT untuk memberikan pelajaran kepada kaum kaya bagaimana penderitaan yang selalu dialami tiap hari oleh kaum miskin dan sebagainya.
Wal hasil, seluruh gagasan Khaeron Sirin berkenaan dengan hijrah dan Piagam Madinah tidak di-ragukan lagi adalah salah, sembarangan dan sembrono sekaligus tidak ada nilainya sama sekali dalam timbangan Islam bahkan Islam berlepas diri dari itu semuanya. Umat Islam haram menjadikan gagasan dia sebagai standard, patokan atau menggunakannya sebagai rujukan dalam melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu, baik berhubungan dengan hijrah, Piagam Madinah, Tahun Baru Islam dan lainnya. Khaeron Sirin telah memastikan dirinya sebagai bagian dari barisan نَاسٌ جُهَّالٌ yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)

Tahun Baru Islam : adakah dan perlukah diperingati?
Faktanya istilah Tahun Baru atau New Year atau اَلْعَامُ الْجَدِيْدُ tidak pernah dikenal dalam kehidupan Islami yang berlangsung lebih dari 12 abad dan yang pertama kalinya menggagas istilah tersebut ada-lah Dunia Kristiani : Happy New Year. Jika pun dipaksakan bahwa dalam kehidupan Islami ada istilah yang dianggap berkenaan dengan “tahun”, maka itu biasa diucapkan saat Idul Fitri :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ كُلُّ عَامٍ وَاَنْتُمْ بِخَيْرٍ اَوْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَاَنْتُمْ بِخَيْرٍ
Nampak sekali walau dalam ucapan tersebut menyebut “tahun” namun sama sekali tidak ada kaitannya dengan istilah “Tahun Baru” melainkan sebuah harapan dari seorang muslim kepada saudaranya seaqi-dah supaya sepanjang tahun yang akan dilalui sejak Idul Fitri selalu berada dalam بِخَيْرٍ yakni tetap da-lam pola kehidupan Islami.
Oleh karena itu, dalam kehidupan Islami tidak pernah dikenal Tahun Baru Islam dan itu semakin tidak dikenal bila memperhatikan kembali pertimbangan yang digunakan oleh Khalifah Umar dalam memutuskan menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal dari penanggalan Islami (اَلتَّارِيْخُ الإِسْلاَمِيُّ). Lagi-pula, kebiasaan (اَلْعُرْفُ) yang menjadikan awal tahun untuk diperingati atau dirayakan adalah berasal dari atau terjadi di luar Islam dan di luar Dunia Islam : Dunia Kristiani menjadikan Tahun Baru (1 Ja-nuari) sebagai rangkaian perayaan dari tanggal 25 Desember, atau Dunia Konfusian menjadikan Tahun Baru (Cap Go Meh) sebagai rangkaian dari Imlek dan sebagainya. Lebih dari itu, dalil naqliy banyak menunjukkan (اَمَارَةً) seruan (اَلْخِطَابُ) untuk tidak menyerupai pola kehidupan dan tingkah laku kaum ku-far baik Yahudi-Nashara maupun lainnya, antara lain pernyataan Rasulullah saw :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
اَلإِطْرَاءُ = مُجَاوَزَةُ الْحَدِّ فِيْ الْمَدْحِ
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه احمد)
غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ (رواه الترمذي واحمد)
غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى (رواه احمد)
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه البخاري)
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Seruan dalam seluruh dalil tersebut adalah طَلَبًا جَازِمًا لِلتَّرْكِ وَهُوَ حَرَامٌ (tuntutan yang pasti untuk ditinggal-kan yakni haram). Hal itu karena adanya qarinah celaan (وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي) atau anca-man (حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ), sehingga memberikan faedah طَلَبًا جَازِمًا لِلتَّرْكِ.
Selain itu, Khalifah Umar menetapkan awal penanggalan dalam kehidupan Islami adalah peristi-wa hijrah adalah bentuk pelaksanaan dari sejumlah ketentuan Islam yang berhubungan pasti dengan waktu-waktu (مَوْقُوْتا). Allah SWT menyatakan :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ (البقرة : 189)
Haji, shaum Ramadlan, Idul Fitri, Idul Adha, Hari Tasyrik, ukuran setahun (حَوْلاً) untuk harta zakat se-lain hewan ternak dan ukuran umur bagi zakat ternak, lama berlakunya perjanjian, gencatan senjata, perdamaian, penarikan kharaj, penarikan jizyah dan lainnya, adalah syariah Islamiyah yang pelaksana-annya berhubungan pasti dengan waktu. Jadi, walaupun selama Rasulullah saw dan Khalifah Abu Bakar digunakan penaggalan Rumiyah (Romawi) artinya boleh saja penanggalan tersebut digunakan, namun Khalifah Umar menetapkan bahwa segala perkara dalam kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah) wajib berbeda dengan pola kehidupan umat lainnya. Inilah yang dipahamkan lalu diberlakukan oleh Khalifah Umar dari pernyataan Rasulullah saw :
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه البخاري)
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Wal hasil, Islam dan kehidupan Islami tidak pernah mengenal apalagi mengakui istilah maupun realitas “Tahun Baru”, sehingga sama sekali tidak ada keperluannya untuk disambut, diperingati dan dirayakan. Artinya tanggal 1 Muharram bukan sebagai 1 Januari yakni bukan Tahun Baru melainkan sama saja dengan tanggal 1 dari 11 bulan lainnya dalam almanak hijriyah. Selain dalam Islam tidak ada “Tahun Baru” dan tidak perlu disambut, diperingati dan dirayakan, juga memposisikan tanggal 1 Mu-harram sebagai sama dengan tanggal 1 Januari adalah haram dalam Islam karena telah melanggar hu-kum haram menyerupai ahlil kitab : غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى (رواه احمد).

Mengapa hijrah dibajak?
Kepastiannya adalah hijrah yang merupakan milik Islam telah dibajak dengan cara melekatkan makna, pengertian maupun realitas di luar yang telah ditetapkan serta ditunjukkan oleh dalil dalam sumber-sumber Islam : Al-Quran dan As-Sunnah. Mengapa pembajakan itu mereka (salah satunya ada-lah Khaeron Sirin) lakukan? Jawabannya adalah mereka menganggap jika makna, pengertian dan reali-tas hijrah hanya diambil dari dalil-dalil tersebut, maka hijrah sama sekali tidak memiliki relevansi de-ngan kehidupan kekinian dan itu (seperti yang diklaim secara filosofis oleh Khaeron Sirin) akan meng-gerus keyakinan umat Islam terhadap hijrah itu sendiri.
Tentu saja, anggapan seperti itu muncul akibat mereka menggunakan metode ilmiah dalam me-netapkan keabsahan segala sesuatu termasuk perkara yang berada di luar jangkauan peruntukan metode tersebut, misalnya realitas hijrah. Selain itu, mereka (sadar atau tidak) melakukan pembajakan terhadap hijrah adalah akibat mereka telah kehilangan orientasi alias dis orientasi yakni karena mereka “merasa” telah selesai melaksanakan kewajiban untuk melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ mulai dari syahadah hingga haji. Ke-adaan “telah merasa rampung rapi” tersebut mendorong mereka untuk mencari dan mengais-ngais ge-rangan apalagi yang harus dilakukan menurut Islam. Lalu, apakah yang menjadikan mereka terjebak dalam anggapan imajinatif tersebut?
Karena seluruh sikap dan tindakan manusia dikendalikan dan ditentukan oleh pemahaman mere-ka terhadap kehidupan, maka dapat dipastikan bahwa munculnya anggapan yang kemudian menjadi si-kap mereka itu adalah karena pemahaman yang ada adalah muncul dari atau hasil akhir dari proses ber-pikir yang berbasis sekularisme berikut seluruh pemikiran cabang maupun turunannya. Mereka telah menjadikan aqidah khayaliyah tersebut sebagai قَنَاعَتُهُمْ اَيْ قَاعِدَتُهُمْ وَقِيَادَتُهُمُ الْفِكْرِيَّةُ  (qanaah mereka yakni aturan main berikut kepemimpinan berpikir mereka), sehingga pasti akan mereka pertahankan bahkan walau harus dengan mengorbankan nyawa sekali pun.
Hadist Nabi Muhammad saw berkenaan dengan الْكَذِبُ (bohong alias dusta) :
أَيُّهَا النَّاسُ مَا يَحْمِلُكُمْ عَلَى أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ فِي النَّارِ كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا (رواه احمد)

لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذي)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ كَذِبُ الرَّجُلِ مَعَ امْرَأَتِهِ لِتَرْضَى عَنْهُ أَوْ كَذِبٌ فِي الْحَرْبِ فَإِنَّ الْحَرْبَ خَدْعَةٌ أَوْ كَذِبٌ فِي إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ (رواه احمد)

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْجِيزِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَسْوَدِ عَنْ نَافِعٍ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ الْهَادِي أَنَّ عَبْدَ الْوَهَّابِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه ابو داود)

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ يُرِيدُ بِهِ الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلِ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةِ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه احمد)

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ أَنَّهَا قَالَتْ رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْكَذِبِ فِي ثَلَاثٍ فِي الْحَرْبِ وَفِي الْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ وَقَوْلِ الرَّجُلِ لِامْرَأَتِهِ (رواه احمد)

4 comments: